Bab 5: Seorang Pencuri Jalanan.

Langit mulai menggelap dengan matahari yang berada di ufuk timur. Layaknya kanvas, angkasa dihiasi oleh warna oranye bercampur dengan warna ungu kehitaman. Awan-awan putih mulai berubah warna menjadi abu-abu kemerahan. Walaupun begitu, pasar malah terlihat semakin ramai.

Lampu sihir berjejer disepanjang jalan, memancarkan cahaya berwarna kuning yang semakin menceriakan suasana jalanan. Jalanan pasar semakin ramai, mulai dari anak-anak kecil yang datang bersama orang tua mereka serta pasangan yang berjalan sembari bergandengan tangan. Tak jarang juga terlihat beberapa bangsawan berjalan ditemani beberapa pelayan serta ksatria yang mengekori mereka. Sama halnya seperti Beatrice.

Beatrice masih berjalan mengelilingi pasar. Didalam ingatan Beatrice terdahulu, dipasar ini ada yang menjual kue berbentuk ikan berisi beraneka krim yang sangat lezat. Jajanan itu merupakan hal ikonik yang terdapat didalam pasar. Beatrice terdahulu tidak terlalu sering memakannya, karena tuntutan sang ayah yang menginginkan putrinya memiliki tubuh yang ramping serta selalu memakaikannya korset.

Namun, karena yang ada ditubuh ini bukanlah Beatrice, melainkan Tris. Ia akan memakan kue itu, ia tak peduli akan menjadi gendut. Toh, dia kaya sekarang, lagipula memakan beberapa kue itu tidak akan membuatnya gendut mendadak.

Beatrice melangkahkan kakinya mengikuti arahan Lena. Tepat setelah melewati sebuah tikungan, ia dapat melihat sebuah kedai roti yang ramai oleh pengunjung. Dietalase kedai tersebut, terdapat berbagai macam roti, namun yang paling diincar adalah si roti ikan. Terlihat asap membubung tinggi, keluar dari jendela yang memisahkan penjual dan pembeli.

Beatrice tersenyum tipis kala melihatnya. Walaupun sekarang telah menjadi kaya, ia tetap ingin merasakan roti tersebut. Ia berjalan girang kearah kedai yang mirip dengan perawakan food truck tersebut. Bahkan para pelayan yang selalu mengikutinya nya terlihat terkejut dengan perubahan sikap sang nyonya. Mereka saling bertukar tatapan bertanya-tanya, namun pada akhirnya hanya pasrah mengikuti sang madam.

Setelah sampai didepan food truck dirinya tiba-tiba langsung linglung. Tris sekarang telah menjadi bangsawan kelas atas. Jadi haruskah ia mengantri makanan bersama para rakyat jelata?

"Lena!" panggilnya pada sang pelayan.

"Ya, Yang Mulia?" tanya gadis bersurai oranye itu sopan.

Beatrice membuka kipas tangan yang dibawanya lalu menutup mulut dengan anggun. "Pesankan roti ikan itu, aku akan menunggumu dikursi itu." Kipas itu kembali tertutup untuk menunjuk kearah kursi taman yang ada didepan air mancur.

Lena mengangguk sopan, sementara Beatrice berbalik badan berjalan kearah kursi taman tersebut. Sesaat ia melirik para pelayan yang mengikutinya. Pelayan-pelayan ini nampaknya juga menginginkan roti ikan tersebut. Mereka memandangi kedai tersebut dengan tatapan penuh damba.

"Kalau mau beli, silahkan saja." Seorang pelayan langsung menatap Beatrice penuh harap.

"Sungguh, Yang Mulia?!" tanyanya riang.

Gadis bertitel Grand Duchess itu mengangguk singkat. "Ya, sampaikan juga pada Lena agar membeli roti untuk para pengawal. Kalau ada yang lebih bisa bagikan kepada rakyat, roti kalian biar aku yang bayar. Hanya membeli beberapa roti tidak akan membuatku bangkrut."

Para pelayan yang diperkirakan berumur 17-18 tahun itu melompat kegirangan. "Oh iya, bilang juga pada Lena, aku ingin yang rasa coklat. Aku lupa mengatakannya tadi," tambah Beatrice lalu mendudukkan diri diatas bangku taman.

Salah satu pelayannya telah berlari kearah kedai itu untuk menghampiri Lena. Sementara yang satunya lagi berdiri tepat disisi Beatrice layaknya ksatria. Manik merah itu melirik gadis muda yang berdiri disampingnya. Pelayannya itu terlihat sangat manis dengan wajah yang terdapat freckless serta rambut berwarna coklat dikepang dua. Manik berwarna hitam itu memancarkan kemurnian dan kepolosan.

Beatrice tiba-tiba merasa ngeri jika harus meninggalkan pelayannya itu seorang diri. Takut-takut ia ditawari permen oleh seseorang kemudian diculik. "Kara," panggil Beatrice pelan.

Kara Teresia, itulah namanya. Seorang gadis muda dari kalangan rakyat menengah. "Ya, Yang Mulia?" Suara lembut dan imut mengalun begitu ia berbicara.

"Kau tidak ikut dengan Lena dan Ollie?"

"Saya harus menjaga Anda, Nyonya," ucapnya dengan penuh kesungguhan.

Atau malah aku yang menjagamu, sahut Beatrice dalam hati.

Sang patni agung hanya menganggukkan kepala lalu kembali melihat kedepan. Sesekali Beatrice melirik Kara dari ujung matanya. Antisipasi jika tiba-tiba saja ada om-om genit membawa kabur sang pelayan. Begitupula Kara, ia tak henti-hentinya memperhatikan sang atasan, takut-takut jika ada pencopet yang mau membegal sang nyonya.

Mata sewarna permata delima itu bergulir memandangi lingkungan sekitarnya. Hingga akhirnya terpaku pada bunga lili berwarna putih yang memiliki corak yang cukup unik pada mahkota bunganya. Referensi yang bagus untuk desain gaun yang ingin ia berikan kepada Putri Austine.

"Kara, ambilkan buku dan alat tulis yang kubeli tadi."

Tanpa banyak bicara, Kara langsung melaksanakan perintah dari nyonya besarnya itu. Dengan cekatan, ia mengambil semua yang diperlukan Beatrice didalam sebuah tote bag. Tak sengaja, gadis dengan rambut dikepang dua itu menjatuhkan dompet yang berisi dua juta aerum.

Saat ia ingin mengambil dompet itu, sebuah pisau lipat ditodongkan ke leher gadis manis tersebut. Hal itu mengejutkan Kara begitu juga Beatrice. Sementara si penodong masih menodongkan senjatanya.

"Dompet ini milikku!"

*****

Disebuah gang kumuh, nampak sepasang mata berwarna amber mengintip ditengah-tengah kegelapan. Manik itu bergulir memperhatikan jalanan yang ada didepan gang tempatnya tinggal. Gadis kecil pemilik mata batu amber itu seolah-olah tengah menyeleksi. Siapakah yang akan menjadi target begalnya kali ini.

Hidup ditempat kumuh seperti ini, sama sekali tak mudah. Harus mencuri hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Jika ketahuan, ia akan dipukuli hingga babak belur, bahkan pernah hampir mati. Setelah hal itu terjadi, yang bisa ia lakukan hanyalah tetap bertahan hidup dan menahan sakit yang mendera tubuhnya.

Sejak kecil harus hidup dijalanan, membuat mental dan fisiknya terlatih. Sebelum berakhir dijalanannya, dirinya merupakan tawanan perang dari kerajaan kecil—yang sekarang telah berubah menjadi earldom. Gadis kecil itu kabur dari tempat perbudakan dan berakhir dijalanan.

Surai sewarna hazel itu dipotong pendek seperti anak lelaki, bergerak halus saat ia menggerakkan kepala. Pandangannya terarah pada seorang wanita bersurai merah seperti permata delima yang lewat didepan gangnya. Wanita itu mengenakan gaun berwarna ungu bercampur hitam yang cukup sederhana. Wanita itu seorang bangsawan yang hanya diikuti oleh tiga orang pelayan, tidak ada pengawal sama sekali.

Manik berwarna karamel yang bulat itu bergetar senang, seperti predator yang mendapatkan mangsanya. Kakinya melompat dari dinding ke dinding, mengikuti sang wanita dari atas bangunan. Rambut hazel-nya berterbangan ketika ia melompat dari bangunan ke bangunan lain.

Si gadis kecil bersembunyi dibalik pilar sebuah rumah kosong yang ada didepan air mancur. Wanita itu mendudukkan diri disebuah bangku dan hanya ditemani oleh seorang pelayan yang lugu. Gadis kecil itu terkekeh pelan merasa dewi fortuna tengah berpihak kepadanya.

Ia masih memperhatikan dari kejauhan. Perlahan berjalan mendekat, sesekali bersembunyi dibalik benda-benda yang cukup untuk dirinya bersembunyi. Pelayan lugu itu terlihat mengambil sesuatu dari tas belanjaan milik si wanita bangsawan. Gadis kecil itu mulai berpikir hal apa yang harus ia curi dari wanita tersebut.

Hingga manik matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dari saku sang pelayan. Sebuah dompet berwarna merah yang terlihat sangat tebal, tergeletak begitu saja diatas tanah. Gadis kecil itu berlari dengan cepat sembari mengeluarkan pisau lipatnya. Ia langsung menodongkan pisaunya tepat didepan leher si pelayan lugu ketika sampai dihadapan sang pelayan.

"Dompet ini milikku!" serunya berang pada si pelayan.

*****

Perilaku sang pencuri berhasil menarik perhatian orang-orang yang ada ditaman. Tak lama ia berteriak, tubuhnya langsung tengkurap ditanah setelah dibanting oleh seorang ksatria Stockholm. Ksatria yang mengenakan seragam berwarna emas itu menahan tubuh kecil milik gadis pencuri tersebut. Tangan kekar ksatria itu menahan tangan si gadis kebelakang tubuh, membuatnya terlihat seperti digencet.

Gadis itu menggeliat hebat, diselingi dengan berteriak hebat meminta dilepas. Masih dalam keterkejutan, Beatrice berjalan menghampiri Kara yang terduduk diatas tanah sembari menangis. Wanita bersurai merah itu mengelus-elus pundak sang pelayan dengan lembut, mencoba menenangkan gadis muda itu. Walaupun begitu, matanya tak bisa lepas dari gadis mungil yang digencet oleh salah satu ksatrianya.

Sebagai pengguna sihir suci, Beatrice diberikan kelebihan untuk melihat warna aura esensi milik orang lain tanpa harus melihat aliran mana-nya terlebih dahulu. Gadis itu memiliki aura berwarna hijau, yang menandakan dia adalah penyihir alam.

Penyihir alam cukup sulit untuk dijumpai. Esensi mereka yang bisa menyatu dengan dunia itulah yang membuat mereka spesial. Bagi mereka para penyihir yang telah mencapai tingkat menengah dan atas, bisa mengendalikan pertumbuhan tanaman serta memiliki kemampuan alkimia. Sedangkan yang telah mencapai tingkat arch, dapat dipastikan bisa mengendalikan empat unsur utama kehidupan; air, angin, tanah, dan api. Bahkan mengendalikan bencana alam.

Beatrice tertegun ketika menyadari kemampuan yang dapat dimiliki oleh gadis itu. Gadis kecil itu kini dipaksa berdiri oleh para ksatria. Tetapi yang perlu diacungi jempol, dia sama sekali tak menangis ketika ditampar oleh salah satu ksatria disana. Yang ia berikan hanyalah tatapan dingin penuh kebencian.

Orang-orang mulai berkerumun mengelilingi kami. Suara bisikan terdengar, mencemooh serta merendahkan gadis kecil tersebut. Beatrice masih terdiam, memandangi gadis kecil itu seolah-olah menemukan sebongkah harta karun.

Bisikan-bisikan semakin kencang ketika seorang ksatria mengeluarkan pedang dari sarungnya. "Melakukan praktek pencurian terhadap Grand Duchess of Stockholm, dianggap sebagai pemberontakan kepada Ibukota. Pendosa sepertimu harus dihukum mati!" Ksatria itu berkata dengan suara lantang.

Ia mengangkat pedangnya tinggi, tepat diarahkan ke leher si pencuri kecil. Gadis itu hanya menatap kosong pedang yang terarah pada lehernya, kemudian menutup mata seolah-olah telah menerima dengan ikhlas kematiannya.

"Tunggu!" Beatrice berlari, menerjang pedang yang hampir memenggal kepala gadis kecil itu. Menyebabkan pedang itu menggores lengannya karena ia tepis begitu saja.

TRIING!

Orang-orang terkesiap ketika mendengar dentingan pedang yang terjatuh. Ksatria yang memegang pedang tadi terlihat pucat ketika tersadar dia hampir memenggal istri atasannya sendiri. Wajah pria itu makin pucat kala melihat darah mengalir dari lengan sang nyonya besar.

"G-Grand Duchess! Ampuni saya!" Ksatria itu langsung menjatuhkan diri keatas tanah. Bersujud memohon pengampunan dari Beatrice.

Beatrice meringis kesakitan ketika pedang itu menggores lengannya yang mulus. Sial! Seumur-umur itu melukai tangan itu karena pisau dapur, itupun yang luka adalah jarinya. Tetapi ini? Lengannya tergores pedang yang hampi sepanjang lengan Darren dan amat tajam. Ia beruntung pedang itu hanya menggores lengannya bukan mengamputasinya.

Bisikan-bisikan kembali mengudara, mengomentari sifat sang grand duchess yang kelewat baik seperti biasa. Ada yang berkomentar baik, ada juga yang buruk, yang parahnya ada yang mengatainya bodoh karena menyelamatkan seorang penjahat. Telunjuk Beatrice terangkat menunjuk kearah wanita yang mengatainya bodoh. Begitupula semua orang langsung melihat kearah sosok yang ditunjuk olehnya.

"A-apa?" tanyanya gugup ketika semua orang melihat kearahnya.

"Siapa namamu? Dari keluarga mana?" Beatrice berucap tajam.

Wanita itu menelan air ludahnya gugup. "Sa-saya Martha Sorin Equeal, istri Earl Equeal."

Sebelah alis Beatrice terangkat. "Oh, Earl tanpa wilayah dan hampir bangkrut itu?" tanyanya santai.

*****

Beatrice dan pengikutnya sekarang duduk disebuah kafe, namun dengan satu tambahan anggota. Si pencuri kecil tadi dibawa oleh Beatrice kesana. Tentu saja ia membawanya, masa iya seorang berharga seperti gadis itu ditinggalkan begitu saja. Dimana lagi ia bisa menemui penyihir alam yang amat langka itu.

Langit sudah sangat gelap. Ia yakin pasti saat pulang nanti, Darren akan menginterogasinya. Tetapi siapa peduli, ia adalah wanita yang bebas. Dia akan melakukan apapun yang ia inginkan.

Setelah dirinya berhasil mendirikan butik dan memiliki penghasil sendiri. Dia akan menggugat cerai Darren dan menikmati hasil uangnya sendirian. Tidak apa-apa tidak menjadi seorang bangsawan, asalkan ia kaya itu sudah cukup.

Gadis kecil itu menatap kosong berbagai macam camil yang tersaji dihadapannya. Ia terduduk disalah satu kursi yang berada tepat disamping Beatrice.

Pikirannya berkecamuk, dirinya tidak tahu mengapa wanita berambut merah itu menolongnya serta memberinya makanan yang layak. Bahkan, wanita itu juga membiarkannya duduk satu meja. Sebenarnya apa yang wanita itu inginkan darinya?

"Jadi, nona kecil, siapa namamu?" tanya Beatrice ramah.

Pandangan gadis itu beralih pada wajah cantik Beatrice. "Colette."

"Colette?"

Beatrice kembali bertanya untuk memastikan apa pendengarannya benar. Gadis kecil itu kembali menganggukkan kepala.

Mendapatkan respon seperti itu, membuat hati Beatrice menghangat. Melihat Colette, membuatnya seperti melihat adik-adiknya di panti asuhan saat masih didunia yang dulu. Colette terlihat polos dan tidak tahu apa-apa. Siapapun itu yang mengajari gadis kecil itu caranya mencuri, orang itu harus ditenggelamkan!

Spontan, ia menepuk puncak kepala Colette pelan sembari tersenyum ramah. Gadis kecil itu terlihat tertegun. Perlahan bulir-bulir airmata jatuh dari pelupuk matanya. Seumur hidup, baru kali ini ada yang memperlakukannya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Bahkan orang tua yang tidak ia ingat nama dan wajahnya, tidak pernah melakukannya.

Usapan lembut membelai pelupuk mata Colette dengan lembut. Gadis kecil bersurai hazel itu mendongakkan kepalanya untuk menatap sosok yang telah menyelamatkannya. Beatrice tersenyum teduh lalu membawa Colette kedalam pelukannya. Tangisan Colette semakin keras tatkala Beatrice mememeluknya.

"Nak, apa kamu mau menjadi putriku?"

*****

Foster Daughter of Grand Dukedom Stockholm
Colette Alfreda Olivier

Kamis, 10 Februari 2022.

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top