Be Mine - Part 6
Warning!
Dedek emesh yang belum cukup umur, sekip dulu ya 😘.
21++
_________________________________________
Wilona terbangun karena mendengar suara guntur bercampur dengan hujan yang lebat. Ranting-ranting pohon yang terlalu dekat dengan jendela, mengetuk kasar jendela kamarnya. Angin yang memasuki sela-sela jendela cukup kencang, mampu untuk memadamkan perapian dan membuat segalanya menjadi gelap.
Ia langsung terduduk. Menyambar jubahnya dan mengenakan sandalnya. Berderap untuk menuju kamar Phineas.
Biasanya, ketika hujan baru turun, Phineas langsung menemuinya, mengetuk pintu kamarnya dan merengek untuk tidur bersama Wilona, mengabaikan seberapa tegasnya Wilona untuk menyuruh Phineas untuk berhenti takut. Tapi dengan wajah memelas dan matanya yang memerah menahan tangis, Wilona akan selalu kalah. Membiarkan malaikat kecilnya meringkuk di dekapannya. Dan hal yang Wilona sadari adalah bahwa tubuh Phineas selalu sedikit bergetar ketika guntur menyambar.
Biasanya, Wilona akan menyanyikan senandung tidur untuknya. Membuatnya melupakan badai di luar sana dan kembali terlelap lama sesudahnya.
Tetapi kali ini Phineas tidak menggedor kamarnya. Wilona tentu saja panik. Phineas bisa saja sedang meringkuk di dalam selimut seorang diri, menangis hebat dan ia tidak ada di sisinya.
Oh Tuhan.
Wilona pastilah ibu yang sangat buruk jika membiarkan itu terjadi.
Wilona semakin mempercepat langkahnya, mengutuk ketika tanpa sengaja hampir terjatuh akibat kakinya yang saling terbelit jubah tidurnya.
Ketika sampai di depan kamar Phineas, ia membuka pintunya cepat. Menajamkan suara apabila mendengar suara tangisannya. Tapi nihil. Ia malah menemui napas berat yang saling bersahutan dengan irama teratur.
Menunggu untuk sesaat, Wilona akhirnya bisa membiasakan matanya ketika melihat kamar Phineas dalam gelap. Phineas terlihat damai, dengan tubuh meringkuk dalam pelukan seseorang.
Jeremi.
Wilona diliputi perasaan hangat saat itu juga. Merasakan pula sesuatu tercubit di hatinya. Phineas tidak akan membutuhkannya jika ia memiliki Jeremi. Benar begitu, kan?
Melangkahkan kakinya, Wilona berputar mengitari ranjang Phineas. Membetulkan selimut Phineas hingga berada di tempatnya dan mencuri lihat kepada dua wajah yang tertidur dengan pulasnya.
Melihat mereka yang tertidur nyenyak, Wilona menduga bahwa semalam pun Jeremi tidur di kamar Phineas secara diam-diam. Karena pastinya Wilona akan menolak jika Jeremi memintanya langsung kepada dirinya.
Tetapi sebenarnya Wilona tidak bisa melarang. Karena Phineas memang anak dari Jeremi, yang Wilona --dengan egoisnya-- sembunyikan. Ia menyimpan Phineas seorang diri ketika seharusnya, Phineas bisa menikmati kasih sayang dari seorang ayah.
Melihat interaksi Phineas dan Jeremi seharian ini, ia semakin sadar bahwa seharusnya ia mengalah demi Phin. Demi kebaikan Phin.
Wilona akan merelakan Phineas kepada Jeremi. Walaupun itu akan terasa mencekiknya.
Lalu dengan perlahan, Wilona pengusap rambut Phineas. Mengecup pipi montoknya dan diam-diam keluar dari kamar Phineas ketika ia merasakan sebuah tangan mencekal lengannya.
Kilat kembali menyambar. Membuat mata emerald Jeremi terlihat menyala dalam kegelapan. Wilona dengan cepat memutuskan kontak matanya, melirik Phineas yang tetap tertidur dengan pulasnya walaupun di luar badai terdengar menggelegar.
"Dia tidak akan terbangun," lirih Jeremi tanpa melepas cekalannya. Ia kemudian berdiri. Menyudutkan Wilona yang tampak rapuh dan hanya menggunakan baju tidurnya.
Jeremi menelan ludahnya susah payah. Rambut merah Wilona tergerai dengan indahnya hingga menyentuh punggungnya. Wajah khas bangun tidurnya terasa menyenangkan untuk dan lihat dan aroma tubuhnya... hmm, Jeremi terbangun karena mencium aroma manis yang menguar dari tubuh Wilona. Membuat hasratnya seketika terbakar. Pemandangan visual yang ia dapatkan kemudian tidaklah membantu memadamkan hasratnya, malah menambah bara api yang semakin mengobarkannya hingga maksimal.
Ia harus menghitung sampai sepuluh sebelum mencekal lengan Wilona. Meyakinkan diri bahwa ia tidak akan menyerangnya di kamar Phineas.
"Kita bicara di tempat lain," ujar Jeremi ketika melihat manik hazel itu lagi-lagi melihat ke arah Phineas.
Oh ya, Phineas memang benar anaknya. Bahkan ketakutannya akan guntur dan kilat adalah apa yang selalu menjadi momok menakutkan bagi Jeremi ketika kecil. Sampai akhirnya ia mendapatkan seorang adik, barulah Jeremi belajar untuk berani dan ia rasa, Phineas membutuhkan adik. Jeremi tentu dengan senang hati akan memberikannya.
Melihat keraguan di mata bidadari bersurai merahnya, Jeremi akhirnya menariknya. Membawanya ke dalam kamarnya yang berada tidak jauh dari kamar Phineas.
Mr. Abignale Hurst bisa Jeremi katakan adalah sekutunya. Ia memberi sebuah kamar, walaupun bukan yang terbaik, tapi jelas hal yang paling baik bagi Jeremi. Bagaimana ia bisa mengeluh jika mantan pendeta baik hati itu menempatkan Jeremi dalam satu lorong bersama Phineas dan Wilona. Seolah memberi jalan baginya untuk masuk ke dalam hidup mereka.
Jeremi bisa merasakan tubuh Wilona yang menegang ketika ia membuka kamarnya. Menutupnya dengan sekali sentak dan menguncinya di detik berikutnya.
"A-apa yang Anda lakukan, My Lord." Wilona melepaskan cekalan tangan Jeremi. Meraih gagang pintu yang sudah diamankan Jeremi. Ia bisa saja berteriak, tapi Wilona yakin badai di luar sana akan meredam teriakkannya.
Kemudian ia merasakan hembusan hangat di lehernya. Membuatnya menggigil dan merapatkan jubahnya.
Ia harus bertahan.
Wilona berputar. Dengan gerakan kecil menghindar dari kungkungan Jeremi dan berada sejauh mungkin darinya.
Tapi gerakannya kalah cepat, karena sedetik kemudian Jeremi berhasil menangkapnya. Memeluknya dari belakang dan membenamkan wajahnya di lekukan leher Wilona.
"My Lord," pekik Wilona ketika merasakan napas Jeremi menggelitik lehernya.
"Stss, sudah sejak tadi pagi aku menginginkannya," ucap Jeremi parau.
"A-aku..." Wilona membasahi bibirnya. Memejamkan mata dan berusaha menguatkan tekadnya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Mengenai Phineas."
Senyum terukir di wajah Jeremi, dan Wilona bisa merasakan bibir Jeremi yang tertarik di lehernya.
"Kau harus melepasku agar kita bisa berbicara, My Lord!" tekan Wilona lagi.
Jeremi melenguh kesal. Memberikan gigitan ringan di garis yang memisahkan leher dan pundaknya. Membuat Wilona tercekat, sebelum akhirnya memutuskan untuk melepaskannya.
Jeremi kemudian menarik Wilona duduk dengan dia yang kemudian menempatkan diri di depannya.
Jika Wilona ingin bicara, maka itu yang akan mereka lakukan. Setidaknya sampai mulut manis Wilona hanya bisa meneriakkan namanya dan menjeritkan kenikmatan bersamanya. Oh, Jeremi tidak sabar menantikannya.
Jeremi bangkit sebentar. Menambahkan kayu ke dalam perapian, cukup menjadi penerang dan kobaran kecilnya, membuat suasana seintim mungkin.
Mrs. Chloe benar bahwa akan datang badai. Karena itulah para pekerja harus mengatur agar setiap kamar mendapatkan pasokan kayu bakar untuk satu malam penuh. Namun Wilona tidak pernah beranggapan bahwa nyala kecil dari perapian di sudut ruangan akan memberikan efek sensual yang kental. Atau barangkali, Jeremi lah yang membuat udara diliputi sensualitas.
Wilona menelan ludahnya susah payah. Berdehan dan sebisa mungkin menghindari mata emerald di depannya.
"Yang kau katakan, benar," tukas Wilona langsung.
Jeremi menaikkan satu alisnya. Menunggu kata-kata lainnya keluar dari bibir menggoda itu. "Phineas memang membutuhkan ayahnya."
Senyum lebar kemudian menghiasi wajah rupawan Jeremi. Ia akan memberikan apresiasi berupa pelukan dan mungkin cumbuan kepadanya ketika Wilona mengatakan, "Phin akan lebih nyaman hidup bersamamu. Dan kupikir itulah yang terbaik untuknya."
"Benar. Kita bisa hidup nyaman di mansionku."
Wilona mengernyit. "Tidak My Lord, aku tetap tidak akan menikahimu. Tetapi Phin akan ikut bersamamu."
Rahang Jeremi seolah terjatuh ke bumi. "Apa maksudmu?" desisnya tajam.
Wilona meringis mendengarnya. Memberanikan diri menatap langsung manik emerald yang menatapnya dengan nyalang.
"Aku sudah berpikir dan memang benar hidup Phineas akan lebih mudah jika ia bersamamu. Aku, tidak selalu bisa memberikan yang terbaik kepadanya. Dan walaupun akan membunuhku-" suara Wilona melemah untuk sesaat, ia lalu mengangkat dagunya tinggi, "seperti yang sudah kubilang bahwa Phin akan lebih bahagia bersamamu."
Wilona mungkin berkhayal merasa mendengar geraman. Tapi kemudian kedua bahunya direnggut dengan paksa, namun anehnya terasa lembut. Dalam sekali sentak, Wilona berdiri di depan Jeremi yang masih terlihat nyalang. Dan, oh, suara geraman itu terdengar jelas dari Jeremi.
"Berhentilah mengatakan semua omong kosong itu!" ujar Jeremi lantang. "Kau akan menikah denganku, tinggal bersamaku dan Phineas di estatku," tambahnya penuh keyakinan di setiap patah katanya.
"Tidak!"
"Ya! Kau akan melakukannya dan aku akan memastikannya," itu adalah ucapan terakhir yang bisa Wilona dengar karena di detik selanjutnya, bibir Jeremi sudah sibuk dengan bibirnya. Meraup, menggigit, menghisap dan melumatnya. Membuat Wilona merintih dan membuka mulutnya yang langsung di invasi oleh Jeremi.
Kedua lengan Jeremi sudah mengunci Wilona. Tidak membiarkan ada jarak di antara mereka.
Diam-diam jemari Jeremi membuka kancing di bagian belakang baju Wilona, menariknya melalui bahunya dan karena ketidaksabarannya, merobeknya menjadi dua dan dengan cepat teronggok di lantai.
Pikiran Wilona terasa mengabur. Tidak menyangka bahwa dirinya kini hanya berbalut baju dalam katunnya yang tipis. Oh tidak, Jeremi telah merobek bajunya tanpa disadarinya.
Ia ingin protes dan mendorong tubuh Jeremi ketika tangan Jeremi, dengan ahli bermain di dadanya sementara tangan yang lain masuk di dalam baju dalamnya. Mengelus kulit telanjang Wilona hingga ia menggila, merintih karena menginginkan lebih.
Ia mungkin sudah gila ketika merasakan tubuhnya terangkat dan detik selanjutnya Jeremi sudah berada di atasnya. Masih melumat bibirnya sambil kedua tangannya bermain di sekujur tubuhnya.
"Oh My God, kau begitu indah," ujar Jeremi serak ketika akhirnya ia bisa meloloskan kain terakhir di tubuh Wilona. Membuat Wilona polos seperti bayi. Dengan kulit yang merona merah dan napas yang naik turun, ia terlihat seperti fantasi Jeremi selama ini. Surai merahnya menyebar di atas ranjangnya. Sayangnya, saat ini mereka tidak berada di mansion Jeremi, tapi ia tidak akan protes karena saat ini pun ia bersyukur karena masih bisa merasakan hangat tubuh Wilona.
"Katakan kau menginginkanku, karena kau lah yang selalu kuinginkan sejak empat tahun yang lalu, My Angel," bisik Jeremi serak di telinga Wilona.
Wilona menarik napasnya. Merasa kepayahan dengan belaian Jeremi dan napas hangatnya yang menerpa pipinya. Jeremi tidak lagi melumatnya dan ada rasa kehilangan di diri Wilona.
Wilona rasanya benar-benar sudah gila. Berbaring telanjang di ranjang Jeremi untuk kali kedua dengan Jeremi yang masih menggunakan celana tidurnya. Wilona bahkan tidak ingat kapan Jeremi melepas atasannya.
Wilona rasanya ingin menutupi tubuhnya, tapi melihat tatapan mendamba di mata Jeremi akhirnya membuat rasa malunya menguap. Ia, untuk pertama kalinya merasa diinginkan.
Karena tidak mendapat tanggapan dari Wilona, Jeremi kembali memagut bibirnya. Sementara kedua tangannya bermain di gundukan kenyal Wilona. Setelah puas dengan bibirnya yang telah membengkak, Jeremi turun, meraup kedua dadanya dan tangannya. Melakukan sihirnya kepada Wilona.
Tangannya mengembara hingga ke pusat sensitifnya. Bermain. Mengelus. Menggodanya. Wilona lalu memekik ketika merasakan jemari Jeremi memasukinya dengan perlahan. Membuatnya terbuai sementara bibirnya masih saja bermain di dadanya.
Ini adalah siksaan ternikmat yang pernah Wilona alami. Ya Tuhan.
Wilona hampir meledak ketika Jeremi menarik jarinya. Membuat erangan frustrasi di bibir Wilona dan membuat Jeremi tersenyum dengan nakalnya.
"Katakan, My Love. Katakan apa yang kau inginkan?" katanya dengan jemarinya yang mengusap titik sensitifnya. Mengipasi gairah yang belum terpuasakan oleh Jeremi.
"Ooh, please."
"Katakan kau akan menikah denganku, dan aku akan memberikannya kepadamu. Hanya kepadamu, Wilona."
Wilona memejamkan matanya. Pikirannya berkabut dan ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Namun gagal ketika jari jemari ahli Jeremi dan bibirnya kembali bermain di tubuh Wilona.
Ia kembali berteriak protes ketika hampir meledak dan lagi-lagi, Jeremi menarik diri.
"Oh. Sial kau Jeremi," ujarnya frustrasi.
"Jadi, apa jawabanmu?" bisiknya sensual di bibir Wilona. Tatapan mereka bertemu dan Wilona rasanya sudah tersesat di manik emerald itu.
"Baiklah. Aku akan menikahimu," lirih Wilona membuat Jeremi tersenyum lebar dan segera melepas celananya.
Apa yang selanjutnya terjadi adalah mereka yang saling berlomba memberi kepuasan kepada satu sama lain. Saling meraba, menyentuh, merasakan satu sama lain. Hingga untuk kedua kalinya, akal mereka menghilang dan dunianya hanya diliputi oleh satu sama lain.
Keesokan paginya, ketika badai sudah berhenti, Wilona terbangun dengan tubuh Jeremi yang membelitnya. Wajahnya langsung memerah mengingat berapa kali mereka memuaskan satu sama lain, tadi malam. Dengan perlahan, ia melepaskan diri dari belitan Jeremi. Mengambil pakaiannya yang terkoyak dan memakai mantel Jeremi untuk menutupi tubuh telanjangnya.
Ia masih harus bertanggung jawab untuk jalannya penginapan hari ini, dan itu berarti harus menemui Mrs. Chloe untuk memeriksa bahan makanan yang tersisa.
Wilona mandi dengan cepat, kembali merona ketika melihat bekas kemerahan yang tercetak karena ulah Jeremi di sekujur tubuhnya. Ketika akhirnya ia sudah rapi dan turun ke bawah, ia mendengar suara deritan kereta kuda di depan pintu penginapannya.
Masih terlalu pagi bagi ayahnya turun ke bawah, maka Wilona pun akhirnya memilih melihat tamu yang mungkin membutuhkan bantuannya.
Dan begitu saja, rasanya dunianya berhenti berputar ketika melihat sosok dengan rambut kemerahan dan mata hazel yang sama, berdiri dengan anggunnya di depannya.
Helena. Dia ada di sini.
***
08.03.17
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top