01 - Perpindahan Yang Berat [r]

Williamette Stone - Today

"Tak kan ada yang lebih indah dan berharga daripada ikatan antara seorang kakak-beradik." -KK

-Cool Bad Boy

××××

Tidak pernah terpikir sedikitpun olehku kalau kepindahanku bersama keluarga ke Jakarta mampu membuat segala sesuatunya berubah. Meninggalkan kota Paris Van Java dan menuju Ibu kota, adalah hal paling sulit bagiku. Namun ternyata aku salah. Di Jakarta, hidupku lebih berwarna.

Ada seseorang yang memberikanku sebuah rasa cinta.
Ada seseorang yang memberikanku rasa kesakitan.
Ada seseorang yang memberikanku rasa kehilangan yang teramat dalam.
Ada seseorang yang mampu membuatku jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, seseorang itu hanya tinggal kenangan.

Kota Jakarta, tanpa nama hanya dengan rasa.

****

Gadis berambut panjang dengan bentuk wajah oval itu menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Ma, kenapa kita harus pindah sih? Kan di Bandung jauh lebih enak daripada di Jakarta." Katanya sedikit kesal. Masih nada jengkel dia melanjutkan, "Terus masa sekolah aku juga ikutan pindah? Nanti kalo aku susah dapet temen gimana?"

Helen, nama Ibu dari si gadis, menolehkan kepalanya sekilas. Kemudian fokus lagi dengan aktifitas packingnya.

"Lebaynya kumat, kebiasaan. Lagipula kita kan cuma pindah rumah. Bukan pindah negara, apalagi planet." Gurau sang Ibu.

Gadis berumur 17 tahun yang bernama lengkap Kinara Aurelia itu sama sekali tidak merasa terhibur gurauan Ibunya. Malah memberenggut kesal karena melihat kamar Ibunya sudah hampir kosong.

Dalam hati Kinara meruntuki adiknya, Kaila karena tidak mau bekerja sama membujuk Ibu mereka agar mengurungkan niat agar tidak jadi pindah ke Jakarta.

Helen melirik Kinara, "Lah, ini anak kenapa diem aja. Cepet beres-beres, nanti kalo ada yang ketinggalan Mama gak tanggung jawab lho, ya."

Memulai kehidupan baru, Kinara bukannya tidak suka. Malah dia suka segala sesuatu yang baru. Hanya saja jika pilihannya dengan meninggalkan rumah ini, Kinara lebih memilih untuk tetap tinggal. Rasanya ia ingin menangis sekarang juga mengetahui kalau rumah bersejarah bersama Alm. Ayahnya akan menjadi milik orang lain.

"Ma, Kinara tinggal sama nenek aja ya? Mama sama Kaila yang ke Jakarta, ntar kalo libur Kinara kesana. Janji deh." Bujuknya berharap Helen menyetujui opininya kali ini.

Helen menghembuskan nafas beratnya, "Nak, bukannya Mama larang kamu buat tinggal sama nenek. Tapi Mama bakalan lebih tenang kalo kamu Mama yang urus, dan Mama ga mau ngerepotin nenek."

"Tapi Ma, aku kan udah gede, udah mau delapan belas taun. Pasti bisalah ngurus diri sendiri." Jawab si anak cepat.

"Enggak Kin, kalo Mama ijinin kamu tinggal sama nenek yang ada pergaulan kamu bebas. Sekarang aja pulang main suka jam 12 malem, apalagi ga ada Mama. Jam 4 baru pulang kali," Balas Helen.

Kinara mengerucutkan bibirnya, "Kan aku gak keluyuran dimana-mana, cuma di rumahnya Aceng, kalo enggak Shinta, pulang malem juga kan maen uno bukannya ke club."

"Nah, kalo gak ada Mama pasti dugem."

Kinara memegang kepalanya gemas, "Yaampun Ma, enggaklah! Aku anak soleh gitu." Bela Kinara untuk dirinya sendiri.

Helen mengibaskan satu tangan, "Ah, alesan mulu. Udah sana ke kamar. Sekalian liat adik kamu, dia uda beres apa belum."

Kinara mendengus, "Hm. Iya iya."

Saat Kinara hendak melangkahkan kaki keluar kamar Ibunya, Helen memanggil, "Kin?"

"Apa, Mah?" Sahutnya reflek.

"Ikhasin ya, Mama yakin kalo di Jakarta will be better. Trust me,"

Kinara diam. Tidak menjawab, dan tidak juga berniat menjawabnya.

"Hm?" Helen bertanya memastikan.

"I'll try Mom," Pasrah Kinara. Matanya agak sayu.

Helen tersenyum bangga. "Nah, good girl kan kalo gitu mah."

****

Kinara menyusuri lorong menuju kamarnya. Tak sengaja melirik Kaila, adiknya yang baru saja keluar kamar.

Sambil membawa-bawa boneka teddy bear cokelat kesayangannya yang diberi nama 'Justin'.

Gosh..

"Emangnya gak ada nama yang lebih normal gitu?!" Heran Kinara begitu mengtahui nama dari boneka tersebut.

Dan dijawab dengan mantap oleh Kaila, "Gue kan belibers, jadi wajarkan kak?" Jadi tidak perlu lagi kalian bertanya alasan mengapa dia begitu terobsesi kepada penyanyi asal Kanada itu. Kaila penggamar beratnya.

Ada lagi satu hal yang Kinara tidak habis pikir kepada adiknya. Alasan tentang kenapa nama Justin ia sematkan pada sebuah boneka, dan bukannya motor kesayangannya yang berwarna merah muda, warna favoritenya.

Kaila menjawab lagi, "Biar serasa dipeluk abang Justin. Kan kalo di motor ntar filosofinya jadi 'biar serasa naikin abang Justin, kan jatohnya jadi kagak enak didenger hehe."

Itu adalah filosofi paling tidak logis seumur Kinara hidup di dunia. Dan jika filosofi tersebut menjadi pedoman Beliebers di seluruh dunia, maka hancurlah sudah reputasi Justin Bieber gara-gara seorang Kaila.

"Idih, udah kelas tiga SMP juga, masih aja bawa-bawa si Justin." Bukannya menyuruh Kaila tidur, Kinara malah mengolok-olok adiknya.

"Terserah gue dong kak, sirik aja deh." Balas Kaila memeletkan lidahnya dan langsung membuka pintu kamar Helen.

Masuk, lalu meninggalkan Kinara sendiri di balik daun pintu.

"Adik gak tau diri,"

****

Seorang gadis sedang berdiri ditengah-tengah sebuah kamar yang sudah kosong. Ia memandangi setiap sudut kamarnya yang sebentar lagi akan ditinggalkan.

Kamar tersebut berwarna biru muda. Kinara masih ingat jelas betapa bahagia dirinya saat sedang mengecat kamar ini bersama sang Ayah. Tawa dan canda seakan masih menggema di pendengarannya. Kinara ingat betul bagaimana Ayahnya mengajarinya untuk tetap bersabar dalam segala hal.

"Kalo kamu mau hasilnya bagus, kamu harus sabar. Kayak gini nih," Ayahnya menunjukan bagaimana cara melakukan sesuatu yang sulit dengan bersabar. Hingga hasilnya akan indah.

Kinara kecil bertepuk tangan gembira melihat hasil gambar di tembok yang dibuat Ayahnya. "Waaah! Bagus Yah! Ara suka,"

"Iya dong." Sahut Ayah Kinara bangga.

Kinara menghapus air mata yang tiba-tiba lolos dari kedua matanya.

"Kampret, kenapa gue nangis." Ujarnya seraya mengelap sudut mata.

Kemudian seseorang membuka pintu kamarnya. Kinara langsung menoleh dan melihat Mamanya tengah menatap ka arahnya sendu. Helen tersenyum tipis dan berjalan mendekati Kinara.

Sang Ibu langsung membelai rambut Kinara sayang, "Maafin Mama ya, Kin. Mama tau ini berat banget buat kamu." Sesal Helen mencium puncuk kepala Kinara.

Lalu Helen meregangkan pelukannya dan tersenyum kearah Kinara. "Jangan sedih gitu dong,"

Kinara menangguk dan tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi. Dirinya sedang berusaha mengikhlaskan semuanya.

Ibunya berbicara lagi, "Yaudah, kita turun yuk. Kaila sama mbok Asih udah nungguin di bawah."

Ketika sedang menuruni anak tangga, Kinara bertanya kepada Ibunya. "Lho, bi Asih ikut juga ke Jakarta?"

Helen menggeleng. "Nggak. Bi Asih nganter ampe depan rumah aja."

Mbok Asih itu asisten rumah tangga keluarga mereka. Kira-kira umurnya lima puluh lebihan. Sudah bekerja sejak Helen melahirkan anak keduanya, Kaila. Bisa dihitung kan berapa lama mbok Asih bekerja untuk keluarga Kinara.

"Yah, kenapa?" Kinara pikir mbok Asih adalah asisten rumah tangga paling pengertian. Sayang kalau Ibunya mengganti dengan yang lain.

Helen menjawab tepat setelah mereka sampai di anak tangga terakhir. "Gak boleh sama anaknya, mbok Asih kan udah tua. Udah harus istirahat."

"Ooh." Kinara manggut-manggut.

"Mbok, kami berangkat dulu ya. Makasih loh udah urusin aku sama anak-anak selama ini." Helen mengusap-usap bahu ringkihnya mbok Asih.

Wanita paruh baya itu terlihat tersenyum tulus. "Aish, Gak apa-apa atuh Bu. Aku malah seneng bisa ngurusin Ibu sama neng Kinara sama Kaila juga."

Helen memeluk mbok Asih selama satu menit. "Makasih ya mbok sekali lagi. Aku pamit dulu, assalamualaikum."

Mbok Asih menganggukan kepalanya. "Wa'alaikumsalam. Neng Kinara sama Kaila jangan nakal disana, jangan bikin Ibu pusing terus kayak disini." Pesannya.

Helen tertawa geli. "Dengerin tuh," titahnya.

"Siap mbok!" Sahut Kinara dan juga Kaila bersamaa.

****

Memandangi jalanan tol yang lumayan macet, itulah yang dilakukan Kinara saat ini. Lagu milik Williamette Stone mengalun indah di ponselnya melalui earphone yang terpasang di kedua telinganya. Sambil menyenderkan kepala di kaca mobil, Kinara ikut bernyanyi.

Today is the greatest,

Day i've ever known

Can't live for tomorrow,

Tomorrow's much too long

I'll burn my eyes out

Before i get out...

Perempuan itu memejamkan matanya menikmati musik tersebut. Perpaduan suara gitar milik Adam dan juga cello milik Mia terasa begitu menyatu sekali disana. Lembut dan menghanyutkan.

Kinara berharap semoga kepindahannya ini dapat membuka lembaran baru bagi hidupnya. Kinara tidak berharap kalau segala kesedihannya di kota hujan dapat menghilang begitu saja, sebab kesedihan itu bisa menjadi sebuah kenangan yang akan dirindukan nantinya.

~♡×♡×♡~

Author Note:

Direvisi barusan:p (Senin, 6 Maret 2017)
Semoga suka💙

To be continued,

Love, LuluAra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top