02 - Tetangga Baru di Depan Rumah [r]
Byul - Remember
"Benarkah kebetulan itu hanya sebuah pengalihan dari kata takdir?" -Cool Bad Boy
-Cool Bad Boy
****
Kinara turun dari mobilnya dengan mengangkat satu koper juga tas gendong kecil miliknya yang mulai ia sampirkan di bahu kanan.
Kedua mata gadis itu mengitari halaman rumah seksama. Benar-benar berbeda dari rumah sebelumnya, pikir Kinara.
Rumah barunya bercat abu-abu tua dipadukan warna putih dan cokelat di berbagai sisinya. Bertingkat dua, dan Kinara rasa ukurannya terlalu besar untuk ditinggali oleh tiga orang.
Ekor matanya mengitari lagi, kali ini ke sekitar perkomplekan barunya. Sepi, dan jalanan lenggang. Rata-rata suasanannya memang begini jika di perkompekan jadi Kinara tidak terlalu mempermasalahkan.
Lantas ia melirik jam merah muda di tangannya-- jam itu pemberian dari Kaila-- pukul sebelas lewat lima belas menit, katanya dalam hati. Tadi mereka berangkat pukul delapan pagi, artinya sudah tiga jam lebih mereka di perjalanan.
Wajar saja sih, sebab tadi di jalan lumayan macet. Mungkin karena ini liburan akhir semester makanya jalan tol menjadi ramai dengan yang akan berlibur.
Sesudah menutup pintu mobil, Helen langsung menghampiri anak sulungnya.
"Ayok Kin, kamu pasti suka sama rumah barunya. Kaila aja langsung ngacir ke dalem." Kinara menganggukan kepala dan menyeret kopernya melewati gerbang rumah. Terus berlanjut hingga melewati pintu depan dan detik itu pula Kinara terpaku.
Segala sesuatunya sangat asing di penglihatan perempuan itu. Tidak hanya barang-barang saja yang tidak Kinara kenali, namun juga penataan ruangan. Memang, barang-barangnya yang dulu tidak semuanya ditinggal. Buktinya lukisan keluarga, foto keluarga, dan sebagiannya ada disini. Hanya piano klasik sang ayah saja yang sepertinya tertinggal.
"Sisanya mama tinggal di Bandung, di rumah nenek." Sang Ibu sepertinya hafal betul raut muka Kinara sekarang sampai berujar demikian.
Kinara menggerakan kepala, "Kenapa ga dibawa semua aja, ma? Trus pianonya papa juga ditinggal?"
"Iyalah, kebanyakan kalo mama bawa semuanya kesini. Piano itu juga mama tinggal, soalnya besar banget. Disini juga belum tentu dipake,"
Bibir mungil Kinara mengerucut sedih,"Ya tapi kan seenggaknya mama bawa dulu kesini. Soal dipake apa enggaknya itu urusan nanti."
Piano tersebut adalah benda yang sering dimainkan Alm. Ayahnya dulu. Jadi tidak salah bila Kinara sangat merasa kehilangan karena piano itu tidak ikut dibawa kemari.
Pekerjaan ayahnya Kinara bukan seorang komposer, namun dia hanya menyalurkan jiwa seni musiknya kepada sebuah piano klasik. Sering menyanyikan lagu dengan nada riang serta gembira, membuat Kinara dan adiknya Kaila menari-nari lincah sewaktu mereka kecil. Dan Helen sang ibu akan memberi tepuk tangan keras-keras, seperti memberi sanjungan untuk seorang pria yang dicintainya juga kedua anaknya yang tengah melakukan konser.
"Yaudah, nanti mama bawa kesini deh." Lamunan Kinara seketika buyar. "Hah? Beneran?"
"Iya. Kalo gitu kamu cepet ke atas sana. Beresin kamar kamu,"
Sebagai jawaban Kinara menganggukan kepalanya. Tapi gadis itu melupakan sesuatu.
"E, kamar aku yang mana mah?"
Helen berpikir sejenak. Lalu bergumam, "Yang warna catnya merah muda."
Kinara memutar bola mata, "Yaelah, sejak kapan aku jadi Kaila?" Dengusnya.
"Yaudah kalo gitu cari aja yang catnya biru, nah itu pasti kamar kamu." Balas Helen.
"E iya hehehe." Cengiran malu Kinara membuat sang Ibu geleng-geleng.
****
Derap langkahnya semakin melambat ketika mendengar suara musik yang diputarkan kencang dari sebelah kamar Kinara. Tidak salah lagi, itu pasti Kaila.
Melalui celah di pintu, Kinara melongokkan kepalanya ke dalam. Setelah itu berteriak, "Woy! Kecilin volume-nya. Didemo satu komplek baru tau rasa lo."
Adiknya memutar badan, memperhatikan sang kakak. Namun Kaila sama sekali tidak melakukan apa yang diperintahkan Kinara. Terlalu bising, hingga tidak dapat mendengarkan nasihat kakaknya.
"Ha? Apaan?"
Tubuh Kinara yang asalnya membungkuk menjadi tegak.
"KE-CI-LIN VO-LU-ME-NYA! KECILIN VOLUME-NYA. LO DENGER GA, DEK?"
Kerutan di dahi Kaila berkurang, dia sudah mengerti apa yang diucapkan kakaknya itu.
"O-KE!" Sahut adiknya mengacungkan jempol kanan.
Kinara mengangguk. Satu detik berikutnya ia segera melangkahkan kaki meninggalkan kamar Kaila guna menuju kamarnya sendiri yang hanya berjarak lima langkah.
Ceklek
Bunyi pintu yang dibuka tersebut terdengar seusai Kinara memutar knopnya.
Kesan Kinara masih sama seperti pertama kali ia melihat rumah barunya ini, asing. Kamarnya pun terasa asing.
Perempuan itu sadar jika dirinya masih di ambang pintu, belum melangkahkan kaki ke dalam barang satu langka saja. Akhirnya ia membalikan badan sebentar untuk menutup pintu. Kemudian berjalan ke arah kasur berukuran sedang yang bergambar kartun smurf.
"Kayaknya enak kalo gue tidurin," gumamnya pada diri sendiri. Segera Kinara menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Sepatu adidas kotor miliknya masih menempel di kaki. Dan dia malas untuk sekedar membukannya.
Kinara mengangkat kedua tangan ke udara, tepatnya ke langit-langit kamar. Ia sedang menjabarkan apa saja yang tidak ada disini.
Bintang-bintang dan juga bulan. Dua hal indah itu tidak tergantung di langit-langit kamar barunya. Padahal dulu, selalu ada yang bersinar di kamarnya kalau Kinara mematikan lampu. Tapi sekarang tidak ada.
Pintu kamarnya terbuka lagi, menampakan sosok Helen dari balik pintu. Ternyata Ibunya sudah membersihkan diri, terlihat dari gaya berpakaian dan juga wajahnya yang segar.
"Ya Allah Kinar, sepatumu itu loh, bukannya dibuka dulu. Nanti kotorannya nempel dimana-mana."
Si anak menegakkan tubuh, terduduk malas. Kinara menjawab, "Iya mah iya. Nanti aku buka."
Helen menatap Kinara, "Koper kamu mana?"
Telunjuk Kinara mengarah ke pojok yang ada di balik pintu. "Ituu,"
Helen mengikuti arah telunjuk sang anak. Pantas dirinya tidak melihat, kopernya terletak diantara sudut kamar dengan daun pintu.
"Yaampun, belum diberesin juga?" Decak Helen.
"Nanti," sahut Kinara.
"Nanti aja terus." Ledek ibunya. "Pokoknya setengah jam lagi semuanya harus udah beres ya, soalnya mama mau suruh kamu."
Kinara menyatukan alisnya, "Nyuruh apaan?"
"Adalah, ntar aja. Sekarang kamu beres-beres aja dulu."
"Oh yaudah," sahutnya tidak peduli sambil memainkan asik ponsel.
"Beresin loh, inget! Main hape mulu kamu nih,"
Kinara tersenyum lebar memandangi ibunya. "Iya mama Helen, iya."
"Gitu dong,"
****
Setelah membersihkan diri, Kinara lalu memilih pakaian santai yang ada di dalam kopernya. Celana jeans selutut dibalut dengan sweater hijau muda bertuliskan huruf *hangul sepertinya cocok untuk sore ini.
Dengan cekatan Kinara mengikat rambut panjangnya asal-asalan, sudah menjadi kebiasaan gadis itu jika sedang di rumah.
Kinara kemudian menuruni tangga, berniat ke dapur untuk minum karena sejak tadi ia belum minum air sedikitpun. Dilihatnya Kaila yang tengah fokus menonton acara televisi dan ibunya yang sedang memasukan tuperware ke dalam sebuah paperbag.
"Mama ngapain?" Tanyanya saat sudah sampai di dapur.
Helen menjawab tanpa menolehkan kepala, "Ini Kin, mama mau ngasih makanan sama tetangga di depan rumah kita. Yah itung-itung sebagai tanda perkenalan aja,"
"Oh gitu," gumam Kinara seraya mendudukan pantatnya di kursi meja makan. Tangannya memegangi botol mineral dingin yang tersisa setengah
"Anterin sama siapa?" Tanya Kinara lagi.
"Kamu ajalah, gak pa-pa kan?"
"Kenapa gak Kaila aja?" Saran Kinara. Helen mengangkat bahunya bersamaan. "Tau, dia mager katanya."
Kinara mencebikan bibir sambil melirik adiknya yang berada di ruang televisi. "Halah, sok-sokan mager segala."
"Udah buruan, nanti kemaleman lagi." Titah Helen menyodorkan paperbag yang sudah terisi oleh tiga tuperware.
Mau tidak mau Kinara harus rela mengantarkan makanan tersebut kepada tetangga barunya.
"Yaudah deh, aku anterin dulu ya mah."
"Iya. Hati-hati makannya jatoh, kan sayang duit semua itu." Canda sang ibu
"Anaknya kek khawatirin, malah makanan." Kinara mendumel. Saat melewati sang adik, Kinara melirik ke arahnya sekilas.
Kaila tahu kalau kakaknya sedang menatapnya, untuk itu dia mendongkakkan kepala.
"Apa lo?" Tanyanya sarkastik. Kinara menarik bibir atas makin ke atas, " Idih, sewot amat dah bu."
"Lagi pms nih, jangan ganggu deh." Kata Kaila lagi.
Kinara mengibaskan poninya ke samping kiri. "B aja ya gue mah."
Terkadang mereka memang seperti itu. Saling meledek, saling mengejek. Namun justru hal sepele macam itu yang bisa membuat ikatan mereka berdua semakin erat.
****
Tingnong!
Hening.
Tingnong! Tingnong! Tingnong!
Kinara dengan tidak sabaran menekan bel tersebut sebanyak tiga kali. Akan tetapi si pemilik rumah masih belum juga keluar.
Tingnong!
Kinara berkata dalam hati, "Kalo bel ini ga dibukain juga. Gue pulang!"
Lalu terdengar suara langkah kaki yang terkesan terburu-buru dari dalam. "Sabar! Gue lagi jalan nih!"
"Idih, gue yang kesel kok jadi situ yang ngambek." Sungut Kinara entah kepada siapa sebab pintu di depannya belum terbuka sama sekali.
Ceklek
"Ada apa?" Tanya si pemilik rumah langsung di depan wajah Kinara.
Si perempuan berpikir kalau umur laki-laki yang ada di hadapannya itu pasti tidak jauh beda dengan dirinya.
"Gue-- "
"Oh! Biar gue tebak, lo pasti si tetangga baru itu kan?" Potongnya cepat. Meskipun Kinara sedikit linglung, namun ia tetap menganggukan kepalanya.
"Salam kenal ya, gue Adrian. Lengkapnya Adrian Pramudiya."
'Demi jadi botak, gue ga nanya.' Dewi batinnya meledek.
Uluran tangan pemuda yang bernama Adrian itu menggantung di udara karena Kinara belum menjabat tangannya balik.
"Gue Kinara," dengan ragu-ragu Kinara membalas uluran tangan Adrian.
"Oke," Adrian menarik tangannya kembali. "Jadi ada keperluan apa lo kesini?"
Kinara menunduk sebentar sebelum berbicara. "Ini gue mau anterin makanan buat tante Siska."
"Nyokap gue? Dia lagi keluar tuh," jawab Adrian.
"Kalo gitu taro aja ini di dalem," Kinara memberikan Adrian paperbag tersebut.
"Yaudah, thanks ya. Mau masuk dulu gak lo?" Adrian bertanya.
"Gak usah, gue buru-buru." Kinara menggelengkan kepalanya.
Adrian manggur-manggut. "Gitu?"
"Yaudah, gue pergi dulu ya."
"Oke deh, thanks sekali lagi." Adrian menaikan oktaf suaranya sebab Kinara sudah jauh dari pekarangan rumahnya.
Dan yang Adrian dapatkan dari perempuan itu adalah sebuah anggukan setuju.
"Lumayan buat gadang sama anak-anak." Ujarnya sambil masuk lagi ke dalam rumah.
~♡×♡×♡~
Author Note:
*Hangul: Bahasa Korea
To be continued,
Love, LuluAra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top