[3] Sialan

Pagi yang biasa saja di mata Baylor. Ia bangun pukul enam, matanya memicing ke sekeliling. Berusaha mencari sesuatu yang ia butuhkan ketika bangun tidur, segelas air. Biasanya sudah disediakan oleh pembantunya, tapi kali ini tidak ada sama sekali.

Nakas kosong hanya ada lampu tidur dan alarm andalannya saja.

Setelah kesadarannya sudah terkumpul, ia bangkit, merasakan sebentar duniannya yang berputar. Namun, Baylor tetap bersikukuh menuju dispenser. Ia membalikkan gelas plastik yang ditengkurapkan di sana, mengalirkan air ke dalamnya.

Setelah mendapati setengah memenuhi gelasnya, Baylor menghentikan aliran keran itu. Kemudian langsung meneguknya sampai habis.

Ia kembali bangkit dengan menaruh gelas tersebut ke tempat semula, satu-satunya cara agar Baylor tetap ke sekolah adalah membersihkan wajah dan menggosok gigi. Mandi? Mana ada!

Depan westafel yang berada dalam kamarnya, Baylor melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Tampak seorang Baylor yang gagah, tapi sebenarnya sakit-sakitan. Ia mengangkat sebelah sudut bibirnya, menunjukkan senyum miring yang lelaki itu punya.

Dunia Baylor memang sedang tidak baik-baik saja.

Tanpa mengulur waktu, Baylor pun mulai mencuci wajah menggunakan sabun khas anak laki-laki dengan kesegaran yang luar biasa. Lalu, berlanjut pada pasta gigi yang ia oleskan di permukaan sikat giginya. Gigi yang sudah putih bersih itu semakin mengkilau.

Setelah beres, Baylor berjalan malas keluar menuju almari baju-bajunya. Ia bukan laki-laki tertarur dan rapi, bahkan Baylor tak tahu di mana tempat seragam sekolahnya sendiri. Jadi seperti sekarang, ia perlu mengobrak-abriknya hanya untuk mendapatkan sepasang seragam pramuka.

"Ck, mana sih!" Ia berkeluh kesal tak kunjung menemukan barang yang ia cari.

Baru ingin berteriak, seseorang lebih dulu mengetuk pintu kamar lelaki itu. Wanita paruh baya yang tampak muda menunjukkan eksistensinya, tak lupa tersenyum pada Baylor selaku putranya itu.

Baylor membalas senyuman dengan pertanyaan, "Seragam pramuka Baylor kok gak ada, Mah?"

Dewi--Baylor menyebutnya dengan sebutan Mamah. Memghampiri Baylor di depan lemari, kedua tangan wanita itu terulur ke dalam lemari.

Beberapa saat kemudian, Baylor tercengang tidak percaya.

"Ini apa?!" Wanita itu menjunjung tinggi-tinggi seragam yang ditemukan, Baylor meraihnya dengan cengiran.

Memang, barang yang hilang hanya akan ketemu jika dicari oleh wanita bernama ibu. Ajaib, konon katanya ini berlaku untuk semua ibu di penjuru negeri.

Setelah kedapatan anaknya yang ingin memakai pakaian, Dewi pun berinisiatif untuk keluar. Baylor ditunggu di meja makan, di sana katanya sudah siap segala macam sarapan dan obat-obatan.

Setiap anak tangga yang Baylor lalui sambil memasukkan seragamnya asal mengundang perhatian Dewi yang terduduk manis di sana. Dewi menyentak anaknya itu, menyuruhnya untuk bergerak cepat.

Baylor semakin malas, apalagi ketika melihat obat yang tersedia di atas meja.

"Ouh iya, Bi Tuti ke mana?" tanya lelaki itu yang merasa janggal dengan ketidakhadiran pembantunya. Biasanya Bi Tuti akan mengawasi Baylor sampai benar-benar menghabiskan obatnya.

"Ada, tapi katanya agak kurang enak badan. Jadi lagi istirahat di kamar," sahut Dewi seraya mengoleskan selai kacang di permukaan roti tawar untuk Baylor.

Baylor refleks menghentikan tangan mamahnya, ia bertutur seadanya, "Baylor gak suka kacang, Mah. Sini biar Baylor sendiri."

Ia mengganti selai kacang dengan selai colelat. Sebelumnya, mungkin Dewi tidak memperhatikan apa yang Baylor suka dan tidak disukai laki-laki itu. Karena sibuk pada pekerjaannya.

Dewi membuang napas saat meja bergetar akibat ponsel yang ditaruh di atasnya, wanita itu menoleh sekilas pada Baylor yang tengah berkutat pada pekerjaannya. Lantas mengambil celah untuk mengangkat telepon tersebut.

[....]

"Iya, saya segera ke sana. Kurang lebih 20 menit akan sampai."

[....]

"Iya, baik. Sampai nanti."

Baylor mencuri pandang, ikatan batin yang kuat membuat mereka bertatapan. Ia tersenyum kikuk, "Mamah mau berangkat duluan? Gpp kok, Baylor kan naik motor."

Dewi tampak berpikir, lalu memutuskan untuk menunggu putranya sampai selesai makan. Namun, Baylor tetap menyuruh mamahnya untuk berangkat duluan, ditambah boss-nya yang sudah menelpon. Dewi pun mengganti keputusannya.

"Yaudah, mamah duluan ya, Nak. Jangan lupa diminum obatnya dan jangan ngebut, awas!"

Baylor mencium punggung tangan Dewi sebelum wanita itu menghilang dari hadapannya.

Ruangan sebesar ini sekarang kosong, Baylor mengembuskan napas kasar. Ia menatap nanar roti dalam genggamannya, selera makannya sudah tidak ada. Ia bangkit, makan saja tak minat apalgi minum obat.

Yang ia lakukan adalah berjalan menuju kamar Bi Tuti, diintipnya pintu tersebut yang sedikit terbuka. Kalau didapati Bi Tuti sedang istirahat atau masih tertidur, ia akan mengurungkan niatnya untuk masuk. Akan tetapi, Bi Tuti tampak sedang duduk di tepi ranjang.

Atensi Bi Tuti terlaihkan begitu Baylor berdiri di hadapannya sambil berdehem, "Serius amat Bi lihat handphone-nya."

Bi Tuti terkesiap dan langsung menyuruh anak majikannya itu untuk duduk. Menangkap kegusaran di garis wajah wanita renta itu, Baylor kembali mengangkat suara, "Kenapa?"

"Ini, Den. Anak bibi di kampung lagi sakit, pantes aja bibi juga kurang enak badan. Emang suka nyamber gitu."

Kata nyamber yang membuat Baylor menautkan kedua alis. Tapi laki-laki itu mengurung pertanyaannya, ia malah berujar, "Yaudah, bibi lanjutin istirahatnya. Biar nyamber juga sembuhnya."  Begitu yang ia ucapkan membuat Bi Tuti menahan tawa.

"Baylor berangkat ya." Ia bangun dan sama seperti yang dilakukan terhadap mamahnya, ia juga menyalami Bi Tuti. Memang Baylor sudah menganggap Bi Tuti ibunya sendiri.

Langkah yang gontai menuju parkiran. Baylor mengeluarkan motor kesayangannya, CBR merah yang sudah menjadi kepunyaannya sejak memasuki bangku menengah ke atas. Pemberiaan dari orang yang sekarang Baylor tak ingin sebut namamya karena jengkel.

***

Sangat tepat berada di sekolah ketika bel masuk berbunyi, Baylor mengambil lapangan sebagai tempatnya berjalan. Tak tahu, ia sedang malas berjalan di koridor karena pasti dihujani tatapan-tatapan aneh dari yang melihatnya.

"Bay!" panggil seseorang dengan suara yang familier di telinganya. Baylor menoleh, mendapati seorang gadis merekahkan senyum sambil berjalan menghampirinya.

Beberapa langkah di belakang Kirana berjalan tanpa malu Raja menunjukkan keberadaannya. Baylor melirik sekilas dengan mendelik ke arah Raja.

Kirana dengan sergap meraih pergelangan tangan Baylor, Baylor yang tidak biasa pun melepaskan pegangan itu. "Gue gak suka pegangan, Na."

Gadis itu mengembungkan pipi, berjalan mendahului Baylor dengan perasaan kesal.

Tiba-tiba Baylor menginterupsi gerakkannya, berusaha memperbaiki perasaan Kirana dengan balik menggenggam jemari gadis itu.

"Tadi bilangnya gak suka," cibir Kirana.

"Sekarang jadi suka, ayo ke kantin dulu!" balas Baylor membelokkan arah menuju kantin. Padahal sudah tahu kalau bel sudah bunyi, tapi ia mendadak ingin sarapan.

Apa berkat Kirana ia jadi berselera makan?

Tidak sama sekali. Karena keberadaan Rajalah yang mengikuti mereka, risih. Benar kan, Raja berhenti mengikuti mereka dengan tetap berjalan menuju tangga.

Namun, Kirana yang berada dalam pegangan Baylor ingin menolak ajakkan laki-laki itu. Ada pekerjaan rumah yang belum Kirana kerjakan untuk pelajaran kedua nanti. Di sisi lain, gadis itu takut untuk mengungakapkan penolakkannya.

"Kenapa?" tanya Baylor seolah membaca pikiran gadis itu.

"Gak pa-pa," jawab Kirana.

"Kenapa?" Sekarang ia mengulangi pertanyaannya, tapi bernada datar. Ia bisa menangkap arti gpp seorang perempuan adalah ada apa-apanya.

"Aku ada pr, Bay." Kirana takut menatap bola mata itu, lebih memilih menunduk.

Baylor menahan geram di tempat, ia berujar malas, "Sana pergi."

Kirana dibuat mendongak, meski terkesan mengusir, tapi Kirana tetap mengikuti perintahnya. Gadis itu berbalik badan dan melenggang meninggalkan Baylor sendirian.

Baylor mengembuskan napas pelan, kemudian duduk di salah satu meja. Ia memanggil salah satu pemilik kedai untuk memesan nasi goreng dan minuman sekaligus.

Yang Baylor lakukan sambil menunggu adalah mengecek ponselnya.

Ada notifkasi masuk dari pesan grup teman-temannya.

[[Anak Mama Muda]]
Anda, Gery salut, Jefri bukan Nichol, Nata the coco, Restu bunda😇

Restu bunda😇
Assalamualaikum

Anda
Walaikumsalam syg

Gery Salut
Bay lo dmn anjir

Anda
kantin bre
sokin sokin

Jefri bukan Nicol




Baylor tertawa sekilas sebelum dikagetkan dengan kehadiran seorang guru yang berkeliaran di pintu masuk kantin.

Ia terburu-buru untuk kabur, tapi kalah cepat. Mata empat bak elang sang guru itu lebih dulu menangkapnya. "Sialan," umpatnya demikian.

🌠Bersambung
Komen next aja udah nyemangatin aku, lho❤


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top