Part 30
Dipublikasikan pada: Senin, 3 Agustus 2020
BEAUTIFUL GHOST
Now playing | In Silence - Janett Suhh
***
Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin.
Impossible is nothing.
Antares seringkali mendengar kalimat tersebut dari banyak orang. Namun, ia tak pernah sekalipun memercayainya. Di dunia ini ada yang tidak mungkin. Banyak hal yang tidak mungkin bisa ia lakukan. Banyak hal yang tidak mungkin bisa ia capai. Ada banyak sekali hal tidak mungkin di dalam hidupnya.
Ia ingin ibunya bersikap tegas pada Eros dan menghilangkan kasih sayangnya. Tapi, itu tidak mungkin.
Ia menginginkan kakaknya kembali seperti dulu dan keluarganya utuh seperti sedia kala. Tapi, itu tidak mungkin terjadi.
Ia memiliki banyak keinginan yang tidak akan mungkin terwujud. Kalimat 'impossible is nothing' tidak pernah ia harapkan akan tercapai. Karena Antares tahu, semua itu hanya omong kosong.
Dan sekarang, lagi-lagi ia harus menelan kenyataan bahwa dirinya tidak mungkin bisa bersama dengan Aluna. Tak dapat dipungkiri lagi, Aluna berhasil masuk ke dalam hatinya. Ketika gadis itu meneteskan air mata dan menghilang tanpa pamit, Antares sadar dirinya sudah terjatuh pada seorang Aluna, hantu yang ia temui sebulan lalu.
Kini, Antares tak lagi menaruh harapan yang besar. Meski ia tak bisa menyangkal, ada harapan kecil untuk bisa mengubah ketidakmungkinan menjadi hal yang akan terjadi.
Namun ia tahu betul, itu semua hanya harapan yang akan sia-sia.
Maaf ....
Dalam benaknya, Antares hanya mampu mengucap kata itu. Matanya terpejam, namun ia bisa mendengar rintih tangis suara Aluna yang menyayat hati. Tubuhnya dibawa oleh sebuah alat yang didorong beberapa perawat. Yang Antares yakini, ia sekarang sedang berada di rumah sakit.
"Antares, gue mohon bertahanlah." Suara lirih itu terdengar menggema di telinga. Setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya. Perih di perut membuat kelopaknya terasa berat untuk terbuka. Antares hanya bisa terdiam membisu seolah raganya dicabut meskipun ia bisa mendengar semuanya.
"Jangan masuk!" Ia juga bisa mendengar suara gadis lain sebelum akhirnya Antares tak bisa lagi mendengar Aluna.
Meski begitu, ia tahu betul siapa gadis yang sedang bersama Aluna. Dita.
***
"Kenapa lo ada di sini?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Dita.
Aluna terduduk diam, menatap telapak tangannya yang penuh darah. Ia menangkup wajah, menangis terisak. Pertanyaan Dita dianggapnya sebagai angin lalu. Aluna masih shock atas kejadian tadi.
Dita ikut duduk, menatap Aluna. "Kenapa Antares bisa kayak gitu?" tanyanya pelan. Ia tahu bagaimana perasaan Aluna.
Setengah jam yang lalu Aluna tiba-tiba muncul di hadapannya dan memohon untuk segera membawa Antares ke rumah sakit. Ia yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam mengikuti Aluna. Dita sangka Aluna berbohong, namun ternyata hantu itu berkata jujur. Dita langsung menghubungi ambulan untuk membawa Antares ke rumah sakit. Ia tidak tahu mengapa Antares bisa terluka parah seperti itu.
"Kakaknya Antares datang ke rumah," sahut Aluna lirih, nyaris seperti sebuah bisikan.
Dita langsung menoleh. "Maksud lo Bang Eros?"
Aluna mengangguk sekali. Ia menunduk memerhatikan lantai rumah sakit. "Dia ditusuk sama kakaknya sendiri, Dit. Dan gue gak bisa ngelakuin apapun selain diam."
Dita terkejut. Ia tak menyangka bahwa Eros akan kembali dan melakukan hal itu. Di satu sisi ia senang karena Eros mau menampakkan diri. Tapi, di sisi lain Dita merasa kecewa dengan perlakuan kasar Eros.
"Dimana dia sekarang?" tanyanya.
Aluna menggeleng. "Dia langsung pergi setelah Antares terluka."
Dita beranjak berdiri. Ada hal yang perlu ia selesaikan sebelum semuanya terlambat. Lagipula, Dita sangat mengenal kepribadian Eros. Ia harap Eros tak lagi melakukan hal gila setelah melukai adiknya sendiri.
"Gue ada urusan sama Bang Eros. Jeno udah gue hubungin, sebentar lagi dia sampai bareng Jenny. Sorry, gue gak bisa lama di sini. Tolong jagain Antares sebentar, ya." Dita menghentikan ucapannya. Ia juga menatap Aluna yang hanya diam. "Tolong sampaikan permintaan maaf gue ke dia. Dan gue juga mau minta maaf sama lo perihal perkataan gue waktu di taman."
Setelah mengatakan itu, Dita melenggang pergi. Aluna masih menunduk, menautkan kedua tangannya. Mendengar permintaan maaf Dita, tidak merubah apapun. Aluna sadar bahwa ucapan Dita di taman bukanlah suatu kebohongan. Itu fakta.
Tidak ada yang perlu dimaafkan karena tak ada yang salah. Dita hanya berusaha menyadarkan Aluna, tidak lebih. Harusnya Aluna berterima kasih.
Gadis itu mendongak, menatap ruangan Antares yang masih tertutup rapat. Ia mendesah pelan, memilih untuk beranjak pergi dari tempat itu.
Setidaknya, ia telah bertemu Antares untuk terakhir kali.
Mungkin, hari ini adalah pertemuan akhir mereka. Aluna yakin, ini adalah pilihan yang tepat. Ingatannya hampir pulih sepenuhnya, membuatnya berpikir bahwa waktunya di dunia ini tak lagi banyak.
Maaf, Res. Gue harus pergi ....
Tepat ketika ia melangkah menjauhi ruangan Antares, seorang laki-laki berkemeja putih melewatinya. Aluna terdiam, begitu juga pria paruh baya tadi-menghentikan langkahnya-.
"Lavender?"
Aluna berbalik. Ia mengepalkan tangannya, mencoba untuk kuat dan menahan rasa sesak.
"Ayah ...."
Beliau adalah Hanindra Dirgantara, seorang ayah yang sangat dibanggakan oleh Aluna Putri. Hanindra bergeming, memilih acuh dan melanjutkan langkah kakinya.
"Ayah!" panggil Aluna, namun tak ada balasan. Ia merutuki dirinya sendiri, sadar bahwa ia dan ayahnya berbeda.
Kakinya bergerak mengikuti langkah Hanindra. Berbagai macam ingatan muncul di pikirannya. Ia memandang tubuh tegap itu dalam diam. Aluna ingin merengkuhnya, mengatakan bahwa ia sangat menyayangi Hanindra. Berterima kasih karena Hanindra telah merawatnya dengan begitu baik. Mengatakan jika dirinya tak pernah merasa kurang kasih sayang dari seorang ayah.
Punggung tegap itu tampak rapuh dan lebih kurus dari sebelumnya. Aluna tak bisa menahan lebih lama lagi sesak di dadanya, ia menutup mulut menahan isakan.
"Ayah," panggilnya sekali lagi. Aluna hendak merengkuh Hanindra, namun ia hanya bisa menggapai angin, menembusnya. "Luna sayang Ayah ...."
Langkah Hanindra terhenti di sebuah ruangan. Pria paruh baya berumur 45 tahun itu menghela napasnya sejenak sebelum meraih gagang pintu dan membukanya. Aluna masih setia mengikuti, melangkah masuk ke dalam ruang putih berisikan pasien tersebut.
"Sandra." Aluna membeku. Ia melihat tubuh seorang gadis terbaring tak berdaya di atas brankar dengan berbagai peralatan medis yang dikenakannya.
Sandra kenapa?
Pertanyaan itu muncul di benaknya. Namun Aluna tak mendapatkan jawaban. Ia berjalan mendekat, berdiri di samping Hanindra yang terduduk menggenggam jemari Sandra.
"Caca sedang mimpi apa, hm?" Aluna menoleh menatap ayahnya. Hanindra bermonolog pada Sandra yang tak membalas ucapannya.
"Caca tidak rindu paman?"
Lagi-lagi Aluna menahan sesak di dada. Apalagi ketika ia mendapati setetes air mata membasahi pipi tirus Hanindra.
"Paman rindu sama Caca," ujar pria itu sembari menunduk. Ia mengusap punggung tangan pucat Sandra. "Maafkan semua sikap Paman, Ca."
Hanindra terus menggumamkan kata maaf seraya mencium punggung tangan Sandra. Ia meneteskan air mata mengingat bagaimana perlakuan buruknya dulu. Seharusnya Hanindra sadar, Sandra juga seorang manusia yang butuh perhatian dan kasih sayang. Jika ia tak bersikap kasar padanya, pasti sekarang dirinya bisa berkumpul bersama Sandra dan putrinya.
"Semua salah Paman. Maafkan Paman, Ca."
Maaf ....
Aluna menyentuh kepalanya yang berdenyut sakit. Ia menatap wajah ayahnya yang perlahan memburam. Rasa pening bisa ia rasakan hingga akhirnya sekilas ingatannya muncul.
"Maaf, San."
"Maaf lo bilang?" Sandra menggelengkan kepalanya. "Lo gak salah, kok. Lo gak pernah salah, Lun. Benar, kan?"
Aluna menatap wajah sahabatnya itu. "San, please jangan gini. Gue minta maaf. Gue juga gak tahu kalau ini adalah permintaan terakhir Bunda. Gue gak ada niat buat rebut Adam dari lo."
"Gue gak peduli apapun itu." Sandra mendekati Aluna, ia berbisik lirih. "Gue udah muak sama lo, Lun. Gue udah gak kuat. Aluna ... lo terlalu naif!"
Aluna menggeleng. Ia menahan tangan Sandra ketika gadis itu beranjak melewatinya. "San, dengerin gue dulu. Gue bisa minta Ayah buat batalin pertunangan ini."
Sandra tersenyum miring. "Lo gak akan mampu melawan permintaan Paman, Lun. Gak akan pernah, karena lo terlalu lemah." Ia melepaskan cekalan Aluna. "Gue tahu lo juga suka sama Adam."
Aluna hanya mampu terdiam. Batinnya menangis melihat sahabatnya pergi berbalik dan meninggalkan dirinya sendiri.
"Gue gak pernah suka sama Adam, San," gumamnya lirih.
"Om Hanindra?" Suara pemuda itu berhasil memutus ingatan Aluna. Adam masuk ke dalam ruangan dengan membawa sekeranjang buah. Ia mengerutkan keningnya bingung saat melihat Hanindra duduk di samping brankar.
"Adam, kamu udah pulang dari Singapura?"
Adam mengangguk. "Sekitar dua hari yang lalu, tapi aku menetap di apartemen, bukan pulang ke rumah."
Hanindra membulatkan mulutnya. "Dimana Ayahmu?"
"Langsung ke kantor. Ayah juga menginap di sana."
"Sesekali berbaikanlah dengan Ayahmu, Dam." Hanindra terkekeh.
Adam menggaruk belakang kepalanya. "Adam sama Ayah emang udah terbiasa beda pendapat, Om."
Hanindra terdiam. Ia menarik napasnya panjang. "Maafkan, Om. Seharusnya Om tidak memaksa kamu bertunangan dengan Luna." Ia mengalihkan tatapannya pada Sandra. "Maka semua ini gak akan terjadi."
Adam hanya mampu tersenyum. Ia berjalan mendekat, meletakkan keranjang buahnya. Adam menatap lekat wajah pucat Sandra. Dalam hatinya masih berharap gadis itu sadar dan bisa tertawa bersamanya lagi.
Sandra hanya gadis lemah yang butuh perhatian.
"Dam, tadi Om sempat merasakan kehadiran Luna." Aluna menatap Hanindra yang terlihat tersenyum samar.
"Maksud Om?"
Hanindra menggeleng. "Tidak ada maksud apa-apa. Om hanya merasa dia ada di sekitar kita." Aluna menahan sesak di dadanya. Ia sempat berharap bisa memeluk ayahnya saat itu juga. "Tapi Om sadar, Luna tidak ada di sini."
Tangis itu pecah. Aluna tak bisa lagi menahan isakannya.
"Ayah ...." Ia menangis sesenggukan, bahkan sampai menutup mulutnya karena tak sanggup berkata.
Ayah, Aluna di sini. Luna ada di sini.
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top