When?


Dua bulan berlalu. Tahun memasuki angka baru. Namun tak membuat perubahan pada takdirnya. Ia masih terkurung bersama seluruh traumanya.

Tiap malam dihabiskan untuk merenung dan berpikir, apa yang harus dilakukan. Bersama ribuan foto-foto dirinya yang tertempel di mana-mana di dalam ruangan remang tersebut.

Obsesi.

Gadis itu telah mengetahui seluruhnya.

Ia sudah mengingat semuanya.

"Goo.."

Tangan kurusnya terulur gemetar mengetuk pelan pintu keluar yang terkunci rapat dari luar. Tak terdengar sahutan.

Lalu sambil meringis pelan ia mendudukkan diri, mengelus perutnya yang terasa sangat nyeri dan perih.

"Goo.. Jun Goo.."

Cring!

Klek–

Krieeekk–

"[Name], butuh sesuatu?" Seseorang muncul lalu masuk setelah pintu satu-satunya akses masuk ke dalam ruangan pengap itu terbuka.

[Name], gadis itu nampak pucat, tulang pipinya terlihat, kantung mata tercetak jelas di bawah kedua kelopak matanya. Ia memegangi perutnya yang terbalut piyama lembut sambil meringis.

"Hei– lambungmu kumat lagi? Sudah kubilang untuk memakan makananmu kan?"

Goo, pemuda itu berjongkok di samping [Name] yang menyandarkan tubuhnya di tembok berlapis poster wajahnya.

Piring berserta gelas di atas nampan telah kosong, tergeletak begitu saja di pojok ruangan. Tanda bahwa [Name] sudah menghabiskannya.

[Name] menangis, ia tak kuat merasa perutnya seperti di aduk-aduk.

Kepalanya berkunang-kunang, bersamaan dengan darah yang mengalir keluar dari kedua lubang hidungnya.

"Astaga!"

Lalu gelap.

•••

"Saya sarankan istri anda untuk beristirahat penuh, kondisinya sangat buruk.."

"Jangan biarkan ia kelelahan dan stress.."

"Apalagi sampai terluka.."

"Itu akan merusak kesehatannya serta janin yang sedang dikandungnya.."

Sepasang kelopak mata itu perlahan terbuka, mengadaptasikan penglihatan dengan sekeliling, sudah lama tak melihat cahaya seterang ini.

"Terimakasih."

"Saya akan berikan resep obat serta vitamin."

"Baik, terimakasih, Dokter."

Dokter wanita itu membenarkan posisi stetoskop yang melingkar di kerah lehernya.

"Jangan lupa untuk tidak membiarkannya berpikir keras, Tuan!"

"Tentu."

"Baik, saya permisi."

[Name] terdiam, ia menatap langit-langit kamar yang begitu familiar.

'Selama ini.. aku berada di rumahnya?'

Kedua tangannya terbalut perban, dan beberapa kali tanpa sengaja hidungnya mencium aroma antiseptik.

"Sayang, sudah bangun?" Senyuman secerah matahari menyilaukan ditangkap pemilik netra merah sayu itu.

[Name] tak menyahut, gadis itu hanya menyorot kosong. Tak tahu harus berbuat apa. Seolah benar-benar hanya raga tak berisi jiwa.

Ranjang berderit, si pirang ikut merebahkan dirinya lalu mengulurkan tangannya untuk memeluk tubuh [Name] dari samping.

"Mulai sekarang kau tak perlu ku kurung di dalam ruangan itu lagi." Pelipis [Name] dihirupnya, meraup aroma khas yang sangat ia sukai.

Sedikit nampak pergerakan kelereng mata [Name].

"Karna aku benar-benar telah mengikatmu."

Bibir kering sang gadis berkedut, hendak bergerak mengeluarkan sepatah kata. Ia tak paham dengan setiap perkataan yang dikeluarkan oleh dia barusan.

"Apa..?" Sebuah kecupan singkat dilancarkan sebelum mengatakan seutas kalimat yang membuat sang gadis lemas.

"Kita akan menjadi orang tua."

Ia benar-benar tak memiliki kesempatan untuk melakukan apapun.

Sebuah belaian lembut menyentuh perut [Name] yang masih rata, gadis itu diam saja saat pemuda di sampingnya tak henti tersenyum bahagia, membayangkan sesosok bayi sebentar lagi akan berada di pelukannya.

"Aku hamil?" Terdengar serak dan lirih.

"Hm. Kau akan menjadi ibu."

"Bagaimana–" [Name] tersendat.

Goo tersenyum, ia mendudukkan dirinya lalu membungkuk, membelai wajah [Name] sayang.

"Aku mencintaimu."

Sudut mata [Name] basah, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, tak kuasa lagi.

Kini ia harus bagaimana?

Bukan hanya dirinya sendiri sekarang, namun anaknya.

"Kau jahat!" [Name] menjerit.

Goo memasang raut datar.

"KENAPA KAU MELAKUKAN SEMUA INI PADAKU!? KAU JAHAT!"

[Name] meraung-raung seolah kesetanan, berteriak menyalahkan pemuda itu yang telah merenggut segalanya.

Kedua lengannya yang terbalut perban telah berantakan, luka yang baru saja mengering basah kembali.

"APA SALAHKU, KIM JUN GOO?!"

"KAU TAK PUAS TELAH MEMBUNUH IBUKU?!"

"KAU TAK PUAS TELAH MENGAMBIL MASA DEPANKU?!"

"KAU TAK PUAS?!"

"SEKARANG KAU MAU MEMBEBANKU DENGAN ANAK INI–"

"[Name]!" Bentak Goo, "Jangan pernah mengatakan hal seperti itu!"

"KAU IBLIS!"

[Name] tertawa keras, gadis itu telah kehilangan akal.

"BUNUH AKU SAJA, SIALAN!"

"POTONG KEPALAKU!"

"TARIK JANTUNGKU DARI TEMPATNYA!"

[Name] menunjuk dadanya dengan wajah yang telah basah seluruhnya, "BUNUH AKU LALU AMBIL KEPUASAN YANG KAU MAU ITU!"

"DIAM!"

[Name] tersentak, "Benarkan? Kau sebenarnya ingin membunuhku kan? Katakan saja!"

"Tak perlu menahannya, Goo!"

"Bunuh aku! Toh! Kau sudah menikmati tubuhku kan?" [Name] tersenyum lebar.

"Sekarang aku hanya ampas, bunuh aku, cepat!"

[Name] tertawa semakin kencang, urat dilehernya sampai terlihat.

"Atau–!? Kau mau memperkosaku sekali lagi, lalu membunuhku? Begitu?" [Name] tersenyum, kemudian melepas satu-persatu kancing piyama yang dikenakannya.

"Ayo! Cepat selesaikan dan bunuh aku–"

"DIAM, [NAME]!"

Goo menarik kerah [Name] lalu mendekatkan wajahnya pada gadis itu, "Jangan berpikir kau bisa meninggalkanku!" Tepisan dilayangkan, lalu tangan Goo terlepas.

"Kenapa tidak?" [Name] menaikkan dagunya, setetes air mata turun, "Kau mau menyiksaku terus-menerus?"

"Ah! Aku lupa! Kau kan psikopat!"

"[Name], berhenti berteriak! Anakku bisa terluka–"

"PERGI!" [Name] beringsut tiba-tiba, memeluk tubuhnya sendiri sambil menangis deras saat sang lelaki mengulurkan tangannya, "MENJAUH! MENJAUH! MENJAUH!" Memegangi lehernya.

Nafasnya naik-turun cepat, maniknya bergetar hebat ketakutan.

"JANGAN MENYENTUHKU!"

Trauma besar memang tak semudah itu untuk hilang.

Kapan semua ini selesai?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top