Extra Part

Helena menarik napas panjang, berusaha menghirup wangi lavender dari sekelilingnya. Kepalanya terasa berdenyut sakit dan entah sudah keberapa kalinya hari ini ia berbicara dengan urat yang terus menerus menegang.

Ia harus relaks atau akan terkena penyakit stroke. Dan itu bukanlah hal yang bagus.

Demi Tuhan, usianya baru tujuh belas tahun dan tahun ini adalah debut pertamanya. Seharusnya Helena merasa senang karena hasilnya tidak mengecewakan. Undangan terus mampir di townhouse keluarganya dan Helena hanya perlu menjawab ya untuk kembali menghadiri satu persatu dansa.

Tapi dengan adiknya, Veronica yang memakasa ikut ke London, itu adalah bencana. Gadis berusia dua belas tahun itu benar-benar dalam masa membangkang yang sangat parah.

Helena harus berdebat dengannya ketika ia melihat celana selutut yang akan digunakan Vero untuk berkuda. Demi Tuhan, mereka berada di London dan bukannya di pedesaan. Ibunya pasti akan dengan tegas melarang Vero, tapi mereka kemari bersama dengan sang bibi, Henrieta yang memiliki pikiran modern dan membebaskan perilakunya asalkan tidak membuat kerugian bagi orang lain.

Pada akhirnya, Helena lah yang menang, membuat sang adik meradang dan membanting pintu kamar di depan hidungnya.

Seandainya saja Emily tidak sakit, sudah pasti ibunya akan bersama dengannya sekarang. Dan sekarang, ia lah yang bertanggung jawab atas Vero.

Ah, seandainya ia tidak lantas menarik diri satu bulan yang lalu. Mungkin Emily akan sesehat biasanya.

Emily, selama ini selalu bermanja-manja kepadanya. Kemudian, Emily pasti dapat merasakan perubahan dari diri Helena yang perlahan menjauhkan diri dari Emily dan membuatnya sakit kemudian.

Menghela napas panjang, Helena masih mengingat dengan benar tentang percakapan bisik-bisik antara ibunya dan Vero. Percakapan yang akhirnya menjawab pertanyaan Helena selama tujuh belas tahun terakhir.

Mengapa hanya dia yang memiliki rambut merah sementara kedua adiknya memiliki rambut pirang yang cantik. Mengapa hanya dia yang memiliki mata hazel sementara Vero dan Emmy memiliki mata biru lautan.

Dulu orang tuanya berkilah bahwa warna mata dan rambutnya merupakan warisan dari nenek mereka, Helena saat itu jelas menerimanya. Hingga akhirnya ia mendengar keberatan Vero dalam debut pertama Helena, menyebabkannya harus ikut ke London bersamanya.

Helena langsung menanyakan mengenai hal itu kepada kedua orang tuanya. Tidak, dia bukan gadis penakut dan lemah. Setelah hidup dengan adik sulit diatur seperti Vero, adik yang lemah seperti Emmy, Ibu yang sering sakit dan Ayah yang sibuk, Helena sering kali bertanggung jawab atas mereka. Membuat sosoknya kuat dan jika bisa dikatakan, sinis kepada orang lain selain keluarganya.

Helena perlu diyakinkan bahwa ia tetap disayangi dan menjadi bagian dari keluara Whitney. Memang itulah yang Helena dapatkan, tetapi itu tidak lagi terasa sama.

Ia mulai meragukan posisinya untuk memarahi Vero, menjaga Emmy, dan merawat ibunya. Apakah ia pantas melakukannya? Apakah ia pantas mendapatkan kasih sayang mereka? Dan apakah ia pantas berperilaku seperti seorang bangsawan?

Jelas ia adalah anak yang tidak diinginkan. Ia telah dibuang. Diabaikan. Walaupun sang ibu mengatakan bahwa mereka lah yang meminta Helena untuk dijadikan anak mereka.

Tetap saja, orang tua macam apa yang rela memberikan anaknya sendiri untuk diasuh oleh orang lain?

Helena menarik napas panjang sekali lagi. Berusaha menyingkirkan kegundahan diri dan berpikir tenang.

Masalah Vero sudah selesai dan malam ini ia tidak memiliki janji apapun. Sementara sahabat barunya, Lady Katherine Wood baru saja mengalami malam naas beberapa waktu yang lalu. Membuatnya tertekan dan depresi.

Helena akan mengunjunginya. Mungkin perasaannya akan membaik setelah melihat keadaan Kate yang tidak terlalu baik. Helena lalu tersenyun kecut. Begitu jahatnya dirinya sekarang. Bagaimana ia senang karena kemalangan yang menimpa sahabatnya?

Tapi itulah manusia, Helena. Dan kau hanyalah manusia biasa. Setidaknya kau selalu ada di sampingnya dan tidak meninggalkannya sendiri.

Menarik napas panjang sekali lagi, Helena meminta disiapkan kereta kudanya dan tak lama setelahnya mereka telah siap.

Helena sudah berada di depan kereta kuda itu ketika melihat pergerakan di belakang semak-semak. Mengabaikan sais yang sudah mempersilakannya masuk, Helena mendekati pergerakan itu. Terkejut ketika melihat pemuda dengan wajah persis seperti dirinya berdiri di depannya.

Helena lalu semakin tidak percaya ketika melihat pemuda itu tersenyum. Demi Tuhan. Sosok di depannya adalah seorang wanita yang menyamar menjadi pria!

Helena mengerjap cepat.

Bahkan Vero tidak akan seliar ini!

"H-hai," ujar sosok itu dengan gugup.

Helena masih mengerjap, menghilangkan kabut di pikirannya. "Siapa kau?" desisnya tajam.

"Aku Wilona Hurst," dia tertawa gugup, "dengarkan aku sebentar, oke?"

Helena mengangguk tanpa sadar. Membuat Wilona menarik napas lega.

"Aku berkuda selama sehari semalam untuk bertemu denganmu. Kau Helena kan?"

Helena mengangguk lagi. Bibirnya terasa kelu dan semakin kelu ketika melihat senyum Wilona dan mata berbinarnya. "Aku baru tahu bahwa aku memiliki saudara kembar, dan tebak! Itu adalah dirimu. Aku tidak percaya dan ingin melihatmu. Aku bahkan pergi sembunyi-sembunyi dengan pakaian pria karena Papa jelas akan membunuhku jika-"

Tubuh Helena bergetar. Ya Tuhan. Gadis di depannya adalah saudaranya. Saudara kembarnya! Ia bahkan baru mengetahui hal itu. Dan apa tadi? Dia melarikan diri menggunakan setelan pria untuk menemuinya! Kegialaan apa yang sedang ia hadapi sekarang?

Menghadapi Veronica sudah membuat uratnya hampir putus dan ada pula gadis yang sangat mirip dengannya, yang Helena pikir seribu kali lebih liar dari pada Vero.

"Dengar. Tidak seharusnya kau di sini," desis Helena memutus perkataan gadis di depannya. Helena bisa melihat mata Wilona yang membelalak lebar.

"Oh!" Gadis itu lalu melirik ke belakangnya, melihat kereta kuda yang cantik dengan sais yang sudah menunggunya. "Kau akan pergi? Mungkin aku menemuimu nanti. Aku hanya tidak sabar dan sudah menunggumu sedari tadi," Wilona lalu tertawa kaku, "aku hanya terlalu takut mengetuk pintu rumahmu dan memutuskan untuk menunggumu di sini."

Bibir Helena menipis. "Sejak kapan kau di sini?"

Mata Wilona mengerjap cepat. "Tidak lama, sungguh."

Helena menatap gadis itu tajam, membuatnya mengalah. "Aku bersembunyi di sini sudah lima jam yang lalu. Tapi kau tidak perlu khawatir. Tidak ada yang melihatku, jadi tidak akan ada yang mengetahui tentangku," terangnya yakin.

Helena rasanya ingin mengerang keras. Ya ampun, bagaimana jika Helena tidak memutuskan bertandang ke kediaman Kate sehingga tidak menemui gadis itu di sini. Apakah gadis itu akan tetap menunggunya ataukah-

Helena menggeleng. Menatap tajam pada mata berbinar berwarna hazel itu. Dia mungkin memiliki kehidupan yang biasa, tanpa kemewahan ala bangsawan. Tapi gadis itu diinginkan oleh orang tuanya, hal yang tidak didapatkan Helena.

Menatap tajam kembaran di depannya, Helena menarik napas panjang. "Pergilah," tegasnya.

Wilona mengangguk. "Ya, aku akan pergi sekarang. Maafkan aku karena menganggumu. Hei, tapi bisa kita bertemu? Banyak yang ingin kukatakan kepadamu-"

"Tidak. Pergi dan jangan pernah kembali."

Wilona tercekat. Mata berbinarnya perlahan meredup. "Apa maksud-"

Helena dengan terang-terangan melirik penampilan gadis itu dari atas ke bawah. Menyadari bahwa Wilona sama memesonanya dengan dirinya. Hanya saja, Wilona memiliki keceriaan dan vitalitas hidup yang memancar dengan kuat di setiap pori tubuhnya.

Tentu saja, karena itulah orang tuamu memilih merawatnya dibandingkan denganmu.

Wilona yang merasa diamati, menelan ludahnya susah payah. Ia tahu penampilannya berantakan dan badannya mungkin saja bau karena ia belum menyentuh air selama perjalanan. Baju yang ia pakai penuh debu dan terlihat kumal. Wajahnya juga terasa kotor dan tidak seputih Helena karena sinar matahari berlebihan yang selalu ia dapat tiap harinya.

Yang jelas, penampilannya sangat buruk jika disandingkan dengan Helena. Helena menggunakan gaun sederhana yang sangat cantik. Kulitnya putih dan terlihat semulus porselen dan dia memancarkan aura bangsawan yang kuat dalam dirinya.

Oh, dia pasti sangat terkejut dan malu karena memiliki saudara kembar seperti dirinya.

"Kau harus menyadari siapa dirimu. Meskipun kita kembar dan terlahir dari ibu yang sama, tapi kau berbeda denganku. Kita tidak sama dan jangan berharap aku akan menerimamu begitu saja," Helena bisa melihat wajah di depannya berubah pias seolah darah surut dari wajah itu. Itu menyakitkan bagi Helena, tapi ia tidak bisa berhenti dan menambahkan, "Kau seharusnya malu terhadap dirimu sendiri. Jangan pernah lagi muncul di depanku. Kau mengerti?" tekan Helena pada akhirnya.

Ia lalu berbalik dan merasakan angin yang berhembus ketika merasakan sosok Wilona yang menghilang ditelan malam.

Helena tetap meneruskan niatnya mengunjungi sahabatnya dengan jantung yang terasa ditusuk oleh belati.

Ya Tuhan, dia telah menyakiti satu-satunya orang yang mungkin menginginkannya sebagai saudara. Setelah mencurahkan segala kemarahannya pada saudara kembarnya, seharusnya hatinya membaik. Tapi tidak, ia malah merasakan sakit hati yang belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.

Bahkan setelah sampai di kediaman Katherine dan melihat keadaan Kate yang tak kunjung membaik, Helena tidak merasa dirinya baik-baik saja. Ia akhirnya memilih menginap di townhouse Wood karena jika ia pulang, Helena takut akan bertemu dengan Wilona Hurst.

Helena tersenyum sedih. Seharusnya namanya juga Helena Hurst, bukan Helena Whitney.

Semalaman itu, ia tidak bisa memejamkan matanya dan memutuskan bangun ketika fajar baru menyingsing. Tidak berniat membangunkan para pelayan, Helena turun dan pergi ke dapur hanya untuk menemukan sosok saudaranya yang terlihat pucat.

Penampilannya berantakan dan melihat bahwa Wilona keluar dari kamar Jeremi, kakak Kate, Helena tahu bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka.

Kedua tatapaan hazel itu bertemu. Wilona terlihat terkejut dan ketakutan, membuat jantung Helena terasa ditusuk sekali lagi.

"Aku akan pergi, sungguh. Dan tidak akan kembali ke kota ini. Tapi kau harus membantuku, kumohon," lirih Wilona dengan suara yang sedih dan tertekan.

Permohonan dengan suara bergetar itu membuat Helena makin tersiksa. Ia mengangguk dan membangunkan sais keretanya. Mengantarkan mereka ke sebuah bar bernama Kingsley, tempat Wilona menambatkan Faro, kudanya.

Helena hanya bisa melihat ketika dengan tangkas, Wilona memasang pelananya.

"Terima kasih atas bantuanmu, tapi kumohon, jangan katakan hal ini kepada siapa pun," mohonnya kemudian.

Helena mengangguk sekali lagi. Membuat Wilona mengulas senyum tipis yang terlihat sedih, "Kita tidak akan bertemu lagi, aku beranji," ucap Wilona ketika menaiki Faro. "Jaga dirimu," itulah kata terakhir Wilona sebelum memacu Faro meninggalkan kota London.

Helena masih bungkam untuk berapa lama hingga ia masuk ke dalam kereta. Menangis keras hingga membuat matanya bengkak sampai berhari-hari. Ia merasa menjadi orang yang sangat jahat dan tidak mungkin termaafkan.

Kemudian, setelah ia bisa mengatasi rasa sakitnya. Helena mulai menarik diri dari pergaulan para bangsawan. Mengabaikan undangan pesta dansa dan diam-diam mengamati Jeremi.

Tahu bahwa Jeremi terus menerus mencari sosok adiknya hingga hampir membuatnya putus asa. Helena iri kepada Wilona sekali lagi, karena mendapatkan perhatian seperti itu dari pria seperti Jeremi yang sebelumnya terkenal playboy. Entah apa yang sudah Wilona lakukan kepada pria berusia dua puluh empat tahun itu hingga tidak menyerah mencarinya.

Ketika akhirnya di pesta dansa Lady Marmosa, Helena memberikan kunci yang selama ia simpan seorang diri, kepada Jeremi. Helena meneteskan air mata lega. Berharap punggung Jeremi yang menjauh darinya bisa menggapai Wilona dan membuatnya bahagia.

Seandainya dirinya juga memiliki seseorang yang menginginkannya....

Sebuah pelukan hangat dan suara merdu lalu memanggilnya. Mata emerald dari keponakannya menatapnya heran bercampur penasaran.

"Bibi, Phineas sayang Bibi," bocah malaikat itu lalu memeluk Helena. Mencium kedua pipinya dan ikut tersenyum melihat orang tuanya berdiri di altar yang baru tadi sore mereka siapkan.

"Bibi juga menyangimu, Phin," bisik Helena lagi sambil mengusap rambut Phineas dengan gemas. Ikut berbahagia atas pernikahan Wilona.

Sang ayah, Abignale Hurst lalu menepuk punggung tangan Helena sayang. Helena mengangguk ketika menerima tatapan sayang dan rindu dari ayahnya yang pernah ia ragukan sebelumnya. Ia mengulas senyum tulus kepada sang ayah, membuat janji tak terucap bahwa akan menebus waktu yang sebelumnya menghilang di antara mereka.

***

19.03.17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top