Dua Belas
"Mas, ngomong apa sih? Sembarangan banget!" Rima seketika terlonjak mendengarkan pertanyaan tak masuk akal kakaknya.
"Maaf, Rim. Aku cuma khawatir. Kalian saling cinta, dia juga pria baik. Pasti berat bagi kamu untuk melupakan dia. Hal itu bisa saja terjadi kan saat kalian benar-benar putus asa. Aku yakin perasaannya ke kamu sama besar seperti yang kamu rasakan." Rima mendesah. Reno selalu tahu. Ya Reno dan Pras lebih tepatnya.
"Aku dan dia masih cukup waras untuk melakukan hal terlarang itu, Mas. Dan perlu Mas Reno tahu, meskipun kami dulu sudah dekat sejak aku di bangku SMP dan berpacaran selama dua tahun, tiga tahun yang lalu. Namun dia tak pernah sekalipun melakukan hal terlarang itu kepada ku."
"Syukurlah, Rim. Aku sangat cemas jika melihat kalian bersama. Aku takut kalian nekat karena sudah putus asa."
"Hal itu tak akan terjadi, Mas. Kami sudah memutuskannya. Kemarin adalah pertemuan terakhir kami. Kami membahas semua hal yang telah terjadi juga langkah-langkah yang akan kami ambil ke depan."
Reno akhirnya bisa tersenyum lega. "Berarti di sini nggak ada siapa-siapa kan?" candanya.
"Beberapa tahun ke depan bisa saja ada," balas Rima mengulas senyum.
"Semoga kamu segera mendapatkan pria yang lebih baik dari Pras. Dan bisa membuat mu melupakannya."
"Ya, semoga."
***
Siang itu setelah menghabiskan tidur beberapa jam di pagi hari, akhirnya Rima berangkat bekerja. Ibunya masih belum tahu jika putri bungsunya itu berangkat bekerja dalam kondisi tubuh yang kurang maksimal. Rima memang tak mengatakannya. Ia juga melarang Reno memberitahu ibunya.
Setelah turun dari ojek online yang ia naiki, Rima segera bergegas memasuki pintu khusus karyawan yang terletak di area parkir pusat perbelanjaan. Sepuluh menit kemudian ia telah siap bekerja.
Saat hari mulai berganti petang, sebagian karyawan mendapatkan jatah jam istirahatnya. Rima meminta rekan kerjanya untuk istirahat terlebih dahulu, ia akan mengambil jam istirahatnya sekembalinya rekan kerjanya itu.
Perpaduan antara sepatu berhak tinggi, rasa lelah, kondisi yang tidak fit juga pendingin udara yang cukup menusuk tulang benar-benar membuat Rima harus benar-benar kuat menahan tubuhnya agar tidak tumbang. Meskipun tadi sebelum berangkat bekerja ia sempat makan siang. Namun tetap saja tubuhnya terasa begitu lemas. Ia bahkan kembali memuntahkan makanannya di toilet, satu jam setelah jam kerjanya di mulai.
Ia tak mungkin meminta izin tidak masuk lagi. Kemarin dia sudah melakukannya. Jadi mau tak mau Rima harus tetap masuk meskipun kondisinya kurang begitu sehat.
Lima belas menit sebelum jam istirahatnya dimulai, Rima sudah tak mampu lagi menahan keinginannya untuk ke toilet. Mual kembali menyerangnya. Bahkan keringat dingin sudah mulai terasa di sekujur tubuhnya.
Dengan langkah tertatih ia segera berjalan menuju toilet diikuti tatapan heran dari beberapa rekan kerjanya. Rima mengeluarkan semua isi perutnya begitu tiba di toilet. Setelahnya ia mencuci wajah juga mulutnya. Rasa pening semakin terasa di kepalanya.
"Rim, kamu nggak apa-apa kan?" Salah seorang rekan kerja Rima menyusul ke toilet. Gadis itu kemudian menuntun Rima keluar toilet setelah sebelumnya memberikan minyak kayu putih.
"Aku pusing banget," jawab Rima pelan. Kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya lagi.
"Kalau sakit ngapain masuk?"
"Aku nggak enak, kemarin kan sudah nggak masuk." Baru selesai Rima melontarkan kalimat itu tubuhnya ambruk seketika. Sempat ia dengar teriakan teman yang menuntunnya memanggil namanya sebelum akhirnya kegelapan menjemputnya.
***
Ponselnya sedari tadi terus bergetar pelan, entah siapa yang menghubunginya. Ia masih rapat dengan beberapa relasinya. Namun rasa tak nyaman lebih mendominasi, dengan terpaksa ia menerima panggilan telepon yang sepertinya penting itu.
Begitu nama gadis kesayangannya yang terlihat di layar ponselnya, ketakutannya semakin menjadi. Gadis itu jarang menghubunginya, bahkan nyaris tak pernah sejak tiga tahun lalu. Sejak kejadian pahit menghempaskan impian mereka.
Apa yang terjadi sampai gadis itu menghubunginya? bukankah mereka sudah sepakat untuk saling menjauh. Tanpa berpikir panjang segera diusapnya layar ponselnya untuk menerima panggilan.
"Rim?"
"...."
Seketika pria itu terbelalak kaget. Ia hanya mampu mengiyakan ucapan si penelpon yang ia kira gadis kesayangannya itu.
Begitu panggilan ditutup. Serampangan, ia pun memohon maaf karena tidak bisa mengikuti rapat hingga selesai. Ia meminta asistennya untuk menggantikannya melanjutkan memimpin rapat.
Dengan terburu-buru ia melesat meninggalkan kantor memacu kendaraannya dengan kecepatan yang ia bisa untuk segera tiba di tempat tujuannya.
Baru saja salah seorang rekan kerja Rima menghubunginya. Wanita itu mengatakan jika Rima pingsan saat bekerja. Ia bingung apa yang harus dilakukan karena Rima tak kunjung sadar bahkan tubuhnya terasa semakin dingin. Satu-satunya cara adalah menghubungi keluarga Rima dan kebetulan nama Pras ada di daftar panggilan terakhir di ponsel Rima.
Tak membutuhkan waktu lama, pria itu. Pras tiba di pusat perbelanjaan di mana gadis kesayangannya bekerja. Ia segera memasuki pintu khusus karyawan dan setelah bertanya ke beberapa orang yang ada di sana, akhirnya ia bisa melihat sumber kecemasannya.
Rima terbaring di atas sofa masih dengan memejamkan matanya. Tarikan napas pelan terlihat di sana. Beberapa rekan kerja Rima menjelaskan kronologi kejadian yang baru saja Rima alami. Pras mendengarkan kemudian dengan sigap mengangkat tubuh yang terlihat semakin kurus itu dalam gendongannya. Beberapa rekan kerja Rima mengikuti sambil membawa barang-barang Rima, memasukkannya dalam mobil.
Begitu tubuh Rima telah terbaring di jok belakang dengan nyaman, Pras segera memacu mobilnya meninggalkan pusat perbelanjaan itu menuju rumah sakit terdekat.
Lima belas menit kemudian Pras tiba di rumah sakit, menunggu dengan penuh kecemasan. Apa yang telah terjadi pada gadis kesayangannya itu? Semalam saat mereka berpisah, Rima masih baik-baik saja. Apa ia sudah lalai dalam menjaga gadis itu? Ia pun tak tahu.
Setelah melalui menit demi menit dalam kecemasan, akhirnya Pras bisa bernapas lega saat seorang pria berperawakan tinggi yang Pras ketahui adalah salah seorang dokter memanggilnya. Pria itu menjelaskan kondisi Rima setelah menjalani beberapa proses pemeriksaan.
Rima hanya mengalami kelelahan, stres, juga asam lambung yang kebetulan naik. Beberapa saran Pras dapatkan dari dokter itu. Setidaknya saat ini Pras bisa mengurangi sedikit kekhawatirannya. Hanya tinggal menunggu Rima bangun, karena sesaat sebelum dilakukan pemeriksaan, Rima sudah siuman. Namun mungkin efek dari kelelahan juga obat yang diberikan, gadis itu kembali tertidur beberapa saat kemudian.
Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dokter yang telah memeriksa Rima, Pras segera menghubungi ayahnya, Agung Pranowo. Memberitahu pria baya itu tentang kondisi putri satu-satunya yang saat ini terbaring di rumah sakit. Ia juga segera mengurus administrasi kepindahan Rima ke ruang perawatan.
Tiga puluh menit kemudian Rima telah dipindahkan ke sebuah ruang perawatan yang begitu nyaman. Pras sempat memeluk tubuh yang masih enggan membuka matanya itu erat. Memberikan pelukan hangat. Ditelusurinya wajah yang terlihat pucat itu perlahan menggunakan jemarinya. Dadanya lagi-lagi sesak oleh rasa yang tiga tahun ini enggan pergi dari hatinya.
"Baru kemarin aku melepasmu, tapi kamu sudah kayak gini? Lalu aku harus bagaimana?" bisik pria itu pelan sambil terus menelusuri wajah Rima dengan jemarinya. Memberikan usapan lembut di sana.
Pria itu terus berucap dengan suara pelan. Menumpahkan semua perasaannya meskipun gadis di depannya masih betah menutup mata. Pada akhirnya pria itu memberikan kecupan dalam pada kening Rima sebelum akhirnya beranjak dari sana.
Sebelum ia keluar kamar perawatan, Agung Pranowo tiba-tiba sudah memasuki kamar bersama ibu Rima. Sorot cemas jelas terlihat. Pras sempat menjelaskan sekilas apa yang telah terjadi pada putri bungsu wanita itu. Dan tak lama kemudian ia pun pergi meninggalkan rumah sakit.
Membawa sesak juga rasa khawatir yang belum sepenuhnya hilang, pergi bersamanya. Meskipun ingin terus menjaga gadis kesayangannya, namun ia tak akan melakukan itu. Ia sudah berjanji untuk tak mendekati Rima lagi. Janji yang entah bisa terpenuhi ataukah tidak. Ia tak yakin akan hal itu.
***
"Bu, kok Rima ada di sini?" Rima berucap pelan begitu ia membuka matanya. Sorot lega seketika terlihat dari kedua orang yang menjaga di kiri dan kanan Rima. Terselip rasa senang saat melihat kedua orang tuanya berada di dekatnya begitu ia membuka mata seperti saat ini. Ia pernah mengharapkan hal ini. Dulu, bertahun-tahun lalu.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Kamu tadi pingsan di tempat kerja kamu," jawab ibu Rima kemudian mengulurkan sebotol air mineral yang telah di berikan sedotan untuk Rima minum.
Ingatannya seketika terlempar ke beberapa waktu yang lalu saat bagaimana awalnya ia pingsan. Dan tadi ia juga sempat tersadar sebelum kemudian tertidur. Kenapa ia bisa lupa. Ia bahkan tadi sempat bertanya ke salah satu orang petugas yang memeriksanya. Bahkan Rima tadi tahu jika sedang berada di rumah sakit.
Rumah sakit. Hei, bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit. Siapa yang membawanya? Rekan-rekan kerjanya kah?
"Siapa yang bawa Rima ke rumah sakit, Bu?" Rima tak ingin menunda rasa penasarannya.
"Mas Pras yang bawa. Dia dihubungi rekan kerjamu menggunakan ponsel kamu. Dipanggilan terakhir ponselmu ada nama Masmu." Ayah Rima yang menjelaskan. Rasa pusing seketika kembali menderanya. Bagaimana mungkin pria itu yang membawanya ke rumah sakit?
"Sekarang, Mas Pras mana?"
"Sudah pulang, mungkin kembali ke kantor. Tadi dia sedang rapat saat dihubungi jika kamu pingsan." Jawaban itu benar-benar meluluh lantakkan Rima.
Jadi pria itu sudah benar-benar menepati kata-katanya. Pergi menjauh dari dirinya. Ada rasa tak rela terselip di sana. Namun ia bisa apa. Toh bersamanya tak mungkin akan menjadi nyata.
###
Cerita ini sudah tamat dan versi cetak bisa didapatkan di shopee Grassmedia official. Versi digital bisa diakses di Karya karsa Nia Andhika.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top