5. As Long As You With Me

Ruangan ini terlalu terang. Terlalu berisik dengan cuitan burung yang bersahutan, dan terlalu gerah untuk Mariana rasakan. Ini masih pagi, bukan? Mengapa suhu udara saat ini tak terasa seperti kamar Mariana yang biasa? Mengapa ia tak memilih bergelung di bawah selimut seperti setiap kali bangun dari tidurnya? Dan mengapa ia merasa tak memakai pakaian apa-apa?

Kedua mata Mariana membelalak sempurna. Perempuan itu menoleh ke samping, dan menemukan punggung telanjang seorang pria yang tidur memunggunginya.

Ah... baru saja Mariana lupa apa yang telah dilakukannya semalam bersama Raga.

Mariana memiringkan tubuh menghadap Raga yang belum menunjukkan tanda akan bangun. Punggung lebar pria itu bergerak naik turun secara teratur, mencuri perhatian Mariana untuk terus menatapnya, dan membuat perempuan itu mengingat setiap detail sensasi yang ia rasa saat mengusapnya.

.

.

.

Mariana masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana napasnya semakin terputus kala Raga memanjakan semua titik sensitifnya dalam sekali waktu. Di antara semua anggota tubuh yang Raga gunakan, bibir pria itulah yang sering membuat erangan berat Mariana tak lagi dapat ditahan.

"Ragaaah."

"Hm?"

Seolah ingin mendesak pria di atasnya untuk segera menuntaskan gejolak gairah yang ia rasa, Mariana meraih wajah Raga dengan kedua tangannya yang gemetar. Ia mencium Raga dengan putus asa, memberi isyarat dengan sorot mata sayunya bahwa ia tak bisa menahan godaan pria itu lebih lama.

Raga tentu bisa memahaminya. Tak memerlukan detik berjalan lebih lama, Raga menuruti desakan Mariana. Mengisi keputusasaan perempuan itu dengan dorongan demi dorongan yang membuat napas dan erangan mereka melebur bersama suara debur ombak, dan hembusan angin yang menyelinap lewat jendela-jendela yang terbuka.

Meski sedikit remang, dari jarak sedekat dan seintim ini, Mariana memperhatikan lekat-lekat warna bola mata Raga. Tak hanya cokelat terang, namun juga terdapat gugusan garis hijau di sana. Membentang pendek mengitari pupil, hingga membuat mata pria itu nampak lebih dalam kala menatapnya seperti ini. Seolah terhipnotis, Marina kembali menarik wajah Raga, lalu mendaratkan kecupan lembut nan panjang di kening pria itu.

Perlahan pergerakan Raga berhenti seiring Mariana melepaskan kecupan. Kedua matanya yang tadi bersinar magis, seketika menampakkan kekosongan kala melihat perempuan yang tengah dipeluknya.

"Raga?" panggil Mariana pelan.

"Nadia?"

"Ha? Ah-"

Teriakan Mariana teredam karena pagutan keras Raga di bibirnya. Semakin ia berusaha mendorong, semakin kuat pula Raga menghentakkan pinggulnya. Gairah yang tadi ia rasakan, kini sepenuhnya menghilang digantikan amarah yang begitu ingin ia lampiaskan. Berulang kali Mariana mencoba melepaskan bibirnya, berulang kali pula Raga memenjarakannya dengan pagutan yang lebih keras dari sebelumnya.

"Stop!" seru Mariana di sela rontanya. "Sakit, Raga! Sto- hmph-"

Percuma, pikir Mariana. Mencoba melepaskan diri dari Raga ataupun berbicara dengan pria itu di saat seperti ini adalah hal yang sia-sia. Di sisa stok kesabarannya yang semakin habis, Mariana hanya memejamkam mata dan tak bereaksi apa-apa menunggu Raga untuk segera menuntaskan semuanya.

Raga ambruk di atas tubuh Mariana setelah itu. Tak berkata apa-apa, hanya mengeratkan pelukan seraya bernapas lebih berat dari sebelumnya.

"Minggir!" ucap Mariana dingin.

Tak ada pergerakan sedikit pun dari Raga.

"Raga!"

Baru saja Mariana hendak mendorong Raga dengan sisa kekuatannya, pria itu terisak pelan di lehernya.

"Raga?"

Mariana sedikit menjauhkan diri untuk menoleh. Linangan air mata terlihat jatuh dari kedua mata Raga yang terpejam. Saat Mariana menyentuh pipinya, tangis Raga makin kuat. Walau tak bersuara, pria itu lebih deras meneteskan air mata meski kedua matanya masih terpejam.

"Ssshhh..."

Entah apa yang Marina pikirkan ketika bibir dan tangannya bergerak menenangkan pria sama yang membuatnya murka beberapa menit lalu. Dengan lembut Mariana mengusap punggung dan rambut Raga, berusaha mereda gemetar tubuh pria yang masih memeluknya erat itu. Entah butuh waktu berapa lama, yang jelas baik Mariana maupun Raga terlelap dengan cepat sesaat setelah keduanya saling melepaskan diri untuk tidur berdampingan dan berbagi selimut yang sama.

.

.

.

Punggung Raga tiba-tiba bergerak dan membuat Mariana sedikit mengerjap. Pria itu mengubah posisi menjadi terlentang seraya meregangkan otot tubuh. Di tempatnya, Mariana telah menentukan timing yang pas kapan ia harus tersenyum cantik dan menyapa.

"Pagi."

Raga menoleh sumber suara genit dan sedikit serak di sampingnya. Pria itu tak bereaksi apa-apa, seolah telah mengerti kehadiran Mariana sejak ia membuka mata.

Karena tak kunjung mendapat sahutan, Mariana memicing. "Kok nggak dijawab?"

"Soal semalam..."

Marina menunggu Raga yang menjeda kalimat.

"... jangan sampai Majeng tahu." Raga menaikkan selimut Mariana agar menutupi area dada yang terbuka. "Aku pasti hubungi kamu. Tapi nanti, setelah pulang dari sini. Jadi jangan coba-coba ke studio dan tempat kerjaku untuk bikin onar. Ngerti?"

Bibir Marina tersenyum miring. "Onar?" gumamnya pelan.

Raga tak menyahut, memilih bangun dan kembali memunggungi Mariana untuk memakai celana khaki pendeknya.

"Memang kenapa kalau Tante Ajeng tahu?"

"Majeng nggak boleh tahu," sahut Raga tegas seraya menolehkan kepala. "Sama sekali."

Entah mengapa, Mariana sedikit merasa tertekan mendapat tatapan setajam itu dari Raga.

"Pakai baju dan langsung balik ke kamar!" Raga meletakkan gaun tidur Mariana yang baru ia pungut dari bawah ranjang. "Bersikaplah biasa di meja makan."

Dengan menelan kesal, Mariana meraih gaunnya. Ia mengenakan gaun berwarna peach tersebut saat Raga keluar dari kamar. Berkali-kali Mariana menanamkan di dalam benaknya, bahwa tahap yang akan ia jalani saat ini pasti membutuhkan banyak sabar. Ia sudah memperkirakan hal ini sebelumnya, jadi ia tak boleh lepas kendali dalam menarik umpannya. Jika semuanya berjalan sesuai tempo, Mariana yakin tujuannya akan tercapai dengan sempurna.

Ya... meski rasanya ingin bersungut-sungut pula mencari kimononya seperti saat ini, Mariana tak boleh memperlihatkannya secara terang-terang di hadapan Raga.

Menyerah dengan usahanya, Mariana menyusul Raga keluar. "Kimonoku semalam kamu lempar ke mana, ya?"

Kaki Mariana terpaku tak jauh dari Raga berdiri. Ia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya melihat sosok perempuan yang sedang duduk sendirian menyilangkan kaki dengan anggun di sofa. Tak butuh waktu sedetik, perempuan tersebut mengalihkan pandangan datar tepat ke arahnya.

"Tante Ajeng?" lirih Mariana. Mariana melirik ke arah Raga, berusaha meminta perintah harus bersikap seperti apa. Namun pria itu hanya terdiam menatap Ajeng, layaknya patung hidup yang tak bisa mengelak walau akan dirobohkan.

"Kalian... " Suara Ajeng terdengar berat dan dingin. Ajeng yang tak langsung meneruskan ucapannya, lantas menghela napas dan berdiri. "Benar-benar keterlaluan," ucapnya seraya melempar kimono Mariana ke lantai kayu paviliun.

"Ini salah Raga, Majeng."

"MEMANG HARUSNYA KAMU YANG DISALAHKAN!"

Intonasi Ajeng yang naik berkali-kali lipat membuat Mariana reflek mundur selangkah. Sedangkan Raga hanya bisa menunduk, tak sanggup membalas tatapan kecewa perempuan yang telah membesarkannya sejak balita tersebut. Tanpa berkata apa-apa, Ajeng meninggalkan paviliun begitu saja.

"Raga?" panggil Mariana lirih. Melihat Ajeng berteriak seperti tadi benar-benar membuatnya bingung harus berbuat apa.

Lamat-lamat Raga menghela napas berat. "Masuk ke kamarmu."

"Lalu?"

Raga meraih kimono Mariana dan menyerahkannya. "Diam dan tunggu di sana."

"Aku bisa bantu jelasin ke Tante Ajeng."

"Apa yang perlu dijelaskan?" Raga berjalan meninggalkan paviliun. "Jangan buat masalah jadi lebih runyam!"

Lagi-lagi Mariana hanya bisa menelan kesal saat menatap punggung Raga yang menjauh darinya. Apa-apaan ucapan pria itu? Benar-benar tidak melegakan sama sekali.

"Dia kira aku mau bantu ngomong sama Tantenya karena mau beresin masalah? Sama sekali enggaaaak!" gerutu Mariana seraya memakai kimono satinnya. "Aku mau bersihin namaku sendiri. Ya kali ninggalin kesan jelek gini di awal pertemuan?"

Mariana menatap tempat terakhir punggung Raga menghilang di pintu belakang rumah. Lewat deretan jendela rumah tersebut, Mariana tahu Raga berusaha mengejar Ajeng yang berjalan cepat dan penuh emosi menuju ruang tengah.

Yah... harus Mariana akui, perkataan Raga sejujurnya ada benarnya juga. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menunggu dua orang itu berbicara terlebih dulu. "Paling nggak kalau diusir, aku tetap bisa menemui Raga di Jakarta," ucap Mariana seraya mulai melangkah.

***

Lewat tengah hari, Mariana masih terlentang di atas ranjang kamar yang ia tempati. Rasanya ia hampir mati karena dimakan bosannya sendiri. Berjam-jam menunggu kabar dari Raga yang tak kunjung pasti benar-benar menyita energi. Bermain ponsel pun sama sekali tak bisa mengobati, dan suntuknya pun semakin bertambah berkali lipat tiap suara perutnya berbunyi minta diisi.

"Nggak bisa!" ucap Mariana seraya duduk. "Aku harus keluar dari kamar ini."

Sedetik setelahnya, pintu kamar Mariana terbuka dan menampakkan Ajeng yang berdiri di sana.

Mariana sontak berdiri dengan tergopoh. "Tante?"

Ajeng tak menampakkan perubahan ekspresi. "Ayo makan siang! Jangan sampai ada kejadian kamu pingsan di rumah ini karena nggak aku kasih makan dari pagi."

Tanpa berpikir panjang Mariana mengikuti langkah tegas Ajeng menuju ruang makan. Sesekali Mariana menoleh ke segala arah untuk mencari keberadaan Raga yang tak tampak di mana-mana.

"Tante Ajeng juga belum makan?" tanya Mariana saat melihat Ajeng mulai menyentong nasi.

"Hm. Dari pagi." Ajeng menatap datar Mariana yang masih berdiri di belakang kursi. "Nafsu makanku pagi tadi hilang lihat kelakuan ajaib kalian."

Mariana tak bisa mengelak, dan hanya menurut ketika Ajeng mengedikkan dagu menyuruhnya duduk.

"Sini piring kamu!"

Meski sedikit terkejut, Mariana kembali menurut. "Tante, soal tadi pagi-"

"Ssh!" Ajeng memberikan tatapan penuh peringatan. "Kamu mau nafsu makanku hilang lagi?"

Hanya gelengan kepala yang bisa Mariana berikan sebagai respon. Rasanya, tiba-tiba energinya tersedot hingga membuatnya enggan bicara. Entah efek rasa lapar, atau memang di alam bawah sadarnya menyimpan rasa takut kepada Ajeng. Sepanjang waktu dua perempuan berbeda usia itu menyantap makan siang, hanya terdengar suara detik jam dinding serta suara samar denting alat makan.

"Kamu jadi pulang malam ini?"

Mariana mengangguk saat meletakkan gelas. Sejak Ajeng terlebih dulu menyelesaikan makan siang, kedua mata perempuan beruban itu tak sedikit pun melepaskan pandangan darinya. "Tapi kalau Tante Ajeng nggak nyaman dengan keberadaan saya, saya akan pergi setelah ini."

Kening Ajeng mengernyit. "Kamu lupa kalau aku janji antar kamu pulang? Seumur hidup, nggak pernah sekalipun aku ingkarin janji. Jadi jangan buat aku pecahin rekor ingkar janji karena kamu, ya!"

Meski sempat bingung, Mariana pun mengangguk. "Maaf, Tante. Pertemuan pertama kita harus diwarnai dengan kekecewaan Tante kepada saya."

Air muka Ajeng perlahan berubah sendu. Sambil menatap kosong ke arah gelas di hadapannya, Ajeng kembali berbicara. "Karena aku nggak mau Raga seperti Ayahnya."

Ingin sekali Mariana mengulik perkataan Ajeng. Namun ia harus mengesampingkan itu dan fokus pada tujuan untuk sedikit membersihkan imagenya. "Saya benar-benar minta maaf. Kekecewaan Tante pasti sangat besar. Jika ada hal yang bisa saya lakukan untuk menebusnya, Tante bisa sampaikan."

Ajeng mendengkus seraya memutar bola mata. "Nasi sudah jadi bubur. Nggak ada yang bisa kamu lakukan."

Mariana sedikit menunduk dan memalingkan muka. Bukan itu jawaban yang ia harapkan sekarang.

"Lagian itu salah Raga." Ajeng menautkan alisnya. "Kesalahan Raga karena laranganku sendiri sebenarnya."

"Larangan... apa kalau saya boleh tahu Tante?"

"Meniduri perempuan sembarangan."

Jujur, Mariana terkejut mendengarnya.

Ajeng mengisi ulang air mineral ke dalam gelasnya. "Kalau dia sebar benih ke mana-mana, apa bedanya dia dengan Ayah kandungnya?"

Tangan Mariana segera mengangsurkan gelas kosongnya saat Ajeng mengedikkan dagu.

"Tapi bagaimanapun, Raga adalah pria normal yang memiliki kebutuhan. Aku nggak bisa menyuruhnya untuk segera menikah. Maka dari itu aku melarang keras dia untuk mengulang tabiat Ayahnya." Ajeng mengembalikan gelas Mariana yang sudah terisi kembali. "Yah, meskipun aku tahu dia akan semudah itu melanggar aturanku kalau berhubungan dengan Nadia."

Nah!

Penuh kehati-hatian Mariana melempar umpan. "Setahu saya, mereka sudah lama berhubungan."

"Berhubungan tanpa kejelasan, kan?" sahut Ajeng cepat. "Raga suka anak itu dari SMA. Bukannya memperjelas dengan bilang 'iya' atau 'nggak', dia malah memanfaatkan sisi bodohnya Raga dari dulu sampai sekarang. Kurang ajar kan, itu namanya? Apalagi sekarang semakin sok jual mahal dia karena jadi model di luar negeri. Cantik nggak seberapa, tubuh pun kurus kering begitu, tapi mentang-mentangnya udah kaya' putri kerajaan aja."

Seraya menahan senyum, Nadia berucap. "Tante, saya ini adik tiri Nadia."

"Aku tahu, Raga udah cerita siapa kamu. Terus kenapa emangnya? Kamu toh juga benci dia, kan? Nggak mungkin kamu tetep ngejar Raga kalau kamu rukun sama dia."

"Hm..." Mariana menggaruk pelan pelipisnya. "Lebih halusnya saya nggak mau mengakrabkan diri dengan orang-orang asing yang Papa bawa ke rumah."

"Hahhhhhh... laki-laki di mana-mana sama aja!"

Mariana memperhatikan perubahan cepat di wajah Ajeng yang kembali menjadi sendu.

"Tapi aku benar-benar nggak mau kalau Raga menjadi salah satunya. Raga harus berbeda. Dia harus jadi laki-laki hebat dan bertanggung jawab pada setiap tindakan dan perkataannya." Suara Ajeng terdengar semakin lirih dan bergetar. "Aku sudah janji dengan Ibunya. Di bawah asuhku, Raga akan kembali mengangkat derajat keluarga."

"Raga pria yang baik, Tante."

Kedua mata Ajeng memandang Mariana ragu.

"Yah... walaupun masih bodoh karena Nadia," sambung Mariana dengan menahan senyum mengejek.

"Kamu terlalu mengejar Raga. Dia nggak suka perempuan yang terang-terangan seperti kamu."

Mariana mendadak cengo mendengar perkataan Ajeng.

"Raga tidak gampang menyukai orang. Dia anak yang mengutamakan proses. Harusnya kamu hadir pelan-pelan mengisi kekosongan hatinya, bukan terburu-buru seperti ini."

Sebisa mungkin Mariana tersenyum simpul. "Nggak bisa, Tante. Saya bukan orang yang sesabar itu."

"Gimana, sih? Kan kamu yang ngejar, harusnya kamu yang ikutin tempo target kamu."

"Saya punya cara saya sendiri."

Ajeng menatap Mariana dengan satu alis terangkat. "Oh... jadi yang kalian lakukan semalam juga bagian dari cara kamu?"

Mariana berdeham panik. "Kalau yang semalam... benar-benar di luar perkiraan dan kendali saya."

"Maksud kamu terjadi tanpa rencana?"

Kepala Mariana mengangguk cepat.

"Halah!" sambar Ajeng seraya berdiri perlahan dari kursinya. "Mau berkelit seperti apapun, siapa yang bakal percaya?"

Dengan menelan gusar, Mariana turut beranjak dari kursi makan.

"Kita bertiga akan berangkat setengah tujuh. Kalau bisa kamu udah di ruang tamu sepuluh menit sebelum berangkat."

Kening Mariana mengerut samar. "Kita bertiga?"

Ajeng mengangguk. "Aku, kamu, dan Raga."

"Raga ikut?"

"Hm." Ajeng mulai berjalan meninggalkan ruang makan. "Dia harus mau jadi laki-laki gentle yang mengantar teman tidurnya pulang."

Di tempatnya, Mariana hanya bisa menatap punggung Ajeng yang menjauh. Rasanya ia mendadak pusing memperkirakan strategi apa yang harus ia jalankan untuk mendapatkan hati perempuan yang sudah Raga anggap Ibu tersebut. Ajeng benar-benar tak terbaca dan tak terprediksi. Mencoba berperilaku seperti malaikat hanya akan berakhir seperti pecundang di hadapannya. Namun menunjukkan Mariana yang asli juga seperti bunuh diri karena penolakan tegasnya. Dengan langkah menghentak, Mariana kembali ke kamarnya.

"Ck! Siapa coba yang bisa diajak diskusi masalah ginian?"

***

Sejak lima menit yang lalu, Raga menahan diri untuk tidak beranjak dari sofa ruang tamu karena ekspresi perempuan di hadapannya yang tengah memandangnya penuh ejek. Sepasang alis tebal alami yang terangkat satu, bibir yang terkulum tipis, serta aura kemenangan yang memancar kuat dari gestur duduknya.

"Jaaaadiiii, kamu minta ikut antar aku?"

Raga hanya memilih memalingkan muka.

"Oh iya, next kita ketemu di mana? Apartemen kamu aja?"

"Nggak. Di luar," sahut Raga cepat.

"Hm, sekalian kencan?"

Istilah yang diucapkan Mariana terasa begitu mengganggu telinga Raga. "Hanya makan siang."

"Oke." Mariana mengangguk singkat. "Karena sepertinya kamu nggak mau aku mintain kontak, aku minta tolong asisten kamu aja kali ya untuk kasih kamu kontakku?"

Kening Raga mengerut keras. "Tinggalin aja kartu nama."

"Hari gini masih pakai kartu nama? Aku ngga punya. Urusan bisnis biasanya langsung sama manajemen-"

"Ya udah, sebutin sekarang berapa nomornya!" sergah Raga cepat.

Mariana mengulum senyum dan melempar tatapan centil saat menyebutkan barisan nomor ponselnya. Tepat setelah itu, langkah kaki Ajeng terdengar mendekat. Ruang tamu yang sebelumnya dihiasi percakapan itu pun kembali hening seperti sedia kala.

"Ayo berangkat!" ucap Ajeng singkat seraya langsung melangkah ke arah pintu.

Sempat bertukar pandang sedetik, baik Raga dan Mariana langsung beranjak dari duduknya.

***

Keheningan yang tercipta di ruang tamu tadi seolah terbawa hingga ke dalam mobil yang mengantar kepulangan Mariana. Raga yang tengah menyetir, tak memiliki alasan kuat untuk membuka obrolan, karena memang tak ada orang di sampingnya. Sebaliknya, Mariana lah yang kini tersiksa rasa tak nyaman, karena meskipun duduk berdampingan dengan Ajeng, perempuan paruh baya tersebut tak sedikitpun melepas pandangan datarnya yang mengarah ke depan.

"Kenapa kita lewat sini, Raga?" Pada akhirnya, suara Ajeng lah yang terdengar pertama kali di sana. "Ini lewat mana?"

"Jalanan utama pasti macet di Minggu malam gini, Majeng. Ini jalan alternatif baru."

Ajeng memperhatikan seklilingnya.  "Tapi kenapa sepi gini?"

"Karena memang belum diresmikan."

Mariana turut memperhatikan jalan lebar yang ia lalui. Jalan tersebut nampak baru karena aspalnya yang masih gelap. Penerangan jalan ini tak seterang jalanan utama kota pada umumnya, sedangkan samping kanan dan kiri jalan ini adalah lahan kosong yang terbentang luas. Dibanding remang, gelap lebih pantas menggambarkan jalan baru ini.

"Ini jalan dua arah?" Pertanyaan Ajeng muncul karena sorot cahaya kendaraan yang nampak samar dari kejauhan.

"Kalau dilihat dari lebarnya sih, sepertinya bakal begitu."

"Belum diresmikan tapi kok udah bisa dilewatin sih, Ga?"

"Karena ujung jalannya ngga ditutup."

"Kamu nih, ah!" Ajeng kembali membuang muka ke jendela, menatap dengan sorot mata was-was yang tidak bisa ditutupi.

"Kenapa? Majeng takut?"

"Ya siapa coba yang ngga takut lewat jalan sesepi ini? Ya kan, Mar?"

Mariana menoleh cepat karena mendengar namanya disebut tiba-tiba. "Um..." Mata Mariana bertemu dengan Raga lewat spion atas mobil. "Iya, Tante. Rawan kejahatan juga. Lebih baik kena macet daripada kena begal."

Kedua alis Raga nampak mengerut tak terima, sedangkan Mariana malah mengangkat satu alisnya congkak.

"Kena macet tuh nggak ada enak-enaknya, ya!"

"Kamu mau aku temenin duduk di depan, Raga?" tawar Mariana cepat.

"Nggak perlu!" Raga menghela napas kasar. "Majeng nggak usah takut. Nggak akan ada apa-apa. Lewat sini bakal lebih cepat."

"Ngga perlu terburu. Aku ngga apa-apa kok kalau nggak balik malam ini."

"Bisa diam, nggak?"

"Hm... oke."

Diam-diam, Ajeng memperhatikan bagaimana keponakannya merasa terusik karena perempuan muda yang tengah menahan senyum jahil di sampingnya. Harus Ajeng akui, Mariana sedikit mengingatkan dirinya pada sosok Ajeng muda yang tak mengenal kata mundur merayu pria.

Sorot terang lampu dim dari belakang mengalihkan perhatian ketiga orang di dalam mobil. Lewat spion di sampingnya, Raga memperhatikan bagaimana laju mobil belakang yang berkali-kali oleng.

"Ini orang di belakang ada masalah apa, sih?" ucap Ajeng kesal seraya menoleh ke belakang. "Jalan selebar ini kenapa ngga nyalip aja?"

Kerutan di kening Raga mengerut saat menyadari pengemudi mobil di belakangnya mengacungkan jari tengah lewat jendela.

"Kita minggir aja, Raga. Biarin dia lewat."

"Kaya'nya orang mabuk, Majeng."

"Astaga, bahaya banget. Udah kita aja yang minggir."

Saat Raga menurunkan kecepatan hendak menepi, mobil di belakangnya tiba-tiba menyalip dan berada tepat di depan. Tanpa bisa Raga perkirakan, mobil yang menghalangi jalannya tiba-tiba berhenti hingga membuat Raga tak sempat sepenuhnya menghindar. Benturan yang cukup keras pun terjadi hingga membuat Ajeng dan Mariana terbentur kursi depan mobil.

"Majeng nggak apa-apa?"

Ajeng hanya mengaduh pelan seraya menggeleng.

"Brengsek nih, bule!" umpat Raga seraya melepas sabuk pengaman.

"Raga nggak us-" Suara Ajeng tercekat karena Raga sudah terlebih dulu keluar dari mobil.

Mariana mengusap keningnya yang terantuk kursi pengemudi, lalu melihat seorang wanita berkewarganegaraan asing yang keluar dengan sedikit sempoyongan dari kursi samping pemudi.

"Loh, pengemudinya perempuan?" tanya Ajeng.

"Bukan, Tante. Pengemudinya belum keluar."

Meski samar, dari dalam mobil terdengar ucapan maaf dari bule perempuan yang sedang berbicara dengan Raga. Kedua orang itu lantas berjalan ke sisi kiri mobil, di titik di mana mobil terbentur.

"Itu pengemudinya keluar, Mar."

Kedua mata Mariana mengikuti ke mana arah Ajeng menunjuk. Seorang pria yang juga berkewarganegaraan asing keluar dari mobil dengan lebih sempoyongan. Bukannya mendekat, pria itu berjalan ke sisi jalan yang gelap dan tak terjangkau cahaya lampu jalan dan mobil.

"Ini alasannya aku kurang suka bule." Ajeng menghela napas kesal. "Tapi keponakanku sendiri keturunan bule."

Mariana tak menggubris perkataan Ajeng, pengemudi mabuk yang ia lihat beberapa detik lalu lebih menyita perhatiannya.

"Mar, tolong bilang ke Raga. Kalau ngga seberapa parah mending kita lanjutin aj-" Perkataan Ajeng terhenti karena Mariana tiba-tiba keluar menghampiri pengemudi mabuk yang berjalan cepat ke arah Raga.

"MAMPUS KAMU!"

Baik Raga, perempuan bule yang berbicara dengannya, dan Ajeng terkejut dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Terlihat di luar mobil, Mariana tengah bringas memukulkan tas kulitnya ke kepala pria bule yang membawa batu besar di tangannya.

"What the f-" Umpatan pria bule itu terpotong karena pukulan Mariana yang lagi-lagi mengenai kepalanya dengan telak. "You son of bitch!"

PLETAK

Sebuah suara benturan batu dengan benda tempurung kepala membuat ketiga manusia lainnya terkesiap. Kurang dari sedetik setelahnya, Mariana terjatuh ke samping seraya meringkih pelan.

"Mariana!" teriak Ajeng dari dalam mobil. Dengan cepat perempuan itu keluar menghampiri Mariana yang berusaha bangkit.

Entah apa yang mengaburkan kontrol diri Raga. Bergerak tanpa ragu, pria itu meraih kerah kaos pria bule yang memukul Mariana dan melayangkan beberapa bogem tepat di wajahnya.

"Mar?"

"Stop, please! You hurt him!"

"Mariana kamu ngga apa-apa?"

Kedua mata Mariana terbuka saat mendengar suara Ajeng dan perempuan lain. Saat pandangannya mulai jelas, Ajeng nampak berlutut di hadapannya.

"Kamu bisa dengar aku?" Panik jelas tergambar dari suara Ajeng.

Mariana mengangguk. "Ngga apa-apa, Tante."

"Kamu bisa berdiri?"

Lagi-lagi Mariana mengangguk.

"Ayo beriri pelan-pe- ASTAGA KEPALA KAMU BERDARAH, MAR!"

Keseimbangan Mariana mendadak hilang. Tubuhnya kembali terjatuh ke aspal karena sensasi pusing hebat yang tiba-tiba ia rasakan. Di ambang kesadarannya, suara Ajeng terdengar menjauh dan mengecil. Mariana tahu mungkin ia akan sepenuhnya pingsan setelah ini, namun ia tak menyangka bahwa suara lain yang memanggil namanya, akan meninggalkan kesan menyenangkan di dasar perutnya.

.

.

.

"Mar?"

.

.

"Mariana?"

.

.

.

Ah, andai saja Mariana tak kehilangan kesadaran, mungkin ia akan memeluk manja lengan pria itu karena sudah memanggil namanya untuk yang pertama kali.

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Niat awalnya chap ini di up di awal bulan, tepat di hari ulang tahun saya. Tapi ga jadi krena belum kelar, wkwkwkwk.

Long time no seeee 🫶🏼
Kalian bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat dan bahagia. Udah masuk musim hujan, harus lebih ekstra jaga kesehatan.

Malming ini ketemu pasangan RaMa (Raga dan Mariana) dulu yes? Semoga bisa ketemu pasangan yang lainnya dalam waktu dekat. Aamiiiiiin 😂

.

.

.

"Lanjoedkan Mba Marrrrrrr!" 🔥🔥🔥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #dendam