[40] Iya atau Tidak?

Baylor menatap kedua orangtuanya itu dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. Ia senang bisa merasakan sarapan bersama lagi. Diraihnya segelas susu yang Dewi suguhkan, meneguknya sampai sisa setengah.

"Papah mau bicara," ujar Bimo di sela-sela makan mereka.

"Bicara apa, Pah?" balas Dewi setelah kunyahan kesekiannya masuk ke tenggorokkan.

Baylor mulai curiga ketika Bimo berkata demikin. Oleh karena itu, Baylor menghentikan aktivitasnya sejenak dan melipat tangan di atas meja.

"Papah baru dapat warisan rumah di Jogja, daripada kosong mending kita tempatin, gimana?" Bimo menatap istri dan anaknya secara bergantian untuk meminta pendapat mereka.

Sebenarnya, sudah hampir tiga tahun, kakek Baylor atau ayah dari Bimo meninggal dunia. Salaku anak bungsu, seperti pada umumnya, Bimo pun mendapat sebuah warisan dari yang kedua orangtuanya tinggalkan.

Dewi melempar tatapan kepada Baylor seolah keputusannya ditanggung oleh lelaki itu. Ia tampak berpikir, Jogja ya?

Keininginannya untuk menginjakkan kaki di sana tinggal selangkah lagi, tetapi mendadak Baylor berubah pikiran. Mungkin, bukan sekarang. Ia tidak tega meninggalkan Jakarta bersama orang-orang yang disayanginya.

"Mamah setuju-setuju aja, sih. Lagi pula, mamah kan udah enggak perlu mikirin kerjaan lagi karena udah ngundurin diri."

"Kalau kamu gimana, Bay?"

Baylor meneguk ludah. "Eng-enggak tahu, Baylor berangkat dulu takut telat," pamit lelaki itu beranjak dari duduknya.

Ia menyambar kunci motor, lalu melangkahkan kaki keluar. Mengucapkan salam setengah berteriak begitu sudah bertengger di atas motornya.

Bimo membuang napas kasar. "Papah harap Baylor setuju untuk hal ini."

Motor tersebut memelesat cepat menuju sekolah. Bukan karena dikejar waktu, melainkan hanya keinginannya saja. Bagi Baylor ngebut ketika banyak pikiran itu salah satu solusi yang ampuh.

Pagi ini, ia ada kewajiban untuk menjemput Kirana. Perkara kemarin, Baylor sudah dapat jawabnya.

Kirana berdiri dengan bola mata jengah, banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya, tetapi tidak satu pun Baylor. Gadis itu melirik arjoli, "Enam lewat lima belas menit."

Tinnnn

Ia terlonjak ke belakang. Raja membuka helm full face-nya, menyisir sebentar poninya ke belakang. "Lo udah pamit dari lima belas menit yang lalu dan sekarang masih di sini?" sarkas cowok itu diakhiri senyum miring.

"Naik! Baylor gak bakal datang!" suruh Raja melirik ke jok belakang.

Kirana menggeleng pelan. Bagaimana kalau Baylor datang dan tidak menemukannya di sini? Bagaimana kalau sisi psikopat lelaki itu muncul? Iya, Kirana tahu. Sudah tidak ada ikatan apa-apa lagi antara dirinya dan Baylor, tetapi tetap saja Kirana harus hati-hati.

Brmmm ... brmmm....

Baylor menaikkan kaca helm-nya, ia menyambut tolehan Raja dengan mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Ada perlu apa, Raja Salomo Ginting? Udah bisa sekolah ya? Enggak kena skors?"

"Bangsattt." Raja menggeram dalam keadaan telapak tangan yang mengepal.

"Kirana, yuk!" Atensi Baylor teralihkan pada Kirana, netra lelaki itu bersungguh-sungguh menyuruh Kirana ikut dengannya. Dalam satu anggukkan, Kirana sudah berada di boncengan lelaki itu.

Tanpa sepatah kata pun, Baylor melajukan motornya di hadapan Raja. Kepulan asap dari kendaraan lelaki itu membuat Raja terbatuk-batuk. Tidak mau kalah, suara deru knalpot dari motor Raja mengekori Baylor dari belakang.

Dua laki-laki itu malah saling salip-menyalip, memboikot jalan bagi kendaraan-kendaraan lain yang ingin memakainya. Baylor menambah kecepatan, hingga ia bisa merasakan sesuatu melingkar di pinggangnya itu.

Ternyata Kirana, gadis itu ketakutan dibawa ngebut. Lantas mengeratkan lingkaran tangannya, tidak peduli bagaimana jantungnya itu bekerja. Yang Kirana simpulkan dari Baylor yang diam saja, berarti ada dua kemungkinan. Pertama, lelaki itu masa bodo. Kedua, lelaki itu mengizinkan dengan baik.

Raja dibakar api cemburu, dalam satu tarikan gas, Raja mampu menyusul Baylor. Bahkan, memimpin di depannya. Tidak membuang-buang kesempatan, cowok itu membelokkan stang hingga motornya dapat menghalangi jalan Baylor.

Orang-orang mulai menyoraki kelakuan Raja, memberi sumpah serapah mereka dan juga umpatan-umpatan kasar.

Baylor memeleankan laju motornya, kedua kakinya berpijak di atas tanah untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. "Lo udah enggak waras apa gimana? Kalau enggak mampu nyewa arena balapan, enggak usah pakai jalan raya juga, goblok!"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Baylor melajukan motornya kembali.

"Maaf ya, Bay," ujar Kirana.

Kirana menoleh dari kaca spion, "Iya, gak pa-pa." Disusul sebuah senyuman.

Kirana blushing di tempat, padahal hanya senyum biasa mengapa membuat pipinya itu menghangat?

Raja tampak tak mengikuti mereka lagi. Mereka sampai di sekolah bersamaan dengan bel masuk yang bertenting seantero sekolah. Memantul di tiap-tiap dinding kelas, hingga masuk ke pendengaran Baylor dan Kirana.

"Lo mau langsung ke kelas kan? Yaudah, gue duluan." Baylor melenggang pergi.

"Ba--Bay...." Kirana menginterupsi gerakkan terburu-buru lelaki itu. "Istirahat boleh bareng?" tanyanya malu-malu.

Baylor menggeleng, "Gue punya temen, Na." Kemudian benar-benar menghilang di belokkan koridor.

Lalu, diikuti suara hati Kirana yang patah.

***

"Lo yakin mau nolak, Bay?" Gery mengulang pertanyaan tersebut sampai lima kali, membuat Baylor yang ditanya tampak jengah.

"Iya, Gery," sahutnya, "Salut gue sama telinga lo, congenya numpuk."

Gery mendengus kasar. "Kita serius, Bay!" sungut Gery sembari menggebrak meja.

Jefri dan Restu saling tatap, sedangkan Nata yang fokus pada lidi-lidian di tangannya itu sama sekali tak bisa diganggu. Rekor pembeli dagangan terbanyak Gery jatuh kepada ... jreng, jreng, jreng....

Nata!

Kadangkali juga Nata diberi cuma-cuma oleh Gery saking senangnya punya langganan seperti Nata yang tidak pernah mengutang.

Kembali serius, Baylor menarik napas panjang. Ia tidak bisa menyembunyikan alasan lain yang sebenarnya menjadi alasan utama Baylor menolak Kirana, yakni kepindahannya ke Jogja. Walau masih ajakan dan bukan paksaan, Baylor melihat papahnya sangat berharap ia mengiyakan.

"Gue ... mau pindah ke Jogja."

Uhuk uhuk

Nata seketika tersedak mendengarnya, wajah Nata merah padam karena serbuk-serbuk makanan itu menyeruak ke penciumannya pula. Ditambah, dari kelimanya tidam ada satu pun yang memegang botol minuman.

"Air ... huh, hah, huh, ... tolong beliin air. Huh, hah, huh, cepetan anjeng!" pinta Nata kepada mereka yang malah speechless.

Jefri mengangguk seraya beranjak dari tempat duduknya, "Upahnya gue sekalian beli mie, ya." Tanpa merasa bersalah Jefri pergi sebelum Nata marah.

Enggak habis pikir.

"Lo ... serius mau pindah, Bay?" tanya Restu.

"Ehmm, gue juga masih bingung, Tu." Baylor menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Mereka mengangguk paham. Meski terselip ketidaksetujuan. Baylor benar-benar harus berpikir matang-matang untuk hal ini sebab jika ia mengiyakan, maka ia akan kehilangan mereka. Empat anak setan dengan kelakukan yang selalu membuatnya geleng-geleng kepala, tertawa, tak jarang emosi.

Lalu, mau ditaruh di mana tumpukkan kenangan itu? Apa memori otaknya mencukupi?

🌠Bersambung
Jadi, gimana? Kalian pilih Jakarta atau Jogjakarta? ❤






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top