05 - Pertemanan [r]

[Play your favorite song about friendship]

"Pelangi tidak akan indah jika hanya memiliki satu warna. Begitupun persahabatan, tidak akan berarti jika tidak ada yang berbeda." -Cool Bad Boy

****

Kedua sahabat Raffa, Adrian dan Ivan, berdebat sengit di sampingnya. Entah memperdebatkan apa, yang pasti Raffa yakin itu adalah hal tidak penting.

"Yan, coba tebak, kucing kalo turun apanya duluan?" Ivan menyenggol lengan Adrian. "Basi ah," balasnya.

"Yee, bego lo ah, gitu aja kagak bisa jawab." Ledek Ivan.

"Kucing turun di mana-mana itu naik duluan." Bukan Adrian yang menjawab, melainkan Raffa.

Ivan menunjuk Raffa, sementara matanya menatap Adrian. "Noh! Si Raffa aja tau."

"Giliran gue yang nanya. Lebih seksi mana, Hyorin apa emak lo?"

"Ya-- " Ivan diam sebentar. Dia bingung mesti memilih yang mana.

"Mampos anjing, dia bingung sendiri." Naufal menyahut.

Ivan langsung menabok tengkuk Naufal dongkol. "Ye, setan. Iyalah, pertanyaannya gitu, jelas gua bingung."

"Halah, banyak alasan kamu, Mas!" Adrian berujar dengan nada yang dibuat se-dramatis mungkin.

"Allahuakbar, jijik gua liat lo." Ivan lagi-lagi menabok. Kali ini pipi Kanan Adrian yang kena sasarannya.

"Aduh, setan! Lo mah maen nabok mulu, sini gue bales," Adrian menarik kepala Ivan menuju ke ketiaknya. Setelah itu membiarkan Ivan menghirup aroma keringat bekas olahraga basket tadi.

"Babi, lo! Lepasin gua, goblok! Disini bau banget sumpah demi Allah!" Suara Ivan tidak jelas. "Ngomong ape lo, bahlul?"

Segera Ivan mendorong tubuh Adrian agar jauh-jauh darinya. "Gila, itu ketek apa tempat sampah? Baunya naudzubilah,"

Ivan memukul-mukul Adrian beberapa beberapa kali. Awalnya lelaki tersebut mengelak, namun, lama-lama pukulannya makin keras. Jadilah kedua cowok itu berantem di tengah lapang sana.

"Gue pegang Ian, ya." Ujar Naufal sembari terus memperhatikan ke tengah lapang. "Kalo gue pegang si Ivan. Gue yakin, bentar lagi dia pasti bakalan kalah. Liat aja," Lanjut Naufal.

Bruk.

"Anjing lo, Yan, ah!" Ivan tersungkur di bawah ring basket. Dia terus mengusap bokongnya yang terasa panas akibat menyentuh permukaan lapangan yang kasar.

"Ini sakit bego! Gue kan niatnya cuma mau bercanda, lo malah jatuhin gue beneran. Tau gitu, gue adu jotos aja sama lo, biar sama-sama kena imbasnya." Aku Ivan pada Adrian.

Adrian cuma tertawa kemenangan melihat itu, "gue sih sabodo amat nyet,"

"Gue bilang juga ape, si Ivan pasti kalah. Iya gak, Raff?"

"Iyalah, maennya aja kaya bocah SD." Kalau ditanya siapa yang paling jago berantem, jawabannya sudah pasti Raffa.

Waktu Raffa kelas 11, dia sering sekali turun ke jalanan bersama ketiga temannya, Ivan, Naufal dan Adrian. Tapi, sekarang kegiatan tawuran tersebut sudah jarang mereka lakukan karena sudah digantikan oleh junior. Dan biasanya, Empat Sekawan turun kalau lawannya memang berat.

Perlu dicatat, Bakthi Utama selalu unggul dalam berperang. Itu semua berkat Raffa dan kawan-kawannya.

***

Kinara fokus mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. Sejenak, ia melirik Anggita yang sedang membaca novel.

Tidak berselang lama, teman sebangku Kinara itu menyudahi aktifitas membacanya. Dalam hati Kinara mengeja judul novel tersebut, 'Summer In Seoul'

"Gue boleh nanya, gak?" Anggita bersuara sambil menolehkan kepalanya ke samping.

"Boleh dong, nanya apa emang?"

"Lo, kenapa bisa bareng sama Adrian tadi pagi?" Kinara mengangkat alis, bingung. Kenapa semua orang menanyakan hal itu? Apa salah kalau Kinara nebeng sama tetangga barunya sendiri?

"Karena dia tetangga gue. Dan gue 'kan murid baru, jadi gak tau dimana letak sekolah." Jelas Kinara. Mata sayunya memandangi Anggita balik.

"Oh, gitu... Pantesan! Emangnya lo enggak tau Adrian itu siapa?" Tanya Anggita. "Tetangga gue," jawab Kinara polos.

Anggita tertawa renyah, "lo tuh lucu, ya. Maksudnya bukan itu."

"Terus, apa dong?"

"Ya, pokoknya lo liat aja nanti. Sarang mereka disini kok."

Walau bingung, Kinara cuma manggut-manggut saja.

"SELAMAT PAGI, ANAK-ANAK! GIMANA KABARNYA? BAIK 'KAN? SUDAH MELIHAT MENTARI PAGI HARI INI? PASTI UDAH DONG, YA, HEHE."

Rahang Kinara turun beberapa senti ke bawah. Ia kira, guru dengan wajah bengis itu adalah tipe guru yang killer terhadap siswa-siswinya. Nyatanya, dugaan Kinara salah seratus persen.

"Itu Pak Rohimat, guru yang cerianya minta ampun." Anggita berbisik. Mulut Kinara membentuk huruf 'O'.

"BAIK, PAK ROHIMAT... "

"Good!"

Hening.

Guru kesenian tersebut tiba-tiba menepuk tangannya satu kali, membuat semua siswa jadi kaget.

"Oke! Kita lanjutkan materi yang minggu kemarin. Ayo, ayo, dibuka dibuka buku catatannya."

"Iya, Pak." Seru semuanya seraya mengambil buku masing-masing.

"Lo enggak usah cengo begitu, ikutin aja alurnya." Ujar Anggita pelan.

Kinara menganggukan kepala, "iya."

Beberapa detik setelah itu, pintu kelas ada yang mengetuk dari luar.

Tok tok tok

"Assalamualaikum,"

Kemudian, munculah empat cowok dengan seragam tidak rapi dari balik pintu. Yang tiga cengengesan, yang satu lagi memasang wajah datar.

"Eh, ada Pak Rohimat yang ganteng." Adrian menyapa dengan gaya tengilnya.

"Bapak apa kabar? Sudah liat mentari yang cerah 'kah pagi ini?" Ivan ikut-ikutan menyapa dan tersenyum lebar.

"Kalian ini! Udah telat, ngeledek saya lagi!"

"Etdah, yang ledek siapa sih, Pak?" Kata Adrian lagi.

Telunjuk Pak Rohimat mengudara, "kalian! Pake hanya lagi,"

"Si Bapak, suka bener kalo ngomong." Disengaja atau tidak, yang pasti Raffa berhasil membuat Pak Rohimat menahan amarah.

"Mau sampai kapan kalian terlambat di pelajaran saya?! Enggak capek apa, bolos terus?!"

"Enggak, Pak." Jawab mereka serempak.

"HEH!"

Bagi anak kelas 12 IPA-3, melihat Empat Sekawan dimarahi oleh guru adalah hal yang biasa. Bahkan, semua murid di SMA Bakhti Utama sudah hafal betul tabiat-tabiat Raffa dan ketiga temannya itu.

Menghembuskan nafas beratnya, akhirnya Pak Rohimat berhasil menstabilkan rasa kesalnya.

"Kali ini, kalian boleh masuk kelas saya, asalkan dengan satu syarat, jangan ribut!"

Sebenarnya, Pak Rohimat itu sangat baik dan ramah. Jarang memarahi murid-murid. Cuma kalau muridnya sudah keterlaluan seperti Raffa, Adrian, Ivan dan Naufal, ya, mau enggak mau Pak Rohimat juga naik tensi.

"Bener nih, Pak? Asik!" Ivan tidak tahu malu melengos begitu saja. Pak Rohimat segera menarik kerah belakang baju anak itu.

"Et, et, kamu tuh, bilang makasih dulu sama Bapak."

Ivan nyengir, "makasih, Pak... "

"Yang lainnya juga," Pak Rohimag nawar.

Adrian memberi kode kepada teman-teman sekelasnya lewat gerakan tangan.

"MAKASIH, PAK... " Guru kesenian tersebut langsung terlonjak kaget. Niatnya minta terimakasih dari tiga orang, malah satu kelas menjawab.

Ivan berjalan paling depan, sementara ketiga teman lainnya di belakang. Dan posisi Raffa ada di posisi paling terakhir.

Begitu melewati meja Anggita, matanya tidak sengaja bertabrakan dengan mata sayu Kinara.

Langkah Raffa seolah berat, perhatiannya tercuri oleh si murid baru. Jantung lelaki itu berdegup tidak karuan.

'Dia... '

Kinara yang sama sekali tidak tahu apa-apa, hanya mengikuti gerakan Raffa. Bahkan, Kinara sampai menahan nafas saking mengintimidasinya tatapan dari Raffa.

"Ra, Kinara, nafas!"

"Hhhhh.... "

"Cie, Raffa, love at the first sight sama murid baru, cihuy!" Ceplos salah seorang siswa yang duduk di sudut pojok sebelah ujung.

Mata Raffa melotot ke arah Maman. Lewat sorotan itu Raffa seperti berkata, 'diem lo, setan.'

***

"Ra, mau ke kantin bareng temen-temen gue, gak?" Ajak Anggita. Kinara mengulas senyum, "boleh."

Dari belakang Adrian menoel punggung Anggita satu kali, "eh, dia sama gue ke kantinnya."

Anggita memutar kepala cepat, "gila aja dia ikut geng lo, bisa-bisa abis ntar."

"Abis gimana, sih? Orang nggak bakalan di apa-apain." Naufal nimbrung.

"Pokoknya enggak! Murid baru ini, biar sama kita aja." Kinara mendongkak begitu melihat siswi berdiri di dekat mejanya sembari berkacak pinggang.

"Dia Bella," Untuk kesekian kalinya Anggita menjawab pertanyaan pertanyaan yang ada di benaknya Kinara.

"Hai, Bella, salam kenal, ya." Bella menunduk ke bawah, mencari siapa yang barusan mengajaknya berkenalan. Oh, ternyata si murid baru.

"Eh, hai juga. Darimana lo tau nama gue?"

"Dari Anggita,"

"Tuh, lucu 'kan anaknya, gimana nggak pengen gue ajak ke kantin coba." Anggita bergumam. "Ya udah, buruan, Ra, kita ke kantin nanti keburu penuh."

"Oke."

"Dasar, cewek-cewek brisik." Cibir Adrian dari bangkunya sendiri.

"E, gue denger ya!" Sahut Anggita yang sudah ada di dekat pintu kelas.

"OH!" Adrian tak mau kalah, dia menyahut juga dengan nada yang tidak santai.

***

"Enam belas, tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh, dua-- "

"ADRIAN! TANGAN KAMU JANGAN LEPAS DARI BAHUNYA RAFFA!" Bentak Bu Titin.

Entah apalagi yang Empat Sekawanan perbuat hingga kini mereka sampai dihukum kembali.

Scot jump 20 kali dengan tangan yang saling merangkul satu sama lain. Adrian merangkul bahunya Raffa, Raffa merangkul bahunya Naufal, dan Naufal merangkul bahunya Ivan.

Naufal berhenti, membuat semuanya juga ikut berhenti, "Bu! Kami 'kan cuma gak sengaja buang sampah sembarangan, kenapa di hukumnya segini sadis?" Protesnya.

"Iya, Bu. Kaya lagunya Sistar aja."

"Afgan, bego! Jauh banget ke Sistar." Sungut Adrian pada Ivan.

"Itulah pokoknya,"

Bu Titin menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kalo kalian enggak Ibu hukum begini, pasti bakalan terus-terusan buang sampah sembarangan!"

"Alah, Ibu kaya gak pernah aja." Ujar Raffa. Bibir Bu Titin mengatup ke dalam. "Banyak ngomong kalian ini, cepet scot jump lagi!"

"Empat belas-- "

"HEH! Kok udah empat belas?! Masih tiga belas juga!"

Mereka berempat saling berpandangan, "pfftt... "

"... padahal kita masih di dua belas tadi," Ivan berbisik.

***

"Mereka kenapa lagi?" Kinara bertanya pada Anggita yang ada di sampingnya.

Sekarang, kelima siswi tersebut tengah berjalan menyusuri koridor menuju ke kantin sekolahan. Seraya berjalan, mereka mengobrol tentang segala hal yang bersangkutan dengan sekolah Bakhti Utama, termasuk soal perkumpulan Empat Sekawan itu.

Anggita segera mengikuti arah mata Kinara, "oh mereka, biasalah, palingan buat onar lagi."

"Tapi bukannya mereka tadi masih ada di kelas, ya? Gimana bisa langsung kena hukuman begitu keluar?" Kinara kepo.

"Namanya juga Empat Sekawanan, apa yang mereka lakuin pasti selalu salah di mata guru. Dan emang salah sih," celetuk Bella.

"Mungkin waktu kita ke toilet tadi, Empat Sekawan ennggak sengaja bikin ulah." Ica, cewek paling lemot dan paling pendiam diantara yang lainnya.

"Bisa jadi," sahut Prima.

***

S

uasana kantin di SMA Bakhti Utama sangat ramai siang ini. Sesak dan penuh. Prima mengajak mereka semua untuk duduk di salah satu meja yang sudah menjadi tongkrongan kesukaan mereka.

"Kalian semua mau pesen apaan? Biar gue sama Bella yang pesenin," tawar Prima.

"Gue mau mi ayam sama teh manis aja deh," jawab Anggita.

"Gue sama kaya Anggita," sahut ica. "Murid baru mau apa?" Katanya lagi.

"Apa aja, yang penting makanan."

"Oke, ditunggu, ya, Mbak pesanannya."

"Iya, Mbok." Gurau Anggita.

"Sialan lo," balas Bella sambil tertawa.

Sesudah Bella dan Prima berlalu, Anggita membuka percakapan kembali. Dia masih penasaran dengan murid baru di sekolahnya itu.

"Eh, iya. Lo kenal Prima dimana? Tadi pas udah upacara gue liat kalian ngobrol bareng. Biasanya nih ya, Prima itu enggak mudah bergaul sama murid baru."

Kinara mengerutkan keningnya. Dia heran, kok tadi pagi Prima malah kelihatan easy going.

"Iya? Tapi tadi pagi dia enjoy banget ngajak kenalan ke gue."

"Wah, asik dong?" Ujar Ica semangat.

"Asik, sih. Cuma ditegur sama guru." Kinara terkekeh kecil. "Tapi gue seneng, itu artinya gue bisa diterima dengan baik disini."

"Pastilah, lo 'kan likeable."

"Enggak kok, gue juga kadang nyebelin, kalo lagi pms, hehe." Kinara nyengir lebar.

Kemudian, makanan yang ditunggu datang. Bella datang bersama Prima dari balik kerumunan siswa-siswi yang sedang pesan makanan.

"Hadeuh, harga diri gue sebagai ketua cheers bakalan jatuh karena bawa ginian," keluh Bella sambil mendudukan pantatnya di atas kursi.

Sama seperti Prima, Bella juga anak cheerleader, lebih tepatnya ketua cheers. Heran memang, mengingat Prima yang jauh lebih sangar tampangnya di bandingkan dengan Bella yang terlihat lugu. Tapi l, Bella itu adalah ketua cheers idaman semua, soalnya dia jarang marah ataupun menegur anak-anak cheerleader seperti seharusnya tugas ketua.

Bahkan, Prima kadang dongkol juga liat sikap masa bodonya Bella. Tapi ya, gimana lagi, di mata Bella cuma kertas kanvas sama alat melukisnya saja yang paling penting.

"Alah, dari kapan sih, ketua cheers yang pendiem ini peduli sama reputasinya," Prima berujar sembari memasukan sesuap siomay ke dalam mulutnya.

"Dari barusan. Soalnya, gue pengen Kinara tau kalo gue ini ketua cheerleader di Bakhti Utama, hehe."

"Bella itu, Ra, jabatannya aja ketua pemandu sorak, hobinya mah ngelukis." Tutur Anggita. "Ye, biarin, lagian 'kan anak cheers ada Prima yang handle. Ya, gak, Prim?" Bella menatap Prima sebentar melalui ekor matanya.

"Iya, gue aja yang handle, lo pacaran sama lukisan lo."

Bella usil mencolek hidung Prima. "Em, ngambek nih, ya, ceritanya."

"Ih, nggak ngambek juga."

"Amasa?" Suara Bella masih terdengar menyebalkan di kuping Prima.

"B aja."

Prima memandangi Kinara yang ada di depannya. "Maaf ya, Ra, kita kalo barengan emang gini."

Kinara menggeleng pelan, "ngapain minta maaf dah, gue malah seneng bisa temenan sama kalian. Seru."

"Lah? Sama dong, kita juga seneng bisa jadi temen lo." Bella menambahkan. "Apalagi jadi sahabat,"

Anggita menelan mi ayam yang ada dalam mulutnya dulu, lalu berkata, "tanya dulu, Mbak, anaknya mau apa kagak. Maen ajak-ajak aja."

"Gue gak maksa, ya. Itu sih terserah lo nya aja, Kin."

"Boleh, gue setuju. Banget malah, hehe." Kinara tersenyum manis.

"Tuh 'kan, dia pasti mau. Karena sahabatan dengan berbagai karakter itu menyenangkan jadinya." Amggita, Prima, dan Ica geleng-geleng kepala menyaksikan Bella yang berhasil membujuk Kinara.

Ica merapatkan tubuhnya pada Kinara. "Tapi, Ra, kalo nanti lo jadi gila jangan salahin kita, ya."

Dengan cepat Kinara menjauhkan tubuhnya dari Ica. "Eh, seriusan?" Tanya gadis itu memasang wajah polos.

Tentu saja hal tersebut membuat Bella, Anggita, Ica dan Prima terbahak di tengah-tengah kegiatan makan siang mereka.

Kinara mengerucutkan bibir mungilnya. "Ye, kampret ah, gue dikibulin."

~×♡×♡×~

Tbc

Love, LuluAra

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top