Beautiful Disaster 7
Kinara baru menyelesaikan sarapan saat ibunya memberitahu bahwa Bastian telah menunggu di depan. Mata indah perempuan itu membulat tak percaya.
Berkali-kali ia memastikan pendangannya pada jam dinding. Masih pagi dan tak biasa pria itu keluar sepagi ini. Ia tahu bagaimana kesibukan Bastian sebagai model laris. Jadwal terbang tinggi bahkan tak jarang ia bekerja hingga dini hari. Hal itu dia ketahui dari manager pria bermata tajam itu.
"Nara! Kenapa masih bengong? Sarapan sudah selesai kan?" sentuhan lembut di bahu dari ibunya membuat Kinara tersentak. Cepat ia bangkit membawa piring dan gelas yang telah kosong ke dapur untuk dicuci.
"Nggak usah dicuci, biar ibu aja yang bereskan. Kasian Bastian menunggu."
"Kinara nggak minta dia jemput kok, Bu," ucapnya santai.
"Nara, kamu kenapa sih? Bastian sudah baik loh jemput kamu," ujar ibunya.
Kinara menyelesaikan mencuci piring. Setelah selesai ia mendekat pada sang ibu.
"Ibu, Nara tahu dia baik. Nara siap-siap ya, Bu." Ia melangkah ke kamar.
"Nara."
"Ibu senang jika kamu senang, Nak."
"Maksudnya, Bu?"
Bu Hanifa menggeleng seraya mengulum senyum. Sementara Kinara mengernyitkan dahi kemudian bergegas ke kamar.
Perempuan yang telah tampak sedikit uban itu kembali ke teras menemui Bastian. Tak lama muncul Kinara. Perempuan berkaki jenjang itu seperti biasa selalu dengan pakaian santai, blouse putih, celana biru denim dengan rambut dikuncir kuda dan sepatu kets, tentu saja tak lupa kacamata berbingkai hitam cantik bertengger di hidungnya.
"Bu, Kinara kerja dulu ya. Oh iya, nanti Rani ke sini. Dia bawa desain toko kue yang kemarin kita bicarakan," tuturnya seraya mencium pipi sang ibu.
Melihat itu Bastian terpukau. Pemandangan yang jarang ia temui saat ini, bahkan dirinya tidak pernah melakukan itu pada mamanya jika mereka bertemu. Bisa dikatakan satahun sekali saat lebaran, itu pun ia canggung melakukan.
"Hati-hati, Nara. Nak Bastian, makasih ya sudah jemput anak ibu, " ucap Bu Hanifa menatap pria itu.
Santun Bastian mengangguk lalu memohon diri.
"Kamu tetap nggak mau duduk di depan?" tanya Bastian mengikuti langkah Kinara.
"Kamu bilang kan aku bisa menganggapmu ojek online," balasnya tak acuh.
"Oke, silakan masuk!" Bastian memberi isyarat dengan dagu. Perempuan beraroma citrus itu masuk dengan menarik napas panjang.
"Terima kasih," ucap Kinara saat mobil sudah perlahan meninggalkan kediamannya.
Mendengar itu, Bastian menarik bibirnya kemudian bertanya, "Terima kasih untuk apa?"
"Untuk semua yang kamu lakukan."
"Aku hanya berharap kamu nggak jutek ke aku. Itu aja," balasnya sembari melirik ke kaca di atas kemudi.
Kinara tersenyum mendengar penuturan pria itu. Sebenarnya dia sama saja dengan Rani dan perempuan lainnya. Dia pun merasa bangga bisa bersama-sama dengan Bastian. Namun, dirinya memang tengah berkeras untuk membuang perasaan itu. Kinara hanya ingin memagari hati agar tidak jatuh hati dengan semua perhatian pria itu.
Jarak yang tidak jauh, justru terasa semakin jauh saat bersama Bastian. Berkali-kali ponsel pria itu berbunyi, tapi diabaikan olehnya. Melihat itu membuat Kinara risih.
"Kamu sering gitu?" Ia bertanya.
"Apa?" Bastian menatap Kinara lewat kaca kecil di depannya.
"Mengabaikan panggilan telepon."
"Tergantung sih!"
"Tergantung apa?"
"Tergantung siapa yang menelepon," jelas Bastian.
"Kalau penting gimana? Bagaimana kalau urusan pekerjaan?"
"Kan untuk urusan pekerjaan udah ada yang handle, jadi telepon ini hanya urusan pribadi aku," paparnya.
Kinara diam. Mendadak ia merasa terlalu ikut campur dan ingin tahu soal pria itu dengan menanyakan hal tadi.
"Sudah sampai." Suara Bastian membuatnya tersadar. Gegas ia mengemas tas besarnya lalu merapikan poni yang mengganggu pandangan. Dengan membetulkan letak kacamatanya ia kembali mengucapkan terima kasih.
"Makan siang nanti aku jemput ya. Oh iya, kamu bilang kamu mau buka gerai kue, aku boleh kepo?"
Kinara menghentikan tangannya yang hendak membuka pintu mobil. Sejenak membalas menatap Bastian yang tengah menoleh padanya.
"Aku makan siang di kantor. Untuk gerai kue itu aku buka buat Ibu. Kalau kamu mau kepo, aku boleh tanya untuk apa?"
Senyum pria itu mengembang. Lagi-lagi ia mengamini ucapan teman-temannya. Mereka benar soal sulit mendekati Kinara.
Merasa tak ada jawaban dari Bastian, ia bergegas keluar.
"Kalau kamu nggak makan siang di luar, aku boleh ke sini untuk makan siang bersama?" tanya Bastian dengan suara nyaring.
"Nggak boleh!" Kinara menggeleng menutup pintu mobil.
"Kenapa?"
"Nggak semua pertanyaan memiliki jawaban! Selamat pagi!"
Kinara tak lagi menoleh, ia berlari kecil memasuki area kantor. Sementara Bastian justru melebarkan senyum. Dia paham perempuan itu tengah salah tingkah.
'Semakin kamu tolak, semakin aku dekat, Kinara!' batinnya.
***
Rani dan Bu Hanifa duduk di ruang tengah. Kedu perempuan itu terlihat asyik membicarakan desain dan rencana konsep toko kue milik Bu Hanifa.
"Ibu ngikut kalian aja, Rani. Kinara sudah diskusi banyak pasti denganmu, kan?"
Rani mengangguk.
"Tapi dia juga pesan agar Ibu juga urun saran, Bu."
"Ibu yakin dah kalau kamu yang pegang, semua pasti oke!"
Mendengar pujian dari Bu Hanifa ia tersenyum malu. Perempuan paruh baya itu menyilakan Rani untuk menikmati teh melati dan brownies buatannya.
"Rani, ibu boleh menanyakan sesuatu?" Wajah perempuan berbaju panjang berwarna ungu itu terlihat serius.
"Apa itu, Bu?" tanya Rani seraya meletakkan cangkir teh ke meja.
"Apa Bastian itu pria yang baik menurutmu?"
Rani mengernyitkan dahinya mencoba meyakinkan pendengaran.
"Maksud ibu ... apa kamu tahu bagaimana Bastian? Sebab ibu rasa dia pria baik meski Kinara acapkali tak acuh padanya," sambung Bu Hanifa.
Rani menarik bibirnya. Meski dia tidak begitu paham dengan Bastian, tapi dia tahu bahwa pria itu memiliki track record dengan banyak perempuan. Tentu bukan hal aneh karena memang tak ada seorang pun yang bisa menolak pesonanya. Namun, di balik itu semua pria itu memiliki njiwa sosial yang cukup tinggi. Berkali-kali ia hadir dalam kegiatan amal di pelbagai tempat. Seperti itulah manusia, tidak da yang sempurna bukan?
"Rani? Kok malah melamun?" Sahabat Kinara itu tersentak lalu kembali tersenyum.
"Eum ... saya kurang tahu bagaimana Bastian, Bu. Tapi yang saya tahu dia memang punya kepedulian sosial yang cukup besar. Saya adalah salah satu follower dia di Instagramnya, Bu," jelas Rani. "Ada apa, Bu? Kenapa Ibu bertanya soal Bastian?"
Bu Hanifa menatap Rani dengan melebarkan senyum.
"Ibu berharap Kinara memiliki jodoh yang baik. Seperti Bastian."
"Permisi ...." Suara bariton terdengar dari pintu. Mata kedua perempuan itu saling menatap.
"Siapa, Bu?"
"Entah, tapi dari suaranya terdengar seperti ... Nak Bastian," jawabnya ragu.
"Bastian? Ngapain dia ke sini?" gumam Rani seraya beranjak dari duduk.
"Biar saya yang buka pintunya, Bu."
Rani mengayun langkah menuju pintu, perlahan ia membuka. Seorang pria jangkung dengan rambut halus menumbuhi rahang kukuhnya tengah tersenyum membalas tatapan heran dari Rani.
"Kamu? Ngapain ke sini?"
Bastian mengangkat alisnya sebelah seraya berkata, "Kamu sendiri ngapain di sini?"
"Aku ...."
"Eh, Nak Bastian? Ayo masuk!" Bu Hanifa muncul dari dalam.
Pria itu membungkukkan badannya sopan pada perempuan paruh baya yang ramah menyambutnya.
"Jadi ... aku nggak apa-apa kan di sini?" sindir Bastian masuk melewati Rani yang masih berdiri tak percaya sang idola berada dekat dengannya.
🍁🍁🍁
Nah ada yang nekat deketin ibunya Nara 😁
Masih suka? Yuk seseruan di komentar 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top