[16] H-7 OSN

Seminggu ke depan harusnya Baylor mengeluarkan kekuatan ekstranya untuk belajar. Namun, seperti ada tali tak kasat mata yang seolah mengikat lelaki itu untuk tidak menyentuh bahan-bahan pelajaran.

Kedatangannya bersama Restu di kelas membuat Jefri, dan Nata langsung menatapnya. Mereka memiliki pertanyaan yang sama, mengapa dua laki-laki itu bisa berangkat bareng?

"Kenapa?" Baylor lebih dulu tatapan penuh tanda tanya mereka, ia menjatuhkan bokong dengan kasar di bangkunya.

Restu malah berjalan menuju almari peralatan yang ada di belakang kelas, selain rajin, Restu juga menyukai kebersihan. Tipe-tipe yang tidak nyaman sekitarnya dikelilingi sampah, padahal sebatas plastik dan karet gelang milik nasi uduk Jefri di sebelahnya.

"Eh, mau gue pake la--" Jefri memelankan suaranya, menyadari ucapannya telat sepersekian detik dengan Restu yang menyapu dua benda itu. Restu terkesan tak acuh dan beranjak menuju luar untuk membuang sampah tersebut.

Nata menahan tawa.

Jefri pun membuang napas kesal dan kembali melanjutkan sarapannya.

Keadaan menjadi hening, perusuh-perusuh kelas belum pada datang. Baylor juga heran mengapa Restu hobi sekali berangkat pagi-pagi seperti ini, biar apa coba?

"Tumben celana lo gak di-crop, Bay," cibir Nata yang sudah sadar dari laki-laki itu masuk. Nata ini pengamat, sebelas dua belas ketajaman matanya sama Gery yang belum datang.

"Celana Restu." Sahutan Baylor menciptakan kebingungan serupa di kening Jefri dan Nata.

"Gue nginep di rumahnya semalam," lanjut Baylor.

Jefri, entah pikiran macam apa yang ada dalam benak cowok itu. Yang jelas, Jefri tersedak ketika Baylor selesai mengucap kalimatnya. Restu buru-buru menyodorkan air, Nata yang sejak tadi menahan tawa pun pecah.

"Otak kotor lo, Jef!" sungut Baylor, menggeleng tak habis pikir sembari menoyor kepala Jefri.

Tidak sampai situ, Restu yang ikut kesal setelah istigfar langsung melakukan aksi yang sama. Nata terpingkal-pingkal sampai tidak sadar dengan kehadiran Jihan di tengah-tengah mereka.

Jihan berdehem di samping Nata, mencoba menunjukkan eksistensinya. Nata pun reflesk, "Eh sejak kapan kamu di sini?"

Cewek itu tidak menjawab pertanyaan Nata dan malah memutar tubuh ke arah Baylor. "Bay, lo udah belajar?"

Sejenak mereka yang ada di sana terdiam, saling tatap, dan salah satu dari mereka yakni Baylor menggelengkan kepala.

Netra Nata tertuju pada Baylor yang menyibukkan diri dengan membuka ranselnya, Nata menaikkan sebelah ujung bibirnya tipis. "Bagus banget nyuekkin pacar sendiri." Sambil menoleh pada Jihan yang sedang memainkan ponsel.

"Lagi, siapa suruh nyuekkin aku pas dateng. Anggap aja imbang, satu banding satu," kata Jihan tanpa mengalihkan pandangannya yang fokus tersebut.

Rasanya, Jefri dan Restu menunjukkan kelegaannya terang-terangan.

"Ouh, gak bisa main bola ngajaknya main cuek-cuekkan nih? Biar aku menang, aku nyuekkin kamu lagi ya?" Nata tampak gemas dan mencubit hidung Jihan hingga terdengar erangan kecil.

Pemandangan tersebut tidak baik dilihat bagi kaum jomlo macam Jefri dan Restu, mereka kompak memalingkan wajah.

Baylor sendiri yang sudah mendapat apa yang ia cari, sebuah buku dan pulpen mulai menuliskan sesuatu di atas sana. "Han," panggil lelaki itu.

"Kemaren suruh nyatet nama sama email, nih." Lelaki itu beranjak seraya menaruh kertas tersebut di meja Jihan.

Jihan mengangguk-anggukkan kepala.

Sekarang, tidak ada yang bia Baylor lakukan selain menunggu bel berbunyi. Ia benar-benar menyumpah serapahi Restu yang sudah mengambil waktu tidurnya.

"Ouh iya, lo ngapain nginep di rumah Restu kalau enggak itu-itu?" Jefri kembali menoleh bersamaan dengan Baylor yang ingin menenggelamkan wajah di atas meja. Ia mendongak, memicing ke arah Jefri, ambigu sekali.

"Gak pa-pa, pengen ke rooftop aja." Ucapan tenang itu membuat Restu menipiskan bibir, Restu sudah tahu bahwa Baylor akan terus menutup-nutupinya.

Netra Baylor melemah, ia sudah memutuskan untuk terlelap setidaknya selama beberapa menit ke depan. Atau kalau tidak bisa dipaksa terjaga sampai bel masuk, ia berniat untuk menukar tempat duduknya dengan Gery menjadi di pojok. Dari situ, tidak akan kelihatan oleh guru yang ada di depan karena terhalang teman-temannya.

"Bay, nomor lo ga--eh, tidur." Gery yang baru saja sampai tak melanjutkan ucapannya tersebut.

Gery paham, bagaimana rasanya mengantuk di pagi hari. Pasti berat.

"Skuy Jef, mabar kita!" ajak Gery sembari membuka kotak bekal makannya dengan berbinar. Mabar yang Gery maksud adalah makan bareng. Karena biasanya dari mereka berlima, yang rajin membawa sarapan adalah Gery dan Jefri.

Jefri memperlihatkan cengirannya, "Sorry, Ger. Lo lama sih, gue udah duluan."

Gery mendengus, "Ah, gak asik lo!" Tetapi tangannya tetap lihai menyendokkan suapan pertama. "Gue tuh telat gara-gara nyiapin makan sendiri, sengaja gue banyakin biar bisa barter."

Jefri tampak berpikir, "Yaudah kalau gitu, gak usah barter. Tapi bagi-bagi aja, sedekah, Ger."

Jangan heran lihat badan kurus Jefri meski senang makan, mungkin kena kutukkan. Bisa-bisa sebenarnya badan Jefri menyamai Gery.

"Yehhh, tapi karena gue ini dermawan. Nih, sosisnya buat lo. Tapi lo yang kecil." Gery menyodorkan sendok yang di atasnya terdapat sosis kecil yang sebenarnya adalah satu sosis dibagi dua kepada Jefri yang menerimanya sumringah.

Baylor yang belum sepenuhnya terlelap, dibuat kesal oleh percakapan mereka. Ia membuka kelopak mata, "Berisik lo pada!"

Sungutan tersebut membuat Jefri menyahut, "Yehh, denger sosis aja lo bangun."

Gery langsung mengalihkan topik, "Bay, nomor lo gak aktif? Tadi gue ketemu Kirana, dia nanya ke gue."

Baylor mengernyitkan kening, "Kenapa dia gak langsung ke sini aja?"

Gery dan Jefri menangkat bahu.

Sepertinya Baylor harus menggagalkan susunan rencana tidurnya apik-apik, ia beranjak menuju kelas Kirana. Dengan langkah lebar dan wajah datar, ia melongos begitu saja ketika berpapasan dengan Armella.

Padahal, Armella menyapa dan mengajaknya tersenyum.

"Kirana!" Ia berdiri di depan kelas gadis itu, volume suaranya naik satu oktaf.

Bagaimana pun juga, di mata anak-anak dari kelas lain, Baylor adalah murid yang disegani. Sehingga, teriakkan Baylor tadi mampu mengheningkan kelas mereka yang semula ramai.

Kirana yang sadar kehadiran Baylor, cepat-cepat menghampiri dan menyeret lelaki itu keluar.

"Bay." Kirana meminta pengertian sedikit dari tatapan matanya itu, gadis itu merasa Baylor adalah alasan utama jarang ada yang mau bergaul dengannya.

"Gue gak peduli," balas Baylor, "ada apa lo nanya gue ke Gery? Bukannya lo masih punya tenaga buat ke kelas gue langsung?"

Kirana menelan ludah. Disemprot pagi-pagi oleh pacar sendiri di depan umum, siapa yang tidak malu? Kalau begini terus Kirana bukan hanya terkekang, tapi juga terbebani.

"Bi Tuti masuk rumah sakit," tutur Kirana.

Saat-saat menyulitkan seperti ini, apa yang harus Baylor lakukan?

🌠Bersambung
Drop comment kalian ya biar aku semangat, apapun itu

























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top