Delapan

"Nduk, pagi ini biar ayah yang mengantarkan kamu kuliah." Kalimat yang keluar dari mulut Agung Pranowo seketika menghancurkan mood yang sudah Rima bangun susah payah sedari tadi pagi. Semalam ia tak mampu memejamkan mata hingga pagi menjelang. Baru sekitar pukul tiga dini hari, matanya akhirnya tertutup akibat terlalu lelah menangis sejak memasuki kamar.

"Nggak usah, Yah. Rima diantar Mas Reno kok," tolak Rima halus. Tumben pria itu berniat mengantarkan Rima kuliah. Apa tidak terburu-buru kembali bekerja?

"Masmu lagi nggak enak badan. Tadi muntah-muntah. Itu lagi dibuatin bubur sama ibu." Rima seketika membelalakkan matanya. Bagaimana bisa kakaknya sakit. Bukankah semalam dia masih baik-baik saja. Tanpa menunggu lama, Rima langsung meninggalkan pria yang berniat mengantarkannya kuliah itu. Ia harus melihat keadaan Reno sekarang juga. Diseberanginya ruang keluarga menuju kamar Reno. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Rima menerobos masuk pintu yang tak kebetulan tak dikunci itu.

"Mas Reno kenapa? Sakit, ya? Kok bisa, sih? Semalam kan masih baik-baik aja." Rima memberondong pemuda yang masih bergelung dalam selimut itu dengan pertanyaan.

Namun, setelah menunggu beberapa saat, Rima tak mendapat jawaban. Gadis itu segera menyingkap selimut. Sepertinya Reno masih tertidur. Ia akhirnya mengulurkan tangan untuk menyentuh kening kakaknya itu. Panas.

Apa Reno sakit gara-gara ia menjemput dirinya kemarin lusa? Saat itu kan hujan deras. Apa mungkin pria itu kehujanan?

Bodoh! Kenapa Rima tak menanyakannya waktu itu saat ia baru tiba di rumah. Efek pulang bersama Pras benar-benar mengaburkan kepedulian kepada kakaknya.

"Biarkan Masmu beristirahat, Nduk. Dari tadi muntah terus. Kalau tidur seperti itu setidaknya ia tidak akan muntah lagi. Ayah sudah menghubungi dokter. Mungkin sebentar lagi datang. Ayo, berangkat. Nanti kamu terlambat." Agung Pranowo tiba-tiba sudah ada di samping Rima. Memberikan tepukan pelan di bahu Rima kemudian keluar meninggalkan kamar Reno.

Rima akhirnya bangkit dari kasur empuk Reno setelah sebelumnya membentangkan kembali selimut Reno yang telah ia singkap.

"Cepat sembuh, Mas. Aku nggak ada temannya kalau Mas Reno sakit," ucap Rima pelan kemudian berlalu dari kamar Reno.

"Rima bisa naik ojek kok, Yah. Ayah tidak perlu ngantar Rima. Ayah kan juga harus kerja." Rima masih teguh dengan keinginannya.

Semua orang di kota ini tahu siapa pria berwibawa di hadapannya ini. Ia takut akan ada orang yang melihat mereka dan bertanya kepada Rima tentang hubungan mereka. Akan ia jawab apa pertanyaan itu?

"Ayah yang akan mengantarkan kamu. Sudah lama sekali ayah tak melakukannya. Terakhir kali sepertinya saat kamu masih berseragam putih abu-abu," jawab pria itu hangat.

Mendengar kalimat penuh harapan dari ayahnya, mau tak mau akhirnya Rima menganggukkan kepala. Ia segera memasuki mobil yang telah dibuka oleh ayahnya. Rasa haru seketika memenuhi dadanya. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa merasakan kembali bagaimana senangnya diantarkan sosok ayah ke tempat ia menimba ilmu. Dulu ia sering merasa iri saat teman-temannya selalu diantar jemput ayah mereka. Ia juga ingin merasakan hal yang sama. Namun, harapan jelas tak sesuai kenyataan. Jangankan untuk diantar jemput. Untuk bertemu dengan sang ayah saja benar-benar langka.

Tiga puluh menit perjalanan mereka isi dengan saling berbincang akrab. Yah, lagi-lagi hal langka yang Rima dapatkan. Ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Saat mobil berbelok menuju gerbang kampus dan akhirnya berhenti di area parkir, Agung Pranowo kembali berucap, "Nanti pulangnya, Mas kamu yang akan jemput."

Rima mengeryit heran. Bukankah Reno sedang sakit? Menyadari keheranan anaknya pria itu kembali membuka mulut, "Mas Pras yang akan jemput, Ayah sudah bilang tadi pagi."

"Ayah tidak perlu melakukan itu. Rima bisa pulang sendiri." Rima menjawab cepat. Pras dan Rima adalah dua nama yang tak boleh terus menerus bersama.

"Ayah khawatir kalau kamu naik taksi, ojek, ataupun angkutan umum. Bahaya. Kejahatan sekarang ada di mana-mana." Rima benar-benar tak bisa menahan mulutnya untuk tak berdecak.

"Rima sudah sering pulang naik angkutan umum, Yah. Dan selama ini aman-aman saja kok."

"Harusnya ayah dulu nggak ngasih pilihan ke kamu dan Masmu itu. Membawa mobil adalah pilihan yang tepat. Lebih aman." Rima kembali mengeluh dalam hati. Beberapa tahun yang lalu pria di sebelah Rima ini pernah menawari Reno dan dirinya mobil untuk kebutuhan transportasi mereka. Namun, keduanya menolak dengan alasan tidak membutuhkan benda itu. Mereka berdua sudah sepakat, tidak akan menyentuh pemberian ayah mereka selagi mereka masih bisa mendapatkannya sendiri.

"Sudah lah, Yah. Jangan dibahas lagi." Rima bergumam pelan.

Pria di samping Rima menarik napas dalam kemudian mengembuskan perlahan. Setelah beberapa saat ia kembali membuka mulutnya, "Ayah tahu kalian membenci, ayah. Maafkan ayah yang tidak bisa selalu di sisi kalian. Ayah janji setelah ini ayah akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan kalian." Rima mendengarkan ucapan pria itu tanpa bereaksi sedikit pun.

"Banyak kesalahan yang telah ayah lakukan. Dan beberapa waktu terakhir ini, mas kamu. Pras. Sepertinya juga menghindari ayah. Mungkin ini akibat ayah memaksanya untuk bertunangan waktu itu. Meskipun pertunangan itu sudah berakhir. Namun, amarahnya masih enggan sirna."

Rima perlahan meremas ujung kemeja yang dipakainya. Pembicaraan tentang pria itu selalu menguras pikirannya.

"Sepertinya Masmu itu mencintai seseorang. Ayah sudah pernah bertanya siapa gadis itu. Jika dia mau, ayah akan meminta gadis itu kepada orang tuanya. Ayah berharap dengan hal itu, dia bisa memaafkan kesalahan ayah."

Mata Rima seketika dipenuhi cairan. Untungnya sejak memasuki mobil tadi tangannya sudah menggenggam tisu karena sejak bangun tidur pagi tadi ia sudah bersin-bersin. Sepertinya flu sedang menghinggapinya.

Perlahan Rima memalingkan wajah ke samping kiri kemudian menempelkan tisu dalam genggamannya ke ujung matanya yang mulai menggenang.

Pria itu tak tahu apa yang diucapkannya. Jika ia mengetahui hubungan antara anak-anaknya yang demikian rumit, entah apa reaksinya nanti. Namun, semoga hal itu tak akan terjadi. Doa Rima dalam hati.

"Masmu itu sayang sama kamu. Mungkin karena dia tak punya adik perempuan. Ayah harap, jika kamu bertemu dengannya nanti, tolong sampaikan kata-kata ayah kepadanya. Ayah bahkan tak bisa berkomunikasi dengan baik kepadanya. Dia selalu menghindari ayah dan berkata seperlunya." Rima tak mampu berucap. Ia hanya menganggukkan kepalanya pelan.

Beberapa menit dalam keheningan akhirnya pria baya itu menyuruh Rima memasuki ruang kuliahnya. Ia tak mau anaknya terlambat. Ia juga berpesan sekali lagi agar Rima menunggu Pras, anak sulungnya yang akan menjemput Rima. Pria itu meminta dengan nada memohon yang akhirnya membuat Rima mau tak mau mengiyakan keinginan ayahnya.

Setelah berpamitan dan mencium punggung tangan ayahnya, Rima pun keluar dari mobil ayahnya bergegas menuju ruang kuliahnya yang akan dimulai sepuluh menit lagi.

Dari kejauhan tampak sahabatnya, Faira melambai ceria sambil meneriakkan namanya. Ck... Ada apa lagi? Kenapa gadis itu begitu bersinar? Pasti kebahagianan kembali menghampirinya. Rima segera berlari kecil mendekati sahabatnya itu.

"Ada apa nih, pagi-pagi sudah semangat banget? Jangan-jangan semalam kena cipok sama si om, ya? Mana, mana bukti fisiknya?" berondong Rima sambil membolak-balik tubuh sahabatnya. Faira seketika berdecak dengan pertanyaan Rima.

"Ih, dasar mulut sudah banyak virusnya. Scan dulu gih, sana. Tapi ingat jangan pakai anti virus gratisan."

Rima hanya mendengus sebal. "Emang ngapain kamu happy banget gitu? Bagi dikit bisa gak sih,"

"Nah justru itu. Aku bawa kabar baik."

"Kabar apaan?" Rima tak sabar ingin mengetahui kabar bahagia apa yang akan sahabatnya sampaikan. Beberapa hari ini otaknya sudah kusut memikirkan masalah yang dihadapinya.

"Nih, nih lihat," Faira mengangsurkan ponselnya ke tangan Rima.

"Apaan sih?" tanya Rima kebingungan namun tetap menerima uluran ponsel di tangannya.

"Tadi aku tuh mampir ke kantor fakultas. Dan itu tuh yang aku dapat." ucap Faira dengan nada bangga. "Ternyata pengumuman dosen pembimbing skripsi sudah keluar." Faira bersorak bahagia. Rima yang menekuri ponsel Faira pun mencari-cari namanya di sana. Matanya mengernyit heran.

"Apanya yang kabar bahagia, dosen pembimbingku Pak Suryadi dan Bu Rahma. Sama aja bunuh diri. Bisa-bisa aku jadi mahasiswa abadi. Kebahagiaan macam apa itu?" Rima mendengus.

"Eh, lihat dosen pembimbingku dulu. Ada nama si bapak, Rim," ucap Faira bersemangat sambil mengguncang tubuh Rima.

"Eh, beneran?" Faira mengangguk mengiyakan pertanyaan Rima.

"Yes! Akhirnya bisa genit-genit manjah sama si bapak. Ntar kalau kamu bimbingan, harus ada aku yang dampingin kamu. Duh, muka sudah oke nggak sih? Kayaknya ntar aku perlu tambahan sedikit mascara dan blush on deh. Biar terlihat menggigit di hadapan si bapak," lanjut Rima yang dihadiahi Faira dengan suara tawa yang menggelegar.

Ya, itulah yang bisa Rima lakukan. Selalu memasang topeng untuk menutupi kesedihannya di hadapan semua orang. Hanya dua orang di dunia ini yang tahu apa yang Rima rasakan. Reno, kakak kesayangannya dan juga Pras, pria yang tak juga hilang dari hatinya. Hanya mereka.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top