Sepuluh
"Kita mau ke mana ini, Mas?" Rima bertanya saat menyadari mobil yang dikemudikan pria di sebelahnya tidak menuju rumahnya.
"Ke rumah," jawab pria itu pendek. Jantung Rima seketika berdetak keras.
"Rumah? Rumah siapa?" tanya Rima tergagap. Ia takut apa yang ada dalam pikirannya akan terjadi.
"Rumah kita."
Hanya dengan mendengar jawaban itu, Rima seketika gemetar. Wajahnya berubah pias seketika. Mereka tak boleh mendatangi tempat itu. Tempat yang dulunya mereka harapkan akan menjadi istana kecil masa depan mereka. Tempat itu terlarang bagi mereka. Mendatangi tempat itu sama saja kembali menghanguskan hati mereka yang sudah mati.
"Aku nggak mau, Mas. Aku nggak mau. Anterin aku pulang. Atau kalau Mas nggak mau, aku bisa pulang sendiri. Turunin aku sekarang. Turunin aku di sini." pinta Rima memelas. Namun sepertinya semuanya sia-sia. Pria itu tak mendengarkannya. Ia malah menambah kecepatan kendaraannya menyusuri jalanan yang kebetulan sepi.
"Kamu harus lihat rumah itu sekarang, Rim. Kamu pasti suka. Semuanya sesuai keinginan kamu. Aku sudah membangun gazebo di belakang. Ayunan yang kamu inginkan saat kamu sedang membaca buku juga sudah terpasang. Lengkap dengan bantalan-bantalan empuk seperti yang kamu mau. Dapurnya sudah aku renovasi menjadi lebih terbuka, jadi saat kamu memasak kamu bisa melihat halaman belakang sambil mengawasi anak-anak yang sedang berenang. Oh, ya tapi aku minta maaf, saat ini kamu nggak bisa lihat bunga matahari seperti yang kamu inginkan. Baru tadi aku sempat membeli bibitnya. Itu ada di belakang. Nanti kamu bisa menanamnya," lanjut pria itu sambil menunjuk jok belakang tempat sebuah kantung plastik berukuran sedang teronggok.
"Mas, jangan lakukan ini. Semua ini sudah berakhir. Tolong, jangan buat semuanya semakin rumit." Rima menyentuh lengan pria yang menatap jalanan di depannya. Berusaha menghentikan kegilaan pria itu.
"Tadi pagi ayah mengantarkan aku kuliah," Rima mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat.
"Oh, akhirnya kamu punya ayah sesungguhnya," pria itu mencibir.
"Ayah bilang, Mas Pras semakin menjauh."
"Bagus kalau dia sadar." lagi. Pria itu tak dapat menutupi kekesalannya.
"Ayah ingin minta maaf. Beliau ingin Mas Pras seperti dulu lagi. Beliau ingin kalian saling menyayangi juga menjaga."
"Dia bahkan tak mampu mengatakan langsung kepadaku,"
"Mas. Jangan seperti ini terus. Jalani kehidupan kamu dengan baik. Ayah sepertinya tahu jika kamu menyimpan masalah. Dia tahu kalau kamu menyukai wanita lain." tambah Rima pelan.
"Bukan hanya sekedar menyukai. Tapi di sini, jauh di dalam sini nama gadis itu ada," potong Pras sambil meraih tangan Rima yang masih menyentuh lengannya, membawanya ke dadanya dan menepukkannya berulang-ulang. Seakan ingin menunjukkan betapa dalam perasaannya pada gadis dalam genggamannya.
"Rasanya sakit, Rim. Sakit."
"Aku tahu." hanya kalimat itu yang terlontar dari mulut Rima. Keheningan menyergap mereka setelahnya. Hingga akhirnya mobil berbelok menuju sebuah komplek perumahan dan berhenti di halaman sebuah rumah yang tak ingin Rima lihat lagi. Pria itu akhirnya melepas genggaman tangannya pada jemari Rima.
"Ayah memintaku menanyakan siapa gadis yang kamu cintai itu," Rima berucap kembali setelah mobil yang ia naiki berhenti.
"Lalu?"
"Dia akan melamar gadis itu untukmu. Siapa tahu dengan melakukan hal itu, kamu akan memaafkannya."
Suara tawa keras seketika memenuhi pendengaran Rima. Pras tertawa penuh kegetiran.
"Sepertinya dia butuh meminjam mesin waktu Doraemon jika ia ingin melakukan itu," cibirnya.
"Mas. Jangan menjadikan masalah ini lelucon!" Rima bergerak hendak melepaskan tautan tangan mereka, namun pria di sampingnya masih enggan melepaskan genggamannya.
"Aku akan merelakan kamu, jika aku sudah melihat kamu bahagia, Rim. Jika kamu sudah menemukan pria yang bisa menjagamu, mencintaimu seperti yang aku lakukan kepadamu. Sampai saat itu tiba, aku tetap akan berada di dekat kamu. Menjaga kamu."
"Justru dengan melakukan itu kita nggak akan bergerak kemana-mana, Mas. Kita hanya akan jadi dua orang yang sakit. Ya, benar-benar sakit. Mana ada manusia yang mencintai saudaranya sendiri jika dia tidak sakit," bisik Rima pelan menatap wajah tampan di hadapannya lekat. Pria sempurna. Tidak hanya wajahnya, tapi juga hatinya.
Beberapa detik berlalu, entah bagaimana awalnya. Tiba-tiba saja Rima merasakan embusan napas hangat pria di depannya itu. Saat ia tersadar, wajah kokoh Pras sudah begitu dekat berada di hadapannya. Aroma after shave yang menyegarkan seketika merasuki rongga dadanya. Mengikuti instingnya. Rima memejamkan mata, menyambut ciuman hangat yang sudah tiga tahun ini tak pernah ia rasakan lagi dari pria di depannya. Namun yang ia rasakan beberapa saat kemudian adalah kecupan di keningnya.
"Maaf," hanya kata itu yang muncul setelahnya. Rima seketika tergugu. Bagaimana mungkin ia lalai. Ia seharusnya tak mengharapkan kedekatan dengan pria itu lagi. Namun yang baru saja terjadi apa? Ia bahkan memejamkan matanya berharap pria itu akan memberikan hal terlarang yang sudah ia rindukan.
"Aku nggak bisa melakukannya, Rim. Meskipun aku ingin." Pria itu menatap Rima dengan sorot terluka dan mata yang nyaris menumpahkan cairannya.
Akhirnya, pria itu membuka pintu dan bergerak turun secepatnya. Rima yang masih belum sadar sepenuhnya seketika tersentak saat pintu di sebelahnya terbuka. Pras telah membukakan pintu untuknya.
Sigap, pria itu kembali membawa tas Rima juga beberapa paper bag berisi makanan yang telah ia beli sesaat sebelum menjemput Rima. Gadis itu selalu lalai, ia jarang memperhatikan isi perutnya. Makanya Pras langsung membeli beberapa menu untuk makan siang meskipun saat ini masih belum masuk jam makan siang.
***
Rima menatap takjub pada bangunan di hadapannya. Bangunan yang tiga tahun lalu masih dalam tahap pengerjaan. Bahkan saat itu tembok rumah itu masih belum selesai di cat. Saat itu yang ada hanya bangunan tujuh puluh lima persen jadi.
"Aku menyelesaikannya selama tiga tahun ini," bisik Pras di sebelah Rima kemudian berlalu menuju pintu utama. Membuka pintu besar itu dengan kunci yang ia bawa. Mau tak mau Rima mengikuti di belakangnya.
"Aku tak menyentuh uang ayah sedikitpun untuk menyelesaikan rumah ini." Lanjut Pras saat mereka sudah sampai di ruang tamu rumah itu.
Rima mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk. Ada bahagia yang terselip di sana, namun sakit yang timbul bahkan semakin dalam menggerogoti hatinya. Ini salah, semua ini salah. Ia harus menghentikan kegilaan ini. Harus sekarang juga.
"Jangan diteruskan, Mas. Sudahi di sini semuanya. Kita tak boleh bertemu lagi." Sepertinya Pras tak menggubris permintaan Rima. Pria itu berjalan semakin dalam memasuki ruangan.
"Sofa ruang tamu kamu pilih sendiri aja. Jika aku yang memilih aku khawatir kamu tidak menyukainya. Kamu selalu mengeluhkan seleraku yang kamu bilang kaku," ucap pria itu.
Ini ruang makannya, aku sengaja membeli meja makan sendiri. Aku rasa selera kita pasti sama jika untuk memilih ini," lanjut Pras sambil meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas meja makan. Ia kemudian berjalan menuju dapur.
"Dapurnya kamu harus lihat. Pemandangannya begitu memukau. Seperti aku bilang tadi, kamu bisa memasak sambil mengawasi anak-anak yang sedang berenang," Pras terus berbicara tanpa mempedulikan respon Rima. Sejenak mereka terdiam, menerawang memandang kolam renang di halaman belakang.
Benar yang Pras bilang. Pemandangan halaman belakang rumah benar-benar menyejukkan mata juga hati. Hijau rumput berpadu dengan kolam renang berkelok benar-benar membuat mata enggan berpindah dari sana. Sebuah gazebo yang terlihat nyaman dinaungi pohon entah apa namanya, Rima tak tahu, terlihat begitu menggoda untuk diduduki. Jangan lupakan tanaman berbunga beraneka jenis yang tertata rapi di beberapa ruas taman.
"Anak siapa yang akan aku awasi saat berenang?" kalimat itu seketika meluncur dari mulut Rima. Ya anak siapa? Yang pasti bukan anak Pras dan Rima kan? Mereka berdua tak akan mungkin mempunyai anak bersama.
"Tentu anak kamu." pelan Pras berucap. Pria itu berjalan menuju sebuah laci tak jauh dari mereka berdiri. Membuka laci itu menggunakan kunci yang masih berada dalam genggamannya.
Pria itu tampak mengeluarkan sebuah map, ia kembali mendekati Rima yang masih termangu dengan ucapannya baru saja.
"Ini," pria itu meraih tangan Rima. Meletakkan benda yang ia ambil baru saja dalam genggaman tangan gadis itu.
"Apa ini, Mas?" Tanya Rima keheranan sambil melihat benda di tangannya.
"Rumah ini milik kamu."
"A... Apa? Mas bicara apa?" Rima lagi-lagi terheran-heran degan ucapan pria itu.
"Aku sudah mewujudkan mimpi kita, Rim. Rumah ini milikmu. Tolong terima, agar hatiku lebih tenang. Jika suatu saat kamu sudah menemukan seseorang untuk menjadi persinggahan terakhirmu, terserah mau kau apakan rumah ini tak masalah. Ini adalah milikmu, semuanya atas nama kamu."
Rima tak mampu berucap. Ia masih begitu shock dengan apa yang ia terima saat ini.
"Jangan lakukan ini padaku, Mas. Jangan berikan apapun padaku. Aku akan semakin berat menjalani masa depanku. Begitu juga kamu,"
"Setelah ini aku akan menjauh, Rim. Aku berjanji tak akan mendekatimu lagi. Ini permintaan terakhirku. Permintaan seorang kakak kepada adik yang begitu dicintainya. Jalani hidupmu dengan baik, aku juga akan melakukan hal yang sama. Cari pria yang mencintai kamu dan rela melakukan apapun demi kebahagiaan kamu. Seperti yang aku bilang sebelumnya. Aku akan memulai hidupku jika sudah melihatmu bahagia." ucapan pria itu terhenti seketika akibat tubuh Rima yang sudah menubruknya. Rima memeluk pria itu erat, menumpahkan tangisnya yang tak mampu lagi ia bendung.
Punggungnya berguncang seiring isakan yang semakin keras, mengundang isakan dari sosok yang juga memeluknya erat.
Kisah mereka sudah berakhir. Bahkan bisa dikatakan tak pernah dimulai. Tiga tahun lalu mereka berpisah tanpa satu pun kata terucap. Tiga tahun berharap waktu akan mengikis habis rasa di hati mereka, namun ternyata sia-sia. Semoga seiring bergantinya detik menjadi menit hingga menit pun bergerak menuju jam, hari, minggu, bulan hingga berlari menuju tahun akan membuat mereka menemukan sandaran hati masing-masing. Ya, semoga.
###
Wow.... Panjang kan? Bintangnya mana?
Untuk versi yg sudah direvisi dan sama dengan versi cetak sudah bisa diakses di Karyakarsa Nia Andhika ya friends. Yuk mampir, follow dan kasih dukungan. Makasih juga buat teman2 yang sudah mampir. Semoga selalu diberikan rezeki dan keberkahan ya. Aamiin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top