Bag 2 : Menjalankan Misi
Hay. Ketemu lagi. 🤗 alhamdulillah. Selamat membaca. 🤗
🔫🔫🔫
Dengan mobil milik Abbas, Robin Alexander G sudah melaju di jalanan. Berbekal nama samaran Barra Julio Natasena ia berhasil menjadi ajudan Abbas di rumahnya selama dua hari ini.
Barra. Begitu orang-orang di rumah Abbas memanggilnya.
Informasi Abbas mencari ajudan, mereka tangkap lewat penyadap di depan rumah Abbas yang dipasang anak buah Danapati, tepat di tiang listrik depan pagar.
Lewat Giyatsa, Robin memainkan peran menjadi Barra Julio untuk melenyapkan Rizqa lebih dulu. Sementara anak buah Danapati akan meminta tanda tangan dari Abbas. Setelah melenyapkan Rizqa, langkah selanjutnya adalah giliran Abbas dan istrinya. Yang akan dilakukan di rumah mereka sendiri.
Barra yang baru dua hari bekerja, dengan cepat menghafal area yang akan menjadi ia melancarkan misinya.
Hari ini, ia mendapat tugas menjemput Rizqa di bandara yang akan ia manfaatkan untuk melakukan misi.
Snipper dengan pengedap suara sudah siap menjadi sahabatnya melibas target sekali bidikan di dalam bagasi.
Bukan perkara sulit. Membidik objek, menancapkan peluru di badan target adalah kesenangan sendiri buat pria yang kini dipanggil Barra itu. Ia bahkan mampu melibas dengan pedang targetnya tanpa ampun, tanpa belas kasih apalagi empati sama sekali.
Barra mengunyah permen karet dengan hati riang. Kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali hendak melakukan misi. Seolah hal itu semakin menyalakan jiwa pemburu dalam dirinya.
Saat itu juga sesuatu di tangan kirinya berdering. Layar datar terpancar di atas tangannya menampakkan wajah Giyatsa.
“Kau dalam posisi?”
“Ya. Jangan lama-lama menelpon. Kau mengganggu misiku,” katanya dingin.
“Robin, Danapati mengubah rencana. Jangan bunuh gadis itu.”
Alis pria dengan nama asli Robin itu naik satu. Orang macam apa yang membayar dirinya kali ini? Plinplan! Gerutunya tak suka.
“Dia butuh gadis itu hidup-hidup!”
“So?” kata Barra datar. Tak ada senyuman di wajahnya.
“Ambil dia dan bawa menghadap ke Danapati.”
“Ck! Aku benci ini, Giyatsa. Kau tau itu,” kata Barra yang tak suka dengan pembatalan rencana secara tiba-tiba.
Ya, pemuda berahang tegas itu paling benci perubahan kesepakatan seperti ini.
“Yes. I know. Tapi ....”
“Hubungkan aku dengan Danapati. Sekarang!” kata Barra keras.
Giyatsa mengalah.
Tak lama muncul wajah Danapati yang sudah tersambung ke panggilan bersama Barra.
“Hallo, Bro! Akhirnya aku bisa bicara denganmu. Hei! Dengar. Aku butuh tanda tangan dan cap jari gadis itu. Jadi, segera bawa dia padaku!” kata Danapati penuh ambisi. Dari gurat wajahnya terlihat kalau ia sedang sangat marah.
“Kau harusnya tahu kalau aku tidak suka kesepakatan yang dilanggar tiba-tiba secara sepihak.” Tak kenal gentar, kalimat itu seakan melibas balik Danapati yang seenaknya saja merubah rencana. Robin Alexander G benci itu.
“Ya. Tapi perubahan ini tidak sulit ‘kan? Malah meringankan tugasmu. Aku tidak akan memotong komisimu. Ambil dan bawa dia padaku. Lalu lanjutkan tugasmu yang lainnya.”
Bukan masalah sulit atau tidaknya. Ia tak suka kalau korbannya mengingat wajahnya lalu ia gagal membunuhnya. Itu akan merusak reputasinya. Tentu saja.
Akan lebih baik jika, bertemu, tapi setelah itu hilang selamanya dari dunia. Tak ada cerita, tak ada dilema, tak ada lagi masalah yang bisa saja menyeretnya. Meskipun ia juga punya tim yang siap siaga menghapus jejaknya di saat genting hingga hilang tanpa bekas sama sekali.
Detik itu juga, Barra menangkap sebuah kalung yang menggantung di dada Danapati. Matanya bergerak samar dan penuh perhitungan. Ada sesuatu yang mengusik ingatan pria berambut lurus itu. Matanya menajam diikuti rahang yang mengeras. Potongan-potongan memori dalam kepalanya melintas. Itu?
“Hei, Bro! Hurry up! Kau paham?” kata Danapati tegas membuyarkan ingatan Barra tapi tak merusak konsentrasinya untuk berpikir cerdik dan cepat.
“Kau mau gadis itu?” Seringai dingin sarat makna tertarik di wajah Barra tiba-tiba. Seolah ia menemukan hal lain yang lebih menarik. Seakan sudah tak masalah baginya jika korban akan mengenalinya usai misi. Tak ada yang tahu, rencana apa yang sedang dirancang otaknya saat ini.
“Ya! Segera! Aku akan kirim titik kordinatnya. Okay!”
Begitu panggilan tertutup. Otak seorang Robin Alexander G makin menajam. Kedipan mata elang dan seringai misterius terlukis di wajahnya.
“Kau mau gadis itu?” lirihnya lagi misterius dengan mata memicing dan lengkungan sinis di ujung bibir.
Mobil yang dikendarainya semakin melaju kencang. Fokusnya kembali diinterupsi ketika ponsel baru khusus untuk misi menjadi Barra berdering.
Mrs. Abbas.
“Ya, Madam.”
“Barra. Apa kau sudah sampai?”
“On the way, Madam.”
“Barra. Cepat sampai ke bandara. Ada kelompok yang ingin mendapatkan Rizqa. Cepat dapatkan dia lebih dulu dan pergi dari sana!”
Kali ini suara Abbas pula.
“Ya, Mister,” jawabnya lugas langsung mengerti. Tentu saja, karena ia yang kini memegang kendali.
“Jangan ke rumah! Bawa dia pergi jauh dari sini. Aku mohon bantuanmu. Aku sedang mencari tempat untuk menyembunyikan Rizqa. Sementara bawa dulu dia pergi dari kota ini. Nanti aku kirim alamat tempat yang aman untuk dia berdiam. Kau paham?”
Mata hazel Robin Alexander menajam. “Baik. Mister.”
Tak ada senyum, apalagi raut wajah panik dan gamang. Yang terbias di wajahnya hanya sorot mata lurus, dingin dan misterius. Entah apa yang sedang tertulis di otaknya.
Dengan langkah tegas ia masuk ke bandara memegang kertas bertuliskan nama Rizqa Zamzami.
Lima menit menunggu, seorang gadis dengan rok berwarna biru jeans dipadu tunik hitam dan outer coklat muda senada dengan kerudungnya sedang mendorong troli berisi koper.
Mata Barra terangkat, menatap lurus dengan sorot tak terbaca ketika melihat Rizqa hendak mendekat. Itu gadis yang ia tunggu. Tapi ... mengapa tiba-tiba kali ini matanya terpaku?
Barra berkedip cepat, kembali memasang wajah dingin dan misteriusnya.
“Anda suruhan Tuan Abbas Zamzami?” tanya Rizqa tanpa curiga. Suara itu, membuat Barra berdesir.
Wanita ini lebih anggun aslinya dari gambar yang masuk ke surelnya. Bahkan suaranya merdu masuk ke telinga.
Barra mengangguk, lalu memiringkan kepala sedikit, mengajak ikut serta.
“Aaaah! Senangnya menghirup udara Indonesiaaa. Uhm, bau-bau opor ayam buatan Mama nih!” seru Rizqa berbinar seraya merentang tangan ketika ke luar dan sampai di drop zone.
Setelah Barra menaikkan koper ke bagasi.
“Kamu sendiri?” tanya Rizqa yang dijawab kata singkat.
“Ya.”
Rizqa mengerutkan dahi dan mengedar pandang ke sana ke mari. Ada banyak security di mana-mana
“Kenapa nggak bawa temen sih? Bi Murti kek. Kan aku ada temen bicara. Eh, tas yang ini masuk bagasi aja juga. Awas jangan dibanting. Fragile ini," celotehnya lagi mengingat ART yang biasanya ikut ke mana ia pergi jika di Indonesia.
Barra tak menggubris perkataan Rizqa. Tanganya terus memasukkan tas yang dikatakan Rizqa. Sandiwara yang mau tak mau harus ia lakoni meski tak suka sama sekali.
Ia sengaja pergi sendiri, tentu saja untuk melancarkan misi awalnya ia datang ke rumah Abbas.
"Ck. Ya udah deh. Udah nggak sabar pengen sampai rumah."
Barra merasa telinganya mulai gatal. Begini saja, manusia yang sedang bersamanya ini membuatnya harus mendengar segala kerumitan dari sosok berjenis kelamin wanita.
Spesies yang selalu ia hindari selain hanya untuk target misi. Baginya wanita hanya masalah besar. Rumit dan bisa menyiksa pria lebih sadis dari pembunuhan yang ia lakukan dalam setiap misi. Jadi, dia adalah spesies yang harus dijauhi.
Namun tidak untuk kali ini. Mau tak mau, ia harus bersama Rizqa demi sebuah misi. Entah ambisi.
Rizqa yang awalnya ragu, akhirnya mengambil duduk di depan. Barra yang baru masuk ke kemudi menatap sekilas wanita berkerudung di sebelahnya.
“Sebenarnya aku lebih suka duduk di belakang, apalagi kita cuma berdua. Tapi karena ini lagi di sini, ya udah aku duduk di depan. Entar Anda disangka driver grab online lagi. Kabarnya dilarang masuk sampai ke sini kan? Nggak lucu kalau kita meski kena stop dan ditatar lagi. Males ah! Bikin lama. Gitu kata teman-temanku yang sering naik Grab kalau pulang ke Indonesia dari bandara.”
Tanpa diminta, Rizqa mengoceh di samping Barra sambil memasang safety belt-nya.
Kalimat itu biasa, tapi entah bagaimana terasa luar biasa masuk ke relung hati seorang Robin Alexander G.
“Emang kalau kamu di depan aku statusnya apa?” Lidah Barra bagai terdesak kalimat spontan. Entah sebab apa hingga ia tanpa sadar melontarkan kalimat yang baginya bukan type pribadinya. Ia sendiri merutuk dan merasa aneh. Untuk apa dia malah mengatakan itu seakan suka menimpali wanita asing di sampingnya?
“Ha?” Rizqa menimbang. Apa, ya? Suami? Tunangan? Tidak mungkin kan? Ia berpikir sekilas.
“Yang jelas Anda ajudan Tuan Abbas Zamzami. Lebih ekslusif. Lebih berkelas dan ya ... gitu." Rizqa menggoyang-goyang kepalanya pelan berulang-ulang.
Melihat ekspresi bersama iringan merdu suara Rizqa yang bicara, tiba-tiba ada yang bergetar aneh dalam dada Barra. Seperti sengatan listrik secara spontan. Segera, ia memalingkan wajah dan langsung menginjak pedal gas.
“Kita langsung pulang, ya. Aku udah kangen Mama sama Papa. Kangen masakan Mama.” Rizqa menyandarkan tubuhnya.
“Nggak bisa. Kita harus pergi dari sini.” Sorot mata Barra tenang menyongsong ke depan. Sesekali ia melihat ke spion kanan dan cermin di tengah tanpa rasa bersalah.
Rizqa merasa aneh dan mulai khawatir. Tiba-tiba kewaspadaannya menyala.
“Tu-tunggu. Anda—“
“Tuan Abbas mendapat teror. Kamu sedang dalam bahaya. Dia memerintahkan aku untuk pergi membawa kamu sementara waktu.”
“What?” Mata Rizqa terbelalak. Apa yang dikatakan pria ini. Bagaimana Papanya menyerahkan dia pada ajudan—dan entah sopir—pribadi yang orang asing ini?
Tak percaya, ia segera mencari ponsel yang ia matikan sejak naik ke pesawat. Begitu menyala, beberapa panggilan masuk disusul serentetan pesan dari Abbas dan Rumala.
Rizqa menelan ludah getir. Kepulangannya untuk melepas rindu dan merasakan hangatnya suasana ramadhan di rumah akan berakhir begini?
Bahunya merosot kecewa. Pergi lagi?
Segera ia menelpon ke rumah.
“Kamu menelpon siapa?” tanya Barra. Tapi Rizqa abai dan meletakkan ponsel di samping telinga kanan.
“Hei!” Barra berpaling ke arahnya sambil terus fokus ke jalan.
Melihat Rizqa hendak bersuara ketika panggilannya tersambung, tangan kiri Barra menampel kuat benda pipih itu hingga ia melayang lalu dengan mudah Barra tangkap setelah mencongdongkan tubuh ke samping Rizqa hingga tubuh mereka cukup dekat.
Rizqa menarik tubuhnya menjauh dengan cepat hingga terpojok di jendela pintu mobil. Gadis itu terkesiap dengan mulut membulat hingga tak bisa berkedip. Tak pernah ia berdekatan dengan pria seintens ini.
Barra menghentikan mobil ke kiri. Lalu menekan tombol putus di ponsel.
“Apa-apaan ini?” Rizqa merutuk.
“Tunggu. Jangan asal menelpon. Rumah Tuan Abbas sedang disadap. Kamu pasti dengan mudah ditemukan. Kamu mengerti maksud saya?” kata Barra dengan sorot mata tajam menembus iris hitam Rizqa.
Napas Rizqa tersengal. Ia tak menyangka kesenangan yang terngiang di kepala ketika kembali ke Indonesia kini berganti kesuraman.
“Jadi gimana aku bisa hubungi orang tuaku? Aku, nggak percaya ini!”
Tanpa menjawab. Barra menyalakan mobil dan menginjak pedal gas keras hingga suara ban belakang berdecit kuat. Dengan sekali gerakan tangan di roda kemudi ia berhasil memutar mobil itu berbalik setelah bersisian dengan mobil lain nyaris hampir bergesekan.
Mata Rizqa terbelalak diikuti jantung yang hampir loncat takut terjadi tabrakan. Pria ini sopir macam apa?
Barra kembali membawa mobil ke arah bandara dan berhenti tak jauh dari sana.
“Sekarang. Kamu punya waktu dua menit untuk menelepon. Setelah itu matikan ponsel kamu jika mau selamat.”
Mendengar itu Rizqa bergidik. Mengapa ia harus ada dalam posisi ini? Mimpi apa ia kemarin?
Rizqa menekan tombol panggil ke rumah Abbas. Dan mendapat penjelasan serta perintah yang sama seperti yang dikatakan pria yang mengemudikan mobil bersamanya.
Setelah mematikan ponsel, dengan wajah getir dan tatapan nanar, Rizqa memejam dalam.
“Sudah? Kita pergi,” ucap Barra kembali dingin dan misterius.
Suara notifikasi di ponsel-nya berdering. Pesan dari Abbas berisi ke mana mereka harus pergi. Barra mengabaikan pesan dan terus melaju dengan tatapan dingin.
Tak lama, ia juga menerima pesan dari Danapati. Ia memutuskan berhenti di mini market dekat pengisian bensin. Meminta Rizqa turun untuk memilih cemilan yang ia mau.
Entah bagaimana, sisi empatinya sedikit timbul terhadap gadis itu. Paling tidak, ia harus memberinya makan agar tahan tetap bersamanya selama yang ia butuhkan.
Sementara Rizqa membeli sesuatu. Ia menelepon Danapati.
“Kau sudah membaca kordinatnya? Cepat! Kau punya waktu satu jam untuk sampai.” Suara Danapati tegas.
“Kau terlalu optimis, Tuan Danapati. Sayang. Misi ini resmi gagal sampai di sini. Uangmu sudah aku kirim kembali. Jadi ...."
“Hei! Apa maksudmu! Kenapa malah membatalkan misi?”
“Bukan aku, tapi kau yang membatalkan misinya,” kata Barra berkelit. Batinnya tersenyum, inilah strategi darinya untuk Danapati.
“Apa-apaan kau ini. Tadi kita sudah sepakat—“
“Apa aku bilang iya?” Barra berkata dengan nada datar tanpa dosa.
Danapati tercekat.
“Hei! Jangan main-main denganku—“
“Mungkin kau salah menduga. Kalau kau sedang berhadapan dengan siapa,” tandas pria bernama asli Robin itu dengan nada intimidasi.
“Kau mau wanita ini ‘kan?" katanya lagi. "Kalau begitu, rebut dia dariku!” ucapnya lurus dan menghunus.
Mengatakan itu, ada monolog aneh yang melintas bebas di kepalanya tentang kepemilikan sangat gadis yang bersamanya. Apa-apan ini? Pemuda itu mengerjap.
Suara Danapati terdengar merutuk marah, tapi Barra memutus panggilan sepihak begitu saja. Tak ada yang perlu ia khawatirkan di dunia ini. Baginya, hidupnya hanya sendiri. Hanya Giyatsa yang ia pedulikan. Pria itu bisa menjaga dirinya sama dengannya.
Barra mengirim pesan pada Giyatsa kalau ia sudah mengirim uang Danapati kembali dan membatalkan misi ini dengan alasan kesalahan Danapati sendiri.
Giyatsa cukup kecewa. Tapi ia kenal benar siapa Robin Alexander G si pembunuh berdarah dingin yang tumbuh bersmanya sejak kecil. Yang ia tak habis pikir saat ini adalah; apa yang akan dilakukan pria itu pada putri Abbas?
Barra melihat Rizqa berdiri di kasir. Ia melangkah masuk dan membayar semua yang dibeli gadis itu.
Rizqa berjengit dan mengerjap aneh. Tapi suaranya terpenggal ketika Barra langsung keluar dan masuk ke mobil seakan tak ada yang terjadi.
Ajudan seperti apa yang dipekerjakan Papanya itu?
"Pria dingin, kaku, sedikit angkuh, tak kenal takut dan cukup misterius. Ah, Satu lagi. Sulit tersenyum," gerutu Rizqa dalam hati.
Mobil mereka kembali membelah jalan mengarah ke sebuah jalan tol. Entah ke mana Barra akan membawa Rizqa dan entah atas tujuan apa. Yang jelas, ia sedang tidak berpihak pada Abbas, apalagi Danapati. Di sini, ia bekerja sendiri. Ya. Demi kepentingannya sendiri.
.
.
Kira-kira apa yang akan dilakukan Robin alias Barra pada Rizqa? Mau dibawa ke mana anak gadis orang? 😬
Apa Barra tetap akan membunuh Rizqa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top