Part 15

Publish on : Minggu, 3 Mei 2020 [22.35]



-BEAUTIFUL GHOST-




"Pada garis tipis di bibirmu, yang senantiasa membuat detak jantungku memburu."

⬇⬇⬇

Malam api unggun tiba.

Antares bersama rekan satu tim-nya duduk bergabung dengan siswa lainnya, mereka melingkar, mengelilingi tumpukan kayu bakar yang siap dilahap api.

"Loh, Jeno mana?" Mysha celingukan, menyadari pria bernama Jeno Aldino itu tidak ada di sini.

"Biasa. Tuh!" Tasya menunjuk ke kanan, terlihat Jeno tengah duduk di samping kanan Salsa. Padahal ada Davin juga di sebelah kiri Salsa. Mysha memutar mata, merutuki aksi modus Jeno yang sangat tidak apik.

Masa modusin cewek pas lagi sama pacarnya?

Pak Jaka maju ke tengah-tengah lingkaran, mengingatkan semua siswa untuk tidak melamun dan mengikuti semua kegiatan malam ini. Beliau memanggil Angga, ketua OSIS SMA Mahatma, sebagai perwakilan untuk menyalakan api unggun.

Ketika api dinyalakan, semua siswa bertepuk tangan. Ada yang menyanyikan lagu 'Api Unggun Sudah Menyala', ada pula yang diam dan enak-enakkan makan. Jangan lupakan juga ada yang modus.

Pak Jaka menepukkan tangannya, lantas mengatakan akan ada permainan untuk mengisi acara luang malam ini, sebelum besok pagi mereka harus menjelajah hutan.

"Aku Melihatmu, Kamu Tidak Melihatku." Pak Jaka mengucapkan judul permainannya. Antares terlihat tak tertarik sedikit pun.

Pemuda itu berdiri, beranjak akan meninggalkan lingkaran. Jenny yang duduk di sampingnya mendongak, menahan tangan Antares.

"Eh, mau kemana?"

"Toilet." Sesingkat itu, Antares lantas bergegas pergi, meninggalkan kerumunan yang sedang bertepuk tangan dan juga Jenny yang memandanginya aneh.

***

Di pinggir sebuah danau, seorang gadis duduk di atas papan bambu dengan kaki terjulur menyentuh permukaan air. Aluna menatap langit, matanya mengerjap menghitung jutaan bintang di atas sana. Suara jangkrik terdengar bersahutan, diikuti bunyi bambu-bambu di pinggiran danau yang bergesekan. Tak urung katak ikut meramaikan, mengalunkan sebuah nada khas malam.

Aluna menyelipkan anak rambutnya yang jatuh ke belakang telinga. Ia menunduk, melihat ke permukaan danau, nampak bayangannya ada di sana, juga bayangan bulan purnama yang samar.

Setelah mencari kayu bakar tadi, Aluna memutuskan untuk tidak ikut kembali ke lokasi camping. Dia malah melangkahkan kakinya ke sini, menikmati pemandangan danau yang masih menampung air jernih.

Aluna berpikir tentang ingatannya yang masih belum pulih. Ini sudah hari ke berapa? Dia lupa menghitungnya. Namun Aluna tahu, waktunya di sini pasti tidak banyak. Ia harus segera mengingat semua masa lalunya dan pergi ke dunia yang sebenarnya.

Meskipun rasanya tidak rela.

Gadis itu cemberut, angin malam menerbangkan anak rambutnya, membuatnya kembali mengulurkan tangan untuk menyelipkannya ke belakang telinga. Seringkali Aluna bingung sama dirinya sendiri. Sebenarnya, dia tuh apa?

Manusia? Bukan. Karena tidak ada manusia lain yang bisa melihatnya. Tidak ada manusia yang bisa menghilangkan diri juga, kan.

Hantu? Aluna ragu. Dia berbeda dari hantu di sekitarnya. Misalnya saja tuh, hantu berbaju putih panjang dengan rambut hitam tergerai bebas menutupi setengah wajahnya yang hancur, Aluna bisa melihat hantu itu di dekat pohon bambu sana, berdiri terdiam. Entahlah, mau jadi patung hantu mungkin.

Faktanya, Aluna tidak semenyeramkan itu. Dia hanya berkulit putih pucat, tubuhnya juga dingin, hanya itu. Bahkan kedua kaki jenjangnya menapak tanah, benar-benar bisa menyentuh bumi. Lalu, Aluna bisa memegang benda mati, apapun, lalu benda mati itu akan mengikutinya menjadi tidak terlihat, seolah ikut melebur. Berbeda dengan hantu lain yang cenderung menembusnya. Kemudian, yang bisa ditembus Aluna hanya manusia, kecuali orang indigo seperti Antares.

Jadi, dia ini makhluk apa?

Atau jangan-jangan dia seorang bidadari?

Aluna terkekeh. Bahkan kekehannya itu tidak bernada haha hihi yang sering Aluna dengar dari arah rimbunan pohon bambu tadi. Mungkin benar, dia seorang bidadari yang tersesat di bumi. Ditambah wajah Aluna yang cantik, katanya sih mirip Megan Domani.

"Atau gue itu malaikat tanpa sayap?" Aluna mulai ngelantur. Ia kembali menatap langit, beberapa bintang tertutupi, begitu juga bulan purnama yang tinggal sebagian, sisanya tertutup oleh awan malam.

Aluna mengusap kedua lengannya. Lama kelamaan dia makin merinding di sini sendirian. Apalagi Mbak Kunti masih setia di tempatnya, seolah memperhatikannya dari pinggir pohon bambu itu. Ia bergidik, lebih baik menyusul ke tenda.

Baru saja Aluna berbalik, ia dikejutkan oleh sosok Mbak Kunti tadi kini sudah berada tepat di depannya. Tentu saja Aluna berteriak kaget. Bagaimana pun juga, wanita yang melayang di hadapannya ini memiliki wajah yang nyaris hancur. Darah menutupinya, sebagian rambut hitam panjangnya juga sama.

Aluna tersentak, ia refleks memundurkan langkah hingga kakinya terpeleset pijakan bambu yang terakhir.

Byur!

Gadis itu memejamkan mata, menggerakkan tangannya ke segala arah. Ia mencoba menghilang, tapi sesuatu di bawah sana seperti menahannya. Ada yang mencekal pergelangan kakinya!

Dan ketika Aluna menunduk, ia melihat sebuah bayangan tangan hitam. Aluna melebarkan matanya, ia berusaha melepaskan cekalan itu pada pergelangan kakinya. Namun nihil, bayangan tersebut terus menariknya semakin kuat, membuat Aluna terus tertarik lebih ke dalam danau.

Aluna menggerak-gerakkan tangannya asal. Entah kenapa ia mengharapkan Antares datang dan menyelamatkannya dari makhluk itu. Aluna tercekat ketika ia melihat pantulan bulan di atas sana kian mengabur.

Splash!

"Ca ... ajarin Luna berenang, dong!" Seorang gadis kecil merengek, menggoyang-goyangkan lengan temannya. Satu tangannya menunjuk ke sebuah kolam renang.

Sementara gadis satunya menggeleng, "Enggak, Lun. Kamu kan belum dibolehin berenang sama Paman Sam."

"Ah, ayolah, Ca! Aku malu diejek terus sama teman-teman di kelas karena tidak bisa berenang dan sangat manja." Luna kecil cemberut, wajahnya memelas.

"Tidak boleh, Luna! Nanti aku yang dimarahin sama Paman Sam kalau kamu bandel!"

"Aku gak bandel! Aku kan cuman minta diajarin berenang, lagi pula kamu hebat banget renangnya, pasti bisa mengajariku." Luna tetap keras kepala. "Ayo dong, Ca! Plis yah? Atau nanti aku marah ke kamu!"

"Eh eh, jangan gitu! Ah, kamu curang, Lun!" Gadis sembilan tahun bernama Caca itu menghela napas panjang, "Baiklah, aku akan mengajarimu."

Luna melonjak senang, "Yeay!"

"Pegang tanganku, Lun!"

"Nah iya, jalan dulu pelan-pelan."

"Angkat kakimu perlahan."

"Ca, aku takut terpeleset!"

"Jangan takut, Lun. Ada aku."

"Terus, Lun. Kamu hampir bisa."

"Ya, benar. Gerakkan pelan-pelan."

"Aku akan mencobanya sendiri, Ca."

"Wah, aku bisa!"

"Hati-hati, Lun!"

"AHH--- CACA!"

"Luna!"

Brak!

Seorang pria dewasa datang, ia melotot melihat putrinya nyaris tenggelam. Jas kantornya langsung dilempar, pria itu masuk ke kolam, menyelamatkan sang putri yang kini menangis ketakutan.

"A-ayah ... Luna takut, hiks ...."

Mendengarnya rintihan putrinya, ia menoleh tajam ke arah seorang gadis kecil yang kini menunduk di kolam.

"Kenapa kau bawa dia ke kolam renang hah?! Kau mau mencelakainya?!"

Gadis kecil itu menggeleng cepat, "A-aluna ingin belajar berenang, Paman."

"Kenapa kau menurutinya?! Cepat naik, aku akan menghukummu! Dasar anak nakal!"

Splash!

Aluna terhenyak. Ia merasa sebutir kristal keluar dari pelupuk matanya, melebur bersama air danau. Rasanya sakit sekali, hatinya seolah dipatahkan. Hingga akhirnya ia merasa pandangannya mengabur karena air mata dan danau.

Lalu sebuah tangan merengkuh pinggangnya, menariknya ke atas. Dan ketika ia menyadari ada yang menahan Aluna di bawah sana, ia membantu Aluna melepaskan cekalan itu. Untung saja bayangan hitam tadi cepat pergi dan melesat lebih bawah ke dasar danau.

Dia menatap Aluna sejenak, tidak ada ketakutan di sana, justru tatapan sendu yang terlihat menyedihkan. Merasa pasokan udara hampir habis, ia meraih pergelangan tangan Aluna dan membawanya keluar dari danau.

Antares mendudukkan Aluna di atas papan bambu, ia menetralkan napasnya, beberapa kali terbatuk. Sedangkan Aluna hanya diam, menatap kosong danau. Hingga detik berikutnya, ia menangis, membuat Antares kelabakan bingung.

Aluna terisak, menundukkan kepalanya dalam. Bahunya bergetar. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Antares memutuskan untuk mendekat. Detik berikutnya, tubuh Antares menegang kala lengan Aluna mengalung pada lehernya, memeluknya erat, menangis tersedu-sedu.

Antares tambah bingung, tangannya sudah terangkat untuk membalas, tapi kemudian urung dan lebih memilih menggantungkannya di udara.

"Res, sakit banget. Hati gue sakit." Tangisan Aluna makin memprihatinkan. Antares semakin kebingungan.

Sudahlah bodo amat.

Aluna merasakan tangan Antares mengusap pelan punggungnya, menenangkannya. Hangat. Ia lalu memundurkan posisinya, tersenyum pada Antares.

"Makasih."

Pria itu mengangguk kikuk, "Lo tadi kenapa?"

"Gue keinget sesuatu. Tapi gue gak tahu kenapa rasanya sakit banget." Aluna mengalihkan tatapannya. "Dan entah kenapa gue ngerasa bersalah."

Antares mengerutkan keningnya, "Lo---"

"ANTARES!"

Itu suara Jeno. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiri Antares. "Anjir, gue cariin di toilet malah lo di sini." Ia memegang bahu Antares, menggoyang-goyangkannya kuat. "Gawat, An! GAWAT!"

Antares menaikkan alis, "Kenapa?"

"Itu ...." Jeno mengambil napas panjang lalu membuangnya kasar. Ia menatap Antares, raut cemas jelas terlihat di sana. "Ada kesurupan massal di sana!"

***

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top