4. Hold Me Without Hurting Me

Untuk yang kesekian kali, sudut bibir Davina terangkat tinggi saat layar ponselnya menunjukkan riangnya tawa seorang bayi yang tengah disuapi. Tawa Davina pun menghiasi ruangan setiap menitnya. Keinginan untuk mencium pipi gembul putranya pun tiba-tiba muncul seketika.

"Mama jadi ada arisan siang nanti?" tanya Davina.

Seorang wanita berusia akhir lima puluhan nampak melongokkan kepala di layar ponsel Davina.

"Jadi, Dav. Arsen Mama antar ke kamu aja, ya?"

"Iya, Ma. Davina nggak ada agenda luar kantor juga kok hari ini."

Sedetik setelahnya, pintu ruangan diketuk sejenak, sebelum terbuka begitu saja.

"Ma, Davina tutup dulu, ya?"

"Iya, Dav."

"See you, Arsen." Setelah mematikan panggilan video, Davina memusatkan perhatian kepada laki-laki yang sudah duduk di depannya. "Ada apa, Ga?"

Raga menegakkan punggung dan sedikit berdeham. "Kerjaan dari lo udah gue e-mail. Coba lo cek."

"Hah? Cepet banget?" tanya Davina seraya menggerakkan mouse komputer. "Bukannya lo bilang kelar Minggu?"

"Gue nggak jadi sibuk."

Davina menatap lurus ke dalam mata kecokelatan Raga. Perempuan itu tahu, ada sesuatu di balik redupnya sinar mata sahabatnya itu.

"Sekalian besok gue mau ajuin cuti, Dav. Sebulan."

"Lo coba keliling deh ke seluruh kantor di negeri ini. Mana ada jatah cuti sebulan, hah?"

Raga terkekeh. "Gue kan masih punya jatah cuti tahunan."

"Cuti tahunan cuma 12 hari! Dan lo udah pakai lima hari di awal tahun buat sepedahan bareng di hutan sama Bayu."

"Ya udah ya udah, gue ambil sisanya sekalian."

Davina memicing dan mencondongkan tubuhnya. "Lo mau ke mana?"

"Pulang." Raga menarik napas dalam-dalam dan menghelanya. "Gue kangen Majeng."

Perlahan namun pasti, kerutan khawatir Davina tercetak jelas di dahinya. Ia yakin, Raga sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Nggak kurang?"

"Apanya?"

"Gue kasih tambahan seminggu lagi buat lo work from home di sana. Gimana?"

Senyum lebar Raga muncul walau tak sampai matanya. "Bener?"

"Asal..." Davina mulai membaca e-mail yang dikirim Raga. "Lo manfaatin cuti dengan sebaik mungkin. Gue nggak mau lihat aura lo yang kaya' gini lagi setelah kelar cuti."

"Lo emang terbaik, Dav. Nggak salah emang Hans khilaf nikahin lo."

Davina melotot. "Yeeee gue tarik juga nih izin cuti lo, ya!"

Raga terkekeh dan mendekati Davina. Dengan penuh sayang ia memeluk kepala sahabat perempuannya itu. "Thanks, yah."

"Lo berangkat kapan?"

"Besok."

"Ya udah, nanti malam gue kirim titipan buat Tante Ajeng."

"Siap, Bu Davina."

Seiring kepergian Raga, Davina berusaha untuk menghilangkan cemas yang tiba-tiba ia rasa. Perempuan itu lalu meraih ponsel dan menghubungi satu nama.

"Bay?"

"Ya, Dav?" sahut Bayu dari seberang.

"Temen lo kelihatan lagi kacau. Kalau sempet, lo cari tahu deh ada apa." Davina menghela napas jengkel. "Gue curiga karena asmara."

Bayu tertawa. "Raga, ya?"

"Hm."

"Oke, gampang. Informan gue terpercaya kalau soal ginian."

"Siapa?"

"Anto. Hahahahaha."

"Ya udah, segera berkabar kalau ada yang krusial."

"Siap!!!"

***

Raga membaringkan tubuh di ranjang seraya mengerang tertahan. Setelah mandi tadi, seluruh lelahnya seolah terakumulasi hingga membuatnya tak sanggup lebih lama berdiri. Ia bahkan belum melepas bathrobe, sedangkan rambutnya juga masih nampak basah. Pandangan Raga yang tertuju ke langit-langit kamar kini mulai berkunang-kunang. Pria itu pun menyerah dan memilih menutup mata, membiarkan kilasan kejadian di hidupnya selama 24 jam belakangan terngiang di ingatannya.

.

.

.

Berkali-kali Raga menyumpahi dirinya sendiri karena pada akhirnya menuruti perkataan Mariana. Setelah kepergian perempuan yang ia anggap sinting itu dari studionya, Raga dihantui rasa penasaran yang membuatnya uring-uringan hingga tak dapat konsentrasi sedikitpun melanjutkan pekerjaan. Lima belas menit menahannya, Raga pun tak kuasa menuntaskan rasa penasarannya.

Dan di sana lah Raga berada. Duduk di sofa lobby hotel Starlight pada dini hari hampir pukul dua. Raga tak tahu bagaimana harus memulai pencariannya. Pria itu hanya duduk seraya memperhatikan sekitarnya dengan sedikit resah.

Ponsel Raga bergetar sekejap. Nadia baru saja mengirim pesan setelah berpuluh kali Raga mencoba meneleponnya. Tanpa berpikir panjang, Raga menelepon perempuan yang ia cemaskan keberadaanya tersebut.

"Kamu di mana?" tanya Raga begitu Nadia menjawab telepon darinya.

"Kenapa?"

"Kamu di mana, Nadia?" ulang Raga lagi. "Kamu nggak kasih kabar sedikit pun. Aku khawatir."

Nadia tertawa kecil di seberang sana. "It's okay."

"Aku temani kamu di hotel, ya?"

"Hm?"

"Biar aku lega."

Cukup lama Nadia tak menyahut apa-apa. "Nggak bisa," ucap perempuan itu pada akhirnya.

"Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja, Nad. Please."

"Nggak perlu."

Raga memejamkan kedua mata seraya menghela napas berat. Bibirnya seketika kelu untuk berucap lagi.

"Aku tutup, ya?" sambung Nadia.

"Kamu menghindariku, atau memang ingin sendiri?"

"Yang kedua."

Meski tetap sakit, Raga merasa sedikit lega dengan jawaban Nadia. "Oke kalau begitu."

"See you."

Belum sempat Raga menjawabnya, Nadia memutus panggilan terlebih dahulu. Pria itu lalu berdiri, memilih untuk melangkah pergi. Persetan dengan pria bernama Gevindra. Yang paling penting baginya saat ini adalah keadaan Nadia. Meski tak bisa memastikan keadaan perempuan yang ia cintai itu secara langsung, paling tidak Raga bisa mendengar suara lembut Nadia meski hanya sesaat saja.

Sebuah sedan mewah putih berhenti di teras hotel saat Raga melewati pintu. Raga acuh pada awalnya, namun sosok perempuan yang keluar dari kursi penumpang belakang benar-benar menyedot seluruh perhatiannya, hingga membuat kakinya yang hendak menuruni tangga teras pun berhenti begitu saja.

"Nadia."

Raga tercekat. Panggilan itu tak keluar dari bibirnya, melainkan pria lain yang meraih pinggang sang perempuan dengan mesra. Seluruh tubuh Raga mendadak kaku, hanya ekor matanya saja yang mampu bergerak mengikuti ke mana Nadia pergi.

"Malam ini kita di sini, ya? Besok terserah kamu mau ke mana aja."

Meski pelan, Raga bisa mendengar ucapan pria bersetelan jas mewah yang tengah berjalan di samping Nadia itu dengan jelas.

"Kamu di sini selama beberapa hari kan, Nad?"

"Iya, Ge."

Andai... andai jika Raga memiliki sedikit kemampuan untuk menggerakkan kakinya, Raga akan berbalik agar Nadia tak menyadari keberadaannya. Namun terlambat, kedua mata lembut perempuan itu melihatnya. Menatap Raga dengan sorot tak percaya seraya terus melangkah.

"You know, Nad? I'm happiest man in the world right now."

Nadia tak merespon ucapan dan kecupan seduktif Gevindra di pundaknya. Matanya seolah terikat erat dengan mata Raga yang menatapnya nanar. Waktu seolah berdetak pelan di antara dua anak manusia tersebut. Hingga pada akhirnya Nadia melewatinya begitu saja, Raga baru bisa menghela napas dari mulutnya.

Ah... harusnya Raga tak perlu menuruti perkataan Mariana.

***

Sebuah mobil hitam yang memasuki lahan parkir tak jauh dari mobilnya, membuat Mariana menegakkan punggung seketika untuk memperhatikannya.

"Ck... ah. Bukan mulu dari tadi," gerutu Mariana seraya kembali bersandar.

Sudah tiga hari Mariana menunggu kehadiran Raga dengan cara seperti ini. Berdiam diri di dalam mobilnya yang berhenti tak jauh dari studio Raga, berjam-jam untuk menunggu kehadiran pria itu, mengenakan kacamata dan topi hitam agar tak mudah dikenali, serta menyiapkan banyak kudapan berserat rendah agar tak bosan.

"Ke mana sih dia ini?" gumam Mariana seraya melepas kacamata. "Buat apa punya kantor kalau ngga ditengok tiga hari?"

Sebenarnya jika turut dihitung, total empat hari sudah Mariana berperilaku seperti 'mata-mata' hanya untuk menemui Raga. Di hari pertama, perempuan itu mendapat usiran security apartemen karena menunggu Raga secara terang-terangan selama hampir setengah hari di lobby lantai unit pria itu. Tak ada hal yang bisa Mariana lakukan saat itu selain menyerah. Karena jika ia memaksa menemui Raga, bisa jadi ia dilaporkan polisi akibat aksinya yang berjalan tanpa perhitungan.

"Kalaupun langsung masuk studio dan tanya ke pegawainya juga percuma. Dia pasti udah doktrin semua pegawainya buat musuhin aku."

Mariana menghela napas dan bersandar. Jika bukan karena penasaran respon Raga melihat Nadia bersama Gevindra, ia tak akan membuang waktunya dengan cara seperti ini.

Tok tok tok...

Mata Mariana hampir saja tertusuk gagang kacamata karena terburu mengenakannya. Dengan gugup, ia menurunkan sedikit kaca mobil untuk melihat lebih jelas siapa yang mengetuknya.

"Oh iya. Anto bener."

Kening Mariana mengerut dalam. "Siapa, ya?"

"Ih, lupa. Bayu. Temen Raga."

Dengan cepat Mariana merubah ekspresi dan membuka pintu mobil. "Oh, iya Bayu. Hai, apa kabar?" ucapnya ramah seraya keluar mobil.

Bayu sedikit takjub melihat perubahan ekspresi Mariana, sebelum tertawa kecil. "Kamu ngapain tiga hari di sini?"

Kedua mata Mariana sedikit melebar karena ketahuan. "Tiga hari?" tanyanya polos.

"Anto bilang udah tiga hari kamu markirin mobil di sini."

Mariana menghela napas singkat. Ia tak bisa berkelit lagi. "Hm, iya."

"Kamu cari Raga?"

"Iya. Temen kamu ke mana, ya?"

Kekehan Bayu keluar begitu saja. "Emang mau ngapain cari Raga?"

"Emang nggak boleh?"

"Ya kan kalau tujuannya jelas, bisa aku sampaikan ke dia."

"Boleh langsung kasih tahu dia di mana aja, nggak?" Mariana menunjukkan tampang putus asa. "Empat harian ini aku cari dia tanpa hasil."

"Woah, bahkan udah empat hari?" Bayu tak sungkan menunjukkan kelakarnya hingga membungkuk. "Ya, ampun. Davina harus tahu ini."

Kening Mariana mengerut karena Bayu tak menjawab pertanyaannya. "Jadi? Raga ke mana?" tanyanya lagi.

"Raga pulang," jawab Bayu seraya menyeka setitik air di sudut matanya.

"Pulang?"

Bayu mengangguk. "Pulang ke rumahnya di Bali."

Satu fakta tersebut membuat Mariana tercengang sesaat. "Keluarga Raga di sana?"

"Tantenya." Bayu mengernyit. "Kamu nih ngga banyak tahu soal Raga, ya?"

Mariana tersenyum anggun. "Temen kamu super jutek sama aku. Ditemuin aja dia ngga mau, apalagi dideketin."

Lagi-lagi Bayu terkekeh. "Raga emang gitu ke cewek yang coba deketin dia. Apalagi yang terang-terangan kaya' kamu gini."

"Karena Nadia, ya?"

Kedua mata Bayu melebar. "Kok tahu Nadia?"

Mariana mengangguk singkat. "Terakhir aku ketemu Raga, dia sama Nadia."

"Kapan?"

"Rabu malam."

Bayu nampak berpikir. "Terus kamis sorenya Davina ngabarin," gumam Bayu tak jelas.

"Jaa... di? Bisa ngga aku nemuin Raga, Bay?"

Selama beberapa saat Bayu menatap Mariana tanpa ekspresi, sebelum menggeleng.

***

Tak akan pernah ada kata 'cukup' bagi Raga untuk menikmati nuansa di paviliun persegi berukuran 10x10 meter di area belakang rumahnya seperti saat ini. Deburan ombak yang bersahutan menghantam tebing di bawahnya, kelinting lonceng logam yang menciptakan alunan nada tak tentu, angin sepoi yang menghantarkan aroma laut, serta teriakan samar manusia yang sedang bersenang-senang di bibir pantai tak jauh dari sana.

Sungguh... salah satu keinginan terbesar Raga adalah menjalani kehidupan di sini bersama orang yang ia cintai.

Kedua sudut bibir Raga pun tertarik masam. Bisa-bisanya sosok Nadia kembali berkelebat di pikirannya?

"Malamnya keluar nge-bar sampai pagi, siangnya tidur dan nggak mau mandi."

Raga melepas kaca mata hitamnya, dan menatap Ajeng yang duduk tak jauh darinya.

"Kamu katanya pulang karena kangen Majeng. Tapi udah tiga hari di sini Majeng dianggurin gitu aja. Omongan semua laki-laki emang sama."

Kekehan Raga meluncur begitu saja. Pria itu beranjak dari hammock jaring yang ia tiduri, lalu menghampiri Ajeng yang sedang duduk di area sofa melingkar. Paviliun kayu berbentuk semi pendopo yang bernuansa rumah nelayan tersebut memiliki empat sisi area. Area bar sekaligus dapur kecil, area kumpul tempat di mana Ajeng duduk sekarang, area santai tempat hammock dan api unggun, serta area kamar tidur kecil yang memiliki banyak jendela.

"Kan Raga keluar malam juga untuk ketemu kolega," ucap Raga seraya memeluk Ajeng dari samping.

"Ketemu kolega tapi tiap pulang kok teler?"

Lagi-lagi Raga terkekeh.

"Ingat ya, Ga? Kalau kamu teler karena perempuan, Majeng nggak suka."

"Nggak lah. Kebetulan aja Raga dikasih gratisan, jadi nggak nolak."

Ajeng mencubit paha Raga dengan gemas. "Alasan mulu deh nih anak."

Detik setelahnya, baik Ajeng dan Raga terhanyut menikmati langit biru yang membentang luas di halaman belakang rumah. Cubitan Ajeng kini berubah menjadi tepukan lembut yang seirama dengan senandung pelan yang keluar dari bibirnya.

Raga ingat, nada yang dinyanyikan Ajeng sekarang adalah alunan pengantar tidurnya di masa lalu. Ajeng hampir tak pernah absen menyanyikan lagu yang sama saat menidurkan Raga kecil. Bahkan walaupun Raga yang saat itu berusia tujuh tahun memprotesnya, Ajeng seolah menutup telinga dan lanjut menyanyikan lagu yang sama.

"Majeng?"

"Hm?"

Raga melepas pelukannya. "Seinget Raga, Majeng belum jawab alasan kenapa Majeng selalu nyanyi lagu itu."

"Oh, ya? Kamu sih, umur tujuh tahun mulai tanya hal itu. Kan Majeng bingung jelasinnya."

"Jadi? Kenapa?"

"Itu tuh..." Ajeng bersandar pada sandaran sofa. "... karena Majeng ingin kamu selalu ingat nyanyian Ibu kamu."

Raga termenung, tak mengira jawaban Ajeng akan seperti ini.

"Saat kondisinya semakin memburuk, Dayu selalu ingin tidur bareng kamu. Dan lagu itu yang Majeng denger dari dia."

"Ohhh..."

"Kamu udah berhenti cari Ayah kamu?"

Raga mengangguk malas. "Udah lama banget, Majeng. Tujuh tahunan ini Raga nggak coba cari lagi."

"Kenapa kalau Majeng boleh tahu?"

"Nggak kenapa-kenapa. Sadar diri aja." Raga menghela napas berat. "Punya Majeng aja udah cukup bagi Raga."

Ajeng tersenyum dan mengusap lembut kepala keponakannya. "Siapa yang sangka ponakan Majeng yang dulu selalu bikin ulah di sekolah ini, sekarang udah jadi pria sukses?"

"Kok ponakan, sih? Anak!"

Tawa Ajeng mengalun. "Iya, iyaaa... anak. Kamu anak Majeng satu-satunya."

"Majeng beneran nih nggak mau nikah? Paling nggak, sekali seumur hidup lah Majeng menyandang status istri."

Ajeng menggeleng malas. "Udah terlanjur tua. Mending kamu aja, deh. Akhir-akhir ini Majeng rasanya pengen gendong bayi lagi."

"Ya udah, Majeng nikah, bikinin Raga adek."

Bantal sofa pun mendarat ringan di kepala Raga yang terkekeh.

"Kamu masih pegang pesan Majeng baik-baik kan, Raga?"

"Hm? Yang mana?"

"Jangan sok lupa! Majeng cuma pesen dua hal ke kamu, ya!"

"Yang rajin menabung dan baca buku itu, ya?"

Ajeng memegang asbak di atas meja. "Penasaran nggak ini rasanya kalau kena kepala gimana?"

Raga tertawa. Cukup lama dan membuat Ajeng mulai geram.

"Raga!"

"Iya, Majeeeeeeng. Raga sama sekali nggak pakai narkobaaaaa."

"Satunya?"

"Samaaa... Raga juga nggak nidurin perempuan sembarangan."

Senyum Ajeng tercetak puas. "Bagus."

"Harusnya sih ada imbalannya kalau Raga bisa pegang janji."

"Emang kamu mau apa?"

Raga menyengir. "Bisa nggak suatu hari nanti Majeng restuin Raga sama Nadia?"

Ajeng memutar bola matanya dan berdiri. "Heran. Punya anak satu bodohnya minta ampun."

Tawa satir Raga mengalun menyedihkan.

"Buruan mandi! Anter Majeng ke spa!"

***

"Kenapa?"

Lagi-lagi Bayu menggeleng.

"Pasti ada alasannya." Mariana jelas tak mau menyerah begitu saja. "Kenapa ngga bisa?"

Bayu memicingkan pandangannya. "Sebenarnya sebagai cowok sih aku fine-fine aja. Yang namanya rejeki ngga boleh ditolak. Tapi kalau aku nurutin naluri itu, Davina pasti auto jadi Titan."

"Siapa Davina?"

"Ketua geng kami."

"Bisa ngga kamu nemuin aku sama Davina?"

"Dia serem tahu! Mulut sama tangannya bisa liar kalau dipancing."

Kedua sudut bibir Mariana terangkat. "Nggak ada orang yang aku takutin di dunia ini. Oke?"

Kedua alis Bayu terangkat saat ia mengangguk pelan.

"Kalau kamu ngga bisa kasih aku akses ketemu Raga, paling ngga temuin aku sama Davina."

"Nekat juga nih, anak," gumam Bayu.

"Gini, deh..." Mariana menghela napas dengan keras. "Biar aku nemuin Davina sendiri. Di mana dia?"

"Nggak maksud untuk nakutin. Tapi kalau bisa nanti kamu jaga jarak ya waktu ngob-"

Mariana mendekat dengan cepat. "Temuin-aku-sama-Davina-dulu. Oke, Bayu?"

Tak ada yang bisa Bayu lakukan selain mengangguk kaku.

***

Davina menatap dengam sedikit heran perempuan beraura priyayi yang duduk di hadapan meja kerjanya. Sekitar dua menit yang lalu Bayu membuka pintu ruangannya tiba-tiba dan diikuti seorang perempuan yang memakai setelan blouse dan rok hitam. Bayu tak banyak menjelaskan maksud kedatangnnya. Hanya sebaris kalimat 'Dav, ada yang mau ketemu'. Itu saja.

Pintu kembali terbuka. Kali ini pegawai seorang perempuan senja yang membawa nampan berisi tiga cangkir dan kudapan sederhana.

"Makasih, Bu," ucap Davina sebelum kembali menatap tamu tak diundangnya. "Jadi... siapa nama lo tadi? Mariana?

Mariana mengangguk sekilas. "Panggil aja Mar. Sorry kalau ganggu waktu kamu, Dav. Aku yang maksa Bayu untuk diantar ke sini."

Davina menoleh Bayu yang duduk di sofa. "Ini yang lo maksud ceweknya Raga?"

Bayu hanya mengangguk.

Lagi-lagi Davina memperhatikan Mariana. Walau tak memiliki gaya berpakaian yang sama, Davina tahu apa yang dikenakan Mariana dari atas sampai bawah adalah barang bermerek mahal.

"Boleh kuminum tehnya?" tanya Mariana.

"Oh, iya. Silakan." Davina menyandarkan pungung dan menghela napas singkat. "Ada perlu apa nemuin gue?"

"Minta akses ketemu Raga."

"Akses?"

"Bayu bilang aku harus dapat ijin kamu dulu sebelum nemuin Raga. Kalau nggak, kamu bakal berubah jadi Titan."

Davina melotot ke arah Bayu yang sedang terkikik. "Titan? Si anjing!"

"Apa itu Titan?"

"Nggak penting. Dan nggak usah lo searching!"

Mariana menutup tasnya dan kembali terfokus pada Davina.

Lagi-lagi Davina menghela napas singkat sebelum berbicara. "Mungkin menurut lo, gue sama Bayu lebay karena ikut campur urusan Raga. Tapi kami berdua ngelakuin ini bukan tanpa alasan. Kami nggak mau dia semakin terpuruk."

"Hm. Oke. Lalu?"

Davina menatap Mariana tajam saat mencondongkan tubuh. "Lo ada tujuan apa ngejar Raga sampai segininya?"

Kedua alis Mariana terangkat sesaat sebelum ia tersenyum menguasai ekspresi di wajahnya. "Cinta."

"Bullshit!" sahut Davina cepat. "Lo baru kenal sama Raga. Nggak usah asbun ngomongin cinta."

Mariana tertawa kecil. "Kenapa? Apa yang nggak mungkin? Kamu belum pernah jatuh cinta atau gimana?"

Dengan cepat raut wajah Davina berubah marah. Bayu pun mendekat, berdiri di belakang kursi Davina seraya memijat pelan pundak sahabat sekaligus Bosnya itu.

"Sekedar info ya, Mar. Davina udah bersuami dan punya anak yang super duper lucu. Keluarga kecilnya bahagia, kok. Jadi pastinya dia ngerti gimana rasanya jatuh cinta," ucap Bayu selembut mungkin.

Senyum Mariana terukir simpul. "Oh, selamat."

"Kapan tepatnya lo mulai cinta sama Raga?" Nada bicara Davina tak lagi terdengar bersahabat.

"Daaaav, udah deh."

"Nggak, Bay!" Davina menepis tangan Bayu di pundaknya. "Gue mau tau."

"Sejak Raga selamatkan aku di Paradise."

Baik Davina dan Bayu pun kompak menatap Mariana bersamaan.

"Seumur-umur... aku belum pernah ketemu laki-laki yang nggak manfaatin aku. Semuanya sama. Masing-masing mencari celah keuntungan apa yang bisa didapat dariku. Harta, tubuh, dan pekerjaanku." Tatapan Mariana sedikit menerawang ke depan. "Tapi Raga berbeda. Walau punya kesempatan besar, dia tetap dengan tujuan utamanya. Menyelamatkanku. Dia yang pertama berperilaku seperti itu."

"Lo hidup di lingkungan yang kaya' gimana sih sebenarnya?" Davina mengernyit heran. "Dark banget."

Mariana tersenyum simpul. "Mau kuceritakan semuanya?"

"Udah, ah!" sahut Bayu. "Ngomong yang lain aja."

"Jadi gimana?" Giliran Mariana yang mencondongkan tubuhnya. "Apa aku dapat akses untuk ketemu Raga?"

Davina diam, bahkan ketika bertukar pandang dengan Bayu.

"Kalaupun kalian nggak kasih, nggak apa-apa. Aku bakal tetap cari tahu di mana persisnya Raga berada." Mariana menurunkan satu kakinya, bersiap untuk berdiri. "Senang bisa ketemu kalian. Raga beruntung punya sahabat yang peduli sama dia."

Sebuah amplop cokelat besar mendarat di atas meja kerja Davina saat Mariana berdiri.

"Lo bisa bawa itu ke Raga. Bilang kalau gue nitip kerjaan dia lewat lo," ucap Davina.

Bayu meraih amplop tersebut, dan mengeluarkan proposal proyek dari sana. "Proyek apaan ini, Dav?"

"Proyek klien lama Raga. Dia udah janji mau handle proyek lagi."

Mariana menerima amplop yang diangsurkan Bayu. "Jadi aku boleh nemuin Raga?"

Davina mengangguk, lalu memberikan kartu nama. "Hubungi gue di nomor itu. Ntar gue kasih alamat lengkap rumah dia."

"Oh, wow," gumam Mariana seraya memperhatikan amplop di tangannya.

"Congrats, Mar. And good luck."

"Thanks, Bay." Mariana menatap Davina dengan sumringah. "Thanks, Dav."

"Hm," gumam Davina seraya mengangguk singkat.

Setelah itu Mariana berpamitan. Meninggalkan dua sahabat Raga itu dengan langkah ringan. Genggamannya pada amplop mengerat, bibirnya pun tersenyum pongah. Tak ia sangka, keterampilan beraktingnya masih tersisa dan bisa membantunya untuk bisa lebih dekat dengan tujuannya.

"Tunggu aku, Raga..."

.

.

.

"Gue masih nggak percaya lo mau bantu Mariana."

Davina yang tengah bermain Sally Spa di komputer hanya mengangkat bahu merespon Bayu.

"Lo nggak curiga dia bohong, Dav?"

"Nggak cuma curiga, gue yakin seratus persen dia cuma asbun aja."

Bayu menegakkan punggungnya dari sandaran sofa. "Terus kenapa malah lo bantuuuuuu?"

"We never know if we never try, Bay," jawab Davina tenang.

"Lo tuh ya, buat temen kok coba-coba?"

Davina mengalihkan pandangan dari layar komputernya. "Paling nggak yang coba deketin Raga bukan Nadia. Itu prioritas gue."

"Kalau Raga marah gimana?"

"Bilang aja kalau gue dikibulin Mariana."

"Dav, Raga nggak akan percaya kalau lo berhasil dikibulin."

"Ya apapun lah alasannya. Bisa cari yang lain, dan bisa dipikir nanti." Davina meminum tehnya. "Intinya gue pengen kekacauan Raga karena Nadia segera terselesaikan. Bila perlu gue kasih tips ampuh ke Mariana gimana cara cari perhatian Raga. Lo bener, tuh cewek emang ambis."

Bayu menggeleng takjub. "Sahabat gue satu ini emang beda, ya. Selalu visioner dalam setiap hal."

Davina hanya mengangkat satu sudut bibirnya dengan congkak, sebelum kembali melayani customer di game spa onlinenya.

***

Kedua mata Raga semakin memberat seiring deretan lampu jalanan yang terlewati tak mampu ia hitung lagi. Pendar lampu kuning yang bersinar tinggi di atasnya itu, seolah sukses menghipnotisnya untuk merenungi sesuatu yang ingin ia kubur dalam-dalam.

Nadia...

... kenapa?

Raga sudah menutup kedua matanya dengan sempurna. Meresapi sejuknya angin malam yang berhembus melalui jendela mobil yang sengaja ia buka.

"Ga? Jendelanya gue tutup, ya?

"Hmmmm," gumam Raga dengan berat.

"Lo tadi minum banyak banget. Mending besok malem lo nggak usah datang ke bar dulu, deh. Kita lanjutin ngobrol lusa aja. Bangun besok lo pasti pus..."

Suara pria di samping Raga semakin mengecil dan berujung tak terdengar lagi. Raga telah kehilangan kesadarannya, membiarkan rasa kecewa dan sedih kembali menguasi hati dan pikirannya.

.

.

.

...kenapa semudah itu membuatku merasa tak berarti apa-apa?

.

.

.

***

Seolah mendapat bogeman keras di perutnya, Raga membuka mata dan berjalan cepat menuju kloset kamar mandi. Meski sempoyongan, sekuat mungkin pria itu menahan isi perutnya yang mendesak kuat ingin dikeluarkan sembarangan.

Dan kamar Raga yang tadinya hening, kini dihiasi suara keras pria itu yang tengah memuntahkan seluruh isi perutnya cukup lama.

"Ah... brengseeeeeek," racau Raga lemas seraya mengelap bibirnya. "Lemes banget gue."

Saat masih membersihkan mulutnya di wastafel, pintu kamar Raga diketuk pelan dari luar.

"Bli Raga, kalau sudah bangun ditunggu Ibu sarapan di ruang makan."

"Iya, sebentar," sahut Raga dengan sedikit serak.

Raga membasuh muka dan menatap cermin di hadapannya. Penampilannya benar-benar berantakan. Rambut yang awut-awutan, tampang yang kusut, serta kemeja semalam yang masih ia kenakan. Jika tak ingin Ajeng semakin lama mengomelinya, ia harus merapikan diri sedikit.

***

Dua piring besar berisi udang saus telur asin dan gurami asam manis yang tersaji di depannya, reflek membuat kedua pupil Mariana melebar. Nafsu makannya seketika meninggi melihat menu-menu yang jarang ia makan untuk sarapan tersaji di hadapannya. Dalam sekejap Mariana pun melupakan diet yang sedang ia jalani.

"Kamu nggak ada alergi seafood, kan?

Mariana menoleh perempuan paruh baya di ujung meja, lalu menggeleng. "Ini Tante Ajeng sendiri yang masak?"

Ajeng menghentikan gerakan tangannya menyendok kuah sup kakap merah sebelum tertawa. "Ya bukan, doooong. Tante nggak bisa masak. Ada pekerja sendiri yang khusus datang tiap subuh dan sore untuk masak."

"Masaknya selalu sebanyak ini?"

Lagi-lagi Ajang tertawa. "Ya nggak, lah. Tiap kali ada tamu aja. Ayo buruan dimakan selagi hangat. Udang ikan asin buatan pekerja Tante enak banget, loh."

"Kebetulan. Saya suka sekali udang."

Ajeng tersenyum sumringah. "Karena tinggal di pesisir, makanan yang mudah didapat dengan cepat ya hasil laut. Syukur deh kamu cocok."

Mariana balas tersenyum. Saat hendak mengambil makanan favoritnya, sebuah tangan yang lebih besar dan kuat menahan pergelangan tangannya dengan kasar.

"Ngapain kamu di sini?"

Saat mendongak, Mariana mendapati Raga berdiri di sampingnya. Menatapnya dengan heran sekaligus emosi. "Nemuin kamu," sahut Mariana tenang.

"Pergi!" Raga tak segan menarik Mariana untuk berdiri.

Ajeng turut berdiri. "Raga!"

"Pergi sebelum aku seret kamu keluar dari sini!"

"Kamu apa-apaan sih, Raga?" seru Ajeng seraya mendekat.

Raga menatap Ajeng tak kalah emosi. "Majeng yang kasih ijin dia masuk? Perempuan ini gila, Majeng!"

"Dan perempuan gila ini yang semalam bopong pemabuk macam kamu untuk bisa sampai ke kamar tahu, nggak?" nada bicara Ajeng turut meninggi.

Bibir Raga terkatup. Dengan masih diliputi emosi, Raga mendekati Mariana, menghimpit perempuan itu dengan tubuhnya. "Rencana licik apa lagi yang mau kamu lakukan, hah?" hardik Raga penuh intimidasi.

"Aku ke sini karena mau kasih titipan," ulang Mariana seraya tersenyum simpul.

"Bohong!"

"Aku nggak bohong."

"Titipan apa? Dari siapa? Dan kenapa harus perempuan gila seperti kamu yang nganter?"

"Ragarda!!!"

Panggilan kencang Ajeng seolah peringatan keras bagi Raga untuk mengesampingkan emosi. Kaki Raga melangkah mundur, lalu nampak sedikit enggan menatap wajah perempuan yang ia segani.

"Ini masih pagi! Kamu belum puas udah bikin kekacauan dari semalam?"

Tak ada sahutan dari Raga yang tengah memandang Mariana dengan sorot tak suka.

"Semalam Majeng yang persilahkan Mariana untuk datang. Dia ke sini karena ada titipan pekerjaan dari Davina. Kamu nggak bisa dihubungi sedikit pun, lalu tiba-tiba datang dan berteriak-teriak di depan pagar membuat kami berdua repot." Ajeng melipat kedua lengannya di depan perut. "Apa-apaan sikap kamu tadi, Raga? Kenapa semudah itu bersikap kasar dengan perempuan?"

Telunjuk Raga teracung ke wajah Mariana. "Asal Majeng tahu, perempuan gila ini licik dan-"

"Cukup! Jangan buat selera makan Majeng hilang!" Ajeng kembali berjalan ke kursinya dan duduk. "Mending kamu sarapan di paviliun daripada bikin onar di sini!"

"Majeng-"

"Kamu pasti masih mabuk!"

Raga menghela napas dan membuang muka. Sebelum menuruti Ajeng pergi dari ruang makan, pria itu melempar tatapan tajam kepada Mariana yang nampak luar biasa tenang menatapnya.

***

Satu jam telah berlalu sejak Ajeng 'mengusirnya', Raga tak beranjak sedikitpun area paviliun. Sedari tadi ia mencoba menghubungi Davina dan Bayu. Namun nihil, kedua sahabatnya itu kompak mematikan alat komunikasi di akhir pekan yang cerah ini.

"Tai... iya ini Sabtu," gumam Raga seraya melempar ponselnya ke atas sofa. "Mana mau mereka nyalain handphone pagi-pagi?"

Raga berjalan menuju area outdoor. Duduk di atas hammock menghadap langit lepas yang membentang biru. Sedari tadi otaknya berpikir, jika Mariana tak berbohong, apa yang mendasari Davina melakukan ini? Kalau Bayu mungkin Raga tak akan kaget. Tapi ini Davina. Perempuan paling logis yang ia kenal di dunia.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Raga menoleh ke belakang dengan cepat.

"Nice place. Kamu pasti sering habisin waktu di sini."

Raga tak menggubris Mariana, dan memilih memalingkan muka menghadap pemandangan di hadapannya.

"Tante Ajeng bilang, kamu yang desain sendiri rumah ini." Mariana duduk di atas kursi kayu kecil di dekat hammock. "Tapi sejujurnya Tante Ajeng kurang suka karena desain rumah ini adalah impian seseorang yang nggak beliau suka. Pasti Nadia, ya?"

"Mau kamu apa sebenarnya?" tanya Raga lirih tanpa menatap perempuan di sampingnya.

"Hm?"

"Kenapa melibatkanku?" Kali ini Raga menoleh, menatap dingin lawan bicaranya.

Perlahan, Mariana tersenyum. "Bukannya dari awal aku udah bilang, ya? Aku mau kamu."

Raga membuang muka seraya mendecak jengkel.

"Apa jawabanku salah? Sebelumnya nggak pernah ada yang suka kamu atau giman-"

"Pasti ada hubungannya sama Nadia, kan?" sela Raga.

Kedua alis Mariana terangkat sesaat sebelum perempuan itu tertawa lirih. "Nadia hanya kebetulan. Kita bertemu lebih dulu, Raga."

"Lalu kenapa semuanya seperti tersusun rapi? Fakta bahwa kalian adalah saudara tiri, dan kemunculan Gevindra."

"Gevindra adalah orang yang berpengaruh di dunia kerjaku. Sudah menjadi rahasia umum bagi siapapun yang ingin berkarir dengan mulus, Ge adalah jawaban jalan pintas mereka. Dari sini silakan menyimpulkan sendiri, alasan mengapa Ge menjadi prioritas Nadia dibanding kamu."

Tenggorokan Raga terasa mengerat mendengarnya.

"Lalu... fakta bahwa aku dan Nadia saudara tiri." Mariana mendengkus. "Apa menurut kamu aku yang saat itu berusia tiga belas tahun punya kuasa atas pilihan hidup Papaku? Kalau aku bisa mengendalikan keadaan, aku lebih memilih untuk menghidupkan Mamaku lagi daripada harus memiliki Ibu dan saudara tiri, Raga."

Raga memutus kontak mata begitu saja dan menghela napas lelah. "Cukup! Nggak usah diteruskan."

"Kamu ketakutan dengan semua fakta ini?"

"Silakan pergi tanpa kusuruh dengan kasar lagi."

Lagi-lagi Mariana mendengkus. Perempuan itu mengangguk seraya berdiri. "Oke, aku pergi. Titipan Davina kutaruh di atas sofa."

Sedikitpun Raga tak menatap kepergian Mariana. Entah mengapa ia merasa menyesal mendengar jawaban dari pertanyaanya sendiri.

"Oh, iya." Mariana kembali bersuara di belakang Raga. "Tante Ajeng pesan, kalau kamu sudah tenang, beliau mau bicara."

***

Jika boleh jujur, Raga sedikit risih ditatap Ajeng dengan sedikit intimidasi seperti ini. Ajeng menatapnya dari kepala hingga kaki, seolah ingin memastikan apakah Raga siap untuk diajak berkomunikasi.

"Raga udah seratus persen sadar, kalau itu yang Majeng ingin tahu," ucap Raga membuka obrolan.

"Duduk dulu." Ajeng menyentuh sisi kanan sofa yang ia duduki.

Tanpa bicara apa-apa, Raga menurut.

"Sudah sarapan?"

"Sudah."

"Kalau saja kamu tadi bisa sedikit tenang, kita bisa sarapan bersama."

"Hm. Raga minta maaf."

Ajeng menatap keponakannya dengan sedikit menyesal. "Kamu kenapa bisa sekasar itu sih sama perempuan?"

"Kalau Majeng tahu gimana nggak tahu dirinya perempuan itu, Majeng pasti paham."

"Menurut Majeng dia cuma berusaha deketin kamu."

Raga menoleh Ajeng dengan heran.

"Kalau kamu nggak suka dia, kamu bisa ngomong baik-baik, kan?"

"Kalau dia bisa diajak ngomong baik-baik, nggak mungkin dia sampai jauh-jauh ke sini."

Ajeng mengerutkan kening. "Mungkin dia cuma mau berusaha lebih."

"Nggak lah, Majeng. Dia itu licik. Dia pasti punya rencana lain."

"Hm..." gumam Ajeng seraya mengangguk. "Ya udah kalau itu yang kamu pikirkan tentang dia."

"Jangan bilang Majeng percaya sama dia?!"

"Nggak. Majeng cuma merasa sayang kamu melewatkan kesempatan untuk keluar dari lubang yang kamu diami sekarang."

Raga terdiam, bahkan hingga Ajeng berdiri.

"Mariana bilang kalau dia pulang besok malam. Jadi seharian ini Majeng mau ajak dia ke spa, trus lanjut jalan-jalan. Kamu nanti makan malam sendiri, ya? Nggak apa-apa, kan? Toh kamu pasti juga nggak mau ikut."

"Majeng, dia tuh bukan siapa-siapa Raga. Buat apa Majeng memperlakukannya seperti ini?"

Pertanyaan Raga membuat Ajeng menunda langkahnya. "Kenapa memangnya?"

"Dari dulu... bertahun-tahun, Majeng nggak pernah sedikit pun mau berbicara sama Nadia. Lalu kenapa dengan Mariana berbeda?"

"Memang Nadia siapanya kamu, Raga?"

Rahang Raga mengeras merasakan emosi yang merangkak di dadanya.

"Kalau kamu nggak suka Mariana, Majeng juga harus ikut nggak suka? Gitu?" Majeng sedikit mencondongkan tubuhnya. "Lalu kalau Majeng nggak suka sama Nadia, apa kamu juga bakal mau untuk jauhin dia?"

Raga menampakkan wajah kesal yang tak bisa ia tutupi lagi.

"Majeng berangkat. Malam ini kamu nggak usah keluar alasan ngomongin bisnis lagi kalau ujung-ujungnya pulang dalam keadaan mabuk."

Tanpa menoleh Raga lagi, Ajeng berjalan meninggalkan ruang tengah rumah itu seraya menghela napas berusaha menenangkan diri.

***

Getaran ponsel yang beradu dengan meja berbahan marmer membuat Raga menunda menuang wiski ke dalam gelasnya. Pria itu hanya melirik nama Bayu yang sedang meneleponnya, lalu kembali melanjutkan tuangan ketiga. Menikmati wiski sendirian di bar kecilnya adalah hal yang ia butuhkan sekarang.

Yah, nyatanya tak semudah itu Raga menghilangkan perasaan kesalnya atas kejadian pagi ini. Meski telah menghabiskan waktu seharian di paviliun, emosi Raga tetap mudah tersulut setiap memikirkan rencana apa yang setelah ini akan dilakukan Mariana. Pemikiran bahwa perempuan itu berkemungkinan besar akan seenaknya berkeliaran dan menjamah setiap sudut rumah yang ia bangun untuk Nadia, berputar di kepala Raga hingga membuatnya ingin murka.

Ponsel Raga kembali bergetar. Bayu nampak belum menyerah meski telah diabaikan. Menandaskan isi gelasnya, Raga meraih ponsel dan menjawab panggilan sahabatnya.

"Lo tadi pagi telepon? Ada apa?"

"Bangsat lo," ucap Raga lirih. Efek alkohol sepertinya mulai bekerja dan membuat seluruh tubuhnya menjadi lebih rileks.

"Hah?"

Raga kembali menenggak gelasnya yang sudah terisi.

"Halo? Ga? Lo kenapa, sih?"

"Lo pasti terlibat, kan? Lo sama Davina pasti bersekongkol, kan?"

"..."

"Apa yang kalian rencanakan?"

"Lo ngomong apa sih, Ga? Udah tengah malem ini!"

Raga meletakkan kepalanya di atas meja. Meresapi dinginnya marmer dengan salah satu sisi pipinya. "Kalian dan Majeng... kenapa nggak bisa nerima orang yang sama?"

"Lo mabok, ya?"

"Gue pukulin lo sampai koma kalau kita ketemu."

"Anjrit, Ga! Lo apaan, sih? Merinding gue bayanginnya, bangsat! Badan lo lebih gede daripada gue!"

Senyum Raga tersungging meski kedua matanya telah menutup. Ia mulai mengantuk. Jika saja meja yang ia tiduri tak sedingin ini, mungkin kesadarannya akan lebih cepat pergi.

"Ini lo di rumah, kan?"

"Hm..."

"Ya udah, puas-puasin minum di rumah aja."

"Gue serius, Bay. Lo mau gue pukul pakai apa?"

"TER-SE-RAH! Lo puas-puasin dah nyusun rencana pembunuhan ke gue. Gue masih punya Davina."

"Anjing. Curang."

"Dah, gue tutup!"

Tanpa menyingkirkan ponsel di atas pipinya yang tak menempel dengan meja, Raga membiarkan tubuhnya semakin rileks karena kantuk yang ia rasa. Entah mengapa, malam ini efek wiski sedikit berbeda di tubuhnya.

Hanya berselang beberapa menit, Raga terbangun karena merasa sebuah tangan menyingkirkan ponsel dari pipinya. Kedua matanya masih enggan untuk terbuka, saat tangan tersebut beralih mengusap pelan rambut hingga tengkuknya. Ingin sekali Raga mengelak. Dirasakan dari usapannya, ia tahu siapa pemilik tangan tersebut.

"Kasihan banget ya kamu?"

Dengan mengerahkan kesadaran yang masih tersisa, Raga mengangkat kepala hingga membuat Mariana mematung di sampingnya.

"Kukira kamu tidur," ucap Mariana selanjutnya.

Raga tak menanggapi apa-apa. Dengan mata sayu, ia menatap Mariana yang masih nampak terkejut.

"Aku nggak ada niatan ganggu tidur kamu. Aku dari dapur, terus aku lihat kamu duduk di sini-"

"Kasihan kenapa?" potong Raga pelan.

Mariana terhenyak. Kombinasi tatapan sayu dan suara rendah Raga sukses mendistraknya.

Raga mendekatkan kepalanya. "Semenyedihkan itu kah aku di mata orang lain?"

Seolah telah kembali ke dunia, Mariana mengerjap dan mengangguk. "Semua orang di sekitar kamu juga pasti sudah bilang alasannya, kan?"

Kedua sudut bibir Raga terangkat. "Nggak ada yang bisa gantiin Nadia."

Mariana mendengkus. "Aku bisa."

Lamat-lamat Raga menatap Mariana dari atas kepala hingga ke bawah. Perempuan berambut sepunggung itu mengenakan setelan gaun tidur tipis berlapis kimono sutra panjang. Tali kimono Mariana yang tak dikaitkan dengan erat membuat Raga secara tak sadar bertanya-tanya, sependek apa gaun tidur tipis di baliknya jika Raga mengurai ikatannya.

"Kamu hanya perlu kasih aku kesempatan. Sisanya biar aku yang menyesuaikan." Mariana membelai rahang Raga agar pria itu mengangkat kepala. "Gampang, kan?"

Raga menghela napas dan memalingkan muka. Ia meraih botol wiski dan menuangkan isinya ke dalam gelas yang sama.

Mariana merengut tak suka. "Kamu masih nggak mau?"

Tak ada jawaban dari Raga meski ia telah menenggak habis minumanya.

"Bilang dong kalau kamu punya penawaran lain. Jangan langsung ditolak mentah-mentah gini."

"Nggak ada penawaran. Aku nggak mau."

Tangan Mariana yang terkepal hampir melayang ke kepala Raga saat pria itu minum. Dengan menahan kesal, Mariana menghela napas seraya menggumam pelan. "It's ok, Mariana. Dia lagi mabuk. Coba lagi lain waktu."

Sembari menelan rasa kesalnya, Mariana melangkah pergi. Namun belum sampai langkah kedua ia tempuh, tubuhnya dipaksa berbalik karena tarikan Raga di tangannya. Belum sempat Mariana bersuara, Raga telah mengunci bibir bawahnya dengan ciuman kasar. Mariana reflek mendorong tubuh Raga, namun pria itu menarik pinggangnya mendekat seraya semakin memperdalam pagutannya. Aroma dan sisa rasa wiski pun tertinggal di bibir Mariana.

"Tubuh kamu," bisik Raga seraya menyurukkan hidungnya ke dagu Mariana. "Itu penawaranku."

Untuk sejenak Mariana bergeming. Perkataan Raga terasa seperti déjàvu, karena ini bukan kali pertama Mariana mendengarnya dari mulut pria.

Raga mulai mengecup leher Mariana. "Pergilah kalau menyerah."

Mariana mendengkus. Menyerah bukanlah kata yang mudah ditemui dalam kamus hidupnya. Dengan lembut Mariana mengusap tengkuk Raga dan berbisik. "Deal."

Meski sempat terkejut, Raga dengan cepat bisa mengimbangi pergerakan seduktif Mariana. Perempuan itu membalas setiap ciuman yang Raga berikan dengan ritme gairah senada. Mulai dari kecupan, hisapan, serta pergerakan lidah yang bertempo sama. Suara bibir yang bersatu hingga erangan kecil pun menjadi suara yang jelas diantara samarnya suara deburan ombak dan hembusan angin di paviliun terbuka itu.

"Hah..." Mariana melepas bibir untuk mengambil napas sebanyak-banyaknya. Raga yang lanjut menggigit pelan lehernya, membuat Mariana mau tak mau harus menguatkan kedua kakinya.

Seolah mengerti, Raga menarik tubuh Mariana untuk duduk di pangkuannya. Tanpa mengurai ikatan, Raga menarik ke bawah bagian punggung kimono Mariana hingga menampakkan pundak pucat perempuan tersebut. Pundak itu terasa dingin begitu bibir dan lidah Raga menyentuhnya. Sebuah pertanyaan kecil terlintas di kepala Raga saat melihat Mariana sedikit bergidik karena angin laut yang berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya.

Kenapa menghampiriku ke sini kalau mudah kedinginan?

"Ragaaah, ah-" Desahan Mariana tertahan saat bibir Raga menyapu dadanya. Bukan hanya bibir, tangan pria itu turut berperan cerdik membakar suhu tubuh Mariana di titik sana. Dengan putus asa, Mariana meraih wajah Raga untuk menciumnya. "Bisa kita lanjutkan di dalam?" bisiknya.

"Kamu kedinginan?"

Mariana mengangguk.

Tanpa menunggu Mariana meminta lagi, Raga mengangkat tubuh perempuan itu masuk ke dalam satu-satunya kamar yang ada di paviliun tersebut. Entah keadaan seperti apa yang akan menantinya nanti. Yang jelas, harus Raga akui bahwa tubuh dan gairahnya bereaksi serupa meski bukan Nadia yang menghangatkan ranjangnya malam ini.

.

.

.

Nad, apa kamu merasakan hal yang sama saat bersama Gevindra?

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

ANYOOOOONGG, HAHAHAHAHA.
Ga mau banyak was wis wus saya mah. Enjoy aja yak. Met weekend ❤

.

.

Mbak Mar, ngga enter wind mbak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #dendam