Sembilan
"Mampir ke tempatku dulu, yuk? Kamu masuknya kan masih nanti siang." Faira berucap saat mereka baru saja keluar ruang kuliah. Pagi ini hanya satu mata kuliah yang mereka jalani. Hal yang wajar karena mereka telah menghabiskan hampir seluruh mata kuliah mereka. Minggu depan mereka akan menjalani ujian akhir semester dan di semester depan mereka mulai mengerjakan skripsi masing-masing.
"Sorry banget, cyin. Aku dijemput habis ini."
"Lo, masih pagi gini masak Mas Reno bisa jemput. Emang nggak kerja?" Faira merasa keheranan dengan jawaban Rima.
"Bukan Mas Reno. Dia lagi sakit. Ada di rumah, hari ini dia nggak masuk."
"Terus masak dia sakit masih jemput kamu?" Faira belum paham dngan maksud Rima.
"Bukan Mas Reno yang jemput. Tapi Mas Pras," jawab Rima pelan enggan untuk membahas pria itu.
"Siapa lagi si Mas Pras ini? Jangan-jangan kamu merajut kasih di belakang aku." Faira menatap curiga.
"Ih, bahasanya dalam banget, Nyonya Kecil. Merajut kasih. Emang udah tahu artinya apa?" Rima terbahak canggung menutupi ucapan Faira yang bisa dikatakan benar.
"Biasanya sih, model kayak kamu gini suka bikin kejutan di belakang. Ngakunya jomlo eh ternyata udah mau naik pelaminan aja." Faira terkikik.
"Eh, jadi siapa tuh si Pras-Pras itu? Cakep nggak, mulai kapan deket sama dia. Terus si bapak gimana? Nggak jadi nih niat modusin dia? Tadi pagi aja semangat banget pengen ikut nganterin aku bimbingan."
"Tetap jalan terus dong kalau modusin si bapak. Aku kan juga pengen panjat sosial kayak kamu. Bentar lagi jadi nyonyah kayah setelah sebelumnya jadi rakyat jelata. Yang kedua nih, kamu juga enak banget, buy one get one free."
Faira segera menarik rambut Rima, merasa ngeri dengan ucapan sahabatnya itu.
"Kan benar aku ngomong. Kamu habis nikah gak cuma dapet si om aja. Tapi Raffa juga." Ujar Rima membela diri. Raffa adalah putra kekasih Faira yang seorang duda.
"Iya deh terserah. Terus si Pras itu siapa? Kapan kamu kenal dia? Sejak kapan?" Sepertinya Faira masih belum melupakan pertanyaannya meskipun Rima berusaha menghindar.
Rima menarik napas berat, sepertinya ia bisa membagi sedikit infomasi tentang keluarganya kepada sahabatnya ini. "Mas Pras itu kakakku yang pertama, "juga cinta pertamaku," tambah Rima dalam hati.
Hening sejenak. Faira tampak masih mencerna ucapan Rima. Mulutnya hendak berucap. Namun, Rima tahu maksud Faira. Ia menganggukkan kepala.
"Iya. Dia anak ayah dari istri pertamanya." Faira tampak menganggukkan kepala.
Hening. Tak ada yang bersuara untuk sesaat. Sepertinya Faira tak mampu berkata apapun. Ia tahu jika ayah Rima beristri lebih dari satu. Rima pernah mengatakan itu.
"Emm... Kamu nunggu di indekost aku aja, ya? Emang kamu sudah hubungi dia?" Faira akhirnya berucap setelah beberapa saat terdiam.
Rima tampak berpikir sejenak. Akhirnya ia mengiyakan. Mereka pun akhirnya berjalan menuju indekost Faira yang berjarak sekitar seratus meter dari gerbang kampus.
Begitu sampai di indekost Faira, Rima segera mengeluarkan ponselnya. Sebuah pesan masuk ia baca. Pras. Pria itu sudah berangkat menjemputnya, paling lama tiga puluh menit lagi ia akan sampai.
Rima segera menghubungi pria itu. Selang beberapa saat, panggilannya terjawab. Rima memberi tahu jika ia berada di indekost Faira. Ia juga memberitahu letak indekost Faira agar Pras menjemputnya di sana.
Setelah beberapa menit berbicara, Rima meletakkan ponselnya di atas kasur empuk Faira. Direbahkan tubuh lelahnya di sana. Semalam ia kurang tidur. Matanya terasa begitu berat. Ia ingin memejamkannya meskipun sejenak.
"Kamu ngomong sama kakak kamu kok kayak gitu?"
Rima seketika membuka matanya. Alisnya berkerut heran.
"Kayak gitu gimana maksud kamu, Ra?"
"Ngomongnya mesra banget. Suara kamu pelan, meneduhkan gitu. Nggak ada tuh nada barbar seperti Rima yang biasa aku kenal." Faira memandang Rima dengan tatapan curiga. "Jadi siapa sebenarnya si Pras itu?" lanjutnya.
Rima mendecak sebal. Kenapa ia mempunyai sahabat yang begitu peka. Ia dan Faira saling kenal sejak mereka di tahun pertama masuk kuliah. Persahabatan mereka terjalin sejak saat itu. Jadi wajar jika Faira menaruh kecurigaan atas perubahan sikapnya yang berbeda dari biasanya.
"Dia kan bukan Mas Reno. Masak aku mau ngomong kayak manusia zaman batu yang tak tahu sopan santun. Ya, harus kalem dong, lembut biar dia sayang sama adiknya." Rima terkekeh geli berusaha menutupi.
"Adik ketemu gede!" Faira membalas sengit yang seketika membuat wajah Rima pias. Ya betul, itulah kenyataannya. Mereka baru tahu jika mereka bersaudara saat mereka sudah sama-sama dewasa.
"Tentu aja ketemu gede. Kenal juga bukan dari kecil." Betul kan jawaban Rima? Ia tak berbohong.
"Hati-hati aja kalau kakak kamu itu cakepnya ngalahin si bapak di kampus. Bisa-bisa kamu pengen ngegebet dia." Faira kembali terbahak. Yang dihadiahi Rima dengan senyum sendu. Apa yang Faira ucapkan tak satupun salah. Tapi ia tak mungkin mengakuinya.
"Pokoknya ntar kalau dia datang, aku pengen dikenalin sama dia. Penasaran banget sama wajahnya. Secara, Mas Reno tuh cakepnya kayak gitu. Kamu meskipun bermulut pancuran yah mau tak mau aku ngasih nilai sembilan deh. Pasti si Mas Pras ini juga gak kalah cakep sama Mas Reno," cerocos Faira tanpa menyadari raut wajah Rima yang mulai berubah mendung.
"Eh, jadi si Mas Pras tuh kakak kamu yang sulung?" tanya Faira mulai penasaran yang dijawab Rima dengan anggukan.
"Kamu udah lama ya tahu sama dia?" lanjutnya.
"Sejak mau lulus SMP."
Faira mengangguk-anggukkan kepala.
"Wah, lumayan lama juga, ya. Aku beneran penasaran nih sama kakak kamu itu." Faira berdecak. "Kok nggak datang-datang sih dia."
"Nih maksudnya ngusir pelan-pelan, ya?" Rima melontarkan gurauannya.
"Ya ampun dasar labil. Cuma pengen kakak kamu cepet datang aja sudah di bilang ngusir."
"Kan betul, kalau Mas Pras cepat datang berarti aku kan cepat hengkang."
"Ih dasar labil," sahut Faira bergegas keluar kamar menuju lemari es. Di ambilnya sebotol milk shake kesukaannya yang selalu tersedia di sana. Setelah itu ia kembali ke kamarnya.
Rima tampak kembali merebahkan diri sambil menutup mata dengan lengannya. Faira mengembuskan napas. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada sahabatnya ini. Gadis itu terlihat tak seperti biasanya.
"Rim, milk shake nih. Enak banget. Aku biasa minum ini. Pasti nagih deh." Faira bersuara pelan.
"Ntar aja deh, Ra. Aku capek banget. Boleh numpang bobok, kan? Ntar kalau Mas Pras datang kasih tahu aku, ya." Gadis itu berbicara tanpa membuka matanya.
Akhirnya terpaksa Faira mengiyakan. Sepertinya sahabatnya itu memang benar-benar butuh istirahat. Ia pun meninggalkan Rima di kamarnya lalu duduk di sofa di depan televisi.
Jika sewaktu-waktu kakak Rima datang, ia akan lebih mudah mendengarnya.
***
"Mas, Rima kayaknya kecapekan banget. Dia tidur di kamar aku. Gimana, mau dibangunin?" Tiga puluh menit berlalu akhirnya kakak Rima pun tiba. Faira lah yang akhirnya menemui pria itu. Mereka sempat berkenalan sebelum akhirnya Faira mengatakan jika Rima tertidur.
Pria itu terlihat cemas. "Dia baik-baik aja, kan?" tanya Pras dengan ekspresi khawatir luar biasa.
"Iya, dia nggak apa-apa kok. Cuma tadi sepulang dari kampus dia bilang capek terus ketiduran."
"Tadi dia sudah makan belum?"
"Sarapan? Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak nanya."
Pria itu kembali menunjukkan kekhawatiran yang menurut Rima terlalu berlebihan.
"Jadi gimana, Mas. Aku panggil aja, ya?"
Hening cukup lama. Pria itu tampak menimbang sebelum akhirnya ia mengiyakan. Faira akhirnya bergegas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Butuh waktu sedikit lebih lama karena sepertinya Rima tidur dengan begitu pulas.
Setelah meraih tas dan memakai kembali sepatunya, Rima akhirnya turun ke teras indekost di mana Pras sudah menunggunya. Pria itu segera berdiri menyambut Rima. Telapak tangannya seketika menempel di kening juga leher Rima untuk mengecek kondisinya. Gadis itu tampak hanya menggeleng lemah menjawab tiap pertanyaan bernada khawatir dari sang kakak. Tak lama kemudian pria itu bergegas menyeberangi halaman indekost Faira menuju tempat di mana mobilnya ia parkir. Beberapa saat setelah itu ia kembali dengan sepasang sandal yang terlihat nyaman yang ia sodorkan di kaki Rima.
Ia memerintah Rima duduk di kursi teras kemudian melepas sepatu berhak tinggi Rima. Menggantinya dengan sandal nyaman yang baru saja ia bawa dari dalam mobil. Gadis itu menurut tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Tak lama setelah itu, pria itu pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Faira. Tas kuliah dan sepatu Rima ada di pundak dan genggaman tangan kanannya. Sedangkan lengan kirinya meraih pundak Rima yang ia ajak berjalan di sisinya. Pria itu juga sampai membukakan pintu untuk Rima bahkan terlihat memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Setelah berpamitan. Mobil hitam itu akhirnya berlalu dari hadapan Faira.
Aneh. Itulah yang Faira tangkap dari sikap kakak Rima. Pria itu terlihat terlalu protektif atau entahlah, terlihat seperti terlalu menyayangi Rima. Jika Rima sedang sakit mungkin wajar jika pria itu demikian perhatian. Namun, beberapa saat yang lalu Rima hanya mengantuk dan tertidur saja.
Faira sering melihat interaksi antara Rima dan Reno. Namun, apa yang ia tangkap barusan jelas berbeda.
Faira adalah anak tunggal. Ia tak pernah merasakan bagaimana mempunyai kakak. Atau juga tak tahu bagaimana interaksi antara adik dan kakak seharusnya.
Faira seperti menangkap ada satu kejanggalan dalam interaksi Rima dan kakaknya barusan. Ekspresi yang ditunjukkan kakak Rima lebih mirip ekspresi kekasih Faira--Rangga--saat pria itu mencemaskannya. Ya benar. Ia yakin sekali.
###
Cerita ini juga bisa diakses di Karyakarsa Nia Andhika dan sudah tamat termasuk extra part. Versi cetak bisa dipesan dishopee grassmedia official.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top