Sebelas
Setelah menghabiskan waktu seharian bahkan hingga larut malam bersama Pras, akhirnya pagi ini Rima bangun tidur dengan rasa pening luar biasa. Kemarin siang ia bahkan izin tidak masuk pada atasan di tempat kerjanya. Untung saja Rima belum pernah sekalipun membolos meskipun ia bekerja sambil kuliah. Jadi, wanita baik hati itu meskipun berat akhirnya memberinya ijin.
Satu hal yang juga menjadi keberuntunganya, hari ini tidak ada jadwal kuliah. Ia bisa beristirahat lebih lama di rumah. Semoga nanti siang rasa pening di kepalanya akan segera reda sehingga ia bisa kembali bekerja.
Bekerja. Kata itu lagi-lagi menjadi perdebatan. Setelah beberapa waktu yang lalu ibunya menyuruh berhenti bekerja, diikuti Reno, juga ayahnya yang menginginkan hal yang sama. Kemarin Pras juga mengatakan hal itu. Sepertinya Rima harus mempertimbangkan kembali keinginannya.
Terlalu banyak orang yang menginginkannya untuk berhenti bekerja. Bahkan ayahnya sampai mengatakan jika Rima ingin tetap bekerja, ia bisa magang di kantor Pras. Benar-benar ide konyol bagi Rima. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hidupnya dengan normal jika masih ada Pras yang selalu membayanginya.
Pras. Begitu nama itu terlintas di kepalanya, hanya rasa sakit yang terasa. Bagaimana mungkin ia bisa dipertemukan dengan pria yang ternyata adalah kakaknya? Bagaimana mungkin mereka bisa saling jatuh cinta? Rima juga tak tahu jawabannya. Seandainya saja pria itu bukan pria baik hati dan benar-benar tulus mencintainya tentu Rima tak akan merasakan kesakitan seperti saat ini.
Tadi malam setelah seharian menghabiskan waktu bersama, akhirnya pria itu mengantarkannya pulang. Kali ini Pras mengantarkannya langsung ke rumahnya. Pria itu bahkan bertemu dengan ibu Rima juga ayahnya.
Hubungan mereka semua memang sedikit unik. Ketiga anak ayah Rima dari istri pertamanya sudah mengenal Rima juga Reno. Mungkin karena usia mereka yang sudah dewasa, mereka tak terlalu ambil pusing dengan apa yang terjadi pada kedua orang tua mereka. Berbeda halnya dengan Pras. Pria itu jelas merasa menjadi pihak paling dirugikan dalam masalah ini. Itu sebabnya ia selalu menjadi pihak yang memusuhi hubungan ayahnya dan ibu Rima.
"Rim, bangun, Nduk. Sudah siang. Anak perawan kok malas-malasan. Nanti jodohnya hilang, lo." Jodoh? Sepertinya jodoh Rima sudah lenyap tiga tahun lalu. Belum sempat Rima kembali tidur, suara ibunya tiba-tiba mengusik disertai suara pintu yang terhempas kuat. Yah begitulah ibu Rima. Wanita yang menurut Rima selalu sembrono dan tak bisa melakukan sesuatu tanpa meninggalkan suara berisik yang cukup mengganggu.
"Rima nggak ada kuliah, Bu. Masih capek mau tidur lagi," balas Rima kembali menutup mata.
"Eh, harus bangun. Nggak boleh malas. Ayah sama Mas Reno sudah nunggu untuk sarapan. Kamu nggak usah mandi, cuci muka aja terus sarapan," perintah ibunya lagi.
"Emang Mas Reno sudah sembuh, Bu?" Rima hampir saja melupakan kakaknya itu. Kemarin pria itu sakit. Bagaimana keadaannya sekarang. Bahkan semalam ia lupa untuk melihat kondisi kakaknya.
"Sudah sembuh dong. Anak-anak ayah kan sehat-sehat semua," jawab ibu Rima bangga. Rima hanya mendesah. Selalu seperti itu jika sudah menyangkut ayah mereka.
"Rima ke kamar mandi dulu, Bu. Habis ini Rima nyusul," pinta Rima yang dijawab anggukan oleh ibunya. Wanita itu akhirnya beranjak meninggalkan kamar Rima. Meninggalkan putri bungsunya sendirian.
Perlahan Rima bangkit dari kasur empuknya. Kembali, rasa tak nyaman itu datang. Pusing juga rasa mual luar biasa. Karena tak kuat menahan lagi ia bergegas ke kamar mandi dengan langkah tertatih. Menumpahkan isi perutnya di wastafel hingga tak tersisa. Bagaimana bisa tersisa jika makanan terakhir yang masuk ke mulutnya adalah makanan yang dibawakan Pras kemarin siang, itupun hanya beberapa suap. Rima bahkan melewatkan makan malamnya.
Sebelum pulang, Pras sudah mengajaknya untuk makan malam. Namun Rima berdalih masih kenyang dan akan makan di rumah.
Akhir-akhir ini ia memang tidak memperhatikan apa saja yang telah masuk ke perutnya. Rima tahu. Jika dibiarkan, dalam waktu dekat ia akan berubah menjadi zombie mengerikan dengan mata cekung juga wajah kurus berantakan.
Penyebabnya tentu saja hanya satu. Hubungannya dan Pras yang sampai kapanpun tak akan ada titik temu. Namun, mau bagaimana lagi, ia juga masih belum bisa melepas rasa yang masih bercokol di dadanya. Begitupun pria itu.
Hampir lima belas menit Rima masih belum keluar kamar, keluar kamar mandi lebih tepatnya. Kepalanya masih terus berputar. Ia hanya mampu menunduk sambil mencengkeram pinggiran wastafel agar tubuhnya tak roboh ke belakang. Sedangkan perutnya masih terasa teraduk-aduk entah kapan akan bisa berhenti.
"Rim, lama banget kamu di kamar mandi. Ngapain aja sih?" Suara Reno terdengar tak lama kemudian. Sepertinya pria itu menyusulnya ke kamar. Selang beberapa detik, wajah Reno terlihat terpantul pada kaca di atas wastafel di hadapan Rima. Pria itu seketika kaget melihat wajah pucat Rima yang mendongak setelah memuntahkan isi perutnya.
"Rim. Kamu kenapa? Tadi ibu kok nggak bilang apa-apa? Aku disuruh panggil kamu. Kamu sakit?"
Rima menepis tangan Reno pelan saat pria itu mulai memberikan pijatan halus di tengkuknya.
"Aku nggak apa-apa," jawab Rima setelah ia selesai mencuci wajah dan menyikat giginya. "Cuma sedikit pusing aja kok. Ntar juga hilang. Paling cuma masuk angin."
"Kamu yakin?" Rima mengangguk pelan.
Ia pun keluar kamar mandi diikuti Reno di belakangnya. Waspada, takut jika adiknya itu roboh tiba-tiba.
"Badan kamu nggak panas," ucap pria itu setelah meletakkan telapak tangannya pada dahi juga leher Rima yang telah duduk di atas kursi meja rias.
"Aku sudah bilang nggak apa-apa, Mas. Nih aku mau ikut sarapan." Rima menyisir pelan rambut sepunggungnya.
"Kamu kecapekan. Kerja, pulang malam terus. Sudah dibilang berhenti aja. Jangan keras kepala. Kesehatan dan keselamatan kamu lebih penting."
"Aku akan memikirkannya. Mas Reno nggak usah khawatir," tutup Rima. Ia pun beranjak dari kamar setelah melipat selimutnya. Urusan membereskan tempat tidur akan ia lakukan nanti, toh setelah ini ia akan kembali tidur. Rasa pusing di kepalanya belum sepenuhnya hilang.
Tak lebih dari tiga puluh menit kemudian ayah Rima pun berangkat ke kantor. Rima heran, kenapa pria itu masih belum juga pergi dari rumah ini. Padahal biasanya pria itu seharusnya sudah tidak menginap di rumah Rima lagi. Biasanya ia akan kembali ke rumahnya setelah dua atau tiga hari menginap. Ralat, rumah ini adalah rumah pria itu. Dia yang membelikannya untuk ibu mereka.
Tak mau ambil pusing, Rima berlalu kembali ke kamarnya. Ia berniat membantu ibunya membereskan meja makan, namun ibunya melarang. Seorang asisten rumah tangga yang rutin datang ke rumah mereka setiap hari sudah datang. Wanita itulah yang akan melakukan tugas membereskan rumah.
Baru lima menit ia duduk di pinggiran ranjang sambil memeriksa pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Rasa mual kembali Rima rasakan. Ia terpaksa menumpahkan kembali sarapannya di wastafel kamar mandinya.
"Rima, aku berangkat ya!" Suara Reno terdengar dari depan kamar Rima. Tak mendapatkan respon, pria itu akhirnya memasuki kamar Rima. Pemandangan yang menyentuh hatinya lagi-lagi tertangkap matanya.
Pantas saja Rima tak menjawab. Gadis itu ternyata kembali memuntahkan isi perutnya. Sigap Reno membantu memijit pelan pundak juga tengkuk Rima. Berharap meringankan rasa tak nyaman yang dirasakan adiknya.
Setelah Rima membersihkan wajah juga mulutnya, Reno menuntun Rima kembali ke kasur empuknya. Ia juga mengambil minyak kayu putih dan memberikan sebotol air yang selalu tersedia di kamar Rima.
"Kamu beneran nggak apa-apa?" Rima tersenyum sayu.
"Aku nggak apa-apa. Aku mau tidur."
"Aku bilang ibu dulu ya. Biar kamu dibuatin minuman agar perut kamu nggak mual lagi." Reno akan bangkit dari kasur namun Rima segera menarik tangannya.
"Nggak usah, Mas. Kalau sudah tidur pasti aku bakal enakan kok. Mas Reno nggak usah khawatir." Rima menatap penuh permohonan pada kakaknya.
"Meskipun begitu, ibu harus tahu. Mungkin nanti kamu bisa dipanggilin dokter."
"Jangan! Nggak usah." Rima kembali menolak. Reno menyipitkan mata. Seketika pikiran buruk menyergapnya. Diraihnya jemari adiknya yang terasa dingin. Diremasnya pelan berharap adiknya akan mengerti apa yang ia rasakan.
"Rim, kamu beneran nggak kenapa-napa kan?"
"Beneran aku baik-baik saja." Rima.mengulangi lagi pernyataan yang sama.
"Bukan itu yang aku maksud. Kalau ada apa-apa cerita ke aku. Aku akan ada buat kamu." Tatapan Reno membuat Rima merasa tak nyaman.
"Aku baik-baik saja. Mas nggak usah khawatir." Reno mendesah. Sepertinya Rima masih belum paham arah pembicaraannya.
"Kamu nggak sedang dekat lagi dengan Pras, kan? Tadi malam kamu pulang sama dia? Ibu yang mengatakannya tadi. Sebenarnya aku sudah tahu tadi malam, namun aku terlalu lelah untuk keluar kamar. Kalian sering bertemu kan?"
Wajah Rima pias. Ia hanya mampu menunduk. "Maafin Rima, Mas."
"Hubungan kalian nggak semakin jauh kan?"
"Maksud Mas Reno apa?" Rima sudah pernah menjelaskan bahkan berjanji jika ia tak akan mendekati Pras lagi. Namun ia sadar, ia telah ingkar. Kemarin ia bahkan bersama Pras sampai malam dan tidak masuk kerja. Rima juga tidak berkata jujur bahwa ia membolos kerja karena bersama Pras. Orang tuanya hanya tahu, Pras menjemput Rima dari pusat perbelanjaan di mana Rima bekerja tadi malam.
"Kamu nggak lagi hamil kan, Rim?" pertanyaan yang Reno lontarkan dengan nada pelan itu seketika membelalakkan mata Rima.
###
Cerita ini juga bisa diakses di Karya karsa Nia Andhika sampai tamat & 2 bab ekstra part. Versi cetak bisa dipesan di shopee official grassmedia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top