Hari Pernikahan
Hari ini, hari dimana aku mengucap ijab kabul dihadapan orang-orang yang menyaksikan ku duduk berdampingan dengan malaikat tak bersayap yang datang untuk memenuhi kekuranganku.
Dia, Kyra Maheswari. Wanita yang terhormat serupa bidadari. Ya, dia memang bidadari. Bidadari yang datang menarikku dari kegelapan dan kelelahan akibat hantaman dunia yang kejam.
"Bagaimana para saksi? Sah?!"
"SAH!!" koor dari semua orang yang ada diruangan ini membuatku semakin di landa kebahagiaan yang berlimpah.
Aku menggeser tubuhku ke arahnya, menatap ia yang tengah tersenyum malu-malu padaku. Betapa cantikknya istriku ini, ah istri ya? Bahkan aku masih tak menyangka jika hari ini akan benar-benar terjadi.
Hatiku bergetar saat ia mengambil telapak tanganku dan meletakkan nya dengan takzim di hidung dan bibir mungilnya. Ku balas ia dengan mengecup kening yang hari ini tertutupi make up tipis yang menambah cantik wajahnya.
Bapak penghulu meminta kami bertukar cincin setelahnya. Aku mengambil cincin emas putih biasa yang tak seberapa harga baginya meski harus membuatku menghemat makan selama beberapa bulan. Cincin sederhana itu melekat indah di jemari mungilnya. Membungkus dengan apik seolah sebagai tanda jika ia kini telah terikat. Terikat dengan orang yang sangat beruntung sepertiku. Kini ia memakaikan cincin yang sama kepadaku, seolah sebagai tanda jika ia telah mengikatku dan memasrahkan diri padaku selamanya.
Dia tersenyum lembut menatapku, membuat debar jantung ini semakin menghangat. Kini, aku bersimpuh di hadapan orang tuanya. Ayahnya mengusah kepalaku yang kini tengah menunduk.
"Dra, Bapak titip Kyra ya. Jaga dia, lindungi dia dengan seluruh nafasmu. Berikan ia kebahagiaan tak terhingga seperti yang selama ini selalu coba Bapak berikan." ucapnya sambil terus mengusap bahuku. Aku merasakan tetesan jatuh di rambutku, dan aku yakin itu adalah air mata dari seorang ayah yang akan melepas anaknya untuk dilindungi orang lain.
Aku mengangguk yakin sebagai jawaban. Dalam hati, aku berjanji akan menjaga sang bidadari seperti arti namaku "pelindung yang mulia".
Setelah selesai dengan ayahnya, kini aku menunduk bersimpuh di hadapan ibunya. Wanita hebat yang telah melahirkan, mengurus, membesarkan, dan mendidik bidadari seperti Kyra.
"Dra, ibu titip Kyra ya Nak. Limpahi dia dengan kasih sayang seperti ibu yang mencoba melimpahi dia dengan apapun yang ibu punya. Didik dia menjadi istri yang baik untuk dirimu dan ibu yang baik untuk anak kalian kelak. Maafkan dia jika ia memiliki kekurangan yang tidak bisa kamu terima, tolong bahagiakan anak ibu ya." pinta ibu Kyra.
Kali ini, air mata tanpa sadar terjatuh dari pelupuk mataku. Dari posisi ini, aku bisa melihat betapa besar cinta yang ibu punya untuk istriku. Dan itu membuat aku semakin yakin untuk melakukan apapun yang aku bisa untuk membahagiakan Kyra.
Aku bangkit berdiri dan menunggu, bisa kulihat kini Kyra menangis di pelukan ayahnya. Bahu ayahnya bergetar menandakan jika ayahnya tengah menangis saat ini. Pasti berat rasanya melepas berlian yang selama ini ia jaga dengan seluruh nyawanya. Ayah melepas pelukan setelah mencium kening Kyra dengan lembut. Setelahnya, Kyra langsung memeluk ibunya dan menangis tersedu. Aku bisa mendengar ibu memberi wejangan pada Kyra, memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan sebagai istriku nanti.
Aku mengulurkan tangan ke arah Kyra saat ia melepas pelukan ibunya. Dia menerima uluran tanganku dan bangkit dari posisinya dengan perlahan.
"Terima kasih karena mau menjadi istriku," bisikku di telinganya yang tertutup hijab.
Kami berjalan perlahan menuju singgah sana dimana kami akan menjadi raja dan ratu selama sehari. Aku membantunya duduk, dan dia membalas dengan kalimat terima kasih yang entah kenapa terasa lembut di telingaku.
Waktu sudah menujukkan pukul 9 malam. Kami sudah berada di kamar yang di tempati Kyra selama 20 tahun. Istriku kini tengah duduk di kursi meja rias sambil menarik satu persatu jarum pentul yang terpasang di hijabnya. Aku menghampirinya setelah melepas jas dan menggulung kemejaku sampai siku.
"Mas bantu ya?" tanyaku sambil menatap bayang dirinya di pantulan cermin.
Satu persatu ku ambil dan ku kumpulkan jarum pentul di meja rias, lalu pelan ku buka hijab yang menggulung dan menutup rambut indahnya. Ku buka ikatan rambut yang mengikat rambut hitam legamnya, dan aku kembali terpesona pada keindahan wajah di hadapanku ini. Betapa beruntungnya aku bisa memiliki bidadari ini untukku sendiri.
"Mas bantu bersihkan riasan kamu boleh?" tanyaku sekali lagi yang kembali ia jawab dengan senyuman manisnya.
Aku menghapus riasannya dengan pelan sambil mengagumi pahatan wajah indah ciptaan Tuhan di hadapanku ini. Melepas bulu mata palsunya, menghapus perona pipinya, menghapus pewarna bibirnya, kini wajahnya kembali polos. Aku kembali bertemu dengan wajah yang 3 bulan lalu datang padaku yang tengah terduduk pasrah di halte setelah lelah seharian mencari pekerjaan yang tak kunjung aku dapatkan. Wajah yang menghampiriku dengan senyuman dan mengulurkan tangan padaku untuk bangkit. Bukan bangkit dalam artian berdiri, melainkan bangkit dengan artian yang sebenarnya.
"Mas sedang mencari pekerjaan? Kerja jadi penjaga di toko orang tuaku mau?" tanya nya kala itu.
Aku segera mengangguk tanpa berpikir panjang. Setelah lebih daru 6 bulan menganggur, tentu saja tawaran kerja yang tiba-tiba saja datang membuatku sangat bersemangat.
"Yasudah, ikut aku ya. Kita ketemu bapak." ajaknya, waktu itu.
Dan setelah 15 menit berjalan berdampingan, aku sampai di sebuah minimarket. Aku disambut dengan ramah oleh sepasang suami istri yang baru ku ketahui sebagai orang tua Kyra. Mereka bertanya seputar pendidikan dan beberapa hal pribadi yang masih umum untuk di pertanyakan.
Dua minggu bekerja, aku kembali di buat terkejut dengan kedatangan Kyra yang tiba-tiba mengajakku duduk berdua di halaman mini marketnya.
"Mas Andhra apa sudah punya calon pendamping?" tanyanya kala itu,
"Belum, memang ada apa Ra?"
"Mahes suka sama mas, dan Mahes yakin mas bisa menjadi imam yang baik buat Mahes. Kalau mas merasakan apa yang Mahes rasakan juga, mas bisa datang dan menemui orang tua Mahes di rumah. Bukan sebagai karyawan, tapi sebagai orang yang akan mendampingi hidup Mahes." ucapnya yang membuat detak jantungku berhenti berdetak.
Memang, saat melihat wajah Kyra di halte waktu itu. Aku seperti melihat malaikat tengah mengulurkan tangan padaku, matahari yang berpendar di belakangnya membuat tubuhnya nampak bercahaya juga dengan senyuman yang meneduhkan hati siapapun yang melihatnya.
"Ke... kenapa kamu bisa suka sama mas?" tanyaku terbata, bagaimana tak terbata jika sebelumnya kami tidak pernah pendekatan layaknya orang yang akan menjalin suatu hubungan?
"Sebenarnya Mahes sudah memperhatikan mas sejak mas keluar dari gedung perkantoran, Mahes mengikuti mas yang keluar masuk toko, atau tempat apapun untuk mendapat pekerjaan. Mahes juga memperhatikan mas yang menunduk pasrah di halte waktu itu, dari sana Mahes paham satu hal. Kalau mas orang yang pantang menyerah, dan Mahes semakin yakin mas adalah orang yang cocok untuk menjadi suami Mahes."
"Apa kamu mau menerima mas dengan keadaan tak memiliki apapun seperti ini?"
"Rupiah bisa dicari mas, tapi kegigihan dan ketekunan mas dalam berusahalah yang susah di dapatkan dari semua lelaki yang selama ini mendekati Mahes."
Aku terdiam mendengar jawabannya, tentu saja sudah banyak lelaki yang mendekati gadis cantik ini dan aku akan menjadi lelaki bodoh jika menolaknya.
"Mahes tunggu kehadiran mas di rumah. Selamat malam mas." ucapnya dan langsung meninggalkanku sendiri dengan pikiran yang berkecamuk.
Seminggu kemudian, aku datang kerumah Kyra hanya membawa diri. Aku mengatakan maksud kedatanganku, yang entah kenapa lansung diterima dengan baik oleh orang tua Kyra.
Kyra tidak meminta mahar yang sulit, ia hanya meminta cincin untuk ia pakai dan seserahan semampu ku. Dan orang tua Kyra langsung menentukan waktu 2 bulan sejak malam itu untuk pelaksanaan pernikahan kami.
Orang tua Kyra bilang, untuk urusan resepsi aku tidak perlu pusing. Mereka sudah menyiapkan dana sejak Kyra menginjak umur 10 tahun. Aku hanya perlu menyiapkan mahar yang di minta Kyra dan menyiapkan diri untuk menjadi suami yang baik dan pantas untuknya.
"Mas, kamu melamun?" suara lembut Kyra menyadarkanku dari lamunan tentang beberapa bulan lalu.
"Mas hanya mengingat betapa beruntungnya mas bisa memiliki kamu." jawabku sambil mengelus rambut ikal panjangnya.
"Mahes yang beruntung karena bisa di pinang lelaki seperti mas."
"Terima kasih sudah mau menjadi istri lelaki yang penuh kekurangan ini." bisikku saat mengecup keningnya.
"Sekarang waktunya kamu mandi. Biar mas nunggu kamu." suruhku padanya
"Mas duluan aja yang mandi, Mahes masih harus siapin baju mas dulu."
"Ya sudah, mas mandi duluan ya.
Tak perlu menunggu lama untukku membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi, aku menemukan Kyra sudah berdiri di dekat pintu kamar mandi hanya mengenakan handuk sedang memeluk pakaian yang aku yakini akan ia pakai setelah mandi. Ia tersenyum malu kemudian berlari kecil memasuki kamar mandi. Aku tertawa melihat tingkahnya.
Butuh waktu sekitar 45 menit untuknya mandi dan kini kami tengah duduk bersisian di ranjang berukuran queen size.
Canggung, satu kata yang mewakili keadaan kami. Aku memberanikan diri menghadapnya dan memegang bahunya. Biar bagaimanapun aku adalah lelaki, sudah seharusnya aku lebih berani dan mampu menguasai keadaan.
"Kamu siap menghabiskan sisa hidupmu bersama mas?"
"Mahes siap mas, karena sedari awal mas yang Mahes pilih."
"Izinkan mas memilikimu seutuhnya." pintaku.
Dan aku langsung mencium keningnya saat ia mengangguk. Berlanjut dengan mencium pipi, kemudian bibir merah yang sedari awal pertemuan mencuri perhatianku. Aku membaringkannya di kasur dan melanjutkan tugasku. Mengajaknya menuju kenikmatan bersama-sama.
Mengajakknya memulai menghadapi pernikahan yang kutau takkan mudah untuk kedepannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top