07 - harapan


"Hali,"

"Hm?"

Halilintar menoleh kala sang istri memanggilnya dengan suara lembut, ia meninggalkan kegiatannya sebentar—memberi semua kefokusannya pada si istri.

"Hali itu ... Ganteng, gak?"

Huh?

Laki-laki berusia 26 tahun itu tak menjawab, dia kembali menumpahkan setiap tinta pulpen di atas kertas yang tadi sempat tertunda.

Tangannya dengan lihai menulis dengan cepat , tanpa mempedulikan sosok wanita yang tengah menunggu jawaban dari dirinya.

"Hali!"

Halilintar mendengus ketika istrinya itu melempar bantal sofa kearahnya—lebih tepatnya asal arah sih, tapi kebetulan aja kena.

Ia kembali melirik sang istri, senyumnya coba dia pasang walau lebih terlihat seperti senyum paksa.

"Apa, sweetheart?"

"Halii! Orang nanya tuh dijawab, bukan didiemin! Kamu tuh gimana, sih."

Aduh, kalau [Name] sudah mode seperti ini, Halilintar jadi ingat dengan Ibundanya ketika marah atau khawatir dengan dirinya.

"Memangnya kenapa nanya gitu tiba-tiba? Ada masalah lagi?"

[Name] menggeleng,

"Aku penasaran sama muka Hali!!"

Oh, ternyata itu.

Suaminya itu terkekeh, kadang mas suami suka gemas kalau liat istrinya kayak anak kecil yang penuh dengan rasa penasaran.

"Kan sudah kubilang, kan? Kamu bakal tau nanti, [Name]."

"Tapi taunya itu kapaan Hali!"

"Sebentar lagi, asal kamu mau."

"...."

[Name] tak menjawab, yang ada malah helaan napas keluar dari mulutnya. Halilintar tahu maksud dari itu, lantas, ia meninggalkan tumpukan kertasnya dan duduk disamping sang istri.

"Aku cuma takut, Hali...."

"[Name], aku gak maksud maksa. Tapi, kamu sendiri yang bilang pengen bisa liat semuanya lagi, kan? Penglihatan kamu itu masih bisa dibalikin, masih ada kesempatan,"

Halilintar menjeda ucapannya, dia raih tangan mungil yang menjadi favoritnya, lalu dikecupnya pelan.

"Cara buat balikin itu semua, operasi. Kamu udah sering latih matamu sama dokter, tapi gak begitu berhasil. Segala cara kamu coba, dan pada akhirnya harus operasi. Semua yang kamu coba bakal sia-sia kalo kamu nyerah sampe sini aja, [Name]."

Sang istri hanya diam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. Ia tahu Halilintar bermaksud memberi support kepadanya. Namun, tetap saja [Name] masih merasa takut!

"Aku mau, Hali! Aku cuma takut."

"Apa yang kamu takutin?"

"Ruang operasi, operasi, pokoknya semuanya yang berhubungan dengan operasi!"

Laki-laki itu mengelus punggung istrinya ketika ia melihat tangan sang istri yang ia lipat menjadi sebuah bulatan—menahan emosi.

"Ada masa lalu yang bikin kamu takut kayak sekarang?"

[Name] mengangguk,

"Ayah gak pernah dan ga akan buka mata lagi pas keluar dari ruang operasi, itu jadi hari terakhir aku liat Ayah."

"... Eh?"

Elusan dipunggung [Name] ia hentikan, kini tatapan bingung dia berikan kepada istrinya. Bagaimana bisa sang istri melihat tentang kejadian operasi sang Ayah? Bukankah [Name] kehilangan penglihatannya saat kecelakaan itu terjadi?

"Aku tau apa yang kamu pikirin, Hali."

"Jelasin semuanya dari awal, [Name]."

[Name] menghela napas panjang, ia menarik-narik ujung baju Halilintar, memintanya tuk memeluk dirinya erat.

"Aku gak bisa liat setelah Ayah udah ga ada, Hali. Waktu itu kepalaku kebentur keras, kepalaku sakit, pusing, aku hampir hilang kesadaran, tapi gak lama ambulan sama polisi dateng buat nolong kita bertiga. Pas aku dirumah sakit, Ayah langsung dilarikan ke ruang operasi, Ibu udah dinyatakan meninggal, aku sendiri di cek sama dokter.

"Setelahnya, aku nunggu Ayah keluar dari ruang operasi ... Tapi, pas Ayah keluar, muka Ayah ditutupin kain putih. Dokter sama suster gak senyum sama sekali. Aku langsung paham ... Kalo Ayah udah gak ada. Waktu itu kepalaku makin pusing, sakit, denyutan, akhirnya aku pingsan,"

[Name] tersenyum kecut, ia mengeratkan pelukannya dengan sang suami—yang langsung dibalas kecupan-kecupan kecil di pucuk kepalanya.

"Satu-satunya yang kuingat pas aku sadar... Aku gak bisa liat apa-apa, dan aku denger apa kata dokter."

"Pasien [Fullname] mengalami benturan yang cukup keras di bagian kepala, kepalanya cedera, dari awal saraf penglihatan nya sudah terganggu karena cedera di kepala, namun hanya sedikit saja. Cedera di saraf penglihatan semakin parah ketika ia shock mengetahui orang tuanya telah meninggal."

"Lalu, sekarang apa yang terjadi padanya?"

"Kebutaan."

"Eh, apa?"

"Matanya tak bisa melihat apa-apa, jikapun dilatih tetap kabur di penglihatannya."

Satu kata, namun mengubah segalanya. Setidaknya itu bagi [Name].

"Coba aja waktu itu aku nurut kata Ibu buat pake sabuk pengaman." [Name] tertawa kecil sendiri, dengan muka datar, pandangan kosong yang ia arahkan ke depan.

"[Name]...."

"Hali, aku cuma takut."

Halilintar bingung jika seperti ini, karena ia bukan ahlinya. Ini ahlinya Taufan dan Solar; membujuk dan menenangkan anak gadis orang.

"[Na—engga, sweetheart."

Pemilik manik ruby itu kembali mengeratkan pelukan mereka berdua ketika si istri melonggarkannya. Ia tenggelamkan istrinya itu di dada bidangnya,

"Kamu mau operasi atau engga, itu terserah kamu. Kalo kamu gamau, kita bakal cari cara lain buat sembuhin. Aku yakin, masih ada harapan, [Name]. Tugasku disini cuma ngasih kamu support, gak lebih. Aku gak bisa maksa kamu, karena itu pilihan kamu. Aku cuma ikut.

"Apapun pilihanmu, aku bakal setuju. Kamu milih berhenti sampe disini juga gapapa kalo itu emang kemauan kamu. Aku ... Tetap bakal s-sayang kamu."

Halilintar terlihat merona mengucapkan kalimat terakhirnya—namun walau begitu, ia tetap harus memberi kata-kata panjang untuk wanita kesayangannya! Siapa tahu [Name] dapat pencerahan karenanya.

"Hali...."

"Kenapa?"

"Kalo aku operasi, aku bakal bisa liat full? Aku bakal bisa liat Hali?"

Oh, secepat itu mbak [Name] berubah pikiran?

"Bisa, kamu bisa balik liat kayak waktu itu."

"Nanti aku juga bisa liat monyet dengan jelas lagi?"

"Kalau kamu tiap minggu bisa ketemu sama Blaze, ngapain liat monyet--tapi bisa."

"Nanti aku bisa fotoin Hali?"

"Bisa."

"Aku bisa liat muka Hali jelas tiap baru buka mata?"

"Bisa, [Name]."

"Aku bakal bisa jalan kemana-mana lagi!?"

"Bisa—tapi harus berdua, sama aku."

Mata [Name] nampak berbinar terang, namun tak lama ia kembali menunduk mencoba memikirkannya kembali.

"Engga usah terburu-buru. Kamu bisa pikirin itu pelan-pelan aja. Tapi intinya,"

Halilintar bangkit dari sofa, lalu berdiri di hadapan [Name],

"Semangat, ya. Aku yakin kamu bisa kembali liat indahnya dunia."

Bibirnya yang bebas itu bergerak mengenai pipi [Name], yang langsung dibalas badan beku olehnya.

"Kecupan itu biar kamu tenang."

Untuk pertama kalinya, Halilintar membuang semua gengsi dan ketsunderean nya demi perempuan kesayangan milik dirinya—

—yang sepertinya berhasil membuat [Name] berpindah pikiran dan mencoba melawan rasa takutnya.

____________________________________

Haloo halo!! Aku update malem sabtu begini karena moodku lagi bagus dan aku mau merayakan selesainya ujian HAHAHA

kayaknya minggu ini aku mau update 4x deh, aku Alhamdulillah lagi seneng banget minggu ini entah karena apa.

mungkin karena ini book bentar lagi tamat—masih lama sih, ini masih chap 8, tamatnya di chap 13 + akhir.

Halilintar di chap ini jadi ooc banget shdjdj, aku nyoba bikin bang gledek buang gengsi sama tsunderenya buat [Name], tapi malah jadi ooc berat, ya? Nanti aku latihan lagi deh!

Udah, kayaknya itu aja, see u besok!

















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top