[33] Semesta yang Membiru (2)
Jadi, Dewi ke mana saja selama ini?
"... Subhaana Rabbika Rabbil 'izzati 'ammaa yashifuuna wasalaamun 'alal mursalina wal hamdu lillaahi Rabbil 'aalamiin. Al-Fatihah...."
Mereka menengadahkan telapak tangan, membaca Surah Al-Fatihah sebagai penutup tahlilan di hari kedua.
Satu per satu para hadirin pergi, menyisakan beberapa orang yang memang saudara dan kerabat terdekat alhmarhumah Bi Tuti. Tuan rumah menyuguhkan Baylor, Bimo, Dewi, dan Kirana kue-kuean kering, buah-buahan, serta empat gelas air kemasan 240 mL. Yang membuat mereka merasa tidak enak.
"Tante belum jawab pertanyaan Anis tadi, kenapa tante biarin mamah kerja padahal lagi sakit?" Gadis kecil bernama Anis itu kembali membuka suara, kali ini seorang pria paruh baya yang duduk di sampingnya memberinya peringatan untuk diam.
"Maaf, Anis. Tante gak tahu kalau mamah kamu sakit, apa Anis mau maafin tante?" Dewi meraih tangan Anis, memohon lewat tatapan matanya.
Namun, Anis mendegus dan melengos pergi. Lari sambil menangis menuju sebuah kamar yang dihalangi hordeng merah seadanya sebagai pengganti pintu.
Pria itu beranjak izin untuk menenangkan anaknya.
Baylor melempar tatapan tanpa arti ke arah mamahnya, kemudian menghela napas panjang. Ia bersungut dengan nada rendah, "Ini salah mamah, semua orang berhak nyalahin mamah."
Dewi semakin hanyut dalam rasa bersalahnya. Bimo membalas perkataan putranya dengan tatapan tajam, teguran karena Baylor sudah kelewatan dalam bicara pada orang tua.
"Kenapa? Emang bener, Pah."
Plakkk
Tangan Bimo yang kekar nan kuat baru saja melayang ke pipi Baylor. Beberapa pasang mata mulai menatap mereka, Baylor yang malu akhirnya beranjak pergi. Diikuti gerakan yang sama oleh Kirana--perannya di sini sangat dibutuhkan. Itupun kalau masih berguna, kalau tidak? Siapa lagi yang bisa menjinakkan sang singa itu?
Baylor membiarkan Kirana mengikutinya. Ia menyusuri jalanan setapak yang entah membawanya ke mana. Baylor hanya sekilas mengingat saat memasuki desa ini, ada sebuah pos ronda lengkap dengan bangku bambu lebar nan panjang.
Ketika sampai di sana, ia mendapati tak ada seorang pun yang berjaga.
Selamat datang, sepi.
Jadi teman baikku, ya?
Ia menjatuhkan bokong di sana, semilir angin malam menerpa wajahnya yang tampan. Mengibarkan poninya yang mulai memanjang, meruntuhkan dinding pertahanan Kirana untuk tidak berdecak kagum.
"Gue enggak tahu harus bilang ke siapa, intinya gue butuh lo sekarang," ujarnya lalu mengisyaratkan Kirana untuk duduk.
Kirana mengikuti dalam satu gerakkan perlahan. Mata gadis itu berusaha masuk ke manik mata Baylor yang sendu, setiap titik yang ada di sana tidak ada celah sedikit pun lelaki itu bahagia. Ya, siapa yang bahagia di kondisi yang seperti ini?
"Sebelumnya, boleh gue minta tangan lo?" tanya Baylor, jika tadi ia yang memberi kehangatan, maka kini ia membutuhkannya.
Kirana mengangguk, kemudian sebelah tangan mereka pun saling menggenggam. Rasanya seperti ada es batu di antara telapak tangan mereka. Dua-duanya dingin, tetapi lambat laun berubah menjadi hangat.
Setelah cukup, apa hak Baylor berlama-lama? Ia pun melepaskannya.
"Gue sedih, Na. Gue terpukul banget Bi Tuti meninggal," lirih Baylor nyaris meneteskan air mata.
Kirana meneguk ludah. "Sebelum lo lanjutin, lo boleh nangis dulu, Bay. Gue gak bakal bilang lo cengeng atau apa, ini biar hati lo lega," jelas Kirana.
Akhirnya tetesan pertama turun. Diikuti tetesan yang lain seolah dalam kelopak mata mengantre untuk keluar. Tidak pernah habis.
Sedang Kirana yang menyaksikan tersenyum tipis.
"Lo tahu, mungkin Tuhan lebih sayang sama Bi Tuti," kata Kirana sambil mendongak untuk menatap langit biru yang tidak sendiri karena ditemani ribuan bintang, "dan kalau pun raganya pergi, tapi hatinya tertanam di sini, di hati Baylor."
Gadis itu menempelkan jari telunjukknya pada dada Baylor.
"Justru karena hatinya di sini, jadi gue gak bisa lupain bibi, Na," sahut lelaki itu.
"Siapa yang nyuruh lo buat lupain Bi Tuti? Dari awal lo udah salah," cibir Kirana, geleng-geleng tak habis pikir.
"Terus, gue harus apa?" desak Baylor.
"Lo harus ikhlasin, bukan lupain." Kirana mengembuskan napas pelan, menyadari konteksnya hampir merujuk pada hubungan mereka. Ralat, lebih tepatnya untuk gadis itu seorang. Baylor sudah tak peduli kan?
"Kalau udah ikhlas, tahapan selanjutnya apa?" tanya lelaki itu begitu polos.
"Gak nyalahin Tuhan sama keadaan karena udah ada porsinya masing-masing," jawab Kirana.
Pencerahan yang datang dari Kirana, membuat Baylor mangut-mangut. Ketika Kirana bilang dari awalnya sudah salah mengapa Baylor ingat pada gadis itu?
"Apa berlaku juga sama mantan yang baru putus?" tanya Baylor, lelaki itu menangkap wajah Kirana yang tampak kebingungan. "Maksudnya, apa berlaku juga buat kita?" jelasnya lebih spesifik.
Kini wajah gadis itu menengang dan pura-pura menyibukkan diri.
"Kalau mau liat bintang enggak usah jauh-jauh, sebelah lo ada," ujar Baylor.
Kirana celingak-celinguk, "Sebelah mana?"
Baylor menghentikan putaran kelapa itu untuk menghadap padanya. "Bintangnya dari mata lo, tapi pantulannya ada di mata gue."
Maksudnya apa?!
Mau buat Kirana jatuh cinta lagi?
"Lupain, ayo pulang." Baylor tahu, bagaimana bisa saling melepas jika keadaan dibuat seperti itu. Ia pun beranjak menimbulkan suara kretek dari bilah-bilah bambu yang disatukan.
Kirana mengekorinya dari belakang, tidak bisa kalau mensejajarkan langkah dengan lelaki itu. Perasaannya akan bertambah kacau.
Mereka masuk dan melihat Dewi dan Bimo masih setia di tempatnya yang sedang berbincang dengan suami Bi Tuti--pria paruh baya tadi.
"Ini anak saya yang laki-laki, namanya Baylor." Dewi menyuruh Baylor duduk di sebelahnya, tangan Dewi terulur untuk memberi sepucuk surat yang dibungkus amplop putih. Baylor menerima surat itu dengan kedua alis menyatu sempurna.
"Dan ini Kirana, pacarnya Baylor." Kirana tersenyum kikuk mendengarnya.
"Kalian tahu, Nak? Istri saya selalu bicara tentang kalian setiap ada kesempatan buat pulang ke sini, Anis sampai ngeluh bosan dengarnya," terang pria tersebut diikuti kekehan.
"Dan itu surat terakhirnya buat Baylor, katanya."
Baylor membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Lipatan kertas itu ia jadikan menjadi selembaran, hingga tulisannya dapat dibaca.
Assalamualaikum,
Ini bibi, den Baylor.
Bibi enggak bisa nulis rapi, dulu nilai nulis bibi ngendog (telor).
Bibi cuma mau ngasih tahu, suatu saat kalau Gusti Nu Agung teh nyabut nyawa bibi, Baylor ulah sedihnya.
Jangan pokokna mah.
Ulah tuh artinya jangan, den.
Itu aja, semoga kita ketemu lagi di tempat yang baik. Tapi, bibi enggak mau atuh denger aden kalah sama penyakit kayak bibi. Bibi juga enggak suka kalau aden marah-marah sama mamah aden. Jadi anak yang kuat ya, den.
tertanda,
bibi.
Banjir air mata menutup malam kala itu. Setelah Baylor membaca suratnya dalam diam. Ia menoleh pada Dewi, memeluknya erat.
🌠Bersambung
gimana, dapet feel-nya enggak?❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top