2. I Like You
Mariana tak pernah merasa kamar di apartemennya memiliki sumber pencahayaan sebanyak ini. Ia tak memiliki satu pun jendela di kamarn apartemennya, lalu dari mana cahaya matahari yang menyerang kelopak matanya ini berasal? Lagipula... sejak kapan kamarnya menjadi luas dan bernuansa monokrom membosankan seperti sekarang? Di mana ia? Tidak... yang benar adalah, kamar siapa ini?
Dengan segera Mariana bangkit dari tidurnya. Kepalanya berdenyut hebat, namun tak membuat kedua matanyanya surut memperhatikan setiap sudut kamar. Seingatnya sebelum ini ia minum bersama tiga pria muda yang baru ia temui di diskotik, tapi mengapa sekarang ia sudah ada di sini? Apakah ini kamar salah satu di antara mereka? Lalu apa yang terjadi saat ia dibawa dalam keadaan tak sadarkan diri di sini?
Kedua tangan Mariana reflek mencengkeram pakaiannya. Ia masih berpakaian utuh, sepertinya tak ada yang terjadi semalaman. Tasnya pun juga ada di atas nakas. Menuntaskan rasa penasarannya, Mariana turun dengan tertatih dari atas ranjang. Ia yakin akan menemukan jawaban setelah keluar dari kamar ini.
Sebuah ruang tamu apartemen yang luas menyambutnya begitu ia membuka pintu. Satu set dapur dan meja makan bernuansa minimalis yang berada di dekat pintu -yang Mariana tebak adalah pintu masuk apartemen-, sudut ruangan yang dihiasi dua lemari kaca berisikan piala dan plakat penghargaan, serta tiga pintu lain yang masih tertutup. Mariana melangkahkan kakinya mendekati lemari, mencoba mencari tahu siapa pemilik apartemen ini.
Ragarda Bagus Harmer, adalah nama yang terukir di semua penghargaan tersebut. Di dalam lemari kaca itu juga terdapat beberapa foto, salah satu di antaranya yang paling mendominasi adalah foto seorang pria tampan berusia tiga puluhan yang berbadan tinggi. Jika dilihat dari nama dan wajahnya, sepertinya pria itu memiliki darah keturunan warga asing.
Kedua mata Mariana lalu terpaku pada sosok lain yang ia kenal di salah satu frame foto. Di dalam dekapan pemilik apartemen ini, sosok itu terlihat tersenyum bahagia. Sebuah senyum yang Mariana kenal selalu hadir untuk menghancurkan hidupnya. Di antara banyaknya kemungkinan untuk menghubungkannya dengan sosok itu, mengapa pemilik apartemen ini termasuk di dalamnya?
"Halo?"
Mariana terlonjak mendengar suara berat itu. Napasnya sedikit tersengal saat menghadap sumber suara.
Untuk sesaat Raga hanya memperhatikan Mariana, menunggu perempuan itu untuk terlebih dahulu membuka suara. Namun beberapa detik berlalu, Mariana hanya menormalkan deru napas seraya menatapnya. "Kamu... nggak ingat apa yang terjadi semalam?" tanya Raga penuh hati-hati.
"Kenapa aku di sini? Kamu siapa?"
"Oke, berarti kamu nggak ingat." Raga berjalan ke arah dapur seraya menguap. "Kalau berniat sekalian sarapan di sini, aku cuma punya roti."
"Apa yang terjadi semalam?" Mariana mengambil langkah lebar mendekati Raga. "Seingatku aku ada di Paradise."
"Lalu mabuk berat, dan hampir diperkosa tiga orang," sahut Raga cepat.
"Dan kamu salah satu di antara mereka?"
Raga memicing melihat perempuan di depannya yang terlihat jauh lebih kusut dari semalam. Sadar ataupun mabuk, ternyata perempuan itu sama menjengkelkannya. Satu tangan Raga menunjuk ke arah pintu. "Akses keluar dari sini hanya satu. Silakan pergi tanpa mengucap terima kasih."
Mariana mendengkus. Bukannya pergi, ia malah duduk di salah satu kursi tinggi meja makan. Perempuan itu menggelung rambut panjangnya asal, sehingga menampakkan garis leher dan tulang selangkanya yang sedikit menonjol. "Aku mau roti dengan selai strawberry," ucapnya kemudian.
Kedua mata Raga sedikit melotot saat menenggak air mineral. "Kamu nggak denger aku bilang apa tadi? Silakan pergi!" ucapnya seraya meletakkan gelas dengan sedikit kasar.
"Kamu nawarin aku sarapan roti, kan? Aku mau. Pakai selai strawberry." Mariana melongokkan kepalanya ke arah lemari es. "Sama susu low fat kalau ada."
Raga menghela napas dan merendahkan suaranya. "Nggak ada selai strawberry, nggak ada susu yang kamu minta. Kamu nggak bisa dapatkan apa yang kamu mau di sini, jadi silakan pergi."
Sudut bibir Mariana terangkat. Perempuan itu menumpukan dagunya di atas kedua tangannya. "Kata siapa aku nggak bisa dapatkan apa yang aku minta di sini?"
Hampir saja Raga melontarkan umpatan kasar yang sudah tak bisa ia tahan, sebelum pintu apartemennya lebih dulu terbuka dari luar. Orlen hadir di sana, melihat Raga dan Mariana bergantian dengan mulut sedikit terbuka.
"Kok lo tahu sandi apartemen gue?" hardik Raga. Rasa kesalnya kini bertambah karena kelakuan anak buahnya sendiri.
"Kan semalam Bos yang kasih tahu," jawab Orlen takut. "Semalam Bos telepon, suruh saya ke sini antar hardisk karena Bos takut nggak kuat ke kantor."
Ingin rasanya Raga membentur-benturkan kepalanya. Ia pun menghampiri Orlen yang masih berdiri ketakutan. "Sorry, gue lupa. Thanks udah mau nganter," ucapnya seraya meraih hardisk dari tangan Orlen.
Orlen mengangguk kaku, lalu menatap Mariana yang tersenyum ke arahnya.
"Halo," sapa Mariana ramah. "Ketemu lagi kita."
"Ha-halo," sapa Orlen balik. Pemuda itu menatap Raga, mengharap penjelasan kenapa ia bisa bertemu model yang ia foto beberapa hari lalu di sini. "Bos-"
"Lo mau balik ke kantor, kan?" potong Raga. "Minta Anto untuk ambil mobil gue di Paradise. Dia punya kunci cadangannya."
"Mobilku di sana juga nggak? Semalam aku terlalu mabuk sampai nggak ingat kita ke sini naik apa." Mariana menimpali dengan sangat santai.
Raga memejamkan mata, urat di dahinya terlihat saat ia menghela napas. "Kalau lo keluar, ajak dia juga, Len. Bila perlu seret, kalau dia nggak mau. Gue mau balik tidur."
Orlen tak tanggung-tanggung membuka mulutnya. Ia pun menghentikan Raga yang berjalan memasuki kamar. "Maksud Bos Raga apa? Ngapain saya harus seret cewek Bos ke-"
"Dia bukan cewek gue!" Koreksi Raga tegas. "Gue nggak tahu dia siapa. Suruh dia keluar!"
"Tapi Bos-"
Pintu kamar Raga pun tertutup kasar sebelum Orlen menyelesaikan ucapannya. Di tempatnya berdiri, Orlen menghela napas frustasi.
"Nama kamu Orlen, kan?"
Orlen menoleh Mariana dan mengangguk polos.
Mariana tersenyum. "It's okay. Pertengkaran pasangan emang udah biasa, kan?"
Dengan cepat Orlen menghampiri Mariana. "Kakak ini... beneran ceweknya Bos?"
"Menurut kamu mana yang lebih cocok? Ceweknya, atau Ibunya?"
"Ka-kapan jadiannya?"
Mariana menahan senyum. "Rahasia."
Tawa Orlen mengalun canggung. "Oh... iya. Sorry, Kak."
Sebelah mata Mariana mengerling, membuat pemuda di hadapannya membeku sejenak. "Aku boleh minta tolong, kan?" tanya Mariana seraya mendekati Orlen.
"Minta tolong... apa, Kak?"
"Buat aku bisa baikan sama Raga. Bisa, kan?"
"Dengan cara?"
Mariana pun tersenyum lebar setelahnya.
***
Raga mengerjap saat getaran ponselnya beradu dengan nakas. Entah sejak kapan benda hitam itu bergetar, yang jelas Raga sudah tidak bisa mengabaikannya lagi karena sudah membuka mata.
"Ha-"
"Lo ke mana aja sih gue telponin nggak diangkat?"
Kedua mata Raga memicing membaca nama kontak yang tertera di layar ponselnya. "Sorry, seharian ini gue tidur. Kenapa Dav?"
"RABnya sampai mana?"
"Lo nggak sopan banget sih nanyain kerjaan di hari libur?"
"Semalam lo sendiri yang janjiin gue bakal kirim RAB hari ini, Ga."
Raga mengingat-ingat kapan ia mengatakan hal tersebut. "Gue nggak inget, semalam gue mabuk."
"ANJING LO!"
Untuk kedua kalinya Raga menjauhkan ponsel. Teriakan Davina benar-benar bisa membuat kedua matanya terbuka sempurna.
"Maaf, Sayang. Oke aku telponan di luar aja."
Ingin sekali Raga tertawa. Davina pasti baru saja mendapat teguran dari suaminya.
"Gue lagi nggak mau bercanda ya, Ga. Arsen barusan tidur setelah seharian rewel." Davina terdengar menghela napas berat. "Kalau bukan untuk presentasi besok siang, gue nggak akan minta RAB secepet ini."
"Gue beneran janjiin hari ini ya, Dav?"
"Iya, bangsat!"
Raga memijat pelipisnya. "Oke, maksimal tengah malam ya, Dav?"
"Berkabar!"
Sedetik kemudian, Davina memutus panggilan.
***
Kedua mata Raga sama sekali tak terlepas dari laptop yang ada di pangkuannya sejak Bayu datang menjemputnya. Pria bermata kecokelatan terang itu terus mengoperasikan laptop untuk mengerjakan pekerjaannya yang belum usai.
"Lo nggak pusing ngerjain kaya' gitu?" Bayu memperhatikan sahabat sekaligus partner kerjanya saat berhenti karena lampu merah. "Habis gini sampai studio, Ga. Lo bisa kerja dengan nyaman di kursi kebesaran lo. Lagian presentasi gue kan diundur malem sekalian dinner."
Raga tak menjawab, dan malah menggaruk pelipisnya. Sebuah pertanda bahwa pria itu sedang serius dengan pekerjaannya.
"Udah kaya' kejar setoran buat nikah aja lo," celetuk Bayu seraya kembali menjalankan mobilnya.
Sesampainya di studio foto milik Raga, Bayu ikut turun untuk mampir sejenak menyapa pegawai sahabatnya. Tak ada yang dicurigai kedua pria itu dari hadirnya sedan hitam asing yang terparkir di halaman parkir studionya. Keduanya pun masuk begitu saja ke dalam bangunan, dan langsung menuju pantry untuk membuat kopi dan mengambil kudapan.
Langkah Raga berhenti mendadak di pintu pantry sehingga membuat Bayu terbentur punggung lebarnya. Bayu bersiap untuk mengumpat, sebelum seorang perempuan yang memakai dress putih berbelah dada rendah dan bermotif floral, menyunggingkan senyum penuh keanggunan di atas kursi pantry.
"Cantik bener. Siapa itu, Ga?" bisik Bayu.
"Kamu? Ngapain di sini?" Raga jelas terdengar tak suka jika dilihat dari nada bicaranya yang tinggi.
"Ambil mobil," jawab perempuan itu seraya berdiri. "Sama mau ketemu kamu."
"Mobil? Mobil apa?"
"Mobilku."
Raga tercekat. "Jadi mobil sedan hit- Kenapa bisa ada di sini?" tanya Raga, tak kalah mengintimadasi dari sebelumnya.
"Kamu kenapa sih pagi-pagi udah emosi?"
Bayu menjadi satu-satunya orang yang buta dengan situasi di hadapannya. Ia pun menatap Raga dan perempuan itu bergantian.
"Hai."
Mendapatkan senyuman cantik dari perempuan di hadapannya, Bayu pun mendadak gelagapan. "Ha-hai."
Perempuan itu berjalan mendekat. "Aku Mariana, kita belum pernah ketemu sebelumnya. Kamu pasti temannya Raga, ya?"
"Lebih dari sekedar teman, sih. Partner kerja juga."
"Oh ya, siapa nama kamu?" Mariana mengulurkan tangannya.
"Bay-"
Raga menarik tangan Bayu dengan kasar. "Apaan sih lo, Bay? Gue nggak kenal dia siapa."
"Ha?" Bayu luar biasa tak percaya. Ia sedikit mundur seraya berbisik, "Gue kira cewek lo, Ga. Mesra banget dia ngobrol sama lo."
Mariana tertawa lembut, lalu mengerling ke Bayu. "Kamu nggak salah, kok."
Kedua mata Raga melotot. "Apaan, sih?"
"Aku mau ngobrol sama kamu." Mariana menatap kedua mata Raga. "Bisa, kan?"
"Ngobrolin apa?"
"Berdua." Kali ini senyum penyesalan Mariana terukir untuk Bayu. "Maaf, ya?"
Bayu tertawa gugup. "Oh iya iya, santai aja. Aku cuma mampir bentar kok di sini."
"Thanks ya, em..." Mariana menggantung nadanya menunggu Bayu menyebutkan namanya.
"Bayu. Panggil aja Bay."
"Oke, Bay."
Tangan Bayu menepuk pundak Raga keras. "Ga, nanti malam kelar presentasi gue tunggu di kantor, ya? Gue butuh banyak banget hal yang perlu lo jelasin. Oke, Sob?"
Tak ada jawaban dari Raga, bahkan saat Bayu benar-benar meninggalkannya. Kedua mata pria itu hanya menyorot keras pada Mariana.
"Bisa kita ngobrol di ruangan kamu?"
"Di sini aja," sahut Raga dingin.
"Tapi kalau nanti ada orang datang-"
"Kamu hanya butuh berdua, kan?"
Mariana mengangguk pelan dan kembali duduk. "Sini duduk, aku bawakan kopi buat kamu," ucapnya seraya menggeser satu cup ke samping.
"Langsung saja!"
"Kalau ngobrol sambil minum kopi kan-"
"Langsung saja, atau aku usir kamu dari sini?"
Helaan napas Mariana terdengar. Ia kembali berdiri sebelum bersedekap. "Kamu mau jadi pacarku, nggak?" tanya Mariana tenang.
Raga memejamkan kedua matanya. "Aku udah nyangka kalau kamu cewek gila."
"Kenapa? Oh, atau kamu tipikal cowok yang maunya langsung nikah?"
"Kamu nggak seharusnya ada di sini. Pergi!" Suara Raga kini terdengar jauh lebih mengintimadasi.
"Aku ke sini untuk minta kamu jadi-"
"Kamu cuma cari laki-laki untuk bersihin nama kamu, kan?" Raga merasa darah mulai naik ke kepalanya. "Atau jangan-jangan kamu lagi hamil dan nggak punya siapa-siapa untuk tanggung jawab?"
Mariana tercengang sesaat. "Aku nggak lagi hamil."
"Terus apa? Ha?" Raga melangkah mendekat, mengapit Mariana di sela tubuhnya dan meja pantry. "Seorang publik figur seperti kamu ini, apa yang kamu mau dari status hubungan? Sanjungan orang-orang, kan?"
Tawa Mariana mengalun. "Aku mau kamu karena memang aku mau."
"Dan aku nggak mau sama perempuan murahan seperti kamu!"
"Murahan?" tanya Mariana tenang.
Raga nampak sedikit terkejut dengan ucapannya sendiri. Pria itu mundur dan memberi celah bagi Mariana untuk pergi. "Aku nggak bisa nahan diri lebih dari ini. Apapun yang kamu mau, nggak akan bisa kamu dapatkan dari aku. Silakan pergi!"
"Kamu nggak mau kasih aku kesempatan atau waktu?"
"Aku nggak perlu ngelakuin itu. Pergi sekarang!"
"Kenapa, Raga? Karena ada seseorang yang kamu tunggu?"
Sepersekian detik, Raga membeku di tempat. Dadanya terasa ngilu tiba-tiba saat wajah Nadia bergelayutan di pikirannya.
"Kalau orang yang kamu tunggu nggak bisa kasih kamu kebahagiaan, kenapa aku nggak pantas dapatkan kesempatan?"
"Karena aku nggak mau dan nggak akan bisa bahagia sama cewek gila seperti kamu. Ngerti?" Raga mengambil tas Mariana dan melemparnya kasar ke arah perempuan itu. "Pergi dari sini sebelum aku bertindak lebih nggak sopan dari ini!"
Mariana membuka bibirnya sedikit. Ia memandang Raga dengan campuran rasa heran dan takjub. Tak lama kemudian, Mariana pun tertawa anggun. "Kamu ini... menarik sekali."
Sanjungan Mariana hanya Raga balas dengan menunjuk ke arah pintu pantry.
Tawa Mariana belum hilang saat perempuan itu melangkah ke arah pintu. Namun sebelum benar-benar pergi, perempuan itu berbalik dan menatap Raga lekat-lekat. "Saya sarankan kamu mulai membiasakan diri," ucapnya sebelum pergi.
Helaan napas Raga pun terdengar kasar di ruangan mungil itu.
***
"Siapa yang kasih perempuan itu izin untuk masuk?"
Orlen, Ranti, dan Anto yang berdiri di hadapan Raga hanya bisa saling melempar pandangan.
"Dan kenapa ada mobil dia di sini?"
"Orlen bilang cewek itu pacarnya Bos Raga," jawab Anto polos. "Ya kali saya nggak kasih izin pacar Bos untuk ke sini?"
Tatapan Raga mengarah ke Orlen, meminta jawaban pemuda itu.
"Kemarin Kak Mariana minta tolong saya untuk bawa mobilnya sekalian ke sini, Bos."
"Ngapain lo mau?"
"Ya kali saya nolak permintaan pacar Bos-"
"HARUS BERAPA KALI GUE BILANG, GUE NGGAK KENAL SAMA DIA, LEN?" Urat leher dan kening Raga pun tampak seketika. "BUDEK LO, YA?"
Ranti reflek mundur, sedangkan Orlen hanya tercengang melihat untuk pertama kalinya sang Bos yang nampak luar biasa marah.
Raga menghela napas dan menyandarkan punggung serta lehernya ke kursi. Pria itu menutup mata seraya mengatur emosi. "Sorry," ucapnya.
"S-saya yang harusnya minta maaf, Bos." Orlen menunduk. "Harusnya saya konfirmasi lagi ke Bos Raga."
Tangan Raga terangkat. "Udah, yang penting jangan terulang. Kalian boleh pergi."
Saat satu per satu pegawainya meninggalkan ruangan, Raga memutar kursi menghadap foto sebuah bagunan rumah indah berlatar belakang pantai sore hari yang menjadi penghias dinding ruangannya. Selama beberapa saat Raga hanya terdiam memandangi foto tersebut, seraya berpikir secara jernih bagaimana bisa emosinya sempat tak terkendali seperti tadi.
Bukan. Bukan kecerobohan pegawainya yang membuatnya uring-uringan seperti ini. Jika dilihat dari tingkat kegilaan Mariana, pemuda sepolos Orlen juga pasti akan terjebak dalam kebohongan perempuan itu. Lagipula Raga juga bersalah karena kemarin tak memastikan kepergian Mariana dengan mata kepalanya sendiri. Raga sendiri lah yang melibatkan Orlen dalam hubungan anehnya dengan Mariana.
Kedua mata Raga tertutup menyadari hal menyakitkan yang membuat emosinya melejit tak terkontrol. Nadia. Untuk sesaat, perkataan Mariana di pantry beberapa jam yang lalu berhasil menggiringnya untuk merasakan sakit hati, putus asa, dan rasa rindu yang menggebu untuk Nadia. Mariana adalah orang asing, namun bagaiman bisa perkataan perempuan itu dengan mudah menyentuh sisi terdalam relung hatinya?
***
"Hah? Aneh banget tuh cewek?"
"Gila lebih tepatnya." Raga menenggak habis sisa bir kalengan di tangannya, lalu menyandarkan punggung.
Bayu masih nampak tak percaya. "Terus gimana setelah ini, Ga? Kalau denger cerita lo sih, kaya'nya dia nggak bakal semudah itu untuk nyerah."
"Lapor polisi, lah. Apa lagi?"
Kening Bayu mengerut. "Coy, yang ajak dia masuk ke kehidupan lo tuh ya lo sendiri. Kalau lo dilawan sama cctv apartemen lo gimana, ha?"
Isi kepala Raga seakan dihantam palu kenyataan.
"Lo bawa cewek mabuk ke apart lo nih ya, terus lo laporin dia ke polisi karena gangguin hidup lo. Siapa yang bakal percaya lo yang terdzalimi?"
"Argh, anjing!"
Bayu tertawa mengejek, lalu turut menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kenapa nggak coba lo jalanin aja sih takdir ini? Siapa tahu menarik."
"Pala lo yang menarik. Gue tahu isi otak lo, ya!"
Tawa Bayu menggelegar di ruang kerja Raga. "Sekarang coba pikirin, deh. Kalau ditimbang, lo bakal rugi atau malah untung banyak sama tuh cewek? Dia model terkenal, duit pasti ada, cantik, dan satu yang paling penting."
Raga melirik Bayu yang nampak antusias membuatnya penasaran.
"Dia yang ngejar-ngejar lo."
"Tai!" Dengan cepat Raga melempar bantal sofa ke wajah Bayu.
"Gue cuma ngomong realistis, Ga! Karena cuma itu keunggulan dia dari Nadia."
"Lo bandingin dia sama Nadia lagi, gue sobekin bibir lo."
"Nih sobekin!" Bayu memajukan bibirnya. "Lo nih ya, gue ajakin move on malah nyolot aja."
"Dia gila, Bay!"
"Eits, cuma dokter yang berhak mendiagnosa."
Otot di kening Raga seketika tampak. "Nih anak ya, gue botakin lo lama-lama!" ucapnya seraya menjambak rambut Bayu.
Bayu menangkis tangan Raga. "SAKIT, BEGO!"
Pintu ruang kerja Raga menjeblak seketika. Nampak Davina di sana berdiri girang seraya membuka mulutnya lebar-lebar tanpa suara.
Dengan senyum bangga di wajahnya, Bayu berdiri dan merentangkan tangan. "Iya sini kalau mau peluk gue, Dav. Gue tahu gue jenius."
"Bayuuuu!" Davina berlari dan memeluk salah satu sahabatnya itu dengan erat. "Mulut lo emang mulut terjuara yang pernah gue temuin, Bay."
"Udah ratusan kali gue denger pujian ini."
"Lo nggak puji gue juga, Dav?" tanya Raga.
Davina menatap Raga dengan penuh bangga, lalu ganti memeluk memeluk pria itu dengan erat. "Lo juga. Gue bangga punya temen sejenius lo, Ga."
"Nah gitu, dong." Raga menepuk punggung Davina lembut.
"Deal berapa projectnya?" tanya Bayu.
"Tanpa tawar dari RAB yang dibikin Raga."
Raga bertepuk tangan, tepat saat seorang pria yang menggendong bayi masuk ke dalam ruangan. "Oy, Hans."
Hans tersenyum simpul, lalu berjalan menghampiri Davina untuk memberikan sepasang sandal. "Kebiasaan, deh. Pakai sendal dulu sebelum keluar mobil apa susahnya, sih?"
Davina hanya cengengesan memakai sandal yang dibawakan suaminya.
"Wasup, Broh Arsen?" Raga meraih tubuh Arsen dari gendongan Hans. "Kok belum tidur kamu jam segini?"
"Semingguan ini tidurnya di atas jam 10 terus," sahut Hans.
Raga sedikit mendelik. "Anak kecil ngga boleh tidur malam-malam ya, Arsen."
"Ikut Om Raga pulang aja, Sen." Celetuk Bayu. "Habis ini Om Raga punya istri, kok."
Baik Davina dan Hans seketika menatap Raga untuk meminta jawaban. Sedangkan Raga mengacuhkan semua temannya, dan memilih menimang Arsen dengan gembira.
Davina menoleh Bayu. "Nih anak emang bisa move on?"
"Bisa doooong."
"Syukur, deh."
"Arsen kalau gede nanti kamu jadi pemain bola, dipersilakan nendang mulut Om Bayu lewat tendangan penalti, ya. Kencengin aja ngga apa-apa."
Hanya Davina dan Hans yang tertawa mendengar celetukan akhir Raga.
***
Apartemen Raga sedikit terang saat pria itu membuka pintu dari luar. Tanpa menyalakan lampu, ia berjalan di kegelapan dengan sedikit lesu menuju kamarnya. Kamar dengan jendela besar yang menampakkan pemandangan lampu kota itu menyambut Raga dengan keheningan. Setelah meletakkan ransel di sofa dekat jendela, Raga melemparkan tubuhnya begitu saja ke atas ranjang king size seraya mendesah lelah. Sungguh, banyaknya hal yang terjadi akhir-akhir ini membuat rasa lelahnya terakumulasi dengan sempurna.
Ponsel Raga berdering. Ia sempat terheran mengapa orang yang meneleponnya saat ini belum tidur.
"Ragaaaaa."
Kening Raga mengerut mendengar nada ceria perempuan yang meneleponnya sekarang. "Majeng kok belum tidur? Lagi di mana ini?"
Ajeng -nama perempuan tersebut- hanya terkekeh kecil.
"Majeng habis minum, ya?"
"Iya, hahaha. Sedikit."
Raga beringsut duduk. "Majeng di mana ini? Kok kayanya ramai. Pulang sekarang, Majeng!"
"Hari ini kan ulang tahun Majeng yang ke enam puluh, Ga."
"Astagaaaaa..." Raga memukul keningnya. Bagaimana mungkin ia melupakan hari ulang tahun perempuan yang sudah membesarkannya sejak kecil?
"Majeng lagi nongkrong sama beberapa customer spa. Bosan di rumah. Seharian Majeng nungguin telepon dari kamu, loh."
"Maaf, Majeng. Raga lupa."
Lagi-lagi Ajeng terkekeh. Namun kali ini terdengar lembut dan tulus. "Kamu lagi sibuk ya di sana?"
"Iya, Majeng."
"Nggak bisa pulang sebentar ke sini?"
Raga menghela napas berat saat rasa bersalah semakin menekannya. "Bisa. Raga usahakan akan pulang dalam waktu dekat."
"Jangan dipaksa kalau nggak bisa."
"Bisa, Majeeeeng. Raga udah kangen berat sama Majeng."
"Halah, gombal! Kalau kangen tuh nggak akan lupa ucapin selamat ulang tahun."
"Selamat ulang tahun, Majeng."
Ajeng tertawa sinis. "Telaaaaat!"
"Belum. Di sini belum tengah malam."
"Dasar!"
Raga berdiri dan melangkah mendekat ke jendela. "Majeng mau hadiah apa?"
"Nggak ada yang Majeng mau."
"Mau Raga cariin pacar, ngga?"
Tawa Ajeng mengalun kencang.
"Mau nggaaaak? Raga tuh banyak dapat klien duda kaya raya, Majeng."
"Majeng udah bosan gonta-ganti pacar dari muda. Mulai yang lokal sampai yang bule. Kamu aja yang cari pacar, Ga. Istri bila perlu."
Senyum Raga terukir. "Majeng mau Raga cari pasangan yang gimana?"
"Terserah, asal jangan kaya' Nadia."
Giliran Raga yang tertawa. "Majeng kenapa dari dulu ngga suka Nadia, sih?"
"Ngga suka aja." Ajeng menghela napas kasar. "Kadang tuh Majeng males tinggal di rumah kamu karena keinget perempuan itu tahu, nggak?"
"Lah, apa hubungannya?"
"Kamu bangun rumah kamu sesuai impian perempuan itu. Majeng ngga suka."
Raga menunduk menyembunyikan senyum satirnya.
"Majeng tutup, ya? Kalau Majeng ngomong terus, takut nyakitin hati kamu."
"Ngga apa-apa. Kan hari ini hari spesial Majeng. Raga ngga boleh marah."
"Ya udah kalau gitu. Kamu buruan istirahat."
"Hm... Majeng juga jangan lama-lama nong-"
Telepon terputus begitu saja dari seberang, meninggalkan keheningan yang menusuk tulang. Kedua mata Raga lalu menatap jauh ke depan. Berharap gemerlap lampu kota sedikit bisa mengurangi hampa yang ia rasakan.
Selalu seperti ini. Topik tentang Nadia selalu tak bisa diterima dengan baik oleh orang-orang yang ia cintai.
.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Pembaca lama udah pasti tahu kebiasaan saya tiap post cerita baru.
Terlalu excited di awal-awal, wkwkwkwkwk 😂
Jadi jangan kaget yaaa kalau saya up cepet di awal-awal kaya gini. Jangan kaget juga kalau tiba-tiba beberapa bulan gada kabar. Hahahahaha 😂🙏
Semoga bisa enjoy yak. Selamat hari Senin. Semangat! ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top