Bulan ke-3

Haaii, Maaf molor sampai berbulan-bulan. Yang ikutin aku dari awal pasti tau kenapa aku sampai molor begini.

Oh ya, Alhamdulillah bayiku sudah lahir kemarin tanggal 22 mei 2020. Bayi laki-laki yang aku kasih nama "Abrisam Yusuf Shankara" dan semoga dia tumbuh setampan nabi Yusuf dan selalu membawa kabar gembira. AAMIIN.

Ada info bahagia juga buat kalian, sedikit-sedikit aku bakal selesaiin cerita ini, dan semua cerita aku sih pastinya. Cuma ngga bisa sering update, tapi kuusahakan minimal sebulan sekali atau sebulan dua kali pasti update. Doain ya biar ngga ada kendala akunya.

Then, happy reading..



Hari ini, rumah tampak ramai karena akan ada acara keluarga dari pihak ibu Kyra. Semua nampak sibuk menyiapkan segalanya yang entah kenapa agak berlebihan menurutku. Ini hanya acara arisan dan kumpul-kumpul biasa saja, tapi kenapa ibu sampai harus menyewa tenda dan memanggil orang untuk membantunya memasak. Apa yang akan datang sangat banyak? Aku memang belum berkenalan dengan seluruh keluarga Kyra dan kesempatan ini akan aku gunakan untuk berkenalan lebih dekat dengan keluarganya. Bagaimanapun keluarga Kyra adalah keluargaku juga kan sekarang?

Bapak menyuruhku menutup toko hari ini dan membantu kesibukan di rumah. Saat ini, bapak memintaku membantunya memindahkan pot-pot tanaman ibu dan menatanya agar terlihat lebih luas dan indah.

"Terima kasih ya Ndhra, sudah sana sekarang kamu istirahat dan mandi. Sebentar lagi mungkin keluarga ibu satu persatu akan datang," suruh bapak.

"Memang sudah beres semua nih Pak? Andhra bantu Bapak dulu saja sampai beres semua."

"Ndak usah! Ini juga sudah beres."

Aku mengangguk dan masuk ke dalam meninggalkan bapak. Bisa kulihat Kyra tengah sibuk menata masakan di meja prasmanan.

"Masih sibuk Ra?" tanyaku menghampirinya.

"Sebentar lagi Mas kenapa?" jawabnya, sambil menoleh sekilas kemudian kembali terfokus pada hidangan di hadapannya.

"Ada yang perlu Mas bantu nggak?"

"Nggak usah Mas, ini mau beres kok,"

"Ya sudah, Mas tinggal ya. Mas mau istirahat sebentar sekalian mandi."

"Iya Mas, sebentar lagi Mahes ke atas siapin baju Mas. Mas bisa istirahat dulu."

"Nggak usah, kamu lagi sibuk. Selesaikan dulu aja, Mas bisa kok ambil baju sendiri." jawabku,

Aku meninggalkan Kyra setelah mengecup keningnya. Sampai di kamar, aku langsung merebahkan diri melepas penat. Bagaimana tidak penat, jika sedari subuh aku sudah membantu bapak memasang tenda, merapihkan halaman dan banyak lagi pekerjaan yang aku lakukan. Bukan aku mengeluh, hanya saja aku merasa sambutan bapak dan ibu agak berlebihan.

"Mas, bangun yuk! Mandi dulu, keluarga ibu sudah mulai datang,"

Kyra membangunkanku yang hampir jatuh terlelap. Aku mencium keningnya sebelum melangkah menuju kamar mandi.

Selepas mandi, aku sudah menemukan Kyra yang duduk di meja rias sedang menghias wajah cantiknya.

"Bajunya di ranjang seperti biasa ya Mas," ucapnya padaku.

"Harus dandan banget ya Ra?" tanyaku sambil memakai baju.

"Muka aku pucat Mas, aku makeup biar sedikit cerah aja,"

"Kamu sakit?" tanyaku khawatir.

"Nggak Mas, cuma sedikit capek dan kurang tidur," jawabnya sambil tersenyum melihat diriku dari pantulan cermin.

"Maaf membuatmu kelelahan terus," sesalku saat aku memperhatikan wajahnya yang entah sejak kapan memiliki kantung mata.

"Nggak apa-apa Mas, ini sudah kewajibanku. Lagipula, aku juga menikmatinya kok." jawabnya dengan suara yang semakin mengecil di akhir.

Aku tertawa dan dengan sigap mengangkat tubuh mungilnya dan mendudukkan di ranjang. Kyra terpekik karena terkejut.

"Nggak akan ada habisnya Mas mengucapkan terima kasih ke kamu Ra, terima kasih sudah mau menjadi istri Mas."

"Iya Mas, Mahes juga berterima kasih karena Mas mau menjadikan Mahes istri Mas,"

Aku mengecup keningnya, lalu mulai mengecup bibirnya yang kini sedikit berwarna kemerahan. Mengulum lembut, dan menggigit gemas bibir yang menjadi canduku. Kyra menggeram pelan dalam ciuman kami, jemari mungilnya mulai merambat naik ke leherku dan mengalungkan lengannya disana sedangkan tanganku kini meremas pinggangnya secara seduktif. Kami sama-sama terengah saat tautan kami terpisah.

"Kita harus segera turun! karena jika tidak turun sekarang, aku yakin kamu nggak akan turun sampai beberapa jam ke depan," bisikku,

Aku menjauhkan diri tapi Kyra justru menarikku sampai terduduk di sebelahnya.

"Duh, Mas sih main nyosor aja! Lipstiknya jadi belepotan di bibir Mas kan!" omelnya sambil mengelap bibirku dengan tisu.

Aku tersenyum, baru kali ini aku melihat Kyra mengomel. Biasanya ia hanya akan menggerutu pelan, dan aku menyukai omelannya yang terasa indah di pendengaranku.

"Nah sudah bersih! Sekarang ayok kita ke bawah, aku sudah kangen sama paman dan bibi," ajaknya riang,

Kyra berjalan cepat sambil menggandeng tanganku. Menuruni tangga dengan sedikit berlari yang cukup membuatku sangat khawatir jika ia terjatuh.

"Paman!!" pekik Kyra,

Kyra langsung berlari menghampiri pria dewasa yang mungkin berumur sekitar awal 30an dan memeluk sangat erat yang membuatku sedikit cemburu.

"Mas, sini! Kenalan dulu sama paman!" teriak Kyra, padahal jarak kami tidak terlalu jauh.

"Om Mahes, panggil om!"

"Sama aja, om dan paman kan artinya sama juga." gerutu Kyra,

"Tapi panggilan om itu lebih keren daripada paman."

"Mas kenalin, ini paman Adi. Dia nggak bisa datang ke pernikahan kita karena masih tugas di Papua. Ini paman kesayangan aku mas!" cerocos Kyra, tanpa memperdulikan perkataan om Adi sebelumnya.

"Andhra om," kenalku sambil mengulurkan tangan yang langsung diterima olehnya.

"Ayo kumpul-kumpul! Arisannya mau di kocok nih," teriak salah satu wanita yang aku yakini tante Kyra.

Aku memperhatikan keseruan para ibu-ibu yang sedang berkumpul di sana sambil bersandar di dinding.

"Kenal Mahes di mana?"

Aku mengalihkan pandangan dan menemukan om Adi tengah melakukan hal yang sama denganku.

"Di halte om,"

"Ckk ... anak itu, padahal ia sendiri yang dulu bilang jika akan menunggu saya pulang dan menyuruh saya menseleksi calonnya. Eh giliran saya pulang ternyata dia sudah menikah. Ngebet banget nikah anak itu,"

"Kamu kerja apa?"

"Jaga tokonya bapak om,"

"Di! Yang dapat ibumu," teriak seseorang mengintruksi percakapan kami.

"Ok! Nanti saya bilang mama." balas om Adi berteriak,

"Ya sudah, saya cuma mau pesan tolong jaga Mahes. Dia itu anak emasnya kakek, jadi dia sangat dimanja sedari kecil. Tolong maklumi ya, dan jangan sakiti atau permainkan dia. Kalau sampai Kyra menangis kesakitan karena kamu, kebetulan saya baru bawa pulang senapan kemarin."

"Iya om,"

Om Adi menepuk bahuku sebelum pergi ke arah meja prasmanan. Sebetulnya, aku agak takut dengan wejangan yang sedikit mengancam itu. Tapi aku yakin jika aku tidak akan menyakiti Kyra karena aku sudah mulai mencintainya.

Acara berlanjut dengan makan-makan dan mengobrol santai. Kami yang bisa dibilang masih pengantin baru jadi bulan-bulanan ledekan mereka. Tapi keadaan berubah hening saat salah satu tante Kyra bertanya hal yang membuat harga diriku cukup tergores.

"Suaminya Kyra kerja di tokonya kakak?" tanya si tante itu yang belum aku ingat siapa namanya.

"Iya, Andhra yang mengurus toko sekaligus keuangannya," jawab ibu.

"Loh, kok kerja di sana sih? Berarti yang menggaji kakak dong? Lah sama aja kayak dinafkahin mertua. Emangnya nggak malu?" tanya tante tajam.

"Ya beda dong, kan Andhra kerja di sana dan bantu bapak mengurus toko. Jadi dia nafkah ya hasil keringatnya sendiri." bantah ibu.

"Ya tetap saja uangnya dari kakak kan? Nggak mandiri suami si Kyra," balasnya tak mau kalah.

Aku memilih diam mendengarkan daripada menjawab yang ujung-ujungnya membuatku semakin emosi.

"Udahlah Tan, apapun pekerjaan suami Mahes ya biar jadi urusan Mahes sendiri. Toh, Tante nggak merasa disusahkan sama Mahes dan suami kan?" bela Kyra.

"Permisi semuanya, saya mau ke kamar dulu. Saya butuh tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi untuk mulai menguras keringat saya demi mendapat uang," sindirku yang langsung bangkit berdiri.

Aku berjalan menuju kamar tanpa mendengar sahutan dan pembicaraan mereka lagi. Aku terkejut saat menemukan Kyra menahan pintu yang akan aku tutup.

"Mas, jangan dibawa pikiran ya omongannya tante." pinta Kyra,

"Keluar dulu Ra, tinggalin mas sendiri. Mas butuh menurunkan emosi dan Mas nggak pengin kamu jadi pelampiasannya," jelasku.

Memang sudah menjadi watakku yang mudah terpancing emosi, dan sudah menjadi watakku juga yang membutuhkan kesunyian dan ketenangan untuk menurunkan emosiku. Jadi, aku menyuruh Kyra pergi agar tak menjadi pelampiasan emosiku.

"Mahes sayang Mas," bisiknya sambil memeluk tubuhku sebentar sebelum meninggalkanku sendiri di kamar.

Saat aku terbangun di pagi hari, aku tak menemukan Kyra di sampingku. Ya ... setelah ditinggalkan Kyra semalam, aku lebih memilih berbaring sambil memejamkan mataku yang justru membuatku tertidur lelap. Bahkan aku tak tau kapan Kyra masuk dan berbaring di sebelahku.

Aku memutuskan untuk mandi sebelum mencari Kyra. 30 menit kemudian, aku menemukan Kyra yang sedang memasak sendirian tanpa ibu yang biasanya menemani.

"Morning sayang, kamu masak sendiri?" sapaku sambil mengecup belakang kepalanya.

"Pagi Mas, iya aku masak sendiri." balasnya tersenyum.

"Ibu sama bapak kemana?"

"Ibu sama bapak ikut om Adi ke Bogor semalam, mau jenguk orang tuanya om Adi sekalian menginap," jelasnya, sambil terus memasak.

"Ayo Mas sarapan," ajaknya beberapa saat kemudian.

Ruang makan diliputi kesunyian karena kami terfokus pada makanan kami masing-masing. Hingga saat makanan kami sudah habis, aku mengeluarkan bom yang mungkin akan mengubah hidup kami kedepannya.

"Mas akan cari kerjaan lain. Masalah toko biar Mas juga yang atur atau kamu juga bisa kalau kamu mau turun tangan,"




Jakarta, 18 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top