Bag 8 : Dalgona Sarat Makna

Hallo semua. Jangan lupa vote dan komentarnya, ya. Selamat membaca


🔫🔫🔫

"Mas Barra udah berapa lama jadi ajudan?” tanya Rizqa yang sedang memilah dan memilih buku mana yang akan ia baca. Gadis itu membuka bungkusan belanja bukunya di atas meja ruang santai.

Pertanyaan Rizqa hanya dijawab dengan lirikan kecil. Pria itu lalu pergi meninggalkan Rizqa dan masuk ke kamarnya. Melihat itu Rizqa mendengkus lurus tapi juga tidak mau terlalu urus. Meski sedikit sebal, mengapa harus bertemu dengan si beruang kutub itu?

Ditanya malah pergi begitu saja. Entah di mana sopan santunnya. 

 Namun ... aksi dia tadi patut diapresiasi. Keren! Gumam Rizqa dalam hati. Gadis itu pun menarik senyum kecil.

Ia membuka satu buku bisnis yang tadi ia beli. Sambil membaca buku, ia mencari pena di dalam tas untuk menuliskan sesuatu di buku. Ketika tangannya mengobok-obok isi tas, Rizqa menyadari sesuatu.

Benda pipih. Mana ponsel yang diberikan Barra?

Matanya terbelalak. Pasti berhasil di ambil pencopet tadi.

“Aduh! Mas Barraaa! Mas Barraaa!” panggilnya keras. Namun pria itu tidak menyahut.

Rizqa bangkit dan melangkah ke pintu kamar Barra.

“Mas Barra. Mas!” Suara lengkingan Rizqa di depan pintu lebih terdengar alunan merdu. Suara Rizqa memang tidak besar. Gadis itu kini sedang mengetuk-ngetuk pintu kamar Barra.

Tak ada respon juga. Akhirnya Rizqa masuk ke kamarnya dan mengetuk pintu penghubung di dalam lalu menggedor pintu itu lagi.

Gedoran dan suara panggilan Rizqa malah dijawab dengan balasan gedoran di pintu balkon. Gadis itu terperanjat mendengar suara itu namun segera menyadari kalau itu suara Barra. Ia melangkah ke sana dan membukanya.

“Kok di sini?” kata Rizqa dengan wajah aneh.

Bukannya menjawab. Barra malah balik bertanya. “Kamu kenapa kok ketuk pintu terus-terusan?”

“Mas Barra ngapain di balkon aku?” Rizqa malah menimpali lagi dengan kalimat pertanyaan.

Pria itu berdecak. “Aku lompat dari balkon sebelah. Tadi aku lagi di situ. Dengar kamu gedor, aku gedor balik di sini. Ngapain capek-capek jerit kayak kamu,” jawab Barra ketus hingga Rizqa mendengkus.

“Mas, ponsel aku nggak ada!” Pupil Rizqa melebar dengan ekspresi kaget yang besar. Gadis itu menanti ekspresi keterkejutan pria itu juga. Namun itu sia-sia saja. Karena Barra hanya berujar ringan.

“O, ya?” Alisnya terangkat satu dengan ekspresi datar.

Sontak wajah Rizqa menganga dungu. Pria ini memang tidak bisa diprediksi!

“Iya. Nggak ada di tas aku, Mas. Berarti berhasil diambil pencuri tadi.” Rizqa menyesal tidak langsung mengecek tasnya setelah Barra menyerahkan tas itu padanya.

Karena, menurut Rizqa. Ia menyaksikan dari awal tas itu ditarik penjambret sampai kembali lagi padanya. Tak ada sesi di mana pencopet itu sempat membuka isi tas. Jadi Rizqa berpikir semua masih sama.

Barra mundur dan dengan lincah melompat lagi ke balkon sebelah. Sementara Rizqa berdiri di balkonnya pula.

“Ya udah. Mau diapain lagi. Mau dikejar juga udah nggak bisa,” jawab Barra santai.

“Iya, sih. Bener kamu bilang. Tapi aku tadi terkejut aja benda itu nggak ada. Ya udah lah. Anggap aja sedekah buat mereka. Mungkin aku banyak dosa dan kurang sedekah kali, ya. Makanya ditegur Tuhan kayak begini. Ya Allah. Astaghfirullah.”

Darah Barra berdesir mendengar kalimat Rizqa. Ia pikir gadis itu akan merepet panjang atau mengeluhkan hilangnya benda itu mengingat uang tunainya menipis. Namun jiwa merasa bersalah Rizqa yang malah hadir di sini. Dan kalimat mohon ampun di ujung tadi, menyentil hati Barra.

Bagaimana tidak. Sebenarnya, ialah yang sengaja mengeluarkan ponsel itu dari dalam tas Rizqa.

“Ampun, Pak! Ampun! Kasihani kami, Pak. Kami njambret kepaksa, Pak. Ampun!” pekik pria yang belakang lehernya sedang ditekan dengan lutut Barra.

Sejak awal Barra menghajar mereka, Bisa Barra duga kalau mereka tidak punya keahlian fighter sedikit pun. Sehingga mudah sekali ia lumpuhkan karena tidak ada perlawanan.

“Kepaksa apa kamu bilang?” kata Barra tegas.

“Istri dan anak saya sakit, Pak. Saya nggak punya uang buat bawa berobat. Yang tadi itu temen saya, Pak. Tolong, lepasin. Kami sepakat akan bagi dua kalau berhasil. Saya nggak berani kerja sendiri. Ampun, Pak!” aku pria itu lagi.

Detik itu, ada yang terlintas di kepala Barra. Ketika ia pernah menjadi copet karena tekanan keadaan di masa remajanya. Ia digebuki banyak orang. Di benci dan dijauhi siapa saja. Tak ada yang mau menerimanya sebagai manusia. Perihnya kehidupan membawa banyak kebencian di dalam dadanya. Makin hari kian menyala dan berdarah-darah. Hingga kebrutalan itu berlanjut sampai sekarang. Level pembunuh bayaran profesional yang disandangnya tentu bukan dari perjalanan abal-abal. Hingga ia dijuluki A Reaper Devil oleh kelompok-kelompok elit tertentu yang mengenal namanya dalam ruang-ruang perbincangan rahasia.

Dan sebenarnya, mungkin saja Barra tidak lebih baik dari penjambret yang sedang ia hajar.

 Dengan kesadaran penuh, Barra membuka tas Rizqa dan memilih menyerahkan ponsel itu pada mereka, bukan dompetnya. Itu ia sengaja.

Uang Rizqa menipis. Lagipula Barra tidak mau membuat gadis itu menangis. Dompet, adalah bagian terpenting bagi seseorang. Pasti ada banyak benda penting di dalam dompet itu. Dan, ia tak merasa berat, karena ponsel itu dibeli dengan uangnya.

 Barra seakan mendapatkan posisi keberuntungan. Ia punya alasan memberi Rizqa 'ponsel tililit’ setelah ini. Ide yang kemarin sempat terlintas, tapi tak terlaksana karena ia harus cepat. Dengan begitu Rizqa tidak akan terhubung dengan dunia luar.

“Kemariin ponsel aku lah, Mas,” kata Rizqa tiba-tiba.

Barra melirik kecil. “No,” jawabnya menyentil.

“Kamu nggak bisa gitu dong. Aku ini ....” Lidah Rizqa terhenti. Ia sukar memilih kata. Mengatakan majikan? Ia tidak bisa. Karena baginya tidak ada majikan dan budak. Yang ada hanyalah kerja sama dan saling membutuhkan.

Tidak ada level derajat. Karena derajat semua manusia di mata Tuhannya sama. Yang jadi pembeda adalah amalnya. Namun sikap Barra yang otoriter ini membuat Rizqa gerah.

“Nanti kita cari ponsel lain. Aku nggak yakin kamu bisa bertahan tidak membuka ponsel itu selama sembunyi. Ini demi kebaikan kamu.” Barra meneguk kopi dari kaleng minuman yang ia pegang seakan tak peduli dengan apa yang dirasakan Rizqa. 

Gadis itu sedikit berang. Ajudan ini seperti sedang semena-mena padanya. Terlalu berani, mengatur apa yang boleh dan tidak untuknya bagai ia tahanan.  Rizqa pun menghentak sekali lalu keluar dari sana.

Tiga detik kemudian, ia kembali lagi dengan wajah sebal.

“Kamu tu!” tunjuknya dengan wajah tegang, tapi lidahnya kelu melanjutkan. Seakan habis kata-kata untuk meluapkan kemarahannya. Tidak. Bukan. Sekarang ia sedang berjuang menahan amarah agar tidak marah.

Di balkon sebelah, Barra hanya berdiri dengan santai sambil menyandar di pagar besi.

“Kenapa kamu seenaknya mengatur hidup aku? Aku juga punya dunia sendiri. Aku butuh menghubungi rekan, teman yang selalu sering komunikasi sama aku. Aku butuh ponsel itu. Aku pulang untuk liburan. Bukan jadi tahanan.” Netra Rizqa berkaca-kaca dan mulai merah. Sekali saja kelopak matanya berkedip, pasti tumpahlah genangan air mata itu.

Barra menegakkan tubuhnya, menatap Rizqa dengan diam.

“Mas Barra sadar nggak sih, kamu itu terlalu  otoriter ke aku. Padahal, apa hak kamu? Ak--"

Kali ini mengalir lah air mata itu. Jeda hening mengisi perbincangan mereka. 

“Siniin kunci pintu penghubung itu,” kata Rizqa. “Siniin,” ucapnya lagi parau tapi terdengar menggetarkan. Barra tahu gadis itu sedang marah tapi amarahnya seperti tak mampu keluar. Buat Barra yang punya jiwa pemburu itu, marah Rizqa tidak ada apa-apanya. Ia malah menunggu Rizqa mengekspresikan marahnya lebih dari ini. Benar-benar marah! Bukan setengah-setengah!

Kalau cuma segini, malah mengusik rasa gemas Barra saja.Tidak ada tantangannya. 

“Mas Barra dengar nggak sih?” gerutu Rizqa makin sebal.

Barra masuk ke kamarnya dan mengambil kunci yang diminta Rizqa tanpa pembelaan dan perlawanan.

“Kunci ini aku yang pegang! Aku nggak tenang kalau kamu yang pegang. Karena aku merasa terancam!”

Rizqa masuk dan mengunci pintu balkon.

Di luar balkonnya, Barra sedang menggerayangi hati. Mata hazelnya terpekur dalam menatap jauh dengan menerawang. Harusnya ia tidak peduli. Mau Rizqa marah, protes atau apapun itu, dia Boss-nya di sini. Namun melihat gadis itu menangis, mengapa terasa ada yang teriris?

Kunci itu, bahkan ia serahkan begitu saja. Ada apa dengan Barra?

Jiwa Robin kembali meronta-ronta dan bertepuk tangan meriah penuh keheranan.

Sementara di perusahaan tambang Abbas.

Pria berjanggut putih itu baru saja mendapat laporan dari Guen kalau tadi Rizqa menghubungi ke kantor. Abbas menyesal saat itu ia tidak di tempat. Tapi paling tidak, sekarang ia tahu Rizqa bersama Barra dan selamat dari penjahat itu meski tetap saja ia tidak tenang. Sekarang, ia harus segera mendapatkan alat penyadap, dan menambah penjagaan lebih ketat. Rizqa harus segera pulang. Atau ia kirim kembali ke Belanda agar penjahat itu tidak mendapatkannya.

Ya. Apa pun caranya. 

°°°

"Mba, nanti malam mau makan apa?" tanya Surti pada Rizqa yang sedang duduk membaca buku di ayunan rotan dekat balkon ruang tengah yang menghadap ke pantai. 

Susti berdiri di pintu kaca lebar yang di sanding dengan kain gorden putih gading besar yang menjulang. 

"Eh, Mba Susti udah ada beli apa?" tanya Rizqa. 

"Masih yang tadi sih."

"Apa yang ada aja, Mba. Kalau belanja emang ke mana?" 

"Ada pasar nggak jauh dari sini, Mba. Eh, Mba. Itu ada dalgona di meja. Mau saya bawain ke sini?" tanya Susti. 

"Dalgona? Mba inisiatif bikin?" 

"Eng? Eh, iya. Ada bahannya." Susti nyengir kuda. 

"Oh. Ya udah. Aku aja yang ambil, Mba. Nggak usah repot Mba Susti yang bawa ke sini." Rizqa bangkit menuju meja makan, mengambil gelas berisi dalgona dan kembali lagi ke ayunan rotan. Dengan mata berbinar ia menyeruput bagian atas dalgona dan kembali membaca. 

Di anak tangga, Barra menatap ke arah ayunan rotan dengan tatap sarat makna. Entah apa. Sementara di meja makan, Susti melihat Barra dengan tatapan misi sukses bersama acungan jempol dan senyum yang mengembang. 


Tbc


 

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top