Bag 7 : Milikku

Maaf, ya. Aku telat lanjut yang part ini. 🙈🙏
Dinyatakan riweh 🤭😂
Ditambah gak ada yang nagih jadi kupikir nggak ada yang nunggu. 🤣🙈🙏
Santai jadinya 🙈🙏

Okay here Barra.

.
.
.
Selamat membaca 🤗

“Mas, Vila ini ada wifi-nya, ya? Pasword-nya apa?” tanya Rizqa yang baru keluar kamar lagi setelah meletakkan mukena. Ia sudah mandi sebelum waktu subuh tadi.

Barra yang ditanya hanya mengangkat mata tanpa bergeser dari depan piringnya. Ia sedang sarapan nasi goreng buatan Susti—ART yang Barra pekerjakan setiap ia ke sini. Wanita itu salah seorang pekerja pihak pengelola. Barra mendapatkan dia dari rekomendasi pihak mereka juga.

“Nggak ada.” Akhirnya Barra menjawab. Datar. Ya. Seperti biasa.

“Tapi aku lihat ada wifi yang konek ke ponsel aku.” Wanita yang kini mengenakan tunik lengan panjang dipadu celana bahan itu berdiri dekat sudut dinding meja.

“Wifi sebelah.”

“Ck! Kita keluar lah nanti, beli paket internet.”

“Kamu dilarang online. Hape itu cuma untuk memudahkan aku jaga kamu. No aplikasi apa pun terkait dunia persosmetan,ya.”

Mata Rizqa melebar disusul hidung yang berkerut. Sungguh, ini ajudan kenapa sudah seperti dosen killer saja? Tidak. Bahkan yang ini lebih seram.

“Hape mahal begini cuma untuk SMS dan nelpon? Sama aja bohong dong! Jadi ngapain kamu buang-buang duit Papa beli ponsel mahal kalau cuma buat begituan doang? Hape tililit aja sekalian!” ujar Rizqa ketus dengan maksud menyindir.

Sebenarnya, ia adalah type wanita sederhana yang pantang buang uang berlebihan meski orang tuanya tentu mampu membelikan. Itu pendidikan yang ditanamkan Abbas sejak ia kecil. Bukan karena pelit, tapi memanfaatkan uang sesuai kebutuhan. Bukan keinginan.

Namun untuk ponsel pintar di tangannya sekarang, adalah termasuk yang ia butuhkan mengingat rutinitasnya menulis novel.

“Oh. Jadi kamu mau ponsel jadul aja? Okay!” Tak menghiraukan protesan Rizqa, Barra terus menyuap sarapan ke mulutnya, tanpa dosa. Sikapnya mengandung ketegasan yang cukup tersirat. Seolah senang hati menyetujui pendapat gadis yang punya karakter ceria itu.

“Mas Barra. Internet jadi kebutuhan aku. Aku nulis novel juga soalnya, Mas.”

Gadis dengan tinggi semampai itu mengembus kasar sampai gigi gerahamnya bergemeletak diikuti kaki yang mengentak.

“Kamu bukan sedang liburan ke sini. Kamu sedang sembunyi. Kalau kamu pakai internet buat keseharian kamu seperti biasa, sama aja kamu mengundang bahaya untuk diri kamu sendiri,” ucap Barra dengan tatap tajam.

Rizqa yang masih kesal mengambil duduk di sofa tak jauh dari meja makan.

“Jadi aku?” Gadis itu memejam dan mengembus pasrah. “Harus ngapain di sini? Ha? Ke laut nggak boleh. Internet nggak boleh. Ya Allah  ....”  Lenguhan gusar disusul bola mata berputar terbias di wajahnya.

Pria dingin itu mengangkat mata, menatap lurus ke arah Rizqa dengan wajah tanpa ekspresinya.

“Udah marahnya? Kamu bilang nggak baik sering marah-marah. Makan tuh! Kayaknya kamu lapar, makanya marah-marah.”

Bagai tertohok dan terpojok, itu yang dirasakan Rizqa.

“Apa aku terlihat sedang marah-marah? Aku cuma meluapkan unek-unek lho!” kata Rizqa membela diri.

Kalimat Barra seolah memutar balik arah cerita. Kemarin ia yang mengingatkan Barra, kali ini ia yang berada di posisi seolah tidak bisa menahan emosi. But kondisi ini memang cukup menguji sekali.

Barra acuh. Tak mau ambil pusing sama sekali dengan penjelasan Rizqa.

Gadis itu mendengkus. Akhirnya mengambil duduk di meja makan juga. Lalu mulai menyiduk sarapannya.

Dari penilaian Barra, meski Rizqa ada sisi kerasnya, gadis itu termasuk yang penurut juga. Buktinya sekarang ia mengalah. Tak lagi dengan drama protesan dan mulai makan.

Rizqa Zamzami hanya bersikap tegas ketika prinsip dan kepercayaan yang ia yakini diganggu.

Kesimpulan itu menyatu di otak Barra. Namun hanya ekspresi misterius yang ada di wajahnya.

Cukup lama tak ada lagi suara perbincangan antara mereka. Rizqa diam dengan aktivitas makan, sementara Barra sibuk dengan kopinya.

Tak lama, pria berahang tegas itu bangkit meninggalkan Rizqa sendiri yang masih berkutat dengan perasaan sumpek berdiam di sini.

Benar-benar tak bisa dibayangkan. Pulang ke Indonesia ingin melepas rindu malah begini ceritanya. Terdampar! Bersama ajudan super angkuh lagi. Pekik Rizqa dalam hati.

Hingga Rizqa selesai makan, tiba-tiba suara Barra kembali. Pria itu berdiri di dekat pintu masuk ke dapur.

“Sudah selesai? Ayo keluar.” Barra berkata, dan pergi begitu saja tanpa melihat respon apakah Rizqa menjawab iya atau tidak.

Gadis berkulit putih bersih itu melenguh heran. Namun, sekarang, tanpa mendengar kalimat lanjutan, Rizqa langsung berbinar.

🔫🔫🔫

Everything is gonna be fine. Lagu itu mengalun menemani perjalanan mereka kali ini.

Rizqa sengaja membuka kaca jendela mobil untuk menghirup udara. Matanya memandang ke arah laut yang berkilau karena pantulan cahaya matahari menjelang siang. Pasir putih yang terhampar lebar bersisian dengan pantai membuat pemandangan semakin memesona.

Rizqa tak bertanya lagi mau ke mana setelah Barra menjawab akan ke kota.

Mobil Barra berhenti di sebuah toko kecil. Sepertinya tempat reparasi ponsel. Pria itu berbicara sejenak di sana. Sementara Rizqa mengedar pandang ke toko-toko sekitar.

Aktivitasnya pun terhenti ketika Barra memanggil.

“Kita akan telepon orang tua kamu untuk memberi kabar kalau kamu aman bersamaku. Kamu tau nomor kontak kantor papamu?” tanya Barra.

Rizqa mengangguk, meraih kertas dan pena di meja, lalu menuliskannya di sana. Gadis itu mulai mengerti kondisi ini. Memaksa menelepon ke rumah hanya akan membahayakan dirinya.

Mata Barra lurus menangkap setiap angka yang Rizqa tulis dan menerimanya setelah Rizqa selesai.

Barra menatap sekilas saja barisan angka-angka itu dengan tenang hingga tak ada yang bisa membaca apa yang sedang ada dalam pikirannya. Otaknya merekam dengan cepat dan menyimpannya dalam memori begitu lekat. Setelah itu, ia membakar kertas itu.

Dengan meminjam ponsel pemilik toko, mereka menghubungi ke perusahaan Abbas. Kebetulan sekali, sekertaris Abbas yang menerimanya.

“Mba, ini Rizqa. Papa ada?”

“Tuan sedang keluar, Mba. Ada pesan yang perlu saya sampaikan?”

Dari raut wajah Rizqa terlihat jelas ia kecewa. Entah kapan ia bisa menghubungi Papanya lagi.

“Sampaikan ke Papa, saya baik-baik aja. Suruh Papa cepat selesaikan kondisi di sana, ya. Aku pengen cepat pulang. Pengen ramadhan di rumah. Eum  ....” Rizqa menggigit bibir menimbang hendak mengatakan apa lagi. Bicara lewat perantara begini membuatnya tak leluasa harus menitipkan pesan apa.

Akhirnya Rizqa hanya bisa menyudahi panggilan dengan wajah sedikit kecewa. Namun paling tidak ia sudah berusaha.

“Sudah?” tanya Barra memastikan. Disusul dengan anggukan Rizqa. “Papa lagi keluar. Aku titip pesan aja. Nanti kita sekalian berhenti di konter pulsa, ya. Beli pulsa dulu. Nanti bisa telepon Papa ke nomor kantor aja lagi.”

Barra menggeleng. “Kamu nggak bisa sering telepon meski ke nomor kantor. Nomor kamu yang sekarang bisa aja dilacak,” ucap Barra datar.

Gadis itu mengembus lemah.

Okay.” Mereka keluar dari sana setelah Barra menyelipkan beberapa lembaran biru ke pemilik toko.

“Kita mau ke mana lagi habis ini, Mas?”

“Kenapa?”

“Aku  ... jenuh kalau cuma diam aja di vila.”

Sambil terus melangkah, Barra hanya melempar pandang jauh ke depan seolah tidak menghiraukan perkataan gadis itu.

“Ayo naik,” katanya tanpa peduli.

Rizqa mendengkus hingga hidungnya berkerut. Bicara dengan pria ini sungguh butuh banyak stok kesabaran.

Rizqa naik masih sambil mendengkus, sementara Barra langsung melajukan mobil setelah Rizqa menutup pintu.

Sepuluh menit melaju. Mobil itu kini memasuki halaman gedung dua lantai yang tak cukup ramai. Namun dari pengamatan Rizqa, ia bisa menebak ini tempat apa.

“Gramed?” Bola mata hitam pekatnya melebar. Barra yang melirik sekilas menangkap ekspresi itu dengan antusias yang hanya terlintas di dalam hatinya.

“Kamu bilang kamu suka menulis ‘kan? Berarti suka baca. Beli buku yang kamu suka. Kamu bisa menghabiskan waktu dengan baca buku di vila,” ucap Barra sambil melepas safety belt.

Ia turun diikuti Rizqa yang kini menarik senyum kecil. Ide Barra tak terlalu buruk. Ia memang suka membaca. Pria itu, dingin tapi diam-diam punya rasa peduli. Tindakannya tak bisa ditebak tapi tak bisa ditolak kalau ia sudah beraksi.

Langkah mereka sampai di lantai dua. Rizqa memilih beberapa novel, buku bisnis dan komik.

Terkesan abai, tapi tanpa Rizqa tahu mata Barra merekam setiap gerak gerik dan buku apa saja yang menjadi perhatian gadis itu. Dari sana lah, Barra bisa menilai, wanita seperti apa putri Abbas itu.

“Mas Barra cari buku apa?” tanya Rizqa yang sudah menghabiskan sepuluh menit berdiam di satu rak saja. Ia membaca beberapa buku yang menurutnya bisa ia simpulkan dengan cepat. Dan untuk buku yang sepertinya ia butuh baca lebih lama, maka buku itu yang ia beli.

Pertanyaan Rizqa hanya dijawab Barra dengan bahu terangkat.

Rizqa mengerti. Tak semua orang suka membaca. Padahal membaca itu jendela dunia.

“Jadi kita ke sini cuma buat aku aja?” tanya Rizqa.

“Hhhm. Jangan lama-lama, ya. Kita harus segera pulang. Nggak baik lama-lama di luaran. Kalau ada yang mengenali kamu, bisa mengundang bahaya,” kata Barra sambil mengedar pandang misterius.

“Okay. Aku udah selesai kok.” Rizqa tersenyum dan berlalu menuju kasir diikuti Barra.

Setelah membayar. Rizqa pamit ke toilet dan meminta Barra menunggu di mobil. Pria itu menolak dan memilih menunggu Rizqa di depan toiletnya. Mata Rizqa terbelalak ketika pria itu dengan santai melangkah, mengalahkan langkah Rizqa menuju toilet itu.

Barra menyandar dan bersedekap dua tangan di depan dada seraya mempersilakan Rizqa masuk. Gadis yang melihat tindakan Barra itu sempat menarik senyum geli tapi juga canggung diperlakukan seperti itu.

Bagi Barra, mungkin ia sandera yang harus tetap berada dalam pantauannya. Namun bagi Rizqa, tindakan itu malah--ia anggap adalah--sebuah perlindungan untuknya.

Keluar dari toilet, Rizqa melihat ada ATM tak jauh dari pintu keluar.

“Mas, aku ke ATM dulu, ya.”

Rizqa langsung melangkah. Melihat itu Barra maju dan menghadang gadis itu.

“No!” kata Barra tegas. Mata Rizqa mengerjap aneh.

“Ini termasuk yang bisa membahayakan kamu juga,” sambung Barra lagi agar Rizqa tak curiga. Gadis itu menganga dungu, sejatuh-jatuhnya, tak habis pikir dengan semua drama ini.

“Lalu? Uang tunai aku udah menipis soalnya.”

“Kamu nggak akan sering butuh uang tunai. Memangnya kamu mau ke mana? Kamu 'kan bakal sering di vila. Ayo.”

Barra melangkah tak melihat ekspresi Rizqa yang mendesah lelah.

Sebelum masuk ke mobil, mata Rizqa menagkap gerai ice cream.

“Mas. Tunggu. Tunggu. Aku mau itu. Kalau yang itu boleh ‘kan?” tanya Rizqa dengan wajah konyol.

Sempat menjeda untuk melihat arah telunjuk gadis itu, Barra mengangguk dan menunggu di depan mobil. Rizqa menyeberang ke gerai ice cream.

Dari kejauhan, mata elang Barra terus memantau keberadaan Rizqa.

Ketika gadis itu menunggu ice cream-nya. Dua orang pria menyambar tas Rizqa dengan sengaja dan lari diiringi pekikan sandera Barra.

Di sini, darah pemburu Robin Alexander langsung mendidih ke tingkat tinggi. Netra elangnya makin menajam mengikuti arah lari dua pencopet itu. Dengan cepat mata itu memindai semua sisi yang bisa ia gunakan untuk menghajar dua pria yang berani main-main dengan miliknya.

Miliknya?

Masih dengan otak bekerja, sebuah tanya melintas di sana.

Ya. Rizqa milikku! Karena Rizqa sanderaku.

Bersama seringai misterius, langkah Barra dengan tegas melaju. Berpacu dengan angin menuju arah tujuan dua pencopet tadi. Ia naik ke beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan dan melompat salto di atasnya untuk bisa sampai lebih dulu di depan dua 'tikus' buruannya itu.

TAP!

Kaki Barra mendarat dengan tepat di depan mereka hingga mereka sontak terperangah. Belum lagi sempat mengambil tindakan, tangan Barra sudah mengayun, melepas pukulan bebas ke wajah mereka secara bergantian. Kedua lawan itu mengaduh. Barra meraih kepala salah satunya dengan kasar lalu kembali mendaratkan bogeman tepat ke batang hidung lawan.

Melihat aksi itu, pria satu lagi menciut dan mencoba lari ke arah lain.

Barra yang melihat itu tentu saja tak akan memberi point. Ia bangkit dan kembali naik ke atap mobil yang terparkir, melompat, dan melayang bebas di udara, berhasil menendang pundak buruan sebelum kakinya mendarat ke tanah.

Sekali gerakan ia menarik kembali tas Rizqa dengan mudah, lalu lutut menekuk tepat di leher sang rival sebagai ancaman jika ia masih berani brutal.

“Ampun, Pak! Ampun!” pekik pria itu seraya mengangkat tangan.

Suara erangan Barra cukup kuat kembali menghentak wajah itu ke aspal.

Ia lalu bangkit dan melangkah tegas, pergi meninggalkan pria yang langsung lari tunggang langgang begitu Barra melepaskannya.

Di sana, pupil Rizqa masih melebar menatap adegan aksi barusan. Kelopak mata itu baru berkedip ketika Barra menyerahkan tas itu kembali.

“Ayo!” ucap Barra dengan dingin lalu menuju mobil diikuti langkah Rizqa yang masih tak percaya dengan aksi Barra tadi.

Pria ini. “Mungkin ... karena alasan itu Papa memperkerjakannya. Dia ... bukan ajudan main-main, euy!” gumam Rizqa pecah dalam hati.

.

.

Cerita ini sudah tamat di KBM App. Insyaa Allah akan segera dibukukan dan E-Book juga. Doakan mudah dan lancar semua, ya. 🤗

Tengkyu 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top