Don't Go!


"Ditemukan mayat berinisal NSJ mati mengenaskan di dalam kamar rumahnya sendiri dengan tubuh yang tercerai-berai.."

"Tim forensik yang memeriksa jasad korban pembunuhan tersebut melaporkan bahwa ada kurang lebih tiga ratus luka tusukan benda tajam di bagian perut korban yang mengakibatkan–"

"Cuma seratus kok. Separah itu memangnya?"

"Pelaku hingga saat ini masih belum tertangkap, polisi masih melakukan pengejaran serta penyelidikan hingga satu ibukota.."

"Katanaku memang tajam banget sih."

Secangkir kopi panas menemaninya menikmati siaran langsung berita di layar televisi, mulutnya tak henti mengomentari sedari awal siaran itu dimulai, sambil terkekeh sinis, mereka gagal menebak alur pembunuhan sebenarnya.

Televisi dimatikan, kemudian ia beranjak dari atas sofa, menuju dapur.

Jam telah menunjukkan waktu terbaik para manusia melaksanakan sarapan.

Menarik pintu kulkas kemudian mengeluarkan bahan-bahan makanan dan mulai memasak.

Kompor dinyalakan, semuanya dimulai.

•••

"Aku harus kabur.."

"Aku tidak bisa selamanya di sini."

[Name] menunduk, menatap perutnya yang sedikit membesar. Terbalut kaos putih polos. Tangannya menyentuh halus, seolah takut menyakiti, "Maafkan Ibu, sayang."

Rasa sesal menyelimuti hatinya, mengingat tempo hari lalu ia berkata bahwa anak yang sedang dikandungnya saat ini adalah sebuah beban.

Di hal ini, dia yang bersalah. Ia benar-benar menyesal. Kenapa dengan begitu jahat ia mengatakan hal seperti itu pada seorang anak yang bahkan tidak pernah menginginkan dirinya sendiri ada?

Tidak. Ini bukan waktunya menyesal.

"Kita harus pergi dari neraka ini."

[Name] menuruni ranjang, berjalan cepat menuju almari kayu di dekat cermin. Membukanya perlahan agar tak menimbulkan suara lalu mengeluarkan segala hal yang tersimpan di dalamnya.

Ia menyimpan tiga lembar uang dengan total tiga ratus won, lalu memasukkannya ke dalam saku celana.

Tanpa membereskan ulang ruang penyimpanan tersebut, [Name] berlari kecil menuju jendela, membukanya perlahan lalu melengok keluar.

"Tidak terlalu tinggi.."

Informasi kecil, rumah Jun Goo merupakan rumah minimalis bernuansa modern, berlantai tiga, lantai satunya merupakan sebuah basement, [Name] disekap di lantai dua, tepatnya di kamar pemuda itu.

Dalam hati [Name] bersorak bahagia karna Goo lebih memilih menyekapnya di rumah daripada di apartemen yang jalan keluarnya lebih susah karna berada di lantai sembilan belas.

[Name] berlari kecil menuju pintu keluar, mengecek kenopnya, dan terkunci dari luar. Bagus, ini tak apa.

Gadis yang tengah hamil itu berjalan kearah ranjang lalu menarik sprei yang melapisi bagian atasnya, mencopoti sarung bantal. Dan melangkahkan cepat tungkainya ke arah jendela, mencopot korden yang digunakan untuk menghalau sinar matahari.

Mengumpulkan kain-kain itu menjadi satu, dengan cekatan ia membuatnya menjadi tali yang lumayan panjang.

"Cukup.." gumamnya, "Kah?"

Ia sedikit tak yakin, namun dikejar waktu.

Membawa tali yang telah saling diikatnya menjadi satu itu kearah jendela, kemudian mengikat bagian ujungnya ke pinggiran jendela.

Melempar tali sisanya ke bawah, dan..

Srak!

Menggantung indah, tinggal kurang lebih lima puluh senti telah menyentuh tanah.

[Name] gemetaran, ia menatap ke bawah sana lalu tiba-tiba kepalanya berdenyut. Ingatan-ingatan masalalunya datang di saat tak tepat.

Hal yang lama telah menghilang, tiba-tiba datang kembali di saat seperti ini.

"Sayang!"

"[Name]!"

"Jun Goo, jaga adikmu baik-baik ya?",

"Anak ayah cantik sekali.."

"Ibu!!"

Lalu, setetes darah menguncur melalui lubang hidungnya. [Name] sontak mengusapnya dengan kerah baju, mengelus perutnya lembut.

"Anak ibu harus baik-baik saja ya?" Ucapnya, lalu membatin meyakinkan diri.

Tubuhnya yang kurus menaiki jendela lalu berjongkok di atasnya dengan jantung berpacu cepat.

Tangannya memegang tali yang telah diikatnya erat dengan ragu.

Ctak!

[Name] menoleh kearah pintu, samar-samar telinganya mendengar suara kompor, nampaknya Goo baru saja menyelesaikan kegiatan memasaknya.

"Aku.. harus bagaimana..?" [Name] gugup, ia hendak turun namun takut. Persentase dirinya tidak jatuh sangatlah kecil, kondisinya tidak fit. Ia tak yakin bisa turun dengan selamat.

Kepalanya terasa pusing. Waktu seolah mendesaknya untuk segera memutuskan.

"Ini untukmu." [Name] mengelus perutnya sekali lagi sebelum turun, memegangi tali dan menumpukan kedua kakinya di dinding. Bergerak turun dengan begitu pelan. Tangannya terasa panas.

Tubuhnya gemetar hebat saat sesekali pegangannya hampir terlepas.

"Ayo.. [Name].." ia menatap kearah atas was-was, takut jika sosok Goo tiba-tiba muncul.

Kini tinggal setengah lagi, dan ia telah memijak tanah yang telah lama tak ia pijak.

"Sedikit lagi.."

Satu menit yang begitu menegangkan.

Tap!

"B-berhasil.." [Name] berjongkok, gadis itu lemas. Kepalanya pusing, perutnya mual. Tiba-tiba ia mengalami gejala hamil yang paling umum, wajahnya pucat pasi sambil memegangi mulut.

Ia menahan gejolak yang hendak keluar melalui mulut, namun gagal. Ia muntah. Suaranya ditahan sekuat mungkin agar tak berisik.

Setelah dirasa telah lega, ia berdiri dengan bersusah payah. Memegangi perutnya yang terasa tak enak.

Tes!

Setetes dari keluar lagi dari hidungnya. Ia hendak melangkah, tanpa menggunakan alas kaki, tak memperdulikan dagunya yang basah teraliri darah dari kedua lubang hidung.

"[NAME]!"

Sontak saja gadis itu menoleh kaget kearah suara, di depan pintu rumah sana Jun Goo sudah memasang raut garang. Kedua tangannya nampak meneteskan darah, entah apa yang baru saja dilakukan pemuda itu.

Refleks ketakutan, [Name] berlari kencang, tak memperdulikan kedua telapak kakinya yang terluka karna bebatuan kasar dan tajam.

Ia berlari tak tentu arah, dengan nafas tersengal-senggal. Tak sempat menoleh kebelakang memastikan pemuda itu tak mengikutinya, [Name] terus belari.

Berlari.

Tak henti.

•••

[Name]'s POV

Kupacu lariku semakin cepat, tanpa menoleh kebelakang. Nafasku terasa sesak, perutku keram. Sakit sekali.

'Kumohon bertahanlah sedikit lagi, Anakku!'

Kurasa sudah hampir satu kilometer telah kuberlari tanpa henti.

Dan kini aku telah menginjak aspal, jalanan luas yang begitu sepi, nan lenggang. Kurasa aku tak kuat berlari lagi, perutku nyeri sekali, aku meringis, memeganginya sambil menggigit pipi.

Kukerahkan sisa-sisa tenagaku untuk menyebrang jalanan sepi ini.

Kemudian, mendudukkan diri di balik sebuah semak-semak belukar di sebrang jalan, bersembunyi.

Kubenarkan nafasku yang tak normal dan detak jantung yang hampir membuatnya copot dari tempat.

Aku lemas, tak punya tenaga lagi. Benar-benar nol persen.

Sepertinya jika Goo menemukanku, aku tak akan bisa melakukan perlawanan. Dan dengan mudah ia dapat membawaku kembali ke rumahnya.

Sia-sia.

Aku tak mau itu terjadi.

Aku memejamkan mata erat-erat, berdoa dalam hati.

'Tuhan, tolong aku!'

Kepalaku pusing.

Lalu, tiba-tiba..

"Astaga.."

Darah.

Tidak mungkin.

Apa yang baru saja kulakukan!

"A-astaga.."

Cairan kental terasa keluar melalui sela-sela pahaku, bersamaan dengan rasa nyeri yang semakin mendera, mengaduk-aduk isi perutku.

Aku..

Keguguran.

Celan biruku basah kuyup oleh darah.

Anakku.

"T-tidak mungkin.."

Kugenggam erat kaos yang membalut perutku, menahan air mata yang kian membendung di sudut mata.

Tidak mungkin.

Ah! Tidak!

"A-ah, m-mungkin i-ini cuma karna berlari tadi, l-lalu kakiku berdarah.." ucapku mencoba ber-positive thinking.

"Sayang, di dalam baik-baik saja kan..?" Perutku kubelai halus.

"Maafkan Ibu ya, sayang. Kau pasti lelah sekali karna kuajak berlari tadi."

Aku tersenyum tipis, tanpa terasa setetes cairan bening mulai bercucuran, membasahi pipiku.

"Jangan pergi ya?"

Dia satu-satunya.

[Name]'s POV END

•••












































Satu chapter lagi, dan book ini selesai (╥﹏╥)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top