Part 32 (End)
Dipublikasikan pada: Sabtu, 22 Agustus 2020
BEAUTIFUL GHOST
Now Playing | Breath - Sam Kim
***
"Ibu ...." Suara serak seorang pemuda membuat Maryam mendongak. Wanita paruh baya tersebut menegakkan tubuh.
"Antares, kamu gak apa-apa, Nak? Ada yang sakit?" Ia menoleh pada Jeno. "Jen, tolong panggilkan dokter, cepat!"
Jeno mengangguk, bergegas keluar ruangan dan melakukan apa yang dikatakan Maryam. Sedangkan Antares menatap Ibunya. "Bu, Antares gak apa-apa." Ia mengerutkan kening, memastikan sesuatu. "Ibu baik-baik aja, kan?"
Maryam meneteskan air matanya, memeluk Antares erat. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu gak pernah bisa lindungin kamu."
"Ibu gak salah. Antares yang minta maaf karena datang terlambat," sahut pemuda itu. Ia mengusap punggung ibunya. Antares merasa lega mendapati Maryam dalam kondisi baik-baik saja. Setidaknya Maryam tidak mengalami luka apa pun.
Pelukan antara anak dan ibu itu terlepas. Antares mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Di mana dia?
"Bu, Dita mana?" tanyanya tiba-tiba. Ia ingat betul Dita juga ikut mengantarkannya ke rumah sakit bersama dengan Aluna.
"Dia pulang ke rumahnya. Lagian ini udah hampir tengah malam," ujar Maryam menjelaskan. Ia mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Antares. "Sudah lama Ibu gak ketemu sama Dita. Dia tambah tinggi sekarang. Tadinya Dita gak mau pulang, akhirnya dia nurut waktu Jeno datang dan bilang mau nginap di sini nemenin Ibu jaga kamu."
Antares membulatkan mulutnya. "Kalau Bang Eros, di mana?" tanyanya lirih. Ia tahu Eros langsung melarikan diri setelah melukainya.
Gerakan tangan Maryam terhenti. Wanita paruh baya itu menatap putranya, lalu tersenyum tipis. "Maafkan Ibu yang gak bisa tegas sama abang kamu." Ia menghela napas sebelum mengatakan, "Eros masih dicari sama polisi. Dita yang melaporkannya."
"Dita?" Antares terkejut mendengar perkataan Maryam.
Ibu dua anak itu menganggukkan kepala. "Dita juga minta maaf ke kamu. Ibu tahu dia pasti sedih waktu Eros berbuat begitu ke kamu."
Maryam benar, Antares juga yakin akan hal itu. Di dunia ini, yang tulus terhadap Eros hanya dua orang, Maryam dan Dita. Pasti menyakitkan untuk Dita saat tahu orang yang disukainya melukai sahabatnya sendiri.
Antares melihat jam dinding yang terpasang di hadapannya. Sekarang sudah hampir jam 12 malam. Ibunya ada di sini, Jeno juga ada, dan Antares yakin Jenny pasti ada di rumah sakit ini karena gadis itu tak mungkin Jeno tinggal sendirian di rumah. Lalu, di mana Aluna?
***
Embusan angin malam menerbangkan helai rambut milik gadis itu. Bibirnya tak melengkung sama sekali, wajahnya murung, tatapan matanya tampak sayu. Aluna menghela napas panjang, menatap ke bawah. Beberapa orang terlihat berlalu lalang, meskipun bulan sudah terlihat jelas dan Aluna yakin ini telah tengah malam. Jalanan masih ramai oleh kendaraan bermotor.
Aluna mendongakkan kepala, menatap ribuan bintang di langit yang mungkin tak akan bisa ia lihat lagi. Baguslah jika malam ini cuaca cerah, langit terasa lebih indah di atas sana. Apalagi dengan posisi Aluna yang berada di rooftop rumah sakit.
Ia memutuskan untuk menghilang dari ruangan Antares. Meskipun sebagian besar dari lubuk hatinya menginginkan untuk kembali. Tapi Aluna terus menegaskan satu hal, bahwa rumahnya bukan di sini.
"Luna, gue mau ngomong sama lo." Aluna menoleh pada Sandra. Meskipun mengenakan topeng, ia yakin gadis yang di depannya adalah sahabatnya sendiri.
"Mau ngomong apa?" Aluna terkekeh. "Ngomong aja, San."
Sandra berdecak. "Gak di sini."
Aluna membulatkan mulutnya, menatap ketiga teman sekolah yang ada di depannya. "Guys, kalian lanjutin dulu aja, ya. Gue nanti balik lagi." Ia mengalihkan tatapannya pada Sandra. "Mau ngomong di mana?"
"Rooftop."
Aluna hanya mengingat kejadian tersebut berakhir di situ. Ia tak tahu apa yang dilakukan Sandra dan dirinya selama berada di rooftop. Namun Aluna yakin saat itu dirinya jatuh dan meninggal. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Sandra saat mereka berdua pergi ke rooftop hotel?
"Aluna?"
Gadis itu menolehkan kepalanya refleks. Ia terdiam di tempatnya melihat Antares berjalan menghampiri dirinya. "Antares," gumamnya.
Kenapa dia di sini?
Aluna tak tahu apa yang Antares lakukan di sini. Ia sangka pria itu belum sadarkan diri. Ia sangka Antares tak akan menemuinya. Dan Aluna tak pernah menyangka bahwa ia masih bisa bertemu dengan Antares. Mungkin, ini adalah pertemuan terakhir mereka. Selagi Antares ada di sini, Aluna ingin mengucapkan pamit untuk pergi. Tapi, apa dia sanggup?
"Lo ngapain di sini?"
"Lo udah sadar? Kenapa lo malah ke sini? Lo harus istirahat, Res." Bukannya menjawab, Aluna justru balik bertanya. Antares berdecak, ia mencekal pergelangan tangan Aluna.
"Jawab gue dulu."
Aluna terdiam, ia melepaskan cekalan pria itu lalu tertawa kaku. "Ah, gue ... gue cuman lagi cari udara segar aja. Di dalam bau obat-obatan, gue gak suka."
Antares menghela napas, ia memerhatikan Aluna. "Lo gak apa-apa, kan?"
"Maksud lo?" Gadis itu tertawa. "Gue gak apa-apa, lah. Lagian abang lo juga gak bisa lihat gue."
"Lo tahu bukan itu maksud gue."
Tawa Aluna mereda, ia berdehem canggung. "Gue gak apa-apa."
"Tangan lo kenapa?" Antares menunjukkan tangan Aluna yang mulai menghilang. Hal itu membuat Aluna melebarkan mata, lalu buru-buru menyembunyikan lengannya. Antares menatapnya datar. "Gue udah tahu, gak perlu disembunyiin."
Aluna memejamkan mata, ia tidak boleh berlama-lama di sini. "Res, gue harus pergi."
"Ke mana?"
Ia menundukkan kepala. "Gue harus pergi dari dunia ini." Hening tercipta. Antares diam, membuat Aluna mendongak untuk melihat bagaimana ekspresi pria itu. Tak ada yang berubah, Antares setia dengan raut wajah datarnya. "Gue gak bisa lama-lama di sini."
"Kenapa?"
"Ini bukan tempat gue, Res." Aluna menghela napasnya. "Ingatan gue kembali. Gue tinggal nunggu kapan waktunya gue menghilang dari sini."
"Karena itu, gue mau pamit dulu sama lo. Maaf kalau selama ini gue nyusahin lo dan bikin masalah. Jujur, gue merasa beruntung karena orang yang gue temui pertama kali di dunia ini setelah meninggal adalah lo." Aluna terkekeh, "maaf juga kalau bikin lo jadi orang tersial karena ketemu sama gue. Makasih buat semuanya. Jangan lupa nanti sampaikan salam gue buat si Merah, ya. Dia temen hantu satu-satunya yang gue punya. Lo juga jangan keseringan cuekin dia."
"Ini perpisahan?"
Mendengar ucapan Antares, Aluna tertawa meskipun sudut matanya berair. "Ya, lo bisa anggap begitu. Ah ya, jangan lupa semua rumus menari yang gue kasih sama lo. Jangan keseringan cuek sama orang lain, dicuekin itu gak enak. Lo gak boleh jahat juga ke Dita, dia cewek baik. Oh ya, satu lagi, gue titip Adam sama lo. Dia bukan cowok sombong, kok. Dia cuman butuh teman. Adam cuma punya gue sama Sandra." Aluna tersenyum tipis, ia menatap Antares. "Ada yang mau lo sampein ke gue sebelum gue pergi?"
Antares menundukkan kepala, melihat separuh lengan Aluna telah menghilang. Ia mengalihkan tatapannya dan menatap gadis di hadapannya itu. Tak ada ekspresi lain yang ia tunjukkan. "Gue nyesel ketemu sama lo."
Setidaknya kalimat ini tidak akan menahan Aluna lebih lama. Antares tahu Aluna harus pergi demi kebaikan gadis itu. Berbanding terbalik dengan kata-katanya, Antares ingin mengucapkan kalimat lain.
Aluna tertawa. "Gue udah duga lo bakal ngomong itu, jadi gak kaget sama sekali." Gadis itu berdehem, mengusap sudut matanya. "Gue boleh peluk lo? Untuk yang terakhir kali, sebelum gue pergi."
Antares terdiam. Mereka saling menatap tanpa mau memutuskan kontak mata itu.
"Lo bisa ngelihat gue?"
"Memangnya kenapa?" tanya Antares tenang.
Mendengar itu, raut wajah datar sang hantu langsung berubah menjadi sumringah.
"Akhirnya ada manusia yang liat kecantikan gue!" Dia berteriak histeris sambil melompat-lompat.
Kenangan itu tak mudah dilupakan, terlebih bagi mereka yang saling mendambakan.
"Lo ngikutin gue?" tuding Antares tajam.
"Iya, kenapa?"
"Gak usah ngikutin gue lagi." Antares berlalu pergi dari hadapan hantu itu. Mood-nya memburuk.
"Gak bisa, sebelum lo bantuin gue." Hantu itu berdiri di depan Antares.
Antares menatapnya tajam, dilihatnya gadis itu dari atas sampai bawah. Matanya menangkap sebuah name-tag yang terpasang di pita pada pinggang gadis itu.
Aluna Putri D.
Kini mereka tak bisa lagi bersama, meski memang tak seharusnya kebersamaan itu ada.
"Antares! Lo ngagetin gue tahu gak!" Tiba-tiba Aluna memekik. Pasalnya saat ia berbalik, Antares sedang berdiri di belakangnya.
"Apaan? Gue diem aja dari tadi di sini," ujar Antares santai. Ia bersidekap dada.
Aluna memutar bola matanya malas, "Eh, gue penasaran sama satu hal. Kenapa patung ini kesannya berharga banget buat lo?" tanyanya sembari menunjukkan patung aurora.
"Kepo. Mending balikin ke gue sekarang aja deh tuh patung!" Antares mengulurkan tangannya.
"Yeee! Gak bisa, dong. Patung ini, tuh, diibaratkan sebagai kunci gue untuk pulang ke akhirat." Aluna mengusap-usap patung tersebut dengan sayang.
"Terserah." Antares memutar bola matanya lalu berbalik arah memasuki rumah.
"Eh eh, tungguin gue!"
Tak ada lagi yang bisa dielak, semua takdir ini terjadi menciptakan sebuah rasa yang sulit untuk ditebak.
Aluna terisak, menundukkan kepalanya dalam. Bahunya bergetar. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Antares memutuskan untuk mendekat. Detik berikutnya, tubuh Antares menegang kala lengan Aluna mengalung pada lehernya, memeluknya erat, menangis tersedu-sedu.
Antares tambah bingung, tangannya sudah terangkat untuk membalas, tapi kemudian urung dan lebih memilih menggantungkannya di udara.
"Res, sakit banget. Hati gue sakit." Tangisan Aluna makin memprihatinkan. Antares semakin kebingungan.
Aluna merasakan tangan Antares mengusap pelan punggungnya, menenangkannya. Hangat. Ia lalu memundurkan posisinya, tersenyum pada Antares.
"Makasih."
Mereka memutuskan untuk tak lagi saling dekat, meski pernah berharap untuk bisa bertemu dalam dekap. Tapi tak bisa, karena semua itu tak mungkin.
Aluna yang pertama kali mengalihkan mata, mengingat bahwa tak seharusnya rasa itu memanglah ada. Ia sadar betul setelah perkataan Dita kembali terputar di benaknya.
Matanya serasa memanas. Aluna menunduk, menatap sebuah daun kering yang tergeletak di samping kakinya. Hingga tubuhnya membeku saat Antares berjalan mendekat dan membuatnya berakhir di dekapan pria itu. Aluna terdiam, tangannya masih setia menggantung di samping badannya tanpa berniat membalas pelukan Antares. Ia bisa merasakan bagaimana debar jantung Antares menggila. Sayangnya, ia tahu Antares tak akan merasakan hal yang sama karena mereka berdua berbeda.
Iya, mereka berbeda.
Semua ingatan itu buyar ketika Antares menarik tangan Aluna, mendekapnya. Aluna membalas pelukan Antares, tangannya mencekal erat baju rumah sakit yang Antares kenakan. Tangisnya tak dapat ditahan lagi, mengalir deras membasahi pipinya. Isakan kecil keluar, meski sekuat tenaga Aluna menahannya dengan menggigit bibir.
Splash!
"Lo kenapa, sih, San?!" Aluna meringis, menatap pergelangan tangannya yang memerah akibat tarikan kuat dari Sandra.
Sandra menghembuskan napas kasar. Ia menatap Aluna dengan mata memerah. "Puas lo?"
Aluna balik menatap tak mengerti. "Maksud lo?"
"Puas lo rebut Adam dari gue?!" Sandra menjerit, mendorong bahu Aluna.
Aluna menggelengkan kepala. "Gue gak rebut Adam, San. Lo tahu itu, gue udah jelasin semuanya sama lo dan gue gak mau perjodohan ini terjadi."
Sandra mendecih. "Lo buta? Hari ini pertunangan lo, Lun."
"Gue benar-benar minta maaf, San. Gue gak pernah ada niat buat rebut Adam. Gue mohon, lo jangan kayak gini cuman gara-gara seorang cowok." Aluna menyentuh bahu sahabatnya, mencoba menenangkan.
Sandra menepisnya kasar. "Cuman gara-gara seorang cowok?" Ia tertawa tak percaya. "Lo kira gue lakuin ini cuman gara-gara Adam?"
Aluna mengerutkan kening tak mengerti. "Maksud lo?"
Sandra berjalan mendekat, menatap Aluna dengan tatapan yang tak bisa diartikan. "Aluna, lo terlalu naif."
"Gue gak ngerti apa yang lo omongin, San."
"Lo udah rebut semuanya dari gue. Semenjak nyokap lo meninggal, kasih sayang Paman berubah seluruhnya buat lo. Gue seakan parasit di kehidupan kalian. Gue bahkan seolah gak terlihat. Lo selalu berbuat salah, tapi gue yang kena amarah. Lo beruntung bisa punya keluarga yang sayang banget sama lo, sedangkan gue sendirian. Lo bisa jadi model dan dekat sama banyak orang, sedangkan gue cuman cewek biasa yang numpang di rumah mewah lo. Bukan cuman itu, Lun. Lo juga rebut posisi gue di sekolah lama. Lo tahu kalau gue pengin banget jadi ketua cheerleader, tapi lo justru merebut posisi itu. Lo puas rebut semuanya?" Mata Sandra berkaca-kaca, ia menatap Aluna penuh kebencian. Sandra tahu dirinya iri dengan kehidupan seorang Aluna. Sandra hanya merasa ini tak adil, Aluna selalu mendapatkan apa yang gadis itu mau sedangkan dirinya bahkan tak pernah mendapatkan kebahagiaan yang ia idamkan.
"San, gue gak tahu gimana isi hati lo," lirih Aluna. Suaranya tercekat, hatinya sakit mendengar bahwa selama ini Sandra tak pernah merasa bahagia di sekitarnya.
"Lo munafik, Lun. Di depan semua orang lo selalu banggain gue sebagai sahabat lo. Nyatanya, lo sahabat yang buruk."
Air mata Aluna menetes. "Sandra, tolong jangan begini. Gue minta maaf."
"Gue gak perlu kalimat itu. Untuk apa lo minta maaf? Apa gue bakal dapat kebahagiaan yang gue mau kalau gue maafin lo?" Sandra mengusap sudut matanya. "Lo tahu? Gue benci sama diri gue sendiri yang selalu ada di belakang lo. Gue cuman punya Adam, Lun. Cuman dia satu-satunya orang yang paham sama gue, cuman dia yang bisa ngertiin gue. Dan sekarang lo rebut Adam dari gue, Lun!"
"Maafin gue."
Sandra tersenyum miris. Ia mengusap kembali sudut matanya yang berair di balik topeng emas yang ia kenakan.
"Terlambat, Lun. Hati gue udah terlanjur sakit karena lo. Kenapa, Lun? Kenapa?!" Sandra menjerit. Suasana rooftop yang sepi ditambah bising kendaraan di bawah sana membuatnya bebas berteriak.
Aluna menundukkan kepalanya, "Apa yang harus gue lakuin untuk menebus semuanya?"
"Mati. Bisa?"
Aluna menatap Sandra tak percaya. "San---"
"Gak bisa, kan?" Sandra tersenyum. "Lo bahkan nangis waktu jari lo keiris pisau. Gimana lo bisa melakukan apa yang gue katakan tadi?"
"Sandra, gue mohon jangan gini. Kita bisa bicarain baik-baik." Aluna menatap sendu wajah Sandra. "Lo sama Adam sahabat gue, San. Gue gak mau hubungan kita hancur."
"Gue gak pernah anggap lo sebagai sahabat," ujar Sandra datar. Ia berjalan mendekati Aluna, membuat kaki Aluna tergerak untuk melangkah mundur mendekati ujung rooftop. "Gue gak punya sahabat."
Sandra terlihat mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. Ia menunjukkan sebuah patung kaca aurora kepada Aluna. "Adam ngasih ini ke gue saat gue ketemu sama dia untuk pertama kali. Dari situ, gue gak pernah anggap Adam sebagai sahabat. Gue suka Adam dari dulu, Lun."
Aluna menggelengkan kepala. "Gak, San. Tolong jangan gini."
Sandra tak mengindahkan ucapan Aluna. Ia terus maju memainkan patung aurora di tangannya. "Percaya gak kalau patung ini bisa mempertemukan kita dengan orang yang akan membuat kehidupan kita berubah sepenuhnya?"
"San ...." Aluna menatap ke belakang, tepat di mana ujung rooftop berakhir dan ia bisa melihat jalanan ramai oleh orang. Tak ada yang menyadari bahwa dirinya berada di tempat itu.
"Lo harus mati!"
Belum sempat berbalik, ia merasa tubuhnya di dorong dari belakang. Aluna terdiam membeku ketika kakinya tidak lagi menapak pada lantai rooftop.
Aluna memejamkan matanya. Setetes air mata mengalir membasahi pipinya. Dalam pikirannya mengingat banyak hal yang pernah ia lakukan bersama kedua orang tuanya, Sandra, juga Adam. Aluna tak pernah berpikir kehidupannya akan berakhir seperti ini.
Maafin gue, San.
Brak!
"Ya ampun!"
"Astaghfirullah!"
"Tolong!"
"Siapa dia?!"
"Ada yang bunuh diri woi!"
"Darahnya banyak sekali!"
Aluna merasa seluruh tubuhnya remuk. Cairan kental nan dingin berwarna merah pekat mengalir dari kepalanya hingga mengotori gaun putih yang ia kenakan.
Pandangannya kabur. Meskipun begitu, ia masih bisa melihat bayangan Sandra dengan gaun maroon-nya, berdiri dengan tangan terlipat lalu pergi meninggalkan rooftop itu.
"Lun?"
Aluna tersentak. Ia tersadar dari ingatannya. Tangannya terulur mengusap wajahnya yang sembab karena air mata. Ia ternyata menangis saat membalas pelukan Antares sampai hidungnya tersumbat.
Gadis itu tersenyum. "Gue udah ingat semuanya." Ia menatap kedua telapak tangannya yang telah menghilang.
Tatapannya teralihkan pada Antares. Aluna masih mempertahankan lengkungan di bibirnya dan bersiap untuk mengungkapkan semua yang telah ia rencanakan sebelumnya.
"Gue suka sama lo, Res." Aluna menatap Antares dalam. "Gue suka sama lo, meskipun gue tahu gue gak akan pernah bisa bareng sama lo. Lo gak perlu balas perasaan gue, bahkan jangan pernah membalasnya. Gue gak mau lo terluka. Gue bukan tipe orang yang suka memendam perasaan, jadi gue bilang langsung sama lo sebelum gue pergi dari sini. Makasih buat semua yang pernah lo lakukan sama gue."
Antares masih terdiam. Memang tak ada yang tahu bagaimana perasaan di balik wajah datar itu. Namun, sesuatu di dalam diri Antares menyuarakan perasaan yang sama.
Gue juga suka sama lo.
"Gue harus pergi sekarang." Tubuh Aluna mulai menjadi bayangan. Aluna melangkah mundur, ia tahu Antares tak akan menahannya. Tangannya terulur melambai, mengucap pamit. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata untuk tak turun lagi. Hatinya terasa berat untuk ikut pergi, namun Aluna tahu yang ia lakukan saat ini tidak salah.
"Selamat tinggal, Antares."
Angin malam berhembus, bertepatan dengan Aluna yang sepenuhnya berubah menjadi bayangan lalu menghilang seolah ditelan angin. Antares berdiri terdiam seorang diri di rooftop itu. Tangannya melepaskan cekalan terhadap ujung baju rumah sakit. Sedari tadi ia mencoba untuk tidak menahan Aluna. Kini, ia berhasil menahannya.
Antares terduduk, menundukkan kepala. Setetes air mata turun membasahi pipinya. Pikirannya terus memutar memori waktu di mana ia bertemu Aluna hingga perpisahan ini terjadi.
Gue mohon, jangan pergi.
***
TAMAT
Akhirnya setelah sekian lama nulis Beautiful Ghost, aku bisa menamatkannya. Pernah ragu kalau aku gak akan sampai di titik ini, huhu.
Makasih buat kalian semua yang udah mampir baca Beautiful Ghost.
Selanjutnya, masih ada Extra Part. Kira-kira gimana kehidupan Antares setelah Aluna menghilang dari dunia ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top