Bab 7: Hari yang Memalukan.
Burung-burung gereja berkicau menandakan hari telah pagi. Diatas sebuah kasur, terlihat dua insan terlelap sembari memeluk satu sama lain. Lebih tepatnya hanya si pria saja yang memeluk karena wanitanya tidur membelakangi si pria.
Bulu mata lentik wanita itu mengerjap, membuat beberapa helainya jatuh ke pipi. Mata merahnya memincing kala mendapati cahaya menyilaukan memasuki retina matanya. Kepalanya pusing, tubuhnya remuk, dan 'inti'nya sakit. Apa yang baru saja terjadi padanya?
Beatrice merasakan sesuatu melingkupi perutnya dengan erat. Ia sempat panik, dirinya pikir ada ular nyasar yang melilit tubuhnya. Namun ketika diperiksa, malah membuatnya semakin panik karena tangan seorang prialah yang melingkupi tubuhnya. Terlebih lagi Beatrice tidak mengenakan pakaian apapun dari balik selimutnya.
Matanya memanas sontak mengeluarkan airmata. Ia bangun sambil terisak kecil, terlebih lagi 'inti'nya terasa pedih.
"Sial," gumamnya pelan.
Ia membalikkan tubuhnya, menatap nanar sosok pria berambut putih dengan mata yang masih memejam. Ia tidur menyamping dengan tenang, ditandai dengan nafasnya yang teratur. Beberapa helai rambut seperti benang putih bercampur perak itu jatuh menutup sebagian matanya. Membuat visual seorang Darren semakin meluap tanpa batas yang mampu membuat seluruh lady di kekaisaran ini berteriak histeris.
Tapi hal itu tidak berefek apapun pada Beatrice. Wanita berambut merah itu hanya menatap datar tubuh sang suami yang tergolong sempurna (Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Beat😩—Orca).
Ia menahan umpatan yang ingin keluar dari bibir manisnya. Beatrice— ralat Tris tergolong orang yang alim, namun tidak terlalu alim. Dia jarang mengumpat, dapat dihitung hanya berapa kali ia mengumpat dalam seminggu. Berbeda dengan Beatrice yang tidak pernah mengumpat karena dia orang yang suci, Tris tidak— lebih tepatnya jarang mengumpat karena tidak ingin terseret kasus hukum.
Ia sadar hanya dengan mengatakan "Sial" didepan seseorang dapat merusak hidupnya. Terlebih lagi ia hidup dikelilingi orang-orang kaya yang selalu menatap rendah dirinya. Salah kata sedikit saja, bisa-bisa ia digeret ke pengadilan atas kasus pencemaran nama baik. Karena itu ia lebih memilih diam dan mengabaikan orang-orang yang menghinanya.
Keadilan memang harus ditegakkan. Namun tanpa kekuasaan dan uang, keadilan itu hanya akan menjadi bumerang yang menyerang diri sendiri.
Sekarang Beatrice telah kaya raya, dia seorang istri dari bangsawan kelas atas. Bahkan suaminya masih memiliki hubungan darah dengan keluarga kekaisaran. Gelarnya juga hanya berada satu tingkat dibawah Permaisuri, secara tidak langsung ia juga seorang putri imperial karena Darren masih tergolong pangeran.
Darren, pria itu adalah keponakan kaisar yang menjabat saat ini. Ia putra dari adik kaisar yang mendapatkan gelar Grand Duke sebagai seorang pahlawan perang. Ibunya seorang putri Duke yang merupakan kupu-kupu sosial dieranya dulu. Dan sekarang kedua Grand Duke dan Grand Duchess terdahulu itu telah pindah dan menetap di kekaisaran Avalor.
"Darren ..." gumamnya geram. "Kau ... DASAR KAU BAJINGAN TENGIK!!!" Beatrice berteriak kencang sambil menendang tubuh Darren hingga terguling-guling diatas lantai.
Pria berambut putih perak itu sontak terbangun dengan kedua mata terbuka lebar. Rasa nyaman karena tidur dengan nyenyak tadi tergantikan dengan rasa sakit yang cukup kentara. Ia meringis sembari memeluk dadanya yang ditendang oleh Beatrice. Rasanya sangat sakit, ia yakin pasti ada lebam berwarna biru keunguan didadanya.
Gila, apa dia baru saja ditendang gajah?
Darren mengangkat pandangannya, hendak mencari tahu siapakah orang yang telah menendang perutnya. Manik emas itu langsung terpaut pada manik sewarna permata delima. Manik delima yang biasanya memancarkan kelembutan itu berganti dengan aura dingin dan mencekam. Tatapan itu mengingatkannya dengan sang bibi, Permaisuri Mathilda, sang Peony Perak yang selalu membawa kejayaan bagi Orizon.
"Keluar."
Suara itu terdengar jelas, padat dan mudah dimengerti. Ditambah dengan aura sang istri yang terasa mencekam, tidak ada kelembutan yang tersisa. Mau tak mau, Darren mengiyakan permintaan Beatrice.
Ia segera bangkit dan meraih sebuah handuk kimono untuk menutupi tubuh polosnya. Setelah itu, ia langsung keluar tanpa banyak bicara. Padahal pikirannya bertanya-tanya, mengapa Beatrice bisa berubah secepat itu?
Beatrice sendiri hanya menatap kepergian sang suami dari atas kasur dengan mata memicing tajam. Sangking tajamnya, Darren yang dipelototi merasa punggung akan terbakar oleh kedua manik delima itu.
Tepat setelah pintu tertutup, tatapan sang wanita yang tadinya tajam berubah sayu. Matanya mulai berkaca-kaca dan bibir ranum itu juga bergetar. Suara isakan pelan meluncur dari mulut itu yang perlahan berubah kencang. Beatrice menangis jelek, amat jelek bahkan ia bisa malu seumur hidup jika ada yang melihat ekspresinya itu.
"Huwaaa ... Aku belum siap menjadi istri yang baik dan benar!!!"
*****
Tepat setelah kejadian yang cukup menyakitkan bagi Beatrice tadi pagi, ia sama sekali tidak keluar dari kamar. Bahkan ia sarapan didalam kamar dengan dalih kurang enak badan. Saat akan dipanggilkan dokter dia akan menolak dan berkata bisa sembuh sendiri. Dia hanya tidak siap untuk menatap wajah Darren.
Beatrice terdahulu dan Darren telah menikah, wajar saja jika mereka melakukan hal itu. Terlebih lagi, hubungan 'itu' telah dituliskan didalam kontrak dan hanya dilakukan sebulan sekali. Kasihan sekali Darren, sudah menahan nafsu selama sebulan, eh malah terkena tendangan maut.
Wanita berjalan ke meja kerjanya yang terlihat cukup lenggang; tidak ada berkas, beberapa undangan minum teh dan undangan pesta. Satu persatu ia memeriksa undangan dari keluarga mana sajakah yang dikirimkan untuknya. Sesuai dengan ingatan Beatrice terdahulu, tubuh ini telah berhenti menunjukkan diri di pergaulan kelas atas semenjak tujuh bulan yang lalu.
Beatrice cukup trauma akan kejadian yang terjadi pada saat itu. Tepat saat jamuan minum teh yang diadakan oleh Countess Escard, ia mendapatkan rundungan yang cukup berat. Mulai disindir dan direndahkan sebagai seorang grand duchess. Orang-orang berkata secara terang-terangan bahwa ia tak pantas menyandang gelar tersebut. Dan mengatakan bahwa Lady Penelope—putri sulung Earl Escard—yang pantas mendapatkannya.
Sebelum pernikahannya dengan Darren dilaksanakan, ada dua kandidat kuat yang diduga akan menyandang gelar grand duchess. Lady Penelope dari Earldom Elmire dan Lady Helda dari Dukedom Ovial.
Diantara kedua lady tersebut, Penelope lah yang paling optimis bahwa dia akan menyandang gelar tinggi tersebut. Bahkan tanpa tahu malu, ia telah lebih dulu memesan gaun dan setelan pengantin pria untuk dirinya dan Darren. Namun berakhir sia-sia, karena Darren memilih menikah dengan Beatrice.
Helda sendiri hanya acuh, ia tidak terlalu peduli pada gelar tersebut. Helda tergolong langka dikalangan wanita bangsawan, dia tidak menjunjung tinggi kesempurnaan dan tahta seperti wanita lainnya. Dia mirip dengan Permaisuri Mathilda, yang ia pedulikan hanyalah pedang dan busur panah.
Ia memiliki ambisi untuk menjadi panglima perang, namun keluarganya tidak mengkehendaki hal itu. Pada akhirnya, ia diikutsertakan dalam pemilihan Reigne oleh sang kakak, melawan tiga lady lain yang merupakan bangsawan kelas atas.
Ada lima undangan jamuan teh dan dua undangan pesta. Tiga jamuan teh dari bangsawan berpangkat Baron, salah satunya Baroness Innessa, satu dari Viscountess Daneen, dan satunya lagi dari Lady Escard. Dan untuk undangan pesta, keduanya sama-sama merupakan pesta debutante namun berada diwaktu yang berbeda.
Spontan, ia langsung membuang surat dari Lady Escard, yang akan ia ikuti hanya jamuan dari Baroness Innessa dan Viscountess Daneen. Untuk pestanya, ia akan mendatangi keduanya. Karena keduanya sama-sama penting untuk karir butik yang akan ia bangun.
Ia memilih undangan bukan hanya dari gelar dan tingkat kejulidannya saja. Ia juga melihat kapan acara tersebut akan dilaksanakan. Minggu depan, ia akan bertemu dengan Austine, jadi gaun yang ia janjikan itu sudah harus selesai kurang dari enam hari. Bahkan ia belum membuat sketsa karena kejadian memalukan tadi malam. Mau tak mau dia harus ngebut hari ini dan menata semua barang.
Setelah menulis surat untuk membalas undangan ia tolak, Beatrice segera memanggil lima pelayan untuk membantunya menata barang-barang yang baru ia beli kemarin. Mulai dari gulungan kain, pernak-pernik pakaian, benang beraneka warna, mesin jahit, serta dua buah manekin, dan semua itu diletakkan didalam kamarnya.
Sebenarnya hari ini ia hendak meminta sebuah ruangan didalam duchy sebagai ruang kerjanya nanti. Tetapi karena kejadian kemarin, Beatrice jadi gengsi dan malu setengah mati. Jadilah semua barang-barang itu diletakkan didalam kamarnya.
Setelah semuanya selesai ditata, ia kembali duduk dimeja kerjanya dan mengambil buku sketsa yang belum sempat ia torehkan gambar kemarin hari. Beberapa kali menyepak rok gaunnya yang berlapis-lapis dan sangat mengganggu. Dia bersumpah setelah ini akan membuat gaun atau pakaian yang lebih praktis.
Ada tiga pelayan yang berdiri didekatnya, salah satunya adalah Ollie. Ia meringis saat melihat sang nyonya menyepak gaun mahal itu berkali-kali. "Yang Mulia apa Anda ingin berganti pakaian?"
Beatrice tersentak, ia menoleh pada Ollie, baru tersadar bahwa ada orang selain dirinya diruangan ini. "Tidak usah." Dia diam sejenak, lalu kembali berbicara. "Kalian keluarlah."
Tanpa banyak bicara, ketiga pelayan itu mengangguk patuh lalu keluar dari kamar sang majikan. Ia kembali berkutat pada buku sketsa didepannya. Menggores garis demi garis hingga membentuk sebuah gaun berwarna putih berjubah dengan lengan memanjang seperti kain satin. Terdapat ornamen emas dibagian dada dan pinggang, tak lupa ia juga mendesain tudung dari kain satin yang diujungnya terdapat permata berbentuk bulan, lambang Kuil Suci.
Beatrice teringat bahwa setelah penobatan, malam harinya akan diadakan pesta perayaan. Ia menepuk jidat ketika menyadari pekerjaannya kembali bertambah. Dua gaun dengan kedetailan rumit dalam waktu enam hari sangat mustahil. Mau tak mau ia harus mengundurkan acara pertemuan menjadi 12 hari lagi. Toh pada hari itu adalah hari libur, jadi tak masalah 'kan?
Ia kembali mengambil kertas dan menorehkan tulisan yang ditujukan pada sang sahabat, Austine. Beatrice menuliskan bahwa ia mengundurkan pertemuan menjadi dua minggu lagi. Tak sopan memang, tetapi Beatrice memiliki titel satu tingkat lebih tinggi dari Austine. Tetapi jika Austine sudah menjadi Saintess nanti, maka ia dan Austine akan setara.
Setelahnya ia kembali menggoreskan pena pada kertas untuk membuat gaun kedua. Gaun kedua berwarna biru kelasi dengan model sabrina namun versi lebih mengembang. Pada bagian roknya, terdapat gradasi warna putih dan biru yang ditaburi manik-manik—yang Beatrice rencanakan manik-manik itu adalah berlian swarovski. Beberapa detail ia gambarkan agar menambah ke-apik-an sketsa tersebut.
Decakan puas mengalun halus dari bibir ranum Beatrice. Baru kali ini ia membuat sketsa yang sama persis dengan ada diotaknya. Tak membutuhkan waktu lama, ia langsung memulai pekerjaannya.
Dengan dibantu belasan pelayan, ia menunjukkan desain gaun yang ingin dibuatnya dan mengarahkan para pelayan. Awalnya pelayan kediaman itu ragu dengan rancangan gaun yang Beatrice buat, tetapi setelah melihat lukisannya, mereka benar-benar kagum. Pertanyaan mulai tercipta di benak mereka: Darimana ide gaun luar biasa itu berasal?
Dan tentu saja, jawabannya adalah dari Beatrice, atau lebih tepatnya Tris. Di era seperti ini mana mungkin ada orang yang kepikiran membuat gaun bertema chaos couture.
Lena, Ollie dan Kara juga ikut membantu membuat gaun tersebut. Saking sibuknya, Beatrice sama sekali tidak keluar kamar, lebih memilih menyelesaikan gaun untuk Austine dan menggambar beberapa gaun lagi untuk ia kenakan sendiri. Gaun pesta, gaun tidur, hingga pakaian bersantai ia lukiskan pada buku yang baru ia beli. 17 sketsa pakaian tercipta dan siap di produksi.
Beatrice mengusap keringat didahinya seusai memotong kain sesuai pola yang diinginkan. Potongan kain yang telah dibentuk menghampar diatas meja kerjanya, siap untuk dijahit.
"Setengah selesai, tinggal 16 setengah lagi, Beat!" gumamnya menyemangati diri sendiri.
*****
Seorang gadis kecil bersurai karamel terlihat berjalan sendirian ditengah lorong kediaman utama Olivier. Gaun berwarna krem sebetis dengan bunga mawar putih dibagian pinggang meliputi tubuh gadis kecil, tak lupa dilengkapi dengan blazer kuning polos. Rambut pendek sebahu dibiarkan terurai, sehingga bergoyang ke berbagai arah setiap kali ia melangkah.
Penampilan yang amat cantik, namun entah mengapa orang-orang menatapnya sinis. Colette bukanlah gadis kecil polos tidak tahu apa-apa, malahan dia sangat pintar. Diumurnya yang masih sangat belia, dia telah bolak-balik diadopsi oleh banyak orang. Mulai dari rakyat jelata hingga bangsawan sekalipun. Ini bukan pertama kalinya ia menghadapi situasi ini.
Situasi dimana dirinya dianggap kotor oleh pelayan kediaman keluarga bangsawan yang mengadopsinya. Ini menjadi salah satu alasan mengapa ia selalu berakhir kembali di jalanan. Diperlakukan buruk, bukan hanya dari para pelayan tetapi anggota keluarga barunya membuat Colette lebih memilih hidup dijalanan daripada hidup didalam sangkar emas.
"Oh, lihat apa yang kita temukan disini! Anak yang dipungut Madam Olivier!" seru seorang wanita berpakaian putih dan hitam layaknya pelayan.
Rambutnya persis dengan warna air laut di kedalaman, diikat dua rendah. Digenggamannya terdapat sekeranjang pakaian yang tampaknya belum dicuci.
Mata amber Colette yang sebelumnya bulat berubah tajam. Wajahnya mendingin yang membuat penampilannya kian menawan. Tanpa pelayan itu mengatakan apa-apa, ia sudah tahu jika gadis itu anak bangsawan tingkat menengah.
Lihat saja penampilannya yang lebih mencolok dari dua pelayan dibelakangnya. Colette tebak keluarganya setara dengan viscount atau earl, mungkin juga anak haram marquess.
"L-lady Daisy, sebaiknya kita jangan mengganggunya. Anda dengar apa yang Madam katakan sebelumnya, bukan?" Salah satu temannya berambut hijau pucat pendek mengingatkan dengan takut-takut.
"Ha!" Daisy memandang remeh gadis tersebut. "Kau percaya dengan ucapan Grand Duchess gadungan itu, Lea?"
"Benar!" Pelayan yang berdiri disamping Lea sejak tadi, langsung mendorong pundak gadis berambut hijau itu. "Kau takut dengan ucapan tong kosong si Beatrice itu?"
"B-bukan begitu!" sanggah Lea panik. "A-aku hanya ingin kita lebih berhati-hati!"
"Pengecut!" teriak Daisy pada Lea.
Pandangannya kembali terpusat pada Colette yang masih memperhatikannya dengan tatapan tajam. Ia kemudian terkekeh remeh, menganggap Colette tidak ada apa-apanya selain seorang gadis buangan yang dipungut seperti barang. Ia melemparkan sekeranjang pakaian kotor itu ke hadapan Colette yang masih diam ditengah jalan.
"Cuci itu! Kau seorang budak yang kabur, pasti tahu caranya mencuci pakaian, bukan?" tanya gadis berambut kelasi itu remeh.
Colette menatap nanar keranjang baju tersebut. Berbagai macam gaun ada disana, rata-rata dihiasi dengan manik-manik dengan rok berlapis-lapis. Ia juga melihat korset dari sela-sela tumpukan gaun tersebut. Dapat Colette asumsikan bahwa cucian kotor ini milik si Lady Daisy ini.
Jorok, batin Colette jijik.
"Cuci yang bersih! Itu semua pakaianku— Apa yang kau lakukan?!!" seru Daisy histeris.
Colette menendang keranjang penuh baju kotor itu, hingga isinya berhamburan keluar. Ia langsung melompat, menginjak-injak gaun itu layaknya bermain diatas kubangan air. Gaun yang sebelumnya telah kotor, jadi semakin kotor dan lusuh. Bahkan ada beberapa bagian yang koyak dan manik-manik terlepas dari tempatnya.
Tidak sampai disitu, Colette meraih korset berwarna merah muda lalu ia lemparkan kearah si Daisy. Korset berwarna merah muda itu melesat mengenai wajah Daisy yang merah padam karena emosi. Korset merah muda kotor itu meluncur jatuh dari wajah Daisy, menyebabkan riasannya ikut luntur.
Wajahnya terlihat mengerikan dengan maskara yang luntur ke pipi. Pipi cemong karena blush on yang luntur dan dagu kotor terkena lipstik yang tersapu ke bawah. Colette tertawa lepas saat melihat wajah Daisy yang tidak beda jauh dengan badut yang sering mengadakan pertunjukkan sirkus.
"Dasar ... ANAK IBLIS!!!" pekik Daisy mengamuk.
Tangan kanannya terangkat hendak menampar wajah mungil Colette. Sementara itu, Colette yang tadinya tertawa langsung diam dan menutup matanya takut. Demi apapun, ia sangat trauma dengan yang namanya tamparan. Namun telah lama ia tunggu, tangan wanita itu tidak sampai-sampai ke wajahnya.
Saat Colette membuka mata, seseorang berdiri menjulang tinggi dihadapannya sambil menahan tangan Daisy.
"Papa."
*****
Hay, genk!✨ Lama gak ketemu ya? Sedang berusaha produktif untuk semua novelku.
Btw jangan lupa mampir ke lapak yang lain ya!
Sabtu, 20 Agustus 2022
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top