Little Shit.
Sudah dua hari [Name] tak bertemu dengan Jung Goo, gadis itu menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan dari pagi hingga siang lalu selepasnya pulang ke rumah dan beristirahat, malam hari gadis bernetra merah itu melakukan hobinya, yaitu menulis.
Sebagai seorang gadis berumur delapan belas tahun, ia dikatakan lumayan produktif. Dari hasil jerih susah payahnya ia menulis, gadis itu menghasilkan uang yang cukup banyak. [Name] sering menerbitkan karangannya menjadi sebuah buku.
Uang hasilnya menulis ditambah gajinya dalam bekerja di restoran tiap bulan. Sangat cukup untuk biaya hidup tiga bulan kedepan.
“[Name], kau pergi ke meja nomor sepuluh! Aku pergi ke meja nomor enam, oke?”
[Name] mengacungkan jempolnya pada teman kerjanya, “Baik!”
Gadis dengan celemek putih membalut pinggangnya itu berjalan kearah meja nomor sepuluh, empat orang menempati meja dengan nomor genap itu nampak saling berdiam-diaman, satu orang di antaranya terasa familiar bagi [Name].
“Selamat datang di restoran kami!”
[Name] sedikit kaget, salah satu orang di meja itu merupakan orang yang sangat dekat dengannya, tak lain lagi adalah Goo. Sahabatnya sendiri. Pemuda berjas biru terang dengan beberapa motif menghiasi itu menatap kearahnya sambil tersenyum lebar.
Dengan profesional [Name] tersenyum, “Ada yang bisa saya bantu atau ingin memesan sesuatu?” gadis itu sigap merogoh sakunya mengeluarkan sebuah notebook kecil dan pena.
“Dua porsi Fettucine Alfredo, satu Chicken Parmigiana, dan satu Beef Stroganoff.”
Ucap seorang pria dengan surai coklat klimis memakai jas berwarna gold, senyuman manis terpatri di wajahnya sambil mengutarakan pesanan.
[Name] tersenyum tipis sambil mencatat, “Ada lagi?”
“Empat Tequila Sunrise.”
[Name] kembali mencatat, setelah itu ia mengulang, “Mungkin ada lagi?”
Pria bersurai coklat itu menggeleng, “Baik, saya ulangi.. Dua porsi Fettucine Alfredo, satu porsi Chicken Parmigiana, dan satu porsi Beef Stroganoff. Lalu minumannya, empat Tequila Sunrise.”
Di sahut anggukan kepala, [Name] sontak membungkuk sopan lalu berucap, “Pesanannya akan segera tersaji, mohon tunggu sebentar. Saya pamit undur diri.”
Gadis itu berbalik lalu berlari kecil menuju dapur, ia merobek kertas berisi pesanan lalu memberikan pada seorang koki wanita yang sedang mengaduk adonan.
“Pesanan!”
“Terima kasih, [Name]!”
“Iya, semangat Camilla!”
“EDWARD! EMPAT TEQUILA SUNRISE!”
“SEGERA JADI!”
•••
TAP!
TAP!
TAP!
CRASSSSHH!!!
“Damn it!” umpat seorang gadis sambil berlari menepi dari trotoar jalan, hujan tiba-tiba mengguyur bumi, membuatnya harus berteduh di sebuah halte yang sepi tak jauh darinya berada. Memeluk dirinya sendiri karna suhu di sekitar tiba-tiba mendingin.
Mulutnya mengeluarkan dengusan, maniknya bergulir menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, pukul 13.43.
Langit menangis, semakin lama semakin deras. Bunyi guntur terdengar, lalu dilanjutkan angin kencang yang membuat bahu sedikit bergoyang.
“Sial! Bagaimana ini!?” tas selempang yang tersampir di bahunya dibuka lalu dikeluarkanlah sebuah ponsel, mengotak-atiknya sebentar lalu didekatkan ke telinga. Menelpon seseorang.
Tut!
“Halo?”
Panggilan tersambung, sontak saja ia menyapa.
“Ya? [Name]? Kenapa?”
“Kau sibuk tidak?”
“Tidak nih, aku sedang tiduran.”
[Name] menghelakan nafasnya lega, “Boleh minta tolong tidak? Aku terjebak hujan di halte.”
“Mau kujemput?”
“Iya, jika tidak merepotkan.”
“Ah! Kau ini, seperti dengan siapa saja! Baik, kujemput ya! Di halte mana?”
[Name] diam-diam menahan wajahnya yang memanas, “H-halte dekat tempatku kerja, yang dulu kau pernah menjemputku di situ..”
“Oh! Oke! On the way! Wait, babe!”
[Name] melotot, “Y-ya..”
Tut!
Panggilan dimatikan.
[Name] langsung menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, menepuk-nepuk kedua pipinya, mencoba tetap sadar. Ia hampir pingsan.
“Oh Lord..”
•••
“Kau di mana, sialan!? Kalau pergi bukan untuk urusan penting mobilnya jangan dibawa!”
“Apa sih? Pakai mobil yang lainnya kan bisa! Repot banget.”
“Mobil yang lain, your ass!”
“Makanya minta Pak Chairman beliin satu lagi!”
“Kau sendiri kenapa tidak meminta!?”
Mencebik kesal lalu maniknya menatap tajam ke depan, “Kau kan bisa pakai mobilmu sendiri.”
“Buang-buang bensin.”
“Sejak kapan seorang Jong Gun peduli pada bensin mobil?” cibir pemuda berjas biru itu, ia menambah kecepatan mobil yang dikendarainya.
“Keparat kau, Jung Goo! Cepat bawa kemari mobilnya!”
“Sebentar deh~ aku sedang mengikuti seseorang.”
“Huh? Apa-apaan, sialan! Cepat kembali!”
Jung Goo, maniknya bergulir menatap kearah kaca spion, memperhatikan matanya. Begitu tajam, aura kekanakannya hilang tak tersisa. Pemuda itu kini sedang sangat marah.
“Sebentar, Jong Gun.”
Meluruskan pandangannya kembali, meneliti sebuah mobil yang kini melaju tepat di depannya, plat nomor kendaraan bercat putih itu dibaca lalu dihafalkan. Digumamkan berkali-kali hingga Jong Gun di sebrang yang masih berada di dalam panggilan menjadi ikut hafal.
“Kau ngapain sih, bodoh!?-”
Tut!
Panggilan dimatikan begitu saja, Jung Goo langsung melempar ponselnya asal kebelakang.
Kedua tangannya menggenggam erat stir, rautnya begitu datar, tatapannya lurus ke depan. Terlihat begitu tenang, namun mematikan. Seolah sebuah danau yang airnya tenang namun sangat dalam.
“Kakak benar-benar sangat marah loh..”
“You little shit..”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top