19 - Raffa Tidak Terima, Bung!
One Time - Justin Bieber
"Menunggumu balas mencintaku, bagai menunggu senja di bulan November." -Aku,
sang penulis.
-Cool Bad Boy
*****
"Woy, Kinara! Pr nya bu Nadia udah belum lu?" Kinara yang sedari tadi menulis pun kini mendongkakan kepalanya. Memutar mata malas dan mendengus menatap Anggita yang ada di hadapannya.
"Menurut lo?! Lo gak liat apa, gue juga lagi ngerjain kali." Balas gadis itu. Anggita berdecak.
"Makanya jangan ngapel mulu lo sama si Raffa, pr nya jadi lupa deh." Ledeknya sembari menaruh tas di atas meja.
"Yang jomblo mah diem aja ya." Balas Kinara santai namun cukup tajam.
"Sialan lo!"
"Hahaha."
Anggita beberapa kali menyikut lengan kiri Kinara membuat gadis itu sedikit terusik sampai akhirnya berkata, "Apa sih Git?! Ibu Nadia bentar lagi masuk nih, sedangkan gue belum ngerjain tugasnya. Lo mau sahabat lo ini disuruh jagain gerbang bareng mang ujang di depan kayak si Maman waktu itu? Ha?" Cercosnya panjang lebar. Anggita tidak menanggapinya. Dia lurus menatap ke depan.
"Boleh gue duduk bareng Kinara?" Suara yang sudah familiar di telinga siapapun. Raffa. Dengan seragam yang masih samanya---berantakan---ia berdiri di depan meja Kinara juga Anggita.
"Ok. Ta-tapi nanti gue duduk sama siapa?" Tanya Anggita. Raffa mengidikan bahunya tidak peduli. Seharusnya Anggita tahu kalau Raffa hanya akan menjawab pertanyaan dari pacarnya saja, alias si Kinara. Dengan gontai gadis itu menggendong kembali tasnya dan menghampiri meja yang masih kosong untuk ditempati.
"Git, ama si Geri aja!" Teriak salah seorang siswa seraya menahan tawanya.
"Ogah! Yang ada gue sesek napas sebangku ama dia." Sahutnya. Geri itu badannya awesome jadi kalau mau duduk sama dia harus siap desak-desakan kayak di metro mini.
"Lah ente pikir ane mau? Nauzubilah ane sebangku ama cewek rempong macem ente!" Geri yang merasa tak terima dengan sahutannya Anggita pun membalas dengan logat khas betawinya.
"Eh anjir si gentong, awas ya lo entar." Tunjuk Anggita pada Geri. Semua murid kelas 12 IPA 3 hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menyaksikan kelakuan teman-teman mereka yang rupa-rupa.
Sampai akhirnya dia memutuskan untuk duduk di bangkunya Adrian.
"Ngapain lo kesini?"
"Si bego, ya tanya temen lo lah si Raffa! Ngapain juga dia duduk di bangku gue. Yaudah gue pindah kesini." Kata Anggita tak acuh sambil mengambil buku dan alat tulisnya.
Percakapan antar muridpun terhenti saat bu Nadia masuk. Suara ketukan high heelsnya menggema di seluruh penjuru kelas.
"Baca doa dulu." Ucapnya. Sang ketua murid langsung sigap mengangguk.
"Sebelum belajar marilah kita baca doa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, baca doa dimulai."
Hening beberapa menit.
"Tidak ada kata selesai. Beri salam."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Gimana tugasnya, sudah kalian kerjakan." Guru sastra indonesia itu pun langsung bertanya demikian.
Semua siswa mengangguk. Kecuali Kinara. Mengangguk sih tapi ragu-ragu. Membuat ibu Nadia penasaran dan ujung-ujungnya nama gadis itu jadi dipanggil.
"Kinara,"
'Mampus gue! Mana baru seperempatnya lagi.' Batinya berteriak gusar.
"Kamu sudah?"
"Ngh,,belum bu." Setelah menjawab seperti itu teman-temannya menghembuskan nafas pasrah mereka. Kinara mengerti maksud dari tatapan teman-temannya.
'Kenapa lo bilang sih?!'
Ya, kira-kira begitulah. Habisnya Kinara tidak punya pilihan. Lebih baik dia jujur saja daripada harus berbohong, apalagi di depan doi. Malu atuh.
"Bagus. Sekarang, kamu keluar terus berdiri di depan tiang bendera. Dan jangan lupa, hormat." Katanya di akhiri dengan senyuman manis. Saking manisnya saat di lihat jadi serem banget.
"Loh, ibu kan biasanya cuma nyuruh jaga di depan gerbang bareng mang Ujang, kenapa sekarang malah disuruh berdiri di lapang?" Protes salah satu murid yang tak lain dan tak bukan adalah si Prima, karibnya Kinara.
"Iya, Bu."
"Iya bener tuh Bu." Sahut yang lainnya.
"Oh, kalian mau ibu hukum juga?" Seketika kelas menjadi hening. Tidak ada yang berani membuka suara. Sampai pernyataan Raffa membuat semuanya kaget.
"Saya mau Bu." Begitu ucapnya dengan wajah datar. Pandangan bu Nadia langsung tertuju pada cowok brandalan satu itu.
"Kamu yakin? Yasudah, sekarang kalian berdiri di lapangan sana sampai bel istirahat selesai."
Ica berbisik kepada Bella, "Istirahat? Gila kali tuh guru. Istirahat kan masih empat jam lagi. Sedangkan pelajarannya cuma satu jam."
"Hei! Kalian berbisik apa?" Tegur bu Nadia. Ica tergagap tapi tetap menjawab. "Tidak ada Bu."
"Kalian berdua. Tunggu apalagi, cepat selesaikan hukuman kalian sebelum ibu tambah." Nada bicara bu Nadia terkesan angkuh. Raffa yang mendengarnya menggeram marah.
Dengan perasaan kesal Raffa bangkit dari duduknya dan langsung menarik tangan Kinara keluar kelas. Ibu Nadia berdecih.
"Anak jaman sekarang. Dibutakan oleh cinta." Dan kata-kata itu masih terdengar jelas oleh indera pendengaran Raffa maupun Kinara.
****
"Kamu masih kuat gak?" Raffa bertanya kepada gadis di sebelah kirinya. Kinara mengadah lalu menganggukkan kepalanya.
"Kuat kok."
"Yakin?"
"Iya." Lalu hening lagi. Kinara tahu ini salahnya maka dari itu dia harus memulai pembicaraan sambil meminta maaf.
"Maaf ya, gara-gara aku kamu ikutan dihukum. Padahal kamu bisa aja ikut pelajarannya bu Nadia sekarang ini kalo kamu gak ngomong kayak tadi." Tuturnya.
"Buat aku gak masalah aku gak ikut satu pelajaran, asalkan aku bisa sama kamu." Katanya dengan wajah yang biasa. Maksudnya tidak ada ekspresi menggoda seperti kebanyakan cowok kalau sedang menggombal.
Itulah kelebihan Raffa, dia selalu mengatakan sesuatu dengan wajah biasa saja akan tetapi mampu membuat hati siapa saja bergetar.
Ingin rasanya Kinara membalas kata-kata Raffa. Tapi kepalanya mendadak pusing sekali. Di susul pandangannya yang mulai buram dan pendengarannya pun ikut tidak jelas.
"Ra? Kinara? Are you okay?"
Bruk!
Tubuh gadis mungil itu limbung begitu saja. Sebagai seorang lelaki Raffa sudah sigap membopong tubuh Kinara ke UKS. Wajahnya terlihat panik sekali.
"Semoga kamu baik-baik saja." Tidak pernah Raffa sepanik ini kepada seorang perempuan terkecuali Ibunya. Bahkan Neyla sekalipun, ia tidak pernah. Tapi Kinara, gadis itu berhasil membuat hatinya gusar.
****
Reset - Mad Soul ft Jinsil (rock ver.)
Gadis itu memegangi kepalanya yang terasa berat. Mengerjap kan matanya berkali-kali.
"Nghh...gue dimana? Kenapa kepala gue sakit banget?" Keluhnya lagi.
"Astaga Kinara! Akhirnya lo sadar juga." Ica menghampiri Kinara di ranjang UKS. Disusul dengan Prima, Bella dan Anggita.
"Gue kenapa Ca?"
"Lo tadi pingsan gara-gara kelamaan dijemur di lapang." Bella menjawab pertanyaan yang dilontarkan Kinara untuk Ica.
"O ya? Terus, sekarang Raffa dimana?" Kinara mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan tapi tidak menemukan sosok cowok jangkung satu itu.
"Itu dia masalahnya!" Prima sedikit berteriak.
"Ada masalah?" Tanya Kinara lagi dengan alis mengerut. Mereka bereempat mengangguk serempak.
"Ini gawat Ra, gawat! Raffa, dia sekarang berantem sama bu Nadia!" Anggita menjelaskan dengan wajah paniknya.
"Apa?! Serius lo? Dimana?"
"Serius! Mereka di ruang guru. Lo bisa kan susul si Raffa? Karena kita yakin cuma elo yang bisa berhentiin amarahnya si Raffa."
Kinara mengangguk mantap. Tentu, tentu dia bisa. Dengan sekuat tenaga gadis itu bangkit dari ranjang dan menyusul Raffa yang ada di ruang guru.
****
Matanya memerah. Urat-uratnya menonjol keluar. Menggeram marah menatap wanita paruh baya yang ada di depannya. Adrian dan Ivan memegangi bahu Raffa agar cowok itu tidak kelepasan.
"Saya hargai Anda sebagai guru. Tapi apakah seorang guru tega membiarkan muridnya kepanasan selama empat jam!" Raffa berteriak di hadapan ibu Nadia.
Guru sastra itu hanya memasang wajah seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi dalam hatinya ia sungguh takut melihat amarah murid yang bernama Raffa tersebut. Dia tahu betul kalau Raffa itu adalah biangnya tawuran. Biangnya masalah. Anak nakal yang sering tawuran. Tapi dia tidak pernah melihat langsung bagaimana muridnya itu marah. Mungkin inilah ekspresi Raffa saat dia sedang bertarung dengan lawannya.
"Saya hanya memberikan hukuman yang wajar kepada murid saya. Bagi saya itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan."
"Memang. Tapi cara Anda, ibu Nadia yang terhormat, itu sungguh salah . Begitukah Anda mendidik murid agar menaati peraturan? Memangnya tidak ada cara lain? Anda adalah seorang wanita, saya yakin Anda juga bisa merasakan apa yang Kinara rasakan." Raffa berdesis. Menahan amarahnya yang sudah memuncak.
"Ck ck. Anak jaman sekarang itu dibutakan karena cinta! Begini saja sudah marah." Ucapan ibu Nadia itu membuat Raffa kembali memanas.
Raffa memberontak namun teman-temannya mencekal bahunya erat-erat. Bahkan beberapa guru juga ikut memeganginya.
"Sudahlah nak Raffa, sudah. Ini hanya masalah kecil tidak usah diperbesar." Pak Isak, guru agama kelas sepuluh itu mencoba menenangkan Raffa.
"Bukan saya yang buta karena cinta, tapi Anda yang tidak paham bagaimana caranya memperlakukan murid seharusnya!"
"Raffa udah Raff, tenangin diri lo." Adrian bergumam di belakang Raffa.
Kinara menorobos masuk di antara kerumunan siswa-siswi disana. Gadis itu langsung berdiri di samping Raffa. Dia sempat melirik kearah bu Nadia yang wajahnya sedikit memerah.
"Raffa udah yuk, kita pulang." Gadis itu berbisik. Tapi bisikannya tak diindahkan oleh Raffa.
"Kamu itu harusnya sopan terhadap guru! Bukan malah melawan."
"Saya tidak peduli Anda seorang guru. Bahkan dosen sekalipun saya tidak peduli! Kalau Anda salah, ya tetap salah. Mau jadi apa negara ini kalau guru yang salah saja dibela!"
"Raffa sudah! Kita bicarakan lagi ini setelah sepulang sekolah." Pak Wijaya selaku kesiswaan di sekolah Bakhti Utama angkat bicara.
"Dan untuk para siswa yang ada di luar, silahkan kembali masuk ke kelasnya masing-masing." Lanjut Pak Wijaya. Siswa-siswi yang bergerombol seperti semut itu kini membubarkan diri sambil menyoraki.
"Ah payah!"
"Gak seru!"
"Wooohh.."
"Hey sudah sudah! Kalian mau saya point?"
Tentu saja mereka tidak mau. Dan akhirnya dengan terpaksa mereka kembali ke kelasnya masing-masing. Padahal jarang sekali mereka menyaksikan langsung perdebatan antar guru dan murid.
"Termasuk kalian." Pak Wijaya menunjuk teman-temannya Raffa dan juga Kinara.
"Kami pak?" Tanya mereka serempak. "Iyalah kalian. Cepat masuk kelas!"
Sedangkan di sisi lain Kinara masih setia berdiri di samping Raffa. Memegangi lengan kiri cowok itu sesekali mengusapnya.
"Ayo Raff, kita balik ke kelas."
"Tunggu." Raffa menjeda, "Bu, saya harap ke depannya ibu akan lebih bijak dalam mengambil keputusan. Lebih dipikir terlebih dahulu. Terimakasih."
Tanpa kata lagi Raffa menarik diri keluar ruangan sambil menggandeng tangan Kinara yang sudah bernapas lega.
Dia seperti temeng bagiku. Seperti sebuah perisai yang bersinar kala lawan mengacungkan pedangnya untukku. Aku harap dia akan selalu menjadi perisai ku sampai kapanpun.
-Kinara, 18-11-2016. Di sekolah sesudah kejadian.
~♡×♡×♡~
Author Note:
Sebelumnya aku mau terimakasih karena selalu nungguin cerita aku yang memang aneh ini. Tapi ada tiga hal yang perlu aku sampaikan buat kalian. Pertama, jangan terlalu berharap cerita ini akan begitu bagus. Aku tahu kalau aku ini masih amatiran, bahkan sangat amatiran jadi jangan terlalu berharap cerita aku ini bakalan seperti apa yang kalian inginkan. Ini aku, ceritaku, dengan segala imajinasi liar yang tidak tentu lalu aku tuangkan kedalam suatu cerita. Kedua, aku minta maaf karena aku belum berhasil menciptakan karakter tokoh. Itu karena ini pengalaman pertamaku. Ketiga, soal quotes, aku tahu semua quotes itu ga nyambung ataupun absrud. Tapi seenggaknya itu adalah murni quotes dari pikiran aku sendiri:) Jadi aku minta partisipasi dari kalian ya(: entah itu dalam bentuk komentar maupun voting. Atau bahkan tidak kedua-duanya. Tapi hargailah usaha seorang penulis dengan tidak menjiplak karya mereka. See ya❤❤❤❤❤
Oh iya, doain aku ya semoga hasil UASnya memuaskan buat aku yeay!❤❤❤
To be continued,
Love, LuluAra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top