3. Face the Truth
Sedari tadi, Raga mencoba mencuri-curi lirikan ke arah Orlen yang bekerja dengan keheningan total di depan komputer. Raga tahu, ketegangan di antara ia dan pegawainya itu belum sepenuhnya mencair. Selama tiga hari terakhir Orlen jauh lebih diam dari biasanya. Pemuda itu juga tidak banyak berkeluh kesah, dan mengerjakan setiap tugas dengan cepat dan rapi. Harusnya Raga senang melihat pegawai kesayangannya itu serajin ini. Hanya saja... tak dapat ia pungkiri ada rasa sepi kala tak mendengar gerutuan atau alunan nyanyian nada sumbang Orlen lebih dari sehari.
Raga berdehem, namun tak juga membuat Orlen menaruh perhatian padanya.
"Len?" Pada akhirnya Raga tak tahan untuk tak membuka mulutnya.
Orlen dengan cepat berdiri dan sedikit menundukkan pandangan menghadap Raga. "Ya, Bos?"
Kening raga mengerut melihat raut tegang pemuda di hadapannya.
"Ada perintah untuk saya, Bos?" tanya Orlen lagi karena Raga tak kunjung membuka suara.
"Ada. Ikut gue beli dry box."
"Siap, Bos."
"Lo ngga tanya, kenapa gue beli dry box?"
"Beli dry box untuk apa, Bos?"
Raga menghela napas. Sedikit penyesalan menggelayuti hatinya melihat pemuda di depannya ini masih sedikit ketakutan saat berkomunikasi dengannya. "Ambilin jaket gue dulu di ruangan. Gue tunggu di mobil."
***
Setelah bekerja sama dengan Orlen mengangkat kardus berisi dry box kamera berukuran paling besar ke dalam mobil, Raga menutup pintu belakang seraya mengamati raut wajah pemuda di sampingnya.
"Beda banget muka lo sekarang?" tanya Raga.
Orlen tersenyum lebar seraya mengangkat totebag di tangannya. "Makasih banget buat 50mm nya, Bos."
Bibir Raga berkedut menahan senyum. "Kalau udah punya sendiri jangan minjem punya kantor lagi. Ngerti?"
Senyuman Orlen berubah menjadi cengiran penuh rasa bersalah. Ia pun mengangguk berkali-kali.
"Lo nggak keburu ngerjain sesuatu, kan?" Raga melihat di angka mana jarum terkecil jam tangannya.
"Nggak, Bos."
"Kita makan siang dulu." Raga menatap Orlen. "Lo mau makan apa?"
Senyuman Orlen kembali mengembang lebar.
***
"Bos bilang terserah saya, kan?"
Raga menghela napas membaca nama restoran stik di hadapannya. "Hm, ini emang hari lo. Dari awal gue udah nyiapin mental."
Orlen memeluk erat pemberian Raga di dadanya, dan mengikuti langkah lebar Raga dengan gembira.
"Lo pernah makan di sini?" tanya Raga saat memasuki restoran.
"Ngga pernah. Makanya saya ajak Bos ke sini."
Kekehan kecil Raga lolos begitu saja. "Lagak lo kaya' lo yang bakal bayarin aja."
"Harga per porsi di sini hampir seperenam gaji saya, Bos. Timing saya harus bagus kalau mau makan di sini."
Raga hanya menggeleng tak habis pikir dengan tingkah pegawainya. Namun di dalam lubuk hatinya, ia lega fotografer terbaiknya itu sudah kembali seperti biasanya.
"Bos Raga baik-baikin saya gini dalam rangka apa, ya?" Orlen membuka obrolan saat mereka selesai memesan.
"Muka lo ngeselin tiga hari ini. Nggak betah gue lihatnya," jawab Raga datar seraya mengoperasikan ponsel.
Raut wajah Orlen berubah murung seketika.
"Nah ini, nih. Yang kaya' gini nih yang bikin gue gedeg minta ampun."
"Saya minta maaf, Bos. Kejadian itu murni kesalahan saya."
"Udah ah, Len. Males gue inget-inget lagi."
"Kalau saja saya ngga gampang percaya omongan Kak Mar-"
"Lo lanjut ngomong, gue suruh lo yang bayarin ini," sela Rag dengan nada agak tinggi. "Mau?"
Orlen hanya menggeleng dan merapatkan bibirnya.
"Permisi, Pak."
Baik Raga dan Orlen menoleh ke arah pelayan yang menghampiri meja mereka.
"Ibu di meja sana mengajak Bapak berdua untuk bergabung dengannya."
Raga mengikuti arah tunjuk tangan pelayan tersebut. Seorang perempuan paruh baya nampak tersenyum anggun seraya melambaikan tangan ke arahnya. Raga tiba-tiba tercekat. Sosok perempuan lain di meja itu lebih menyita perhatian serta emosinya. Dengan cepat Raga menoleh Orlen yang sudah lebih dulu memucat.
"Su-sumpah saya ngga tau hal ini, Bos!"
Emosi Raga mulai merangkak naik. "Kenapa dia di sini?" sergahnya penuh intimidasi.
"Saya beneran ngga tahu, Bos." Orlen mengangkat kedua tangannya pasrah. "Demi Allah saya ngga tahu. Saya berani sumpah, saya ngga tahu."
Raga memalingkan muka seraya mengatur napas. Kebetulan yang terjadi siang ini benar-benar memantik emosinya.
"Ap-apa kita pergi aja, Bos?" tanya Orlen takut. "Ngga apa-apa, kok. Ki-kita ngga jadi makan di sini ng-ngga apa-apa."
"Ngga bisa," sahut Raga dengan menekan penuh suaranya. "Bu Artha udah berdiri."
Orlen luar biasa ketakutan. Jantungnya berdetak berkali lebih cepat kala melihat perempuan di belakang Artha tersenyum tipis seraya mendekatkan cangkir ke bibirnya.
Ya, Mariana tengah memandang dengan sorot mata penuh kemenangan ke arah mereka.
Raga berdiri, dan menoleh Orlen dengan datar. "Berdiri, Len. Ngga sopan biarin Bu Artha yang jalan ke sini lebih dulu."
Dengan menggigit bibirnya, Orlen mengikuti Raga yang berjalan lebih dulu di depann.
"Kenapa tadi kamu memandang saya dengan ragu begitu, Raga?"
Sebisa mungkin Raga memaksakan senyum di hadapn kliennya. "Saya sedikit tidak menyangka bakal bertemu Bu Artha di sini."
"Sebenarnya saya pun juga agak ragu sih tadi waktu lihat kalian duduk di sana. Tapi Mariana bilang penglihatan saya ngga salah." Artha menoleh Mariana sejenak. "Kamu ingat Mariana, kan? Dia yang kita bicarakan waktu pemotretan."
Raga hanya melirik Mariana yang kini berdiri.
"Membicarakan tentang apa?" tanyanya tenang.
Ingin sekali rasanya Raga berdecih dan membuang muka secara terang-terangan dari wajah Mariana.
"Passion," jawab Artha disertai senyum penuh arti di wajahnya.
Mariana membalas senyuman Artha, sebelum memandang Raga lurus-lurus. "Hai, Raga. Lagi-lagi kita ketemu."
Tak ada balasan dari Raga yang kini menatap Mariana tanpa emosi.
"Lagi-lagi?" tanya Artha. "Memangnya sudah berapa kali kalian ketemu?"
"Lebih dari dua kali," jawab Mariana.
Artha menatap Raga dan Mariana bergantian dengan penuh selidik. "Wah, menarik juga fakta ini."
"Kami hanya berpapasan di tempat umum," sahut Raga. "Bukan pertemuan yang berarti, Bu Artha."
"Ahhhh, begitu." Artha mengangguk kecil. "Ya udah yuk, kita lanjut makan. Kasihan pegawai Raga udah kelihatan pucat. Maaf, saya lupa siapa nama kamu."
"Orlen."
Orlen menelan ludahnya kesusahan karena sahutan Mariana.
Artha duduk dan menatap Mariana dengan rasa ingin tahu. "Biasanya kamu ngga pernah hafalin nama orang," ucapnya.
"Kecuali untuk orang tertentu," sahut Mariana seraya tersenyum dan menatap Raga. "Silakan duduk."
Raga duduk terlebih dulu, disusul Orlen di sebelahnya yang masih nampak kaku dan ketakutan. Pemuda itu benar-benar tak mau menatap Mariana yang sedari tadi melempar senyum kecil kepadanya.
"Setelah ini kalian ke mana? Apa ada project di luar kantor?" Artha membuka topik pembicaraan lain.
"Setelah dari sini kami kembali ke studio, Bu," jawab Raga.
Artha mengangguk kecil sebelum menatap Orlen. "Orlen, saya suka loh hasil foto kamu. Cara kamu direct anak-anak saya juga fresh dan bikin mereka nyaman selama pemotretan."
"T-t-terima kasih, Bu Artha."
Raga menyentuh punggung Orlen seraya tersenyum tipis. Sebuah isyarat agar pemuda itu bisa lebih mengontrol diri.
"Debut anak-anak baru minggu depan, Ibu jadi hire fotografer?"
Semua pasang mata di meja makan itu menatap Mariana secara bersamaan.
"Kalau jadi, mungkin Orlen dan timnya bisa dipertimbangkan," sambung Mariana.
"Ide bagus." Kedua mata Artha berbinar memandang Raga dan Orlen bergantian. "Gimana, Raga? Hari Rabu minggu depan, Orlen dan timnya bisa motret debut anak-anak baru saya, tidak?"
"Rabu depan, ya?" Raga mengeluarkan ponselnya. "Saya konfirmasi ke staff saya dulu ya, Bu? Sepertinya sih ada pemotret-"
"Kata Ranti sih, kosong."
Dengan cepat Raga menatap Mariana yang baru saja menyelanya.
Mariana tersenyum. "Aku udah hubungin Ranti. Hari Selasa sampai Jum'at minggu depan, semua fotografer kamu nggak ada jadwal pemotretan baik di studio maupun di luar."
Rahang Raga mengeras dengan sendirinya.
Bukannya peka dengan perubahan ekspresi Raga, Mariana malah semakin melebarkan garis senyumnya. "Jadi harusnya bisa kan kalau Ibu pakai jasa tim fotografer kamu?"
"Um..." Raga menegakkan punggung dan menarik napas dalam-dalam. Pria itu lebih memilih menatap Artha daripada Mariana. "Bu Artha coba atur saja dulu schedule dengan staff saya. Biar saya yang persiapkan tim."
"Oke. Pastikan Orlen ikut, ya?"
Raga mengangguk. Sedetik kemudian, seorang pelayan datang membawa dua porsi makanan di hadapan Raga dan Orlen. Setelah Artha mempersilakan kedua laki-laki itu untuk makan, Artha menatap penuh tanya ke arah Mariana.
Mariana melebarkan kedua mata. "Kenapa Ibu lihat saya seperti itu?"
"Penasaran." Artha menyandarkan punggung dan melipat tangan menatap Mariana. "Kenapa kamu bisa setertarik ini?"
Merasa obyek perbincangan Artha adalah dirinya, Raga menghentikan makannya dan menyeka ujung bibirnya. "Bu Artha?"
Artha menoleh Raga.
"Saya ingin mengenalkan seseorang. Dia sangat kagum dengan agensi yang Ibu dirikan. Dewi adalah impian utamanya sejak remaja, sekaligus inspirasinya untuk menjadi model seperti saat ini." Senyum Raga terukir lembut. "Kalau diperkenankan, saya ingin dia bisa menyapa Bu Artha walau cuma sebentar."
Kening Artha mengerut tertarik. "Dia ini... siapa?"
"Seseorang yang sangat berarti bagi saya, Bu."
"Ah..." Artha mengangguk kecil. "Pacar kamu, ya?"
Raga tersenyum hangat. Sungguh kontras dengan Mariana yang hanya mengangkat satu sudut bibirnya.
"Jadi pacar kamu ini model? Kebetulan sekali?"
"Namanya Nadia. Selama setahun belakangan ini dia dikontrak agensi model di Singapura. Dia sangat senang saat mendengar kabar agensi Dewi melakukan pemotretan di studio foto saya tempo hari."
Artha nampak semakin tertarik. "Oke. Kamu siapkan tim fotografer terbaik kamu minggu depan, dan saya akan temui pacar kamu. Deal?"
Deretan gigi Raga terlihat saat senyumnya makin mengembang. "Deal," ucapnya seraya menjabat tangan Artha.
***
Raga tahu, sedari tadi Davina memperhatikannya memeriksa notifikasi di layar ponsel berkali-kali. Sebenarnya bukan tanpa alasan Raga melakukan hal itu di tengah meeting dengan klien baru firma arsitekrnya. Hari ini adalah tenggat waktu Nadia memberikan jawaban, apakah perempuan itu bisa pulang untuk menyapa Artha pada acara besok lusa.
Cewek sinting itu pasti semakin menggila kalau kamu nggak datang, Nad.
Ponsel Raga bergetar. Dengan sekali gerakan, ia meraih ponselnya dan berpamitan pergi sejenak meninggalkan Davina dan klien barunya.
"Bisa, kan?" ucap Raga sedetik setelah mengangkat panggilan.
Nadia terkikik di seberang sana. "Apaan sih? Basa-basi dulu, kek."
"Aku lagi meeting. Nggak bisa lama-lama."
"Oh, okay. Kalau gitu aku hubungin nanti aja-"
"Nggak, Nad! Jangan!" Raga menghela napas agar lebih tenang. "Jadi gimana? Kamu bisa datang, kan?"
"Um... sebenarnya besok aku masih ada schedule kerja. Aku baru bisa flight lusa siang, Raga. Gimana? Masih bisa nggak, ya?"
"Harusnya bisa kalau mau langsung ke lokasi. Tapi apa kamu nggak capek?"
Tawa lembut Nadia mengalun. "Kamu udah berusaha bikin aku seneng, capek dikit nggak masalah."
Raga tersenyum lega. "Thanks, yah? Sepulang dari sana, aku bakal ngabulin apapun yang kamu mau."
"Woah... harusnya kan aku yang bilang gitu. Kok malah kamu?"
"Karena kedatangan kamu beosk bakal ngobatin kangenku."
Nadia tertawa. "Ya ampun, orang tiga minggu yang lalu juga baru ketemu. Lebay, ih."
"Biarin."
"See you, Raga. Jangan lupa jemput aku di bandara!"
"Hm. See you, Nad."
Raga menghela napas setelah menutup panggilan. Bukan karena hatinya yang merasa lega, namun karena tatapan sengit yang ditujukan Davina untuknya. Tak ingin emosi sahabat perempuannya itu semakin mendidih, Raga sedikit berlari menuju meja untuk melanjutkan meeting.
***
"Waktu dulu awal-awal kita bangun bisnis ini, lo pasti bakal ceramahin gue dua jam karena nggak konsen sama klien. Sekarang gue boleh ngelakuin hal yang sama, nggak?"
Raga menyengir perlahan, lalu menggeser kursi restoran cepat saji yang ia duduki ke samping Davina yang menatapnya penuh intimidasi. "Sorry... tadi ada sedikit urusan urgent."
"Jadi Nadia masih seurgent itu di kehidupan lo?"
"HAHHH?"
Baik Raga dan Davina menoleh kompak ke arah Bayu yang baru saja berteriak seraya berdiri membawa nampan makanan.
"Astaga Ragarda Bagus Harmer!" Bayu duduk di depan Raga yang memandangnya datar. "Lo serius masih nggak bisa move on dari Nadia? Bro jangan gini dong, Bro. Lo kan udah punya cewek."
"Cewek?" tanya Davina.
Raga memelototi Bayu yang memasang tampang tak berdosa.
"Oh, ya?" Davina semakin mengerutkan alis menatap Raga. "Siapa, Ga?"
"Lo percaya mulutnya Bayu?"
"Kalau soal ini, gue lebih percaya mulut Bayu daripada mulut lo sendiri."
"Bukan siapa-siapa, Dav. Dia cuma cewek gila."
"Pasti lo yang bikin dia gila, kan?"
Raga menghela napas gemas. "Beneran bukan siapa-siapa gue. Tuh cewek pernah pemotretan di studio, dan kami ketemu. Udah itu aja."
"Kalau nggak salah, malam sebelum gue ketemu dia, dia nginep di apart lo nggak sih, Ga?"
Kedua bola mata Raga seolah hampir keluar menatap. "Bay, anjing lo!" semburnya.
Davina menarik kerah kemeja denim Raga. "Kalian tinggal bareng?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Astaga, Davina. Enggaaaak."
"Terus apa? One night stand doang?"
Suara Raga sempat tercekat di tenggorokannya. "Sedikitpun gue nggak ngapa-ngapain dia."
"Berarti bener kan dia nginep apart lo?"
"Soalnya-"
"Lo nggak mungkin bawa cewek pulang kalau nggak ngapa-ngapain, Ga!"
"Mana cantik lagi ceweknya, Dav," sahut Bayu.
"Asli, Ga. Lo beneran brengsek kalau-"
Cecaran Davina terhenti saat telapak tangan Raga membekap mulutnya. "Ssst! Nih mulut enteng banget sih ngomelnya? Heran gue," ucap Raga pelan namun penuh penekanan.
Davina berontak hingga kekapan tangan Raga di mulutnya terlepas. "Lo gue aduin Tante Ajeng, ya! Bisa-bisanya lo ngelanggar aturan tante yang udah lo anggap kaya' Nyokap sendiri?! Kalau soal Nadia mungkin Tante Ajeng bisa toleransi, tapi pengecualian kalau lo nidurin sembarang cewek, ya!"
Ingin sekali Raga membalik meja makan di hadapannya. Bayu yang menyiram bensin, serta Davina yang menyemburkan kobaran api bertubi-tubi adalah paket komplit yang selalu bisa membuatnya kehabisan akal seperti saat ini. Baik semasa kuliah maupun sekarang, kelakuan dua sahabatnya itu tak pernah berubah.
"Ngomong, Ga. Merem aja nggak akan nyelesaiin masalah," ucap Bayu.
Telunjuk tangan Raga mengarah tepat ke Bayu. "Lo diem, ya! Jangan salahin gue kalau bibir lo berdarah setelah ini."
Bibir Bayu mengucap 'oke' tanpa suara, sebelum melahap santai burger di tangannya.
"Davina, lo bisa tenang bentar, nggak?" Telunjuk Raga beralih ke sahabat perempuannya. "Gue ceritain semuanya, asal lo janji nggak ngomong apa-apa sebelum gue kasih kesempatan. Oke?"
Davina mengerutkan kening menandakan protes, sebelum pada akhirnya mengangguk ragu.
Raga lalu mulai bercerita sejak awal saat di mana ia bertemu dengan Mariana di studio fotonya. Cerita berlanjut ke pertemuan Raga dan Mariana di Paradise, hingga kenekatan Mariana saat mengajaknya berpacaran. Bayu yang awalnya nampak tak peduli, sampai menyisakan burgernya hanya untuk mendengar kelanjutan cerita tentang momen pertemuan Raga dan Mariana baru-baru ini.
"Jadi gitu, Dav." Suara Raga terdengar lebih pelan dari sebelum bercerita. "Makanya gue nungguin banget kabar dari Nadia, biar dia bisa ke sini dan bikin tuh cewek gila berhenti ganggu hidup gue."
Davina menoleh Bayu, lalu mengedikkan dagu. "Lo bilang pernah ketemu tuh cewek kan, Bay? Menurut lo, dia gimana?"
Raga mendelik tak terima. "Lo ngapain nanyain hal itu ke si kunyuk ini, Dav? Dia mana-"
"Selain cantik, tuh cewek berani," sela Bayu tenang.
"Berani dalam hal apa ini?" Davina lebih tertarik perkataan Bayu daripada tatapan protes Raga.
"Apapun. Tatapan mata dia tuh tajem banget, Dav. Tapi anehnya nggak bikin gue merasa tersudut, karena itu tipe-tipe tatapan cewek ambis gitu. Trus dia juga kelihatan pinter."
"Licik yang bener!"
Lagi-lagi Davina tak merespon sahutan Raga. "Gue jadi penasaran sama tuh cewek."
Bayu mengangguk. "Kaya'nya kalian cocok sih kalau ngobrol. Sama-sama ambisnya, tapi dia versi lebih tenang."
Menghela napas berat, Raga berdiri dan meraih ranselnya. "Gue balik. Progress project hari ini gue kirim Senin, Dav."
"Jum'at dong, Ga!"
"Nggak bisa. Nadia di sini sampai Minggu, dan..." Raga menunduk mendekatkan kepala untuk berbisik. "Gue. Mau. Habisin. Waktu. Sama. Dia."
Baik Davina dan Bayu sama-sama mengerutkan kening melihat Raga yang pergi begitu saja.
"Padahal tuh anak berkali-kali ditolak," gumam Bayu. "Heran gue. Muka aja ganteng, logikanya kosong."
Davina menghela napas. "Sumpah ya, Bay... sekarang ini gue pengen banget jambak Nadia."
"Dan bikin lo sama Raga nggak saling sapa selama tiga bulan kaya' jaman kuliah? Nggak, Dav. Mending jauh-jauh lo dari Nadia. Gue nggak mau kita bertiga berantakan lagi."
Karena tak bisa berkata apa-apa lagi, Davina memilih menyibukkan mulut dengan menggigit burger milik sahabatnya.
***
Sebenarnya, saat ini Raga tak tahu harus mendahulukan perasaan yang mana.
Di akhir pertemuannya dengan Nadia, ia ingat betul bagaimana perempuan itu mematahkan hatinya tanpa ada keraguan yang tersampaikan lewat nada bicara. Meski bukan yang pertama kalinya, penolakan Nadia yang terakhir membuat keputusasaan Raga terasa begitu nyata. Impiannya untuk bisa bersama perempuan itu hingga tua pun seketika sirna.
Apa benar batasku cukup sampai di sini saja, Nad?
Pertanyaan yang beberapa minggu terakhir berputar di kepala Raga itu selalu sukses membuat dadanya berdenyut nyeri.
Ponsel Raga bergetar. Nadia mengirim pesan bahwa perempuan itu tengah menuju pintu keluar bandara. Setelah menyalakan mesin, Raga menjalankan mobilnya dari area parkir. Untuk beberapa jam setelah ini, Raga harus bisa mengesampingkan sedih yang ia pendam sendiri.
.
.
Sepasang bibir yang Raga perhatikan sejak tadi, kini nampak merona merah karena sapuan lipstik di atasnya.
"Gimana?" tanya Nadia seraya sedikit memanyunkan bibirnya. "Ada yang kurang?"
Raga tersenyum dan menggeleng pelan. "Cantik," ucapnya sebelum menatap mobil yang baru masuk ke dalam basement tempatnya berada saat ini.
"Karena keburu, aku sampai lupa masukin lipstik yang ini." Nadia memasukkan lipstik barunya ke dalam pouch. "Untung nemu merek dan shade yang sama di bandara."
"Kalau udah siap, kita masuk sekarang." Raga melepas sabuk pengaman, lalu menoleh saat Nadia mengusap lembut tengkuknya.
"Are you okay?" Suara Nadia terdengar lembut dan lirih. "Kamu nggak banyak bicara dari tadi."
Butuh sepersekian detik bagi Raga untuk menanggapi. "Nggak apa-apa, cuma kepikiran kerjaan yang lagi hectic akhir-akhir ini."
Nadia hanya diam mendengarnya.
"Maaf, ya?" sambung Raga. "Aku yang minta kamu datang, tapi malah-"
Perkataan Raga terhenti saat Nadia mendekatkan kepala mengecup lembut bibir bibir bawahnya.
"I don't know why, but... lemme kiss you," bisik Nadia seraya menghapus sisa lipstik di bibir Raga.
Tanpa menunggu detik berlalu lebih lama, Raga memilih membebaskan ego yang ia pendam untuk menguasai tubuhnya. Pria itu balas mencium Nadia, mengurung tubuh perempuan itu dalam rengkuhan lengannya. Tak terlalu erat, namun cukup membuat Raga bisa merasakan detak jantung Nadia yang berdenyut sama kencang seperti miliknya. Raga tahu Nadia tak berbohong akan rindu yang perempuan itu rasa. Namun hal tersebut tak sanggup meredakan gejolak di dalam hati Raga dengan begitu saja.
Ya. Gejolak yang masih bergumul di benak Raga, yang menyisakan keputusasaan di setiap sentuhan, gigitan, dan sesapan bibirnya untuk perempuan yang ia cinta.
Biarlah... paling tidak untuk saat ini, Nadia adalah miliknya.
***
Dari jarak sejauh ini, Mariana tahu bahwa sebenarnya Orlen menyadari kehadirannya. Namun pemuda itu memilih tak membuat kontak mata dengannya sedikit pun, dan memilih menyibukkan diri mengabadikan momen para model baru Dewi yang sedang bersiap di belakang panggung.
Saat Orlen berjalan keluar dari sana, Mariana tanpa ragu turut melangkahkan kakinya.
"Kamu hindarin aku, ya?"
Flash di tangan Orlen hampir saja terjatuh mendengar pertanyaan itu. Tanpa menyembunyikan ketakutannya, Orlen perlahan menoleh Mariana.
"Kok nggak dijawab?" tanya Mariana lagi.
"Maaf Kak Mar, saya masih pengen kerja sama Bos Raga."
Mariana tertawa sesaat. "Jadi Raga ancam kamu?"
Orlen menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu. Saya nggak mau aja hubungan kami jadi nggak baik lagi."
"Kalau temenan sama aku, kamu bakal dimusuhin Raga. Gitu?"
"Nggak seekstrim itu juga. Tapi paling nggak, saya mau jaga keadaan jadi sekondusif mungkin." Orlen lalu mengubah ekspresinya menjadi kesal. "Lagian ini semua terjadi karena kebohongan Kak Mar, kan?"
Mariana hanya membuang muka. "Bos kamu belum datang?"
"Bos masih jemput pacarnya," jawab Orlen tegas. "Pacar asli, ya! Bukan yang ngaku-ngaku."
Kedua sudut bibir Mariana terangkat. "Ini kamunya yang lucu, atau emang semua orang di sekitar Raga sangat menarik, sih?"
Kedua mata Orlen hanya bisa membelalak mendengar pertanyaan itu.
"Len."
Baik Mariana dan Orlen kompak menoleh Raga yang berjalan medekat.
"Bos!" Orlen berseru penuh kelegaan.
"Semua aman, kan?" tanya Raga tanpa sedikit pun melirik Mariana.
"Aman, Bos. Yang lain udah di spot masing-masing."
"Ya udah, gue mas-" Perkataan Raga terhenti saat pria itu reflek menjauhkan kepala menghindari sentuhan jari Mariana di wajahnya.
Bukanya gentar mendapat tatapan tajam dari Raga, Mariana malah tersenyum tenang. "Cuma mau bersihin noda merah di bibir kamu," ucapnya.
Mengesampingkan emosi sekaligus keterkejutannya, Raga kembali menatap Orlen. "Kabarin kalau ada kendala, Len," ucapnya sebelum pergi dari sana.
"Siap, Bos." Tanpa berkata apa-apa, Orlen menatap Mariana dan mengangguk kecil sebagai ungkapan undur diri.
Pada akhirnya hanya tersisa Mariana yang berdiri di sana. Tersenyum kecil mengingat reaksi raga padanya.
"Face the truth, Raga," ucap Mariana seraya mengarahkan ponsel ke telinga.
***
Seusai rangkaian acara, Raga dan Nadia berdiri di depan pintu ruang model. Meski tak menanyakannya, Raga bisa menebak bagaimana gugupnya Nadia saat ini. Perempuan yang berdiri di sampingnya tersebut secara berulang-ulang menggumamkan susunan kalimat yang terdengar seperti sapaan perkenalan.
"Santai aja. Bu Artha nggak serem, kok."
Nadia memanyunkan bibirnya. "Kamu nggak ngertiin perasaanku sekarang, deh."
Raga hanya terkekeh seraya memijat bahu Nadia dengan lembut.
"Raga?"
Pemilik nama dan perempuan di sampingnya menoleh bersamaan ke sumber suara.
"Nunggu lama, ya? Aduh, maaf. Ada sedikit haru biru tadi di backstage."
Senyum Raga mengembang menyambut Artha. "Tidak apa-apa, Bu. Kami juga tidak terburu."
Artha lalu menatap Nadia. Menyapa lembut perempuan muda di depannya dengan sorot mata. "Jadi ini orangnya?"
Nadia mencoba tersenyum senatural mungkin. "Salam kenal, Bu Artha. Saya Nadia Violetta."
"Arthalita Ruslan. Pendiri Dewi," ucap Artha seraya membalas jabatan tangan Nadia. "Raga bilang, kamu penggemar saya."
"Itu benar, Bu." Nadia mulai kesulitan mengontrol senyumannya. "Bahkan waktu Bu Artha masih aktif jadi model."
"Ya ampun, harusnya kamu masih kecil sekali waktu itu."
"Bunda saya yang mengenalkan sosok Bu Artha lewat majalah. Lalu dari sana, saya mulai mencintai dunia modeling sampai sekarang."
Kedua sudut bibir Artha terangkat lebih tinggi dari sebelumnya. "Salam untuk Bunda kamu, ya?"
Nadia mengangguk cepat dan bersemangat.
"Bunda apa kabar?"
Ketiga orang yang tengah berbincang di lorong itu menoleh ke arah Mariana dengan ekspresi berbeda. Artha terheran, Raga nampak tak senang, serta Nadia yang hanya bisa terdiam. Mariana berjalan mendekat dengan senyum yang tak begitu mengembang.
"Sehat-sehat aja, kan..." Mariana menggantung nada pertanyaan sebelum menyambungnya lagi dengan, "...Kak Nad?
Nadia bergeming menatap Mariana, berbeda dengan Raga dan Artha yang nampak bertanya-tanya.
"Kalian saling kenal, Nad?" Tanya raga memecah keheningan di sana.
"Hm," gumam Nadia seraya mengangguk kecil. "Kami saudara tiri."
Keterkejutan Raga sukses terpancar di wajahnya. "Hah? Yang bener, Nad?"
"Iya, Raga." Nadia menatap Raga dengan datar. "Bundaku menikah dengan Papanya."
Raga ternganga, lalu menatap Mariana tak percaya. Ingatan tentang lima belas tahun lalu begerak bak potongan gambar acak di kepalanya.
Senyum Mariana belum luntur saat ia melangkah lebih dekat dengan Nadia. "Pertanyaanku belum dijawab, loh. Bunda sehat?"
"Sehat. Papa juga sehat, kalau kamu mau tahu kabarnya," jawab Nadia tak kalah tenang.
Mariana tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku lebih tertarik sama kabar pengganti Mamaku, sih."
Artha berdeham, lalu sedikit menarik Mariana untuk mendekat padanya. "Wah... ini kebetulan sekali, ya? Oh iya Mar, Ibu tadi sempat ketemu sama Gevindra, dia cari kamu katanya. Udah ketemu dia belum?"
"Ge ke sini bukan buat ketemu Mariana, Bu."
"Terus?"
Mariana menatap Nadia dan mengangkat kedua alisnya. "Ge ke sini karena mau ketemu Nadia."
Nadia menegang. Hanya dua detik sebelum dia bisa menguasai reaksi tubuhnya. "Oh, ya? Ge ternyata ke sini juga?"
"Hm. Kangen kamu katanya."
Senyum Nadia terukir tak kalah tenang. "Kamu kenal Ge, kan? Semua perempuan bisa dia kangenin."
"Tapi perempuan yang membuat laki-laki seperti Ge rela menunda pekerjaan penting, pastinya lebih spesial."
"Kami teman lama, wajar kalau aku spesial baginya."
Tanpa Nadia sadari, Raga menatapnya yang tengah tersenyum berseri.
"Oh, iya. Bunda kamu dulu juga teman lama Papaku kan, ya?"
Artha kembali menarik Mariana dan menyela pembicaraan. "Nadia, sebenarnya saya masih ingin ngobrol banyak sama kamu, tapi waktunya nggak memungkinkan karena saya harus menemani anak-anak saya. Kita ketemu lain kali kalau kamu luang, bisa?"
"Sangat bisa, Bu Artha. Kepulangan saya selanjutnya, Bu Artha akan jadi orang pertama yang saya temui."
"Oke. Kalau begitu kami permisi, ya?" Artha menoleh Mariana. "Ayo, Mariana."
Tanpa mengucap kata lagi, Mariana mengikuti langkah tegap Artha masuk ke dalam ruangan.
Detik berlalu, Nadia hanya terdiam menatap pintu. Entah ke mana perginya binar di kedua matanya beberapa saat lalu. Kerutan halus nampak di keningnya saat perempuan itu menunduk menatap sepatu.
"Nad?"
"Hm?" Nadia menyahut tanpa menoleh Raga.
"Ayo pulang."
Nadia menggeleng pelan. "Aku nginap di hotel aja, Ga."
Giliran Raga yang mengerutkan kening. "Kenapa nggak di apartemenku aja? Kamu di sini sampai beberapa hari ke depan, kan?"
Kedua mata Nadia menyorot datar. "Aku nginap di hotel aja," ulangnya dingin.
Raga membuang muka. Suasana ini benar-benar memancing frustasinya. "Mau kuantar?" tanyanya kemudian.
Lagi-lagi Nadia menggeleng. Sebelum pergi, perempuan itu berjinjit mengecup lembut pipi Raga. "Nanti kuhubungi, ya?" bisiknya seraya mengusap noda lipstik samar di pipi lawan bicaranya.
Tak ada hal yang bisa Raga lakukan. Pria itu tak mengangguk, bahkan tak menggeleng. Kedua matanya hanya nanar menatap kepergian Nadia dari hadapannya. Perasaan 'terbuang' lagi-lagi hadir, menggerogoti benaknya tanpa menyisakan apa-apa.
Di lorong itu, Raga berdiri sendiri dan merasa luar biasa hampa.
***
Mariana tahu, saat ini Artha hanya sedang membawanya menjauh. Artha tak menghampiri anak buahnya seperti yang ia katakan, melainkan masuk ke dalam toilet perempuan. Selama berjalan di belakang Artha, Mariana hanya menunduk memfokuskan pandangan ke arah belakang sepatu Bos tertingginya itu.
"Sini, Ibu rapikan obi kamu."
Tanpa menyahut, Mariana pun menurut. Kepalanya lalu terangkat, saat Artha meraih tangannya yang tengah mengepal erat.
"Sudaaah," ucap Artha lembut seraya melepaskan kepalan tangan Mariana. "Tangan kamu nggak salah apa-apa."
Mariana hanya menghela napas berat.
"Kamu tadi... sedikit keterlaluan, Mar. Hampir saja membuat masalah."
"Maaf, Bu," sahut Mariana singkat.
Artha mengangkat pandangan, menatap lurus kedua mata Mariana. "Apa yang kamu rencanakan?"
Mariana kembali diam dan menunduk.
"Hm..." Artha mengangguk pelan. "Ya, apapun itu... Ibu harap kamu tidak bertindak terlalu jauh."
"Bukannya semua harus sebanding?" bisik Mariana.
Kedua tangan Artha menangkup wajah Mariana agar bisa balas menatapnya. "Tapi tidak dengan melibatkan orang lain, Mariana."
Mariana menurunkan tangan Artha dan menggenggamnya lembut. "Mar tahu apa yang harus dilakukan, Bu."
Giliran Artha yang menghela napas berat. "Ya sudah, kalau kamu tahu benar apa yang akan kamu lakukan," ucapnya seraya membuka ikatan obi Mariana.
Dalam sekejap, toilet perempuan itu pun kembali diselimuti keheningan yang tak terasa nyaman.
.
.
.
Dan ternyata, rasa tak nyaman itu turut menghantui Raga meski ia berusaha keras menyibukkan diri di ruang kerja studionya hingga dini hari.
***
"Bos?"
Raga yang sebelumnya memangku dagu menatap layar komputer dengan serius, hanya melirik Anto yang berdiri di depan pintu ruangannya yang terbuka.
"Bos mungkin perlu sesuatu?"
"Lo mau balik?" tanya Raga.
Anto menyengir sungkan. "Iya, Bos. Ini sudah jam 1. Anak-anak tadi terakhir pada pulang sekitar jam 11 an."
"Hm, lo balik aja."
"Tapi gerbangnya nanti..."
Raga menunggu Anto melanjutkan kalimat yang tak kunjung terucap. "Apa? Kenapa gerbangnya?"
"Anu... Bos apa ngga sekalian pulang juga gitu? Biar saya bisa nutup gerbangnya dengan tenang."
"Lo kalau mau balik, balik aja. Ngapain nyuruh gue juga?"
Anto mulai kebingungan. "Bu-bukan begitu maksud saya, Bos."
Raga mengangkat tangan sebagai pertanda tak mau mendengar alasan pegawainya. "Udah lo balik aja. Biarin gerbangnya, gue nanti yang tutup."
Meski nampak tak puas, Anto hanya mengangguk patuh sebelum pergi.
Kedua mata Raga menutup saat pria itu menyandarkan punggung hingga lehernya ke sandaran kursi. Sejak memilih mengikuti Orlen dan anak buahnya yang lain kembali ke studio setelah memotret model Dewi, Raga tak sedikit pun mengistirahatkan matanya dari layar komputer. Salah satu tujuanya adalah ia bisa segera tertidur jika pulang dengan keadaan mengantuk dan lelah. Namun ternyata, kerumitan di kepalanya lebih bisa membuat tubuh dan pikirannya terjaga.
Beberapa menit berlalu, deru mesin kendaraan yang terdengar samar membuat Raga kembali membuka mata. Seingatnya tadi ia mendengar mesin motor Anto yang menjauh. Apa pegawainya itu kembali lagi? Menuntaskan rasa penasaran, Raga membuka tirai jendela ruangan untuk melihat siapa yang datang.
"Fuck!" umpat Raga keras. Dengan cepat ia berjalan meninggalkan ruangan. "Ngapain dia ke sini?"
Seorang perempuan yang berdiri sendirian di lobby, tersenyum menyambut Raga yang menuruni tangga dengan berlari. "Sudah kuduga kamu di sini," ucapnya.
Emosi Raga memuncak seketika melihat Mariana berbicara seraya tersenyum lebar kepadanya. "Pergi!" Raga mengatakannya datar.
"Aku mau ketemu kamu."
"Aku nggak. Pergi!"
Seolah menutup mata melihat penolakan Raga, Mariana malah mendekat tanpa ragu menyodorkan bento yang sedari tadi ia bawa. "Kamu pasti lapar. Aku bawain-"
TRAKKKK
Raga menunjuk pintu. "Pergi! Sebelum aku bertindak di luar kendali."
Mariana menatap datar semua sushi yang tercecer di lantai, sebelum kembali tersenyum menghadapi lawan bicaranya. "Kenapa nggak jujur aja, sih? Ada banyak hal yang sebenarnya mau kamu tanyakan, kan?"
"Nggak ada."
"Termasuk siapa itu Gevindra?"
Kaki Raga melangkah cepat dan kasar, hingga membuat Mariana reflek mundur ke belakang. Pintu kaca bangunan itu menjadi pemberhentian terakhir punggung Mariana, saat Raga berdiri begitu dekat dengannya.
"Aku bilang pergi!" bisik Raga tanpa berekspresi apa-apa.
Setelah menghela napas, Mariana mengangguk pelan. "Oke, aku pergi. Tapi kusarankan kamu temui Nadia setelah ini. Lihat sendiri, dan nilai..."
Sedikipun Raga tak bergerak meski Mariana mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan.
"...sampai kapan dia pantas mendapatkan semua perhatian yang kamu beri?" sambung Mariana lagi.
Tak ada sahutan dari Raga. Ekspresinya tetap sama, bahkan ketika Mariana menyunggingkan senyum terakhir sebelum meninggalkannya.
"Oh, iya." Mariana menunda menutup pintu. "Setahuku Hotel Starlight adalah favorit Ge. Yah... sekedar informasi aja kalau kamu juga mau kenal dia."
Seiring kepergian Mariana, penyesalan karena tak mengusir perempuan itu secara paksa hadir memantik emosi Raga.
.
.
.
Brengsek!
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Tak bosan-bosannya saya sampaikan terima kasih bagi yang menyempatkan diri membaca cerita 'tahu bulat' ini ❤
Jaga kesehatan yak!
.
.
Cegil cantik lewat nih, Bos. Senggol dongz 💃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top