Bab 2: Langkah Awal Menuju Hidup Tentram.


Bacanya sambil dengerin lagu diatas biar dapat vibe-nya.

Selamat membaca dan jangan lupa vote ya!

*****

Terlihat Beatrice duduk diatas sebuah sofa, dengan tangan terlipat didepan dada dan kaki yang disilangkan. Disamping kanannya berdiri seorang pria berambut kenari yang berpakaian rapi, yang diketahui sebagai Connor. Sementara dihadapan Beatrice, terdapat empat gadis yang wajahnya terlihat lebam-lebam disana-sini. Kona, Lana, Ana, dan Tina terduduk diatas lantai beralas karpet beludru yang ada didalam kamar sang nyonya. Keempatnya terlihat mengenaskan dengan wajah lebam, gaun acak-acakkan, dan rambut yang tak berbentuk lagi.

Mereka menundukkan kepala dalam dihadapan Beatrice. Sesekali melirik takut-takut pada Beatrice yang duduk dihadapan mereka dengan angkuh. Bagaimana penampilan Beatrice? Well, keadaannya tidak terlalu memprihatinkan seperti para dayangnya. Hanya gaun dan rambut gadis itu yang terlihat berantakan karena terkena upaya pemberontakan dari para dayang rendahan.

Connor yang berdiri disisi sang nyonya, terlihat beberapa kali melirik bergantian istri atasannya dan para dayang. Dahinya terlihat berkeringat karena membayangkan seberapa brutalnya sang grand duchess tadi. Bahkan dipipinya terdapat luka garis kecil akibat terkena kuku nyonya-nya, saat sedang memisahkan para wanita itu. Connor menghela nafas panjang kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan dari sakunya. Ia mengelapkan sapu tangan itu pada dahi dan pipinya yang terkena goresan.

"Jadi ... Hukuman apa yang harus aku berikan untuk dayang rendahan yang telah berani merundungku selama ini?"

Seketika Connor langsung cengo ditempat. Nada dingin yang keluar dari mulut nyonya-nya itu benar-benar mengejutkan. Selama ini, Beatrice selalu menampilkan perangai lemah lembut dan penyayang serta pemalu. Taat pada dogma-dogma kuil suci dan tidak pernah merendahkan martabat seseorang. Saat berbicara pun, gadis bersurai merah itu selalu mengeluarkan kata-kata sopan dan lembut, walaupun pada orang yang telah mengasarinya. Sungguh sifat gadis kuil yang pantas menjadi seorang Saintess.

Tetapi apa yang dirinya lihat sekarang? Gadis kuil lemah lembut dan penyabar itu telah hilang, berganti dengan sosok wanita cerdas dan tidak mudah ditindas oleh orang lain yang lebih rendah darinya. Barangkali jika sang nyonya berkata baru saja bertukar jiwa, Connor akan langsung mempercayai hal itu.

"Tolong ampuni kami, Yang Mulia," ujar Lana dengan kepala menunduk.

Beatrice terkekeh pelan lalu menatap rendah Lana. "Dengan keadaanmu seperti ini, kau masih bisa berbicara dan memohon ampun padaku, Lana?"

Tubuh gadis itu terlihat bergetar saat ditatap tajam oleh Beatrice. "Ma-maafkan saya, Madam," cicitnya.

Beatrice sendiri masih mempertahankan wajah angkuhnya. Jujur saja, dia merasa muak dengan keempat gadis dihadapannya itu. Dan juga, Beatrice yang dahulu benar-benar lemah, bukan dalam artian lemah atas kekuatan. Karena Beatrice ini pemilik sihir suci dan calon seorang gadis kuil, tetapi sifatnya yang terlalu menye-menye itu membuat Tris muak. Bagaimana tidak? Setelah ditindas dengan sedemikian rupa oleh para wanita ini, Beatrice masih berbuat baik dan memaafkan mereka.

Oke, Tris didunianya dulu juga sama, dia selalu diam ketika ditindas. Itu karena dia tidak memiliki kekuatan apapun, sementara orang yang menindasnya adalah orang-orang priyayi yang selalu berpakaian necis. Tentu saja, Tris masih ingin hidup tanpa terlibat dalam pertikaian apapun, apalagi tersandung kasus yang melibatkan hukum.

Tetapi, Beatrice? Heloo, dia calon gadis kuil yang hampir menjadi Saintess, pemilik sihir suci langka yang hanya dimiliki oleh orang-orang kuil, paladin dan Saintess, serta putri seorang Viscount yang memiliki wilayah yang cukup besar. Tetapi ditindas oleh putri Baron yang berada satu tingkat dibawahnya dan wilayah kekuasaan yang tak lebih besar dari sebuah desa? Beatrice ini terlalu baik atau memang bodoh?

Memang, seorang gadis kuil apalagi Saintess harus memiliki sifat baik dan suci, tetapi adakah orang-orang kuil atau Saintess yang pasrah saja ketika ditindas? Tidak ada, bukan?

Beatrice memijit dahinya dengan jempol dan jari telunjuk. "Kalian benar-benar memuakkan."

"Connor!"

"Ya, Madam?" tanya Connor sembari membungkuk hormat.

"Hukum mereka dengan 100 kali cambukan! Lalu pecat mereka semua, jangan biarkan mereka menginjakan kaki dikediaman ini lagi!" ujar Beatrice yang mengundang suara terkesiap dari semua orang.

Grand Duchess of Stockholm itu langsung dari duduknya dan berjalan kearah meja kerjanya. "Dan bawakan berkas-berkas ini kepada Grand Duke. Aku sudah menandatangani semuanya, hanya tinggal meminta tanda tangan darinya saja. Jangan lupa, aku mau sarapan disini saja."

Connor juga terlihat terkejut namun segera menormalkan wajahnya. Ia segera mengamini perintah sang nyonya. "Segala perintah Madam akan saya laksanakan."

Pria berambut kenari itu berlalu melewati keempat gadis tersebut keluar ruangan. Hendak memanggil para ksatria untuk membawa para dayang tersebut lalu mengerjakan perintah lainnya. Sementara para tersangka terlihat kelabakan, bahkan Tina telah menangis pilu.

"Tolong ampuni kami, Madam. Kami tahu anda adalah pribadi yang berjiwa besar dan penyayang. Tolong ingat hubungan persahabatan kita dimasa lalu, Beatrice," Ana berujar sembari memeluk kaki Beatrice. Berharap teman yang telah lupakan itu akan luluh.

"Beraninya kau menyebut namaku!" ujar Beatrice penuh emosi.

Kakinya menendang jauh tubuh Ana hingga membuat gadis itu terjungkal. Kona langsung menghampiri Ana dan memeluk gadis itu. Putri Baron of Silth itu langsung melayangkan tatapan rumit kearah Beatrice sembari mengelus-elus pundak Ana yang tengah menangis.

"Itu tidak manusiawi, Madam. Kami tahu derajat kami hanyalah seorang putri Baron. Tetapi tidak seharusnya anda bersikap seperti ini. Seorang gadis kuil tidak akan merendahkan orang lain," ucap Kona dengan berani.

Beatrice langsung memiringkan kepalanya lalu menatap Kona dengan penuh intimidasi. Membuat gadis yang tiga tahun lebih tua darinya itu gemetar.

"Dan seorang gadis kuil tidak akan membiarkan dirinya direndahkan oleh orang lain," ujar Beatrice penuh penekanan.

"Kalian tahu? Selama ini aku selalu baik pada kalian, memperlakukan kalian sesuai dengan hak asasi manusia dan dogma-dogma Tuhan tentang kemanusiaan. Tetapi apakah kalian memperlakukanku seperti itu juga? Tidak, bukan? Seorang gadis kuil juga memiliki batas kesabaran, dan kesabaranku telah sampai diujung," Beatrice mendesis diakhir ucapannya.

"Aku tahu kalian mengikuti petuah "Air Susu Dibalas Dengan Air Tuba" dimana kalian air tuba yang kotor penuh akan dosa, dan aku adalah air susu yang suci tanpa noda sedikitpun. Tetapi haruskah kalian mendalami peran itu hingga membawa kalian sendiri kedalam jurang penuh bambu runcing? Kalian bodoh atau apa, merundung seorang putri seorang Viscount ternama, calon Saintess dan seorang Grand Duchess?" Kali ini tatapan Beatrice terlihat merendahkan dan penuh akan kesombongan.

"Kalian beruntung hanya akan dicambuk 100 kali, padahal kejahatan kalian seharusnya mendapatkan hukuman gantung. Tetapi karena mengingat jasa kalian dalam membantuku berpakaian, aku tidak melakukannya. Ingatlah perbuatan baik kalian padaku hanyalah membantuku berpakaian, tidak lebih," desis sang Grand Duchess muda.

Tak lama, masuk beberapa ksatria kedalam kamar tersebut. Salah satu ksatria berambut cokelat susu yang merupakan pemimpin pleton itu maju kedepan. Ia membungkukkan badan dalam dihadapan Beatrice.

"Kami meminta ijin pada Yang Mulia Grand Duchess untuk membawa para dayang ini," ucapnya penuh kesantunan.

"Lakukan."

Ksatria itu langsung melaksanakan perintah dari Beatrice. Ia langsung mengkoordinir ksatria yang lain untuk segera menangkap para dayang tersebut. Beatrice lekas membalikkan tubuhnya berjalan kearah kursi kerjanya. Suara teriakan para dayang itu bersahut-sahutan memanggil namanya, membuat telinga Beatrice sakit.

"Itupun selera berpakaian mereka sangat buruk," cibirnya.

Beatrice meringis sakit sambil memegangi telinga sebelah kanannya akibat teriakan Tina yang menggetarkan gendang telinga. Ia menoleh kebelakang sejenak dengan ekspresi tak nyaman.

"Apa dia baru saja menelan toa?"

*****

Beatrice meregangkan tangannya keatas, berlanjut dengan meregangkan pinggang wanita tersebut. Tangannya beralih mengambil beberapa perkamen dan gulungan kertas yang berserakan diatas meja. Menyusunnya dengan rapi, sesuai dengan isi dari perkamen tersebut. Ia melirik ke sebelah lain meja kerjanya, disana masih terdapat setumpuk perkamen yang belum ia periksa. Spontan, tubuhnya langsung bersandar pada kursi dengan semangat yang loyo.

Ternyata jadi pejabat itu tidak terlalu menyenangkan. Bagaimana ada yang bisa hidup berdampingan dengan berkas-berkas pembangunan kota, pembuatan jembatan, dan ijin pelaksanaan bakti sosial di panti asuhan seperti ini? Pikir Beatrice.

Tris lebih memilih masuk kedalam tubuh seorang wanita dari kalangan menengah saja. Atau masuk kedalam tubuh seorang desainer ternama, setidaknya dia bisa mewujudkan impiannya, bukan begitu?

Eh tunggu dulu ... Bukankah masuk kedalam tubuh Beatrice malah semakin membantuku untuk meraih impian itu?! pikir Tris.

Pada akhirnya ia mulai merencanakan kehidupan barunya. Berikut rencana yang telah ia buat:

1. Menunjukkan otoritasnya sebagai Nyonya Besar kediaman Stockholm.

2. Mengambil kepercayaan para pelayan dan para ksatria.

3. Merancang desain pakaian yang lebih modern dan menarik.

4. Menggaet para bangsawan besar dan pengusaha tekstil dan kain.

5. Membangun butik yang akan menjadi pusat pemikiran mode dan fesyen baru para nyonya dan nona bangsawan di kekaisaran.

Beatrice terpekik senang ketika melihat hal yang ia catat. Tetapi satu hal yang sedikit menganggunya. Bagaimana dengan Tuan Besar kediaman ini, Grand Duke of Stockholm?

Beatrice menghela nafas lelah ketika memikirkan pria itu. Mereka tidak terlalu dekat, dan Grand Duke sendiri orang yang sangat kaku. Terlebih lagi pria itu hanya mempergunakannya untuk naik takhta. Oh ... haruskah Beatrice balik memperalat pria itu?

"Ya, mari kita lakukan simbiosis mutualisme," gumamnya pelan sambil membuka laci meja kerjanya.

Menurut ingatan Beatrice dahulu, terdapat sebuah notebook yang bisa ia gunakan untuk menggambar desainnya. Ia mengobrak-abrik isi laci itu hingga akhirnya menemukan sebuah buku sebesar macbook dengan sampul warna cokelat tua dengan beberapa tanaman dan bunga kering menempel disampul buku tersebut. Sungguh estetis.

Beatrice membuka halaman awal buku tersebut dan ... teng teng! Dia tidak bisa menggunakan buku itu untuk menggambar.

Buku itu terbuat dari kertas berwarna kuning seperti kertas yang menua, bahkan sudah mulai lapuk. Halaman yang masih kosong pun tersisa sedikit, karena sebagiannya telah dipenuhi dengan mantra-mantra sihir suci yang Beatrice terdahulu pelajari. Ya, setidaknya buku itu masih berguna untuk mengendalikan sihir yang bersemayam didalam tubuhnya.

Gadis berambut delima itu memandang buku tersebut dengan pandangan sulit. Tangannya bergerak menggaruk kepala atasnya yang tak gatal. Jadi ... Apa dia harus membeli buku sketsa? Sepertinya iya.

"Aku harus mengatur jadwalku lagi."

Tok ... Tok ...

Suara ketukan menghentikan kegiatan Beatrice untuk sejenak. Ia menoleh kearah pintu sesaat lalu kembali pada buku yang berisi agendanya selama seminggu ini. "Masuk."

Pintu itu terbuka menimbulkan suara derit yang cukup keras. Connor masuk kedalam kamar tersebut dengan langkah yang anggun. Segera ia berdiri tepat disamping nyonya besar tersebut.

"Ada apa?" tanya Beatrice tanpa mengalihkan pandangannya.

Connor menundukkan kepalanya penuh hormat sembari menyerahkan sebuah amplop berwarna merah kepada Beatrice. Sebelah alis Beatrice terangkat, ia memandangi amplop itu untuk sejenak sebelum akhirnya menerima amplop tersebut. Ia mengambil pisau kecil yang disodorkan oleh Connor lalu memotong lilin stempel amplop itu. Beatrice membaca isi surat tersebut sambil menaruh amplop tadi keatas meja. Matanya bergulir membaca setiap baris kata surat itu.

Untuk, sahabatku tersayang,
Tricy .

Halo, Beatrice! Bagaimana kabarmu, sahabatku? Sudah lama rasanya aku tidak bertemu denganmu. Sekiranya dua tahun yang lalu kita bertemu saat kamu masih berada di kuil suci.

Aku hendak mengundangmu ke istana untuk minum teh berdua selama aku masih disini. Aku sangat merindukanmu, Beatrice. Hidup di kuil suci benar-benar membuatku kehilangan jati diriku. Beruntung aku diberi cuti dua minggu untuk kembali ke istana.

Tidak perlu takut pada Elois. Aku pastikan bajingan itu tidak akan muncul untuk mengejekmu lagi. Aku juga ingin menceritakan banyak hal padamu, jadi aku mohon datanglah.

Sahabat seperjuanganmu,
Astin.

Tak lupa Connor menjelaskan isi surat tersebut. "Anda mendapatkan undangan dari Putri Austine, Yang Mulia."

"Aku tahu Connor, aku juga membacanya disini," tegur Beatrice tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas tersebut. "Kau boleh pergi," sambungnya.

Connor menghela nafas lalu membungkuk hormat pada Beatrice, sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu. Beatrice meletakkan kertas itu diatas meja. Mata delimanya menerawang pada sebuah lukisan yang menunjukkan seorang gadis bersurai merah yang amat cantik, terpajang diatas kasurnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kearah sebuah vas berisi bunga mawar damaskus berwarna merah, yang ada diatas mejanya.

Jari telunjuk Beatrice mengetuk-ngetuk meja kerja miliknya. Matanya terpejam, mencoba mengingat siapa sosok Putri Austine dalam memori Beatrice terdahulu. Dahinya berkerut saat mendapati banyak sekali momen bahagia tentang Austine dan Beatrice didalam otaknya.

Astin atau lebih tepatnya Austine d'Ivory ein Clarisse adalah Putri Imperial Ketiga Kekaisaran Orizon. Austine adalah teman masa kecil Beatrice terdahulu. Mereka tumbuh bersama, memasuki akademi bersama, bahkan sama-sama menjadi gadis kuil.

Sesuai diingatan Beatrice terdahulu, mereka bertemu saat pesta ulang tahun Permaisuri. Saat itu Beatrice tersesat dilabirin yang ada dikebun istana, karena takut Beatrice kecil hanya bisa menangis didalam labirin tersebut. Lalu datanglah Austine yang saat itu hendak bermain ditaman yang ada didalam labirin, menemukan Beatrice yang tengah menangis meringkuk disebuah belokan. Austine akhirnya menenangkan Beatrice lalu mengajaknya bermain ke taman.

Mulai dari sana, mereka terus bermain bersama. Austine juga sering datang ke viscounty untuk bersama Beatrice. Bahkan sama menjadi gadis kuil dan kandidat Saintess. Dan tentu saja, keduanya berkompetisi dengan adil. Tetapi karena Beatrice sudah menikah, hal itu menjadikan Austine sebagai satu-satunya kandidat Saintess. Yang berarti Saintess berikutnya adalah Austine.

Telunjuk Beatrice yang tadinya mengetuk-ngetuk meja langsung terhenti. Menurut ingatannya, dua minggu lagi adalah hari penobatan Austine di kuil suci, malamnya diikuti dengan pesta sebagai ucapan selamat untuk Austine. Pastinya dipesta itu akan didatangi oleh berbagai macam bangsawan kelas atas bahkan anggota kerajaan atau kekaisaran lain. Pesta itu akan menjadi batu lompatan bagi Beatrice untuk memulai usahanya.

"Aku harus membuatkan gaun untuk Austine," monolognya.

*****

Grand Duke of Stockholm
Darren Alphein Olivier

Update setiap hari Jum'at!

Ping!

You've got message from Orca'Mail!

Open/Delete?

Orca'Mail:

HalOrca semuanya! Happy New Year yah readers Orca tercinta🥳🥳🥳

Jadi pada tahun baruan dimana? Pastinya diluar lah ya, yakali rebahan dirumah doang. Tapi gak papa kalau kalian tahun baruan cuman rebahan dirumah aja. Setiap orang punya hak masing-masing kok, mau milih keluar atau didalem rumah aja🥰

Tapi bagi yang diluar rumah tolong hindari kerumunan ya. Selalu pakai masker dan taati prokes. Kita sama-sama saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain. Selalu berdoa agar pandemi ini cepat berakhir, Orca pengen libur panjang soalnya😭😭😭

Udah itu aja yang mau Orca sampein. So OrcaBye!

Ditulis pada tanggal,
Minggu, 5 Desember 2021.
Dipublikasikan pada tanggal,
Jum'at, 31 Desember 2021.

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top