[17] Baik dan Buruknya Keadaan
Dewi menunggu hasil pemeriksaan Bi Tuti dengan gusar. Sedari tadi, jika tidak bolak balik, Dewi mengembuskan napas berulang. Wanita itu benar-benar khawatir setelah mendengar pengakuan dari Bi Tuti yang menyebutkan kalau dada Bi Tuti sering terasa nyeri.
Parahnya, sudah terasa sejak seminggu yang lalu. Namun, Bi Tuti baru berani membicarakannya sekarang. Yang membuat Dewi semakin khawatir adalah putranya akan sedih.
Sementara itu, seorang lelaki sedikit berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia mengggandeng si gadis dengan cengkeraman yang kuat agar gadis itu tidak berani melakukan apa-apa selain menemaninya.
"Bay, tapi aku ada ja--"
"Sssttt."
Baylor melempar tatapan tajam ke arah Kirana, ia tidak habis pikir dengan gadis itu. Kondisi yang seperti ini masih saja memikirkan janji dengan temannya, katanya. Mau janji sama teman, sama guru, atau sama keluarga sekali pun intinya Baylor tidak akan melepaskan pegangannya. Bahkan melonggarkan sekali pun.
Dewi yang menangkap dua anak itu, lantas melambaikan tangan lemah sejajar dengan kepala.
Baylor meruntuhkan sejenak amarah yang ia punya, lelaki itu melanjutkan langkah menemui mamahnya. Atensinya tersorot pada lain arah, ya lebih baik begitu kan? Lain halnya dengan Kirana, gadis itu tersenyum ramah dan menyalami punggung tangan Dewi.
"Gimana keadaan Bi Tuti, Tante?" tanya Kirana.
Baylor melirik gadis itu seklias, tepat sekali sangat beruntung membawanya. Karena dapat dijadikan perantara untuk bercakap.
Dewi menggeleng pelan.
Selang beberapa menit, pria bertubuh tinggi yang berbalut snelli panjang keluar dari ruangan.
Eksistensinya paling cepat disadari oleh Baylor yang segera beranjak. "Gimana keadaan pasien di dalam, Dok?" Jelas terdengar nada cemas yang kental.
Sang dokter menipiskan bibir, "Setelah kami lakukan EKG, rekaman yang tercatat setidaknya menunjukkan tanda-tanda adanya Jantung Koroner."
Mereka terdiam, Baylor menelan salivanya. "Ouh, oke. Terima kasih banyak, Dok."
Dokter tersebut mengangguk dan melenggang pergi. Setelah kepergiannya, Baylor menarik lengan Kirana. Ia berniat pulang, tidak tahan berlama-lama di sini.
Kirana pun patuh dan sebelumnya mengucap pamit kepada Dewi.
Dua anak ini berjalan tanpa ada percakapan apa-apa. Namun, sebenarnya Kirana menyimpan pertanyaan. Baylor sedang ada konflik dengan mamahnya? Nyali gadis seperti Kirana tidak akan bisa mengutarakan pertanyaan itu. Yang ada Baylor akan melayanngkan tatapan bengis kesekian kalinya.
Setelah tiba di parkiran, Baylor menyuruh Kirana segera naik. "Gak usah ngelamun, lo gak berhak buat tahu," turur lelaki itu dengan nada ketus sembari menyerahkan helm pada Kirana seperti biasanya.
Cenayang ya?
Setiap yang ada di pikiran Kirana sepertinya Baylor selalu tahu. Tidak mungkin selalu tepat sasaran kalau menebak-nebak. Dengan kata lain, berarti Baylor cenayang. Huh, menakutkan. Kirana bergidik ngeri membayangkannya kalau pacarnua sendiri adalah seorang cenanyang.
Gadis itu segera naik tanpa diperintah, Baylor berdehem lewat kaca spion. "Lo ada janji sama siapa?" tanyanya yang membuat Kirana meneguk ludah.
Haruskah melapor?
Kirana gelagapan. "Ra--Raja, Bay. Aku disuruh bunda sama ayah buat nunggu mereka di warung upnormal Sunter." Meski awalnya Kirana terbata, gadis itu tetap menyelesaikan kalimatnya hingga akhir.
Sampai Baylor menoleh dengan tatapan tanpa arti. Sudut bibir lelaki itu terangkat sebelah, "Berani lo nyebut Raja depan gue?"
Kirana menunduk, tidak berani menatap pemilik iris mata cokelat terang itu.
"Turun!" pinta Baylor yang mengharuskan Kirana mendongak dengan menautkan alis.
"Lo gak bisa bahasa manusia, gue bilang turun ya turun!" sentaknya sekali lagi.
Embusan napas pelan Kirana lakukan sembari menuruti perintah Baylor, turun dari motornya. Kemudian, gadis itu membuka helm yang sebelumnya sudah melekat rapi kepada sang pemilik helm tersebut.
Baylor menerimanya dengan kasar, lalu bersiap melajukan motornya.
Namun, ia yang menyadari Kirana sama sekali tidak berpindah tempat, seketika mengurung niatnya sejenak. "Kenapa masih di sini?" Pertanyaan itu meluncur dengan nada ketus.
"Aku gak ada data seluler, Bay. Kalau di rumah sakit biasanya ada wi-fi gratis gak?" tanya Kirana sambil membuka ponselnya.
Baylor memutar bola mata malas. Ia merogoh ponselnya di saku celana, langsung menekan ikon hotspot seluler. "Udah gue nyalain," ujarnya.
Jika kalian heran, bagaimana bisa Baylor memegang ponsel lagi padahal baterainya dibuang di rooftop Restu pada saat itu. Semua sebab Restu yang mengembalikan padanya di suatu pertemuan, Restu bilang, "Bay, menghilang dari sosmed bukan berarti masalah lo bisa selesai. Lo malah bikin semua orang khawatir, bikin semua orang tahu lo lagi ada masalah."
Kirana menekan ikon wi-fi, deretan nama yang muncul di sana membuat gadis itu terkikik.
RS Satya Negara
ModalBrayyy
Gembel
Kirana
Nama terakhir yang membuat gadis itu mengernyitkan dahi. "Nama hotspotnya Kirana?" tanya gadis itu, tidak percaya.
Baylor mengangguk malas. "Udah cepet sambungin, gue mau balik," ujarnya.
"Passwordnya apa, Bay?" Jari-jemari Kirana sudah siap mengetik di atas keyboard.
"Baylor sayang Kirana," sahut lelaki itu sama sekali tidak bisa menahan malu. Ia memalingkan wajah, menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya.
Kirana kerkekeh dan mengetik di sana. Benar, Baylor sayang Kirana tanpa spasi adalah kata sandi valid yang langsung menghubungkan kedua jaringan ponsel mereka.
Sweet but pshyco.
"Gak usah senyam-senyum, cepet pesen ojeknya!" sentak Baylor yang melihat Kirana tidak henti menongolkan deretan gigi putihnya.
Kirana terkesiap dan segera beralih ke aplikasi ojek daring. Mencari alamat tujuan dan menekan tombol pesan. Ototmatis server mencari driver terdekat, beberapa detik saja langsung dapat. Bibirnya merapalkan plat nomor si pengendara agar ketika Baylor pergi dan sambungan terputus, tidak kebingungan.
"Udah, Bay." Seruan tersebut membuat Baylor memarahi diri sendiri yang akhir-akhir ini sering melamun. Ia pun memakai helmnya kembali dan menggantungkan helm Kirana di lengannya.
Deru knalpot diikuti asap hitam yang mengudara adalah tanda Baylor sudah pergi. Kirana mengembuskan napas kasar, ada-ada saja menjadi kekasih lelaki yang notabenenya singa berwujud manusia, berhati kain sutera.
Ia terjebak lampu merah di perempatan jalan besar. Letak motornya yang berada di barisan terdepan seakan tengah mengikuti motor balap. Baylor memerhatikan di sekitarnya, mereka ini orang-orang asing yang setiap hari silih berganti. Menerima nasib yang sama yakni terjebak lampu merah. Beberapa anak kecil berusaha menghibur dengan memainkan alat musik sederhananya, ada juga yang menjual beragam minuman, serta kebutuhan mendadak seperti tissue.
Harusnya ia bisa belajar dari situ. Setiap orang memang berbeda, tapi ada suatu kondisi di mana salah satu, dua, atau bahkan lebih dari mereka yang memiliki kesamaan nasib.
Contoh lainnya, Baylor dan Kirana. Mereka dua insan yang dari jenis kelaminnya pun tidak sama. Namun, ada keadaan yang membuat keduanya harus bersama. Saling melengkapi seperti pengendara yang membeli tissue agar tetesan keringatnya kering, saling menyayangi seperti isi lagu yang pengamen cilik itu bawakan, saling memahami ketika tidak mendapat upah setelah selesai bernyanyi, dan lain-lain.
Setiap yang tertangkap oleh netra, mulai sekarang, cobalah ambil pelajarannya. Jika tidak penting untuk saat ini, mungkin saja dibutuhkan untuk nanti.
Setelah menunggu akhirnya lampu tersebut berubah menjadi hijau. Jalanan itu memang Baylor tinggalkan, tapi tidak dengan pelajarannya.
Masih ingat tidak ketika Baylor bilang pada Dewi bahwa ia akan pulang saat dirinya membaik? Ya, kalimat tersebut berlaku untuk sore ini. Ia cukup baik untuk menginjakkan kaki di sana lagi, rumah.
🌠Bersambung
Hayuu next gak?❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top