Be Mine - Part 7
Jeremi terbangun di pagi hari. Meraba ke samping tempat tidurnya dan tidak menemukan tubuh hangat yang sudah ia peluk semalaman.
Ia seperti mengalami de javu. Bedanya, saat dulu Jeremi mengalami hal ini, ia hanya bisa mengerang sambil berpikir bahwa dengan mudah ia akan kembali bertemu dengan bidadari berambut merahnya. Tapi kenyataannya, memerlukan waktu selama empat tahun sebelum hal itu terjadi.
Jeremi lalu segera berpakaian dengan tergesa. Mengabaikan Bastien yang baru masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan akan menyiapkan air mandinya.
Persetan dengan mandi. Ia tidak akan peduli jika taruhannya adalah Wilona yang kembali menghilang.
Tanpa menggunakan alas kaki, Jeremi langsung berlari. Membuka pintu kamar Wilona dan tidak menemukan sosoknya. Ia lalu bergegas ke kamar Phineas, menemukan malaikat kecilnya masih meringkuk dengan nyamannya. Dengan hati-hati, Jeremi menutup pintu Phin dan bergegas turun ke bawah.
"Master, kurasa Madam ada di ruang kerja Mrs. Abignale," jelas Bastien melihat kegundahan Jeremi. Rahang Jeremi terlihat mengeras dan matanya terlihat nyalang, membuat Bastien harus segera menangani sang master.
Tanpa pikir panjang, Jeremi menerobos ruang kerja itu. Tidak memedulikan bahwa penampilan khas bangun tidur dengan rambut berantakannya akan mengejutkan orang lain.
Jeremi lalu menemukan sesosok, tidak dua sosok yang bagaikan cerminan bidadari berambut merahnya. Bedanya, satu bidadari itu memakai gaun yang terkesan mahal dan pas di tubuhnya, memberikan kesan anggun dengan rambut yang tergelung dengan rapinya. Sementara bidadari bersurai merahnya, bidadari milik Jeremi, hanya berbalut dengan gaun sederhana berwarna putih.
Jeremi dengan cepat bisa membedakan keduanya. Mengunci mata hazel Wilona dengan matanya. Membuat semburat merah hadir di pipi putih Wilona.
Ya Tuhan. Bagaimana wanita itu masih bisa merona setelah apa yang mereka lakukan semalam?
Jeremi rasanya ingin menggotong Wilona. Mengurungnya di dalam kamar seharian dan memberi pengertian bahwa ia tidak boleh meninggalkan Jeremi seorang diri sebelum ia terbangun.
Alih-alih melakukan apa yang dipikirannya, Jeremi lalu tersadar ketika mendengar deheman dari Mr. Abignale Hurst. Memutuskan mantra yang membuat Wilona masih merona dengan indahnya.
"Er, selamat pagi," katanya dengan suara serak.
Tubuh Wilona bergetar penuh damba mendengarnya. Mengingat bisikan sensual dan suara serak Jeremi yang mendamba memanggil namanya.
Ya ampun.
Apa sih yang ada di pikiran Jeremi sehingga ia bisa turun dengan penampilan berantakan tapi menggiurkan itu. Apalagi saat ini ada Helena di sampingnya.
Bagaimana jika Helena memutuskan menyukainya dan menginginkan Jeremi?
Oh Tuhan. Wilona tidak yakin dapat menang jika harus melawan Helena.
Helena adalah simbol kesempurnaan seorang perempuan bangsawan. Penampilannya nyaris tanpa cela. Membuat Wilona ingin menangis karena jika di bandingkan dengannya, Wilona bukanlah apa-apa.
"Master," peringat Bastien halus. Melihat suasana hening di ruang kerja tersebut.
Jeremi lalu berdeham. Menatap tiga orang di dalamnya satu persatu dan berakhir di wajah Wilona yang sedang menunduk.
"Maaf menganggu. Kurasa aku harus pergi sekarang, dan..." Jeremi masih menatap lekat Wilona, "Wilona, kita harus bicara setelah ini."
Wilona mengangkat wajahnya, menemukan pandangan lega bercampur tatapan penuh cinta yang membuat ketakutannya menguap. Ia mengangguk perlahan dan mengalihkan wajahnya dari Jeremi. Membuat Jeremi bertanya-tanya kira-kira apa yang sedang dipikirkan bidadarinya.
Ah, ia akan mencari tahu nanti. Setidaknya penampilannya harus lebih baik dari sekarang.
Nanti, Jeremi akan memberitahu Wilona tentang ijin khusus itu. Ia akan menyuruh Bastien memanggil pendeta dan mereka akan menjadi suami istri sebelum petang. Ya, itu lebih baik.
Sementara itu suasana di ruang kerja Abignale terasa mencekam. Wilona kembali meremas gaunnya. Merasa dorongan untuk memeluk saudara kembarnya sekaligus mengusirnya.
Persis apa yang Helena lakukan kepadanya empat tahun yang lalu.
"Nah, kau terlihat sehat," ujar Mr. Abignale memecah kesunyian.
"Ya Papa," jawab Helena dengan tenang.
Wilona meringis mendengarnya. Helena benar-benar tenang, berbanding terbalik dengan dirinya yang resah.
Yah, ayahnya pasti senang melihat putri yang sudah lama tidak ia temui dalam keadaan sempurna. Berbeda dengan Wilona dan tingkah membangkangnya selama ini.
Wajar jika Helena bisa menjadi lady yang baik. Wilona mulai berpikir seandainya dulu ia yang berada di posisi Helena... Oh! Wilona benar-benar tidak bisa membayangkannya.
Sedikit banyak, Wilona mempelajari tingkah laku para wanita bangsawan. Bagaimana mereka bertutur, berperilaku, dan bertindak dengan aturan tertentu. Wilona yakin bahwa hal itu tidak dapat ia lakukan.
Jadi, apakah sekarang Wilona tidak lagi merasa hidupnya dulu, sebagai anak dari seorang pendeta adalah sebuah siksaan?
Jawabannya adalah, YA.
Setelah kelahiran Phineas, Wilona merasa menjadi pribadi yang baru. Tidak lagi memendam kemarahan dan sakit hati kepada saudaranya. Tidak lagi membenci ayahnya karena ia kehilangan waktu bermainnya alih-alih membantu sang ayah mengurusi para jemaatnya.
Seandainya saja dulu ia bisa berpikir demikian...
Sayangnya, waktu tidak bisa diputar lagi. Apa yang sudah terjadi pun memiliki andil dalam kehidupannya sekarang. Yang perlu Wilona lakukan adalah memaafkan. Memaafkan Helena, dan juga dirinya sendiri.
Apalagi sekarang ada Jeremi...
Wajah Wilona terasa menanas. Oh bagaimana bisa dengan mengingatnya bisa membuatnya merona sampai seperti ini.
Dan, ya Tuhan. Apa yang mereka lakukan semalam? Itu seolah segel baginya bahwa ia tidak bisa lagi menolak niat baik Jeremi untuk menikah dengannya.
Tapi, apakah Wilona pantas?
Wilona tersentak ketika sebuah tangan halus menyentuh lengannya. Ia menoleh. Bertemu dengan manik mata hazel yang indah di depannya.
"Aku ke sini untuk bertemu denganmu, sister," katanya lembut.
Wilona mencari-cari ke dalam mata hazel itu dan menemukan penyesalan di dalamnya.
"Aku minta maaf kepadamu untuk apa yang dulu kulakukan."
Wilona terpaku. Tersihir karena mata hazel dan merasakan bahwa ia merasa lengkap. Bukan, bukan perasaan yang sama ketika Wilona berada di pelukan Jeremi. Perasaan ini seperti seseorang yang menemukan belahan jiwanya, saudara tempatnya berbagi rahim sejak dalam kandungan sang ibu.
"Aku menyakitimu, Wilona. Maafkan aku," setitik air mata lalu jatuh di pipi Helena. Membuat jantung Wilona terasa dipilin dengan hebatnya.
Tak kuasa menahannya. Wilona bangkit. Menarik Helena dalam pelukannya dan menangis bersama. Oh, rasanya sungguh menakjubkan.
"Ssts, aku sudah memaafkanmu, Helen," bisik Wilona. Membuat Helena semakin tergugu di tempatnya.
Abignale Hurst merasa terharu melihat pertemuan mereka untuk yang pertama kalinya. Ikut bangkit dan memeluk kedua putri tercintanya.
Setelah keadaan lebih tenang, Abignale meminta mereka duduk. Menceritakan alasan mengapa mereka terpisah. Yang pada akhirnya membuat Wilona iri terhadap Helena sementara Helena merasa terbuang, memendam kemarahan dan menyalurkannya kepada Wilona ketika mereka bertemu.
Dua puluh satu tahun yang lalu, Harriet Hurst meninggal setelah melahirkan putri kembarnya. Hal itu membuat Abignale merasa sedih dan bertanggung jawab karenanya, apalagi Harriet adalah putri terakhir Viscount Melville yang menolak untuk dinikahi bangsawan yang melamarnya, alih-alih ia akhirnya menikah dengan Abignale Hurst.
Abignale merasa bahwa ia tidak bisa menjaga kedua putrinya dan saat itulah, pasangan Whitney datang menawarkan bantuan. Mereka memang belum dikaruniai seorang anak dan merawat salah satu di antaranya merupakan keputusan yang bijak saat itu.
Dengan berat hati, Abignale menyerahkan Helena dan berharap hidupnya akan lebih baik sementara dengan segala keterbatasannya, Abignale merawat Wilona. Berusaha memberikan yang terbaik baginya.
Wilona memeluk erat sang ayah. Turut merasakan kehilangan sang ibu. Ayahnya tidak pernah mau menikah lagi, meskipun Wilona memperbolehkannya. Wilona kini tahu sedalam apa perasaan sang ayah untuk mendiang ibunya. Membuat Wilona semakin menyayangi dan merasa bersalah kepadanya. Tapi ia sudah berjanji akan memaafkan diri sendiri, bukan? Maka waktu yang tepat adalah saat ini.
Setelah itu, Wilona memutuskan keluar dari ruang kerja ayahnya. Memberikan waktu bagi Helena dan ayahnya setelah sekian lama tidak bertemu.
Wilona menyeka ujung matanya ketika merasakan sebuah tubuh kecil yang menabraknya.
"Mam, menangis?" tanyanya bingung.
Wilona menggeleng. Mengangkat Phineas dan mencium pipinya. "Tidak sayang. Apa kau lapar?"
Phineas menggeleng. Memberontak untuk diturunkan dan menyeret Wilona ke istal.
"Papa di luar," katanya penuh semangat.
Alis Wilona bertaut. Papa?
Setelah mereka sampai di istal, ia melihat Jeremi yang sedang memasang pelana di atas kudanya.
Dada Wilona merasa tercubit karenanya. Jeremi akan pergi?
Jeremi menghentikan apa yang sedang ia lakukan ketika merasakan tarikan dari belakangnya. Ia melihat Wilona sedang menatap sedih kepadanya. Membuat senyum lebar menghias wajah rupawannya.
Wilona pasti berpikiran buruk mengenainya, membuat Jeremi gemas kepada Wilona. Karena itulah, Jeremi harus segera bergegas. Jeremi lalu mendatangi Phineas, menggendongnya dan berjalan ke arah Wilona.
"Semuanya baik-baik saja?"
"Kau," Wilona berhenti, mengernyit dan menggeleng. "Apakah Anda akan pergi, Milord?"
Senyum menghilang dari wajah Jeremi. Ia lalu menurunkan Phineas yang segera berlari ke arah Mir yang sudah menunggunya di belakang.
"Apa yang kau pikirkan, sweetheart?" Jeremi mengangkat wajah Wilona. Membuat mereka bertatapan.
"Kau akan pergi?" gumamnya.
"Aku akan mencari pendeta dan membawanya kemari. Bastien baru saja terluka, karena itulah aku yang harus melakukannya."
Wilona mengerjap. "Apa yang terjadi dengan Bastien?"
Jeremi tersenyum miring, "Dia hanya terjatuh di istalmu. Berusaha menaklukan Faro yang tampaknya hanya menurut kepadamu."
Wilona mengerjap lagi. "Dia tidak apa-apa?"
Jeremi menggeleng. Merangkum wajah Wilona dengan kedua tangannya.
"Jangan pikirkan pria lain ketika aku ada di sampingmu, My Angel," bisiknya di depan bibirnya. Membuat Wilona merona malu.
"Kau tentu saja ingat apa yang telah kita lakukan semalam, bukan?"
Wilona mengangguk dengan wajah yang terasa semakin memanas.
"Nah, aku pastikan bahwa adik Phineas sedang dalam perjalanan menuju rahimmu. Karena itulah, My Lady, kita harus secepatnya menikah," bisiknya lagi kali ini diakhiri dengan ciuman lembut di bibir merah muda Wilona.
Mereka melepaskan diri lama setelahnya dan Wilona mengantar kepergiannya dengan perasaan yang ringan.
Hari ini rasanya begitu sempurna untuk Wilona. Setidaknya, hingga sore menjelang.
Jared, pengurus istal Wilona datang dengan tergopoh. Peluhnya bercucuran, pakaiannya dipenuhi noda lumpur, dan tampaknya dia baru berlari dalam jangka waktu yang lama. Ia menerobos ruangan kerja Abignale Hurst, tempat Wilona dan Helena kembali berkumpul dan kali ini bersama Phineas.
"Madam, Lord Jeremi terlempar dari kudanya dan terjatuh ke jurang," katanya dengan napas yang masih tersengal.
Wilona merasa buminya berputar dengan hebat di sekelilingnya. Kegembiraan yang ia rasakan menghilang dan tiba-tiba saja dunianya menjadi gelap.
***
12.03.17
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top