It really hurts


Waktu berlalu, angin berhembus kencang membawa dedaunan kering di atas tanah menuju langit lalu dihempaskan dari ketinggian begitu saja kembali ke asalnya.

Suara cicit burung terdengar berisik, seolah sedang beradu mulut. Entah memperdebatkan apa.

Langit terbentang indah, berwarna biru cerah. Tak berawan. Matahari mendukung, melambung tinggi seolah ia begitu percaya diri menunjukkan sosoknya.

"Langitnya cerah, mau jalan-jalan, sayang?"

Tak terhitung ia telah menawari yang keberapa kali dan selalu ditolak dengan gelengan pelan. Hembusan nafas lembut menyapu udara. Ia tak tahu harus berbuat apa agar sang gadis mau beranjak dari atas ranjang.

"Kenapa makannya tidak dihabiskan, sayang?" Melihat sepiring bubur masih utuh, nampak tak tersentuh sama sekali. Tergeletak di tempat semula ia menaruh, tak bergeser se inchi pun.

Sekali lagi hanya gelengan menjawab pertanyaannya.

Di atas ranjang, seseorang kini meringkuk dengan selimut tebal membalut tubuhnya. Kedua tangannya menggenggam erat sprei saat sosok yang ia takuti berada didekatnya dan yang parahnya mengajaknya bicara.

Degub jantung berkerja lebih cepat, rasa takut membawa tubuhnya merasakan gemetar yang hebat, menciptakan titik-titik keringat dingin muncul di dahi.

Ia pejamkan mata erat-erat dan tak henti bergumam lirih berdo'a. Semoga tak terjadi apa-apa lagi padanya.

"[Name], kau tidak mau jalan-jalan?"

[Name], kelopak mata gadis itu terbuka, sorotnya berubah drastis. Biasanya ia akan selalu menatap kesal kearah Goo saat namanya dipanggil pemuda itu. Namun kini pandangannya berubah.

Ia menatap pemuda bersurai pirang itu seolah menatap monster mengerikan, atau sebuah hal yang malah lebih menyeramkan dari pada monster.

Takut, takut, takut, takut, dan hanya takut.

Tak dapat berbohong sorot yang keluar dari kedua manik merahnya.

Trauma besar tercipta pada [Name].

Kepala [Name] muncul sedikit dari balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, ia menggeleng lalu masuk kembali ke dalam.

"Habiskan makananmu, [Name]! Kau tidak sarapan tadi pagi."

'Aku tidak mau, oh Tuhan!'

'Pergilah saja! Menjauh!'

[Name] tak mampu mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya karna menahan isak. Matanya ditahan kuat-kuat untuk tak mengeluarkan air mata, atau pemuda itu akan mendekatinya lebih dengan dalih khawatir.

Kedua tangannya bertaut erat, mencoba menenangkan dirinya sendiri yang perlahan gemetar dan semakin kencang.

•••

"Camilla, [Name] tidak masuk?"

Pemuda berpostur tegap itu menahan lengan rekan kerja wanitanya saat hendak berlalu melewatinya. Menanyakan gadis bersurai hitam yang selalu tersenyum ceria kali ini tak berangkat kerja.

Camilla, wanita itu memasang raut khawatir. "Entahlah, tidak biasanya dia tak masuk tanpa mengabariku terlebih dahulu."

"Apa dia sedang sakit ya?"

Camilla menghendikkan bahunya, "Mungkin saja.. aku berniat menjenguk ke rumahnya nanti sepulang kerja."

"Um.. boleh aku ikut? Kita bisa sekalian berangkat bersama naik mobilku."

Camilla mengangguk, "Oke, Edward."

"Permisi! Saya mau pesan!"

"Ah! Iya! Mohon tunggu sebentar!"

Restoran ramai, dan para karyawan kewalahan.

•••

"Sekali lagi!"

[Name] memejamkan matanya sambil menggeleng, kepalanya bergerak kesana-kemari menghindari suapan untuk yang kesekian kalinya dari si pemilik surai pirang di hadapannya.

Kedua tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri. Kukunya yang mulai tumbuh panjang mencengkeram erat legan hingga menimbulkan bekas kemerahan.

"Sedikit lagi, [Name].. ini hampir habis."

[Name] menggeleng.

"Ayo, sayang.. sedikit lagi.."

Bujukan terus dilancarkan.

Karna muak mendengar suara bass itu keluar dari bibirnya, [Name] pun menganggukkan kepala.

Gadis itu menerima suapan hingga sepiring bubur itu tandas.

"Good girl!"

Usapan lembut menyentuh surai [Name], sontak saja gadis itu berjingkat dan menghindar, hampir teriakan keluar dari bibirnya.

Sklera matanya yang memerah terlihat berkaca-kaca, dan perlahan tubuhnya tak terkontrol gemetar hebat.

"Ah! Kenapa?"

Dengan segala keberanian yang telah dikumpulkan, ia mengeluarkan suara memohon, dengan kedua tangan meraih selimut kemudian digunakan untuk membalut seluruh tubuhnya kembali, "Goo, jangan menyentuhku..!"

"Kumohon! Jangan menyentuhku!"

•••

Kini di balkon kamar, [Name] terduduk sambil menatap langit sore dengan matanya yang sendu dan bengkak. Rambutnya berantakan, tertiup sepoi angin.

Ia menunduk, menatap kedua pergelangan tangannya lalu tersenyum tipis.

Garis-garis tipis merah menghias, dari pergelangan hingga lengan atas. Berbentuk acak, sesuai dengan isi pikirannya.

"Kau gila, Camilla?! Jangan lakukan hal ini lagi! Kau bisa bercerita denganku! Aku pinjamkan bahuku! Jangan menyakiti dirimu sendiri!"

Dua tahun lalu, dengan tegas ia berucap seperti itu pada Camilla.

Lalu, hari ini. Ia menjadi Camilla dua tahun yang lalu.

Sosok yang kehilangan tujuan hidup. Rapuh dan tak tahu harus melakukan apa, meski hanya untuk beberapa detik kedepan.

"Aku harus bagaimana?" Gumamnya sambil mendongak lagi, menatap langit.

"Ibu, aku harus bagaimana?" Corak indah berwarna oranye itu sedikit membuat [Name] lupa beberapa saat pada lukanya.

"[Name] tidak yakin bisa melanjutkan ini semua."

"Sayang! Lihat! Ibu bawa apa?!"

"WOAH! ES KRIM!"

Setitik air mata turun membasahi luka baru di tangan gadis itu. Perih.

"Perih sekali.."

"Mulai sekarang panggil dia Kakak ya, sweetheart?"

"Iya, ibu.."

"Kakak jahat, Ibu.."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top