Beautiful Disaster 15
"Aku membuat diriku sibuk dengan hal-hal yang aku lakukan, tetapi setiap kali aku berhenti, aku masih memikirkan dia!"
🍁🍁
Lima tahun kemudian.
Seorang perempuan tengah menatap beberapa karyawan yang sibuk melayani customer. Sesekali ia melempar senyum ke arah pembeli yang terlihat mencuri pandang padanya.
Bertubuh tinggi dengan berat badan proporsional berbaju terusan selutut berwarna merah serta rambut pendek sebahu dibiarkan tergerai dan riasan make up flawless membuat dirinya menjadi pusat perhatian di toko kue dan kafe terkenal di kota itu.
"Mbak Kinara, maaf ada wartawan yang mau ketemu," tutur seorang karyawan mendekat.
"Oh iya. Saya ke sana. Tolong berikan padanya kue dan minuman terbaik yang kita punya!" titahnya seraya melangkah menuju ke wartawan yang tengah duduk menunggunya.
"Selamat siang. Selamat datang di toko kami," sapanya mengulurkan tangan.
"Siang, terima kasih atas waktunya," sambut pria berkulit cokelat dengan tas ransel di belakangnya.
"Kamu yang namanya Doni, kan? Yang kemarin telepon?"
"Iya, Mbak. Saya wartawan lepas sebenarnya. Saya tertarik dengan cerita orang-orang soal toko kue ini, selain itu juga ...."
"Juga apa?"
"Orang bilang pemiliknya cantik! Dan ternyata benar. Mbak cantik, bahkan sangat cantik!" pujinya seraya tersenyum.
Kinara tertawa kecil mendengar pujian itu. Tak lama datang salah satu karyawannya membawa kudapan dan dua gelas minuman segar.
"Silakan dinikmati, setelah itu kamu boleh wawancara saya!"
Setelah mengucapkan terima kasih, Doni menikmati potongan cheesecake dan segelas jus segar.
"Eum ... nanti boleh saya ambil gambarnya, Mbak? Untuk keperluan majalah ini."
Kinara mengangguk sambil tersenyum.
Kesuksesan Kinara bukan sesuatu yang diraihnya dengan mudah. Setelah prahara kisah cintanya, dan kepergiannya dari kota tempat dia dilahirkan. Perempuan bertubuh molek itu memutuskan untuk memulai bisnis sendiri. Ia tak ingin kembali menekuni pekerjaan yang pernah membuatnya terlibat perasaan dengan seorang pria yang akhirnya menjadikan dirinya trauma.
Tiga tahun akhirnya dia dan sang ibu bisa membuat apa yang dirintis menjadi nyata. Toko kue miliknya menjadi buah bibir warga di kota itu. Perlahan luka hati terobati, ia tak lagi mengingat kejadian buruk masa silam.
Toko kuenya berkembang dan mulai menjajal keberuntungan dengan menambah fasilitas lain. Akhirnya jadilah sebuah toko kue dan kafe.
Sekali waktu, Rani bertandang ke kota tempat tinggalnya kini. Sahabatnya itu sudah menjadi bagian dari hidup Kinara. Mereka sudah seperti saudara. Namun, tentu saja kebahagian itu berdampingan erat dengan nestapa.
Di tahun ke empat, sang ibu harus pulang menghadap ilahi. Hancur lebur perasaan Kinara. Betapa dirinya kini sebatang kara. Kepergiaan Bu Hanifa menyisakan duka. Betapa perempuan sabar itu begitu memimpikan Kinara memiliki seorang pendamping yang akan menjaganya.
Akan tetapi, hingga ia menutup mata, sang putri belum mau membuka hati untuk siapa pun. Ada beribu alasan yang keluar dari bibirnya saat sang ibu menyinggung hal itu. Kini dia benar-benar sendiri. Beruntung akhirnya Rani bersedia menemaninya dan bersama membesarkan bisnis Kinara.
🍁🍁
Malam itu mereka duduk di ruang tengah seraya menonton televisi. Belakangan ini Rani tengah sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan seorang pria yang telah lama dia kenal. Berulang kali Rani meminta saran soal baju pengantin yang cocok untuk dirinya.
"Udah deh, Ran! Kebaya modern itu aja udah! Selain kamu tampak anggun, cuttingannya juga elegan banget!" ungkapnya sambil menikmati lemon hangat.
"Oke. Eh, Nara! Nanti kamu fotografernya!"
Kinara membuang napas dalam-dalam. Sudah lama dia ingin menjauh dari semua hal yang berbau kamera. Karena setiap dia memegang alat itu, ingatannya akan kembali ke beberapa tahun lalu. Saat dia mengambil gambar model untuk keperluan majalahnya.
"Kamu bisa sewa orang lain aja, Ran!" tolaknya.
Wajah Rani berubah sendu. Dia tahu bagaimana Kinara berupaya keras untuk melupa. Kejadian itu bukan perkara mudah baginya. Bisa bangkit dan bertemu dengan banyak orang adalah pencapaian luar bisa baginya.
Rani sangat ingat betapa dia menyembunyikan luka ketika bersama sang ibu. Betapa dia setiap malam menangis merasakan betapa dirinya tak memiliki harga diri dipermainkan oleh seorang pria.
Kinara mencoba bersikap baik-baik saja di hadapan Bu Hanifa, tapi saat sendiri, ia bahkan ketakutan ketika ada orang asing yang mencoba dekat. Terlebih laki-laki. Kinara seolah membangun tembok tinggi membatasi diri dengan lawan jenis.
"Tapi kamu potensial di bidang itu, Nara. Nggak ada salahnya kamu coba lagi. Aku yakin itu bisa jadi bisnis baru juga!"
Kinara menoleh, ia meletakkan gelas berisi lemon hangat ke meja. Sambil menggeleng ia berkata, "Bagaimana jika kamu berada di posisiku, Rani? Setiap aku mencoba mengintip obyek lewat lensa, hanya ada wajah pria itu? Kamu tahu? Bukannya aku tidak pernah mencoba. Setelah tahu kamu akan menikah, aku ingin pernikahanmu menjadi titik balik aku kembali." Kinara menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Setiap malam belakangan ini, aku sering mencobanya lagi, tapi ... lagi-lagi wajah dia yang ada di sana! Dan aku benci!" Suara Kinara terdengar bergetar.
"Oke, Nara. Aku paham. Maafkan jika keinginanku membuat dirimu sedih."
Kinara tersenyum kemudian menggeleng.
"Nggak apa-apa, Rani. Aku jadi pendamping pengantin aja ya," usulnya seraya tersenyum lebar.
Rani mengangguk kemudian berkelakar, "Kalau boleh jujur, permintaanmu itu membuatku was-was. Kamu tahu kenapa? Aku takut kalah cantik!"
Kinara terkekeh mendengar perkataan sahabatnya.
"Bisa aja kamu!"
"Nara."
"Ya?"
"Kamu nggak ingin menikah?"
Pertanyaan Rani membuat tawanya seketika berhenti.
"Eum, aku hanya mengingatkan pesan ibumu. Beliau ingin kamu memiliki seseorang yang bisa menjaga dan melindungimu. Seorang pria yang mencintaimu, Nara."
Kinara bergeming. Dia tahu persis bagaimana pesan itu diucapkan ibunya di depan Rani ketika sang ibu sakit.
"Nara? Maaf jika ...."
"Nggak apa-apa, Rani. Aku ngerti kok. Cuma mungkin saat ini belum aja."
Rani menghela napasnya. Dia teringat pernah ada beberapa pria yang mendekati, tapi ditolak halus oleh sahabatnya itu.
"Kamu nunggu siapa, Nara?"
Kinara tak menjawab. Ia hanya tersenyum datar.
"Nara."
"Ya?"
"Apa kamu masih sulit melupakan Bastian?" tanya Rani hati-hati.
"Aku bahkan enggan mendengar namanya, Rani! Kamu tahu itu!" sahutnya ketus
"Sori, Nara."
Keduanya saling diam. Ingatan Kinara kembali pada peristiwa lima tahun yang lalu. Wajah Bastian tergambar jelas dengan senyum menawan saat menyelipkan cincin yang akhirnya membawa pada luka. Sementara Rani teringat bagaimana Bastian terlihat frustrasi ketika dia tidak bisa mengorek apa pun tentang keberadaan Kinara.
🍁🍁
Andre menyodorkan secangkir kopi putih pada Bastian. Sudah beberapa hari ini ia berada di kota kelahiran Andre. Selain untuk refreshing, Bastian juga berniat melebarkan bisnis otomotifnya. Semenjak peristiwa perginya Kinara, ia memutuskan untuk berhenti menjadi model. Pria itu memilih mengikuti jejak ayahnya menggeluti bisnis otomotif.
Sementara Andre memilih terjun menjadi pengusaha restoran di kotanya. Pria itu pun merasa bersalah karena telah menjadi otak dalam taruhan yang menyebabkan Kinara pergi. Tak ingin terbebani, ia mengikuti langkah Bastian untuk berhenti.
Sebuah majalah bisnis baru saja diantarkan oleh asisten Andre ke ruangan mereka.
"Ada baiknya hari ini kamu cari lokasi, Bro!" ujar Andre seraya menerima majalah itu.
"Kamu yang tahu kota ini, Dre! Aku ikut aja!" sahutnya malas.
"Oke! Eum ... sudah tiga hari di sini kamu nggak pengin jalan-jalan gitu?" selidik Andre.
"Jalan-jalan mau ngapain emang? Lokasi kamu yang carikan. Makan makanan khas, aku bisa delivery. Nongkrong ... kamu tahu sendiri aku sudah nggak minat! Mau cari info, tinggal klik internet. So ... ngapain harus jalan?"
Andre terkekeh.
"Cewek di sini cakep-cakep loh!"
"Terus?"
"Ya kali kamu mau kenal gitu?" tanyanya terkekeh.
Andre tahu bagaimana patahnya hati Bastian saat tidak bisa lagi terhubung dengan Kinara sejak kejadian itu. Seolah tak memiliki semangat hidup, Bastian berhari-hari terus berusaha mencari informasi tentang Kinara. Namun, perempuan itu seperti ditelan bumi.
"Bastian."
"Hmm," jawabnya seraya menyesap kopi hangat.
"Apa kamu belum bisa melupakan Kinara? Seberapa kuat ingatanmu tentang dia?"
"Aku membuat diriku sibuk dengan hal-hal yang aku lakukan, tetapi setiap kali aku berhenti, aku masih memikirkan dia!"
"Bucin? Ayolah! Move on, Bro!"
Mendengar ucapan Andre, Bastian tersenyum miring. Ia mengambil majalah dari tangan Andre kemudian membuka setiap halamannya. Saat berada di tengah halaman majalah, ia berhenti.
Matanya menyipit dengan kening berkerut. Bastian tampak mengamati saksama gambar di depannya. Ragu dia membisikkan satu nama, "Kinara?"
🍁🍁
Haaii ... meskipun dengan terseok akhirnya part ini muncul juga, fiuhh ... lega. Alhamdulillah 🥰
Hiks, teman-teman masih setia, kan? Hehe. Terima kasih untuk kesetiannya 🙏
Salam hangat 🤗.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top