Bag 5 : Tempat Baru

Alhamdulillah. Bertemu Barra lagi. Vote dulu sebelum membaca, ya. Tengkyuuu 

***

Setelah keluar dari pelabuhan, Barra masih tak memberitahu arah tujuan mereka. Rizqa yang kelelahan setelah perjalanan jauh akhirnya terkantuk meski ia tak ingin tidur. Cukup keras ia berusaha tetap membuka mata tapi rasa kantuknya masih lebih besar membebat dirinya.

Barra yang tak biasa bersikap lunak apalagi ramah hanya pura-pura tidak tahu kalau kepala Rizqa sempat terhantuk jendela berulangkali akibat kantuknya itu. Pria itu sedang berperang dengan dirinya harus peduli atau apa? Namun akhirnya ia hanya diam, entah itu benar atau tidak. Terserah! Begitulah ia bergumam. 

Sampai akhirnya, Rizqa tak sadar benar-benar terlelap hingga kepalanya miring ke kiri bersandar di pintu.

Tiba-tiba rintik hujan pun turun membasahi bumi. Barra yang punya tatap misterius itu sempat mencuri pandang pada Rizqa yang terlelap dan kedinginan. Pria itu mengernyit kecil, lalu entah dorongan apa berinisiatif menurunkan temperatur AC.

 Mobil Barra berhenti ketika ada beberapa mobil yang menghalangi jalan di depan mereka. Ia sempat risau. Tapi kondisi itu malah tak sengaja membuat dia kembali menatap wajah Rizqa yang sedang memejam.

Bagai seorang bayi yang tertidur pulas. Tenang, damai dengan napas yang teratur. Mengundang Barra untuk kembali memandangnya. 

Lama Barra menatap wajah itu meski wajahnya tetap saja masih tanpa ekspresi. Sesekali ia melirik ke depan untuk melihat kapan waktunya kembali jalan. Ketika kembali menikmati keindahan di wajah Rizqa, ia tersentak. Jiwa pemburu Robin Alexander dalam darahnya berdecak.

Sedang apa kau hei, A Reaper Devil? Sedang, ke mana dan ada apa dengan jiwa pemburumu? 

Barra membuang pandang cepat, dan kembali melajukan mobil begitu kemacetan terurai.

Rizqa yang tak sadar tertidur akhirnya tersadar dan bingung mereka entah di mana.

"Kita udah di mana ini, Mas Barra?" tanya Rizqa serak, mengusik jiwa lelaki ajudannya sedikit terjaga.

"Nanti kamu juga tau," jawabnya lurus dan ketus.

Rizqa tak lagi heran dengan sikap pria itu jadi ia tak ambil peduli.

Setelah menyeksamai dengan benar rambu-rambu dan nama jalan yang tertera di sekitar. Akhirnya, Rizqa benar-benar yakin kini mereka berada di Raja Ampat.

"Raja Ampat? Serius kita lagi di sini? Ohoh. Aku nggak sadar ketiduran tadi." Gadis itu mendesah lemah dan memukul kepala dengan bodoh. Dua kali ia kecolongan tertidur. 

Barra membawanya dari Bandara Domine Eduard Osok untuk menyeberang dengan kapal lewat pelabuhan Sorong Rakyat. Tujuan tak terduga yang membuat angaj Rizqa berada di dekat orang tua kandas begitu saja. Ya, harusnya sekarang ia sudah berada di Komplek Manhakam Blok A nomor 11. Tak jauh dari Masjid Al-Akbar Sorong. 

Melewati waktu 6 jam kemudian ia malah sampai ke pelabuhan Raja Ampat. Kini mereka telah sampai di sebuah Villa dekat Oasis.

Barra turun dan menemui penjaga yang telah ia loby lewat ponsel ketika Rizqa tidur tadi. Bukan perkara susah buat Barra, apalagi ia juga pernah ke sini untuk tujuan wisata bersama Giyatsa. Tempat ini punya ceklis yang Barra butuhkan. Eksklusif, berkelas dan privasi tingkat tinggi dari pengelolanya. Ia bisa fokus bekerja di vila yang menghadap ke pantai ini.

Sementara ia mengumpulkan info tentang Danapati, mereka akan bersembunyi di sini. Setelah yakin dengan strategi yang akan ia proyeksi, Barra akan memunculkan diri untuk menyerang Danapati. Ia yakin akan mendapatkan pria itu.Tentu saja. Ada Rizqa yang akan menjadi umpannya.

"Ini vila, Mas?" tanya Rizqa ketika Barra memutar kunci dan membuka pintu.

Sementara Rizqa mengedar pandang, memindai pemandangan berselimut gelap di sekitar.

"Ada siapa di sini?" tanya Rizqa lagi menyalakan kewaspadaan.

"Kamu lihat? Ada siapa?" Barra pura-pura mengedar pandang dengan dingin lalu menatap Rizqa dingin dengan sekilas. 

Rizqa yang paham dengan sindiran pria itu langsung mendengkus. Itu artinya?

"Jadi? Kita berdua tinggal di vila ini?" cecar Rizqa gusar dengan mata yang lebar. Ini bukan berita baik baginya.

Barra yang mendengar itu hanya bergeming sambil terus mengangkat koper Rizqa ke dalam vila.

"Hei! Kamu jangan main-main, ya. Mas!" Rizqa mengekor dua langkah di belakang Barra. "A-aku—" Rizqa berjengit mundur menahan suara. Hampir mereka bertubrukan karena Barra yang tak tahu Rizqa mengekorinya berbalik tanpa aba-aba.

Netra mereka tak sengaja beradu saling memantulkan tatap. Pupil Rizqa melebar ketika melihat ekspresi datar Barra.

Segera Rizqa merundukkan mata tak ingin berhadapan Intens dengan pria itu.

"Aku nggak mau kita tinggal serumah!" lanjut Rizqa lagi. "Ini nggak bener! Kenapa nggak cari hotel aja sih?"

Barra berhenti dan berkacak pinggang. Ke hotel dengan identitas mereka? Tentu bukan pilihan yang membawa keuntungan baginya. Malah petaka. Barra memilih Vila ini karena pengelolanya sudah mengenal dia meski bukan dengan nama. Hanya pelanggan setia.

"Kamu lihat nggak sebesar apa vila ini? Ada berapa kamar di sini? Berani kamu sendiri di sini? Ha? Berani? Kamu pikir aku mau macam-macam sama kamu? Nggak usah halu!" Barra berkedik dagu meraih tasnya dan pergi meninggalkan Rizqa setelah mengunci pintu.

Benar kata Barra, Rizqa sendiri pun tak berani berada di vila besar ini sendiri. Ck. Harusnya pria kaku itu tanya dulu. Pesan vila atau kamar hotel? Dan Rizqa akan memilih hotel. Mereka bisa pesan kamar berbeda dengan privasi lebih terjamin bagi Rizqa. 

Memangnya mau berapa lama mereka sembunyi? Atau  ... apa mereka seterusnya di sini? Pupil hitam Rizqa melebar, secepat itu juga kembali mengecil  ketika Barra keluar lagi.

"Kamar kamu yang itu." Barra menunjuk satu kamar tepat di samping kamarnya.

"Kalau aku nggak mau?" jawab Rizqa mendengkus.

"Harus mau!" sambar Barra.

Mendengar nada bicara pria itu Rizqa semakin berang. Yang dibayar di sini sebenarnya siapa? Pekik Rizqa dalam hati.

"Kenapa harus kamar itu? Kalau aku mau yang di sana, sana, atau sana. Kenapa? Ha?" tunjuk Rizqa ambisius tapi wajah meledek.

"Ck! Pokoknya kamar itu!" Barra melangkah dan mengangkat lagi barang-barang Rizqa yang tadi hanya ditinggalkan di dekat sofa. Digeretnya benda-benda itu ke kamar yang ditunjuknya.

"Heeei!" Rizqa berusaha menghadang. "Aku nggak mau dekar kamar kamu!"

"Harus kamar ini!" sambar Barra tegas. "Kamu, nggak boleh jauh dari pandangan saya!" Netra mereka lagi-lagi tak sengaja beradu ketika Barra mengatakan itu.

Rizqa terpaku dengan pupil yang melebar dan jantung yang berdesir seketika. Ia menangkap makna berbeda dari kalimat ajudan si wajah kaku itu.

 Pria itu pergi tanpa menghiraukan Rizqa dan kembali menoleh sebelum masuk ke kamarnya dengan sorot mata misterius khas dirinya.

Rizqa mengerjap. Kenapa ia merasakan napasnya mulai berpacu? Putri Abbas itu menelan ludah untuk menetralkan desir dan melangkah masuk ke kamarnya.

Di dalam, ia mengedar pandang mengecek ke setiap sudut kamar. Ada empat pintu lain di kamar ini. Rizqa membuka satu per satu.

Kamar mandi.

Walk in closet.

Balkon.

Dan ....

Mata Rizqa menangkap ke satu pintu tak jauh dari pintu masuk. Dengan bibir maju ia mencoba membukanya. Tak terkunci.

Ia mendorong pintu, melangkah masuk dan seketika menjerit.

"Aaaaa!"

Suara histeris Rizqa sontak membuat Barra yang bertelanjang dada menyalakan kewaspadaan hingga hampir saja kembali membekap mulut gadis itu jika tidak mengingat janji untuk menahan diri.

Barra tak panik. Ia hanya melangkah tenang seolah tak ada yang terjadi.

Rizqa yang masih terkejut segera berbalik keluar dari sana tapi tidak menutup pintu sepenuhnya. 

"Hei! Kenapa pintu ini menyambungkan kamar kita! Ha?"

Tak ada jawaban dari Barra. Pria itu hanya berdiri sambil menuang minum.

Melihat gerak gerik itu kemarahan Rizqa makin terpompa.

"Hei Mas Barra, kenapa biasa aja?" ucap Rizqa heran tapi nada kekesalan. 

Masih tak ada jawaban. Tiba-tiba ada lampu menyala di otak Rizqa dan netranya terbuka lebar. "Atau jangan-jangan Mas Barra udah tau ini? Ha?" pekik Rizqa di balik pintu. Hanya tangannya yang terlihat di handle pintu.

Gadis itu berdecak kesal karena pria dingin itu tak menggubrisnya. Tiba-tiba, ia merasakan tubuhnya tertarik kembali. Rupanya Barra mendekat dan menarik pintu.

"Ya. Aku udah tau. Sekarang kamu juga udah tau. Ya udah. Selesai."

Pria itu menutup pintu seakan ini bukan hal penting. 

Melihat respon tanpa dosa pria itu pupil Rizqa melebar.

"Aku pindah ka—"

"Enggak!" potong Barra kembali hadir dengan kepala menyembul di pintu hingga membuat Rizqa kaget bukan main. 

"Supaya apa kamar kita saling terhubung? Aku nggak mau!" ucapnya ketus. 

"Supaya kamu aman!"

"Apa? Yang ada bukan aman! Malah—"

Kalimat Rizqa terpenggal ketika netra Barra sengaja menatap lurus cukup menghunus menembua netranya. Setelah itu, tanpa peduli lagi Barra menutup pintu.

Rizqa mendesah kasar dengan mulut mengerutu. Apa-apaan ini? Geramnya tak habis pikir.

Tanpa pikir panjang tangannya bergerak menggeser nakas ditambah satu kursi di atasnya ntuk mengganjal pintu.

"Awas saja kalau kamu berani macam-macam!" ceracaunya keras. Mau tak mau ia harus berdiam di kamar ini sementara. Karena pindah kamar pun keberaniannya belum terkumpul sempurna. Jarak kamar lainnya cukup jauh dari kamar Barra. Kalau ada apa-apa bagaimana? 

Setelah itu ia terkulai di atas ranjang setelah mengibas terlebih dahulu seprai putih bersih itu. Kebiasaan Rizqa yang ia anut dari hadist nabi.

Sebelum benar-benar terlelap ia bangkit ke kamar mandi. Membersihkan diri dan mendirikan shalat. Usai shalat, Rizqa menyempatkan diri membaca Ayat suci Al-Quran untuk meredakan gelisah sambil duduk di ranjang. Karena begitu lelah akhirnya ia tertidur hingga tak sadar mukenanya masih ia kenakan sambil memeluk mushaf


Tbc

Koment dooong :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top