Bag 1 : Prolog

Hay ketemu lagi.
Gak nyangka, ternyata kisah ini sudah setahun dimulai 😁

Aku nulis dia ramadhan tahun lalu karena ikut event waktu itu. Gak selesai di ramadhan. Tapi aku lanjut dan selesai kalau tidak salah beberapa bulan kemudian 😂 karena aku juga nulis Kapten Dokter dan Aisha waktu itu.

Kenapa aku selesaikan? Karena memang aku sesuka itu sama kisah ini. 😂 Karakternya, alurnya, semua. 😚 Kisah yang muncul dari ide sepele, tapi aku puas dengan hasilnya. Bahkan semangatku masih menggebu ngelanjut kisah mereka. 🤣 ada yang nunggu seasons 2 gak ya? 🤭😁

Ya, mungkin kisah ini tidak sempurna. Tapi jujur, menuliskan kisah ini membuatku benar-benar menikmati kata enjoy dalam menulis. Iyuph. Karakter tulisanku kental di sini. 🤭 Ada yang merasa gak, ya? 😅

Kita publish lagi ramadhan ini, ya. Part tester aja. Karena lengkap ada di KBM App. Insyaa Allah akan segera naek cetak juga. Doakan lancar semua.

Jangan lupa vote dulu sebelum baca, ya, Kaka. Makasi semua. ❤

🔫🔫🔫


Suara musik orisinal klasik sedang mengaung di kamar pribadi Wang Gon—bandar narkoba kelas nasional--ketika seorang pria berpakaian hitam menyelinap masuk dari jendela rumahnya yang sedang sepi. Pria itu dengan ringan melakukan gerakan parkour, loncat dari lantai satu, memanjat pagar besi dan mendarat lincah sekali loncatan di balkon. Mulutnya yang mengunyah permen karet menarik lengkungan penuh girang. 

Untuk beberapa saat ia bersembunyi di balik tirai menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksi. 

Wang Gon yang baru selesai mandi sedang duduk santai di kursi malas masih menggunakan handuk kimono sambil memejamkan mata.

Dalam kondisi itu, sang pria berpakaian hitam mengambil kesempatan. Dengan mudah membekap mulut Wang Gon dan melilit tali ke lehernya. Pria bertubuh gempal itu megap-megap karena kesulitan bernapas dan mencoba berontak, tapi sang lawan naik ke atas tubuhnya menekan agar ia tak bisa bergerak. Lima menit kemudian, bisa dipastikan pria yang bernama Wang Gon itu tewas.

Setelah mengamankan TKP, pria berpakaian hitam meninggalkan kamar itu. Dengan mudah melompat seperti pertama ia tiba. Menghilang, tanpa meninggalkan jejak bagai angin menyapu debu-debu jalanan.

 Seringai kekejaman tertarik di wajahnya tanpa beban. Malah bara itu semakin menyala-nyala bagai tersiram bahan bakar. Berkobar semakin lebar tanpa tahu kapan akan berkesudahan.

Menghentikan napas pria seperti Wang Gon bukan perkara sulit baginya. Karena ia sudah sering melakukan aksi yang lebih sadis. Dan, semua itu selalu berhasil dilakukannya dengan mulus seakan korban bertemu ajal bukan sebab perantara tangannya.

Kepergiannya yang bagai angin membawanya sampai di rumah. Di depan dinding dalam ruang garasi ia berdiri, melekatkan tangan kiri dan dinding itu pun bergerak. Pria itu masuk ke ruang rahasia bawah tanah tempat ia menyimpan bermacam jenis senjata, pedang dan pisau. Mulai dari Glock 20, Colt 1911, Desert eagle sampai bermacan jenis snipper tersimpan rapi di sana. 

Usai melenyapkan semua bukti tersisa, ia keluar dan naik ke lantai dua.

Di depan 3 layar monitor besar di ruang kerjanya, pria itu duduk santai meneguk teh setelah mandi.

Suara notifikasi surel terdengar dari salah satu layar. Pria bertubuh tegap itu membuka pesan 📩sambil tangan kiri memegang gelas. Disusul Ponsel-nya pun ikut berdering.

Kau sudah mendapatkan surelmu?” Suara bass dari seberang.

“Hmm!” jawabnya datar, dingin, dengan sorot misterius.

Aku beri waktu kau lima menit untuk setuju.”

Panggilan pun terputus.

Pria dengan manik mata hazel itu membaca isi surelnya. Bukan hanya satu orang, beberapa identitas tertera di layar. Seringai dingin dan percaya diri kembali mengisi wajahnya tanpa bosan. Di bawah surel, tertera berapa kompensasi yang akan ia terima untuk misi kali ini.

Matanya masih meneliti tiap detail dari isi surel. Embusan napas sinisnya terdengar tajam. 5 miliar dolar untuk melenyapkan nyawa 1 keluarga pengusaha ternama.

Abbas Fuadi Zamzami. Pengusaha tambang emas yang menjadi salah satu orang terkaya di negara ini.

Detak jarum jam di dinding yang sejak tadi mengisi tiba-tiba tertutup suara Ponsel yang kembali berdering.

Kau akan mendapatkan 🆔 sebagai identitas baru untuk masuk ke rumah itu. Mengenal lapangan, ya, semacam itu. Itu keahlianmu bukan?”

Mata pria itu menajam. Melihat gambar rumah yang terpampang di layar dan wajah-wajah anggota keluarga yang menjadi targetnya. Layar yang seakan memanggil dan mendorongnya untuk berkata setuju.

Okay. Kirim indetitas itu padaku.”

Beberapa hari kemudian. Berkas identitas baru yang dijanjikan sudah sampai ke tangannya.

Kau mendapatkannya?” Suara bass dari seberang telepon lagi.

“Hmm,” jawabnya dingin, ya, seperti biasa.

 Matanya memindai setiap isi dari file yang ia terima. Lewat internet canggih di ruang kerjanya, pria itu menelusuri tentang identitas baru.

GoodAku tahu kau pasti sedang mencari tahu pemilik asli identitas itu.”

Seringai miring kini tertarik di bibir pria itu. Giyatsa tahu benar seperti apa Robin Alexander G, pria berdarah dingin yang cara kerjanya menarik embusan napas target kliennya sungguh layak diperhitungkan.

“Dan kau tahu betul resikonya jika klienku main-main ‘kan?”

Ya. Tenang saja. Klien kita kali ini juga cukup tangkas. Identitas itu, tak 'kan bisa dideteksi lewat jaringan mana pun,” ucap Giyatsa dari seberanng. Membuat lawan bicaranya menarik sudut bibirnya miring. Dengan hati riang ia membaca identitas baru yang akan ia gunakan masuk ke rumah Abbas.

Nama : Barra Julio Natasena

Usia : 25 Tahun

Pekerjaan : Ajudan pribadi.

Pengalaman kerja : 5 tahun.

°°°

Saranku, tanda tangan saja berkas itu, Tuan Abbas. Itu pilihan terbaik yang Anda punya,” ucap Mikko Danapati lewat panggilan telepon pada Abbas yang sedang duduk di ruang kerjanya. Di depan pria berjanggut putih itu duduk dua orang pria berjas hitam sebagai utusan Danapati.

“Kau tidak bisa memaksaku menjual perusahaan dengan cara ini,” ucap Abbas tenang yang tidak tahu siapa lawan bicaranya seraya mengangkat mata menatap dua utusan di depannya.

Oh, ya? Kalau kau bersikeras, Siap-siap saja kalau besok polisi akan datang menjemputmu. Kau ingat kasus korupsi walikota Loan ‘kan? Aku bisa membuatmu terbukti terlibat dalam kasus karena aliran dana yang kau terima.”

“Dana itu untuk jual beli dalam bisnis kami. Tak 'kan bisa membuktikan aku ikut korupsi.”

Tapi aku bisa melakukannnya, Tuan Abbas yang terhormat! Kalau kau penasaran, tetap keras kepala saja dan aku akan memperlihatkannya padamu. Dan saat itu juga seluruh keluargamu tak akan ada yang berada di sampingmu karena mereka semua sudah tiada.”

“Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?” Mata Abbas memerah menahan amarah. Bukan sekali ia mendapat cekalan dari pihak yang menganggap kalau dirinya adalah lawan dari bisnis mereka. Namun yang ini di luar nalarnya. Padahal Abbas sendiri menganggap kalau harusnya mereka bisa saling beriringan.

Bukankah untuk bisa naik tak perlu menjatuhkan yang lain bukan?

 Satu lagi yang Abbas khawatir, perusahaan tambang emasnya akan dimiliki oleh pihak asing. Hal yang membuat Abbas benci. Bisa saja mereka hanya akan mengambil keuntungan sendiri. Jika perusahaan itu berpindah tangan, bagaimana nasib karyawan dan orang-orang sekitar yang banyak bergantung pada tambang emas itu?

“Meski kau melakukan tuduhan, aku tidak akan pernah mengakui hal yang tidak pernah aku lakukan!”

Silakan Mr. Abbas. Tapi bagaimana dengan istri dan putrimu? Hhm?”

“Mereka akan baik-baik saja. Aku punya Tuhan yang akan menjaga mereka dari tangan-tangan jahat seperti kalian!” kata Abbas yakin.

Ha ha ha! Kita lihat seperti apa Tuhanmu menjaga mereka.” Danapati tergelak.

Dua orang di depan Abbas tiba-tiba bangkit dan menodongkan pistol. Abbas tak gentar. Tapi ia tak bisa memanggil bantuan. Pria yang menginjak usia setengah abad itu tak menduga kalau rekan bisnis yang meminta perjumpaan ini mengatakan hanya untuk menawarkan kerja sama malah berbeda setelah tiba.

“Maaf kalau kami harus menggunakan cara ini. Kau memaksa Mr. Abbas!” ucap seorang pria berjas hitam di hadapannya.

“Ambil semua surat-surat perusahaan dan berikan. Lalu tanda tangani ini!” ucap pria satu lagi.

Abbas bergeming, berpikir keras untuk mencari solusi dalam waktu yang singkat dan menghimpit ini.

“Mr. Abbas. Segera ikuti apa yang kami minta. Karena sekarang putrimu sudah berada dalam genggaman kami.” Danapati terkekeh menang.

Abbas terkesiap. Putrinya berada di luar negeri untuk study-nya. Mereka tidak akan mendapatkannya. “Aku tidak percaya!”

Benarkah? Ck, ck, ck. Keras kepala juga pria tua ini. Kau tidak tau, ya? Kalau putrimu dalam perjalanan pulang hari ini? Hhm?”

Mendengar itu mata Abbas bergerak cemas. Ia tidak tahu putrinya akan pulang. Ini pasti jebakan!

Putrimu tidak akan sampai ke rumahmu Tuan Abbas,” kekehan Danapati terdengar lagi. Rasa khawatir Abbas, tak bisa ia pungkiri merasukinya kali ini.

Cara mereka menekan dirinya bisa saja membahayakan keluarganya. Mimpi apa ia kemarin? Semua masih berjalan damai dan tentram sampai pagi tadi. Abbas masih menikmati jogging bersama istri di halaman rumah mereka. Lalu sekarang?

Jangan terlalu lama berpikir Tuan Abbas. Tanda tanga, berikan berkasmu, dan semua akan baik-baik saja.”

Tekanan dari ujung moncong pistol di dahinya membuat ia mau tak mau bangkit ke brankas tempat menyimpan file berharga. Otaknya berpikir keras bagaimana nasib putrinya jika mereka membaca surat ini? Mereka akan tahu, segera tahu.

“Cepat!”

Abbas mengeluarkan surat kepemilikan perusahaan tambang emas yang dikelolanya.

Salah seorang pria menarik paksa kertas itu dan membaca isinya. Ia terperanjat saat menemukan bukan hanya nama Abbas yang ada di sana sebagai pemilik resmi. Ada nama Rizqa, putrinya juga di sana.

“Bos, di sini tertulis nama Rizqa juga,” lapor pria itu setelah secara paksa menarik ponsel dari tangan Abbas.

Rizqa? Putri Abbas?” kata Danapati geram.

“Ya, Bos!”

Sementara pria itu sedang bicara pada Danapati, tiba-tiba Abbas menendang salah seorang pria dan ia menarik berkas dari slah seorang pria lagi. Abbas berlari keluar ruang kerjanya dan menjerit memanggil satpam.

Pria itu kemudian masuk ke kamar, mengunci pintu dan menjerit dari jendela untuk memanggil bantuan. Istrinya yang sedang membaca buku di kamar terkejut menyaksikan suaminya tergopoh-gopoh.

Karena terjadi keributan dan aksi mereka diketahui penjaga, dua pria tadi lari keluar dengan menodongkan pistol untuk melindungi diri dan pergi. Untungnya tidak ada yang terluka.

“Ada apa, Pa?” tanya Rumala cemas.

“Rizqa! Rizqa! Coba hubungi dia, Ma.”

“Kenapa? Ada apa?” tanya Rumala masih tak mengerti juga.

“Rizqa baik-baik saja?”

“Iya. Tadi dia telepon Mama. Hari ini dia pulang. Katanya udah kirim pesan ke Papa. Mama juga terkejut dia pulang tiba-tiba. Katanya surprise. Mau ramadhan di Indonesia sama kita.”

Abbas terperanjat. Benar putrinya pulang? Dan dia belum tahu? Sial! Ia belum membaca pesan dari putrinya. Apa mereka menyadap rumah ini? Pikir Abbas lagi.

“Telepon dia, Ma. Tunggu. Siapa yang jemput dia?”

“Mama udah kirim ajudan Papa untuk jemput Rizqa ke bandara. Sekarang dia sudah pergi.”

“Telepon dia. Jangan sampai mereka mendapatkan Rizqa!”

.

To be continued


Apa yang akan terjadi pada putri Abbas selanjutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top