TWO - [ A ]
Wu berangkat lebih pagi setelah membuat nasi goreng untuk semua penghuni Panti Asuhan. Memasuki gerbang utama sekolah, Wu menelan saliva berat saat melihat gedung sekolah yang terlihat seperti sebuah perusahaan terkenal dan hanya di isi oleh anak-anak menengah keatas. Entah ia harus menyebutnya dengan kesialan atau sebuah prestasi karena mampu masuk ke sekolah ini dengan beasiswa seumur hidup karena nilainya yang bagus dan mendekati sempurna.
Meremat tali tas, Wu teringat ucapan Arstian lalu berlari sekuat tenaga untuk menuju mading sekolah dan tidak sengaja menabrak seorang Kakak kelas yang sangat ia takuti. "Ma-maaf!!" teriak Wu dengan membungkukkan tubuhnya berulang kali. "Maafkan aku Kak, sungguh aku tidak sengaja!"
"Semua orang yang menabrakku juga mengatakan jika itu tidak sengaja, tapi aku tau benar kau sengaja menabrakku bocah sialan!"
"Ma-maaf..." ujarnya dengan gemetar.
Menghela napas kasar, Kakak kelasnya itu hanya memberikan jitakan yang terasa sangat pedas sekaligus panas di kepalanya. "Kali ini kau ku maafkan karena aku belum mengecek ruang siaran, jadi cepat pergi dari hadapanku sialan!"
"Ba-baik!" Wu menegakkan tubuhnya lalu membungkuk sekali lagi sebelum pergi. "Terima kasih Kak Keltian!" setelah mengucapkan itu Wu pergi berlari meninggalkan Keltian yang menggelengkan kepala saat melihat tingah adik kelasnya itu.
"Sialan... untung saja, jika aku lepas kendali pasti sudah aku hantam kepalanya itu." menghela napas, Keltian pergi menuju ruang siaran yang harus menaiki tangga terlebih dahulu jika lewat arah sini.
[ ... ]
Wu berhenti tepat di depan mading dengan kepala yang terus menoleh kebelakang, takut jika Kakak kelasnya itu mengejarnya sampai sini, atau yang lebih parah lagi Kakak kelasnya itu menyuruh semua anak buahnya untuk mengerjainya habis-habisan. Menghembuskan napas pelan, Wu mengelus dadanya dengan mengucapkan rasa syukur beberapa kali.
Mendongakkan kepala, Wu benar-benar dibuat murung karena melihat foto dirinya yang dipukuli dengan tangan yang terikan kebelakang dan kedua mata yang tertutup. Menyentuh dahi, Wu menahan tangis setelah melihat foto-foto yang benar-benar mempermalukan dirinya.
Apa akhirnya akan seperti ini? tanya Wu pada dirinya sendiri.
Saat terlalu larut dalam pikirannya sendiri, Wu mendengar sebuah suara dari sebelah kanan dan suara yang terdengar dari intercom suara yang amat sangat ia kenal dan membuat bulu kuduknya meremang mendengar apa yang di ucapkan oleh orang itu.
"Halo, ini aku Ti. Aku memberikan tantangan untuk kalian semua sampai satu jam kedepan, dimana, siapa yang mampu melempar telur pertama kali tepat di wajah Wu, ah lebih tepatnya.., Wuanzo Dekasta akan aku berikan hadiah langsung dan yang pastinya salah satu dari kalian akan aku jadikan kaki kananku, aku tidak menerima wanita untuk jadi kaki tanganku, tetapi sebagai..." suara itu turun satu oktaf dan membuat semua siswi berteriak kesenangan karena akan mengetahui siapa Ti yang sebenarnya. "pacarku, semoga kalian berhasil. Permainan di mulai, satu.. dua.. tiga."
Kedua mata Wu membola setelah mendengar pengumuman yang ia pastikan sebagai Ti. Kepalanya kembali mencerna, semua hal buruk akan terjadi sebentar lagi, seolah bom yang sudah terpasang dengan hitungan cepat, bom itu akan meledak kapanpun dan bahkan,
"Hei! Lihat itu, ada si pecundang!" teriak salah satu siswi dengan melemparkan telur yang di pegangnya.
Sekarang.
Bom waktu itu benar-benar meledak tepat di wajah Wu dan membuat semua anak-anak di sekolah itu mengejar-ngejar dirinya. Wu reflek memutar balik keluar gedung sekolah, namun saat sampai di depan gerbang, gerbang itu sudah terkunci dengan rantai besi yang melilit pegangan pada gerbang.
Mengumpat, Wu benar-benar mengumpat dan mendongakan kepala, melihat satu tempat persembunyian yang tidak akan di ketahui oleh teman-teman satu sekolahnya dan mungkin akan bertahan sampai satu jam kedepan. menaiki tempat duduk yang berada di bawah pohon, Wu memanjat pohon secepat mungkin dan duduk di dahan yang tertutup oleh daun-daun yang sangat lebat. Dalam hati ia berdoa agar mereka semua tidak menemukan dirinya disini.
"Aku hanya perlu bertahan sebentar disini, dan semua akan baik-baik saja setelah satu jam nanti." Ucapnya dengan sedikit tidak percaya pada ucapannya sendiri.
Semua orang berlarian kesetiap tempat membuat Wuanzo Arstian mengerutkan dahi melihat apa yang terjadi di depan matanya. Melihat kesekitar, teman-temannya membawa satu telur di tangan masing-masing dengan wajah lelah yang sangat terlihat di wajah mereka semua. menarik salah satu tangan teman sekelasnya, Arstian menanyakan apa yang terjadi saat ini.
"Kita harus mencari Wu agar salah satu dari kita menjadi kaki tangan Ti, si penguasa sekolah ini!"
"Hah?" tanya Arstian tidak mengerti yang di ucapkan oleh temannya itu.
"Percuma bicara dengan orang bodoh sepertimu! Tidak akan paham juga kalau aku jelaskan berulang kali, minggir sana! Mengganggu saja, dasar bodoh!" ujar teman kelasnya yang langsung mendorong tubuh Arstian kebelakang sampai menabrak pintu kelas.
"Sebetulnya mereka itu kenapa sih? Apa mereka sudah gila?" tanya Arstian pada dirinya sendiri. "Tetapi.. kalau Wu dijadikan incaran satu sekolah, bersembunyi dimana ya dia?"
[ .... ]
Aiyo kembali datang ke tempat dimana Wu di besarkan. Ditanganya terdapat satu map yang di butuhkan untuk melakukan proses agar Wu berada di tangannya setelah itu. semalaman penuh ia bertanya pada keluarga besarnya untuk menanyakan tentang keputusannya untuk mengadopsi seorang anak yang sudah dewasa, dan keluarganya menyetujui dengan catatan ia harus mampu membesarkan dan mendidik Wu sesuai dengan cara keluarga mereka, dan Aiyo menyanggupinya, ayolah, itu hal yang sangat mudah baginya!
Menatap lekat rumah besar itu sekali lagi, Aiyo memantapkan tekadnya untuk mengasuh Wu dan menyelesaikannya saat ini juga. Saat kakinya menyentuh lantai keramik, ponselnya berdering, membuat ia mengurungkan niat masuk ke dalam rumah yang pintunya sudah terbuka lebar.
Membalikkan badan, Aiyo mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu pergi menjauh dari rumah tersebut, tanpa menyadari sebuah tubuh terseret masuk kedalam rumah dengan seseorang yang mengepel darah untuk menghilangkan jejak.
"Ah iya Yah, Chen udah di tempatnya,"
"..."
"Iya, makanya Chen selesaikan dulu semuanya, baru setelah itu bisa membawa Wu pulang."
Aiyo tersenyum lebar saat mendengar ucapan Ayah dan Ibunya yang sudah tidak sabar bertemu dengan Wu, anak yang akan ia jadikan anak angkat setelah mengurus semuanya.
[ ... ]
Wu perlahan lahan turun dari atas pohon saat merasa aman dan tidak ada yang mengetahui tempat persembunyiannya, setelah mendengar pengumuman yang menyudahi permainan yang di lakukan oleh Ti. Gerbang sekolah juga sudah dibuka oleh teman-temannya sejak beberapa menit yang lalu dengan empat Kakak kelasnya yang berada di ekstrakurikuler bela diri mengumpat serapah karena gagal menemukan dirinya.
"Apa aku harus pulang?" tanyanya pada diri sendiri. "Aku baru masuk selama tiga bulan di sekolah ini, tetapi rasanya bagaikan lima belas tahun terkurung di kandang hewan liar." Menundukkan kepala, Wu melangkah mendekat pintu gerbang sekolah dan berhenti saat mendengar seseorang meneriaki namanya.
Menelan saliva berat, Wu berbalik badan dengan tubuh yang gemetar. Ia benar-benar takut membayangkan dirinya menjadi sasaran karena teman-temannya gagal mengenai wajahnya menggunakan telur. Suara langkah kaki itu semakin mendekat dan berhenti tepat di depannya. Indra penciuman Wu mengendus bau amis yang sangat kentara, memberanikan membuka mata, ia benar-benar terdiam saat melihat kuning telur terjatuh tepat di aspal yang ada di dekatnya.
Mendongakkan kepala, kedua mata Wu membola ketika melihat tubuh Arstian penuh dengan telur dan kulit telur yang masih tersangkut di seragam dan rambut temannya itu. "K-kau..!" Wu reflek memegang kedua lengan Arstian dengan raut wajah yang sulit di baca. Menghela napas dengan kepala yang perlahan menunduk. "Maafkan aku... karena aku, kau.." Wu mendongak saat telapak tangan Arstian terangkat untuk menjauhkan tangannya dari kedua lengan Arstian.
"Tak apa, 'kan aku sudah bilang kemarin kalau kita harus menghadapinya bersama-sama." Ujar Arstian dengan senyum yang terpasang di wajahnya. "Lebih baik kau pergi ke kelas, aku harus mengambil seragam baru di kantor Kepala Sekolah."
"Biar aku antar!"
"Tak perlu, lebih baik kau masuk ke dalam kelas dulu."
"Tidak apa, aku akan mengantarmu terlebih dulu baru kembali ke kelas."
"Dan kita berdua akan menjadi sasaran telur busuk begitu? Itu yang kau mau?"
Wu terdiam, kepalanya menggeleng tidak membenarkan ucapan Arstian, ia hanya ingin mengantar temannya sampai ruang guru sampai temannya benar-benar sampai dengan selamat dan tidak dilempari telur, tetapi rasanya apa yang di katakan oleh Arstian ada benarnya juga. Mengangguk, Wu mengangkat tangannya setinggi wajah lalu berbalik badan, meninggalkan Arstian yang terbengong menatap kepergian Wu.
"Ya! kau terlalu mendramatisir keadaan bodoh! Ku tendang nanti bokongmu sampai dikelas, lihat saja!" teriak Arstian membuat sudut dahi Wu berkedut.
Menggeram kesal, Wu berbalik badan lalu berlagak seperti akan memukul wajah Arstian menggunakan tangan kanannya, dan hal itu sukses membuat Arstian tertawa geli dengan memeluk perutnya erat.
"Syuh! Syuh! Pergi kau wahai kampret!"
"Heh!"
Arstian pergi berlari meninggalkan Wu seorang diri di lapangan bakset. Menghela napas, Wu tersenyum hangat, sahabatnya itu tetap bisa tertawa dan menghibur dirinya walaupun posisi Arstian sangat tidak menguntungkan akibat ulahnya yang selalu lari dari kenyataan.
Kepalanya mendongak menatap langit dengan pandangan sendu, "Tuhan.. kapan semua ini selesai? Aku hanya berharap dapat kehidupan yang nyaman disekolah tanpa di ganggu oleh orang ini atau orang itu, orang yang menghabiskan waktu mereka untuk menindas orang yang lebih lemah, orang yang mereka katakan sampah, namun mereka sendiri bersikap seperti sampah yang 'tak pantas untuk dimiliki oleh siapapun."
"Hei bodoh!"
Seolah ditarik pada kenyataan, Wu menoleh kearah belakang dan menemukan Keltian dengan dua Kakak kelasnya yang lain berada di belakangnya dengan masing-masing kedua tangan yang dilipat di depan dada, bahkan tatapan ketiganya benar-benar tajam dan menusuk.
"Y-ya kak?" tanya Wu berbalik badan menghadap ketiga orang tersebut.
"Kau bersembunyi dimana selama satu jam tadi? hebat juga kau, karena tidak terkena telur busuk itu." ujar Keltian dengan tatapan mengejek. Maju beberapa langkah, Keltian berhenti di depan Wu dengan tubuh yang sedikit membungkuk. "Kau lihat, 'kan sahabat cupumu tadi? karena kau lari, dia yang terkena imbasnya, bodoh!" lanjut Keltian dengan jari telunjuk yang mendorong dahi Wu dengan kuat, sampai tubuh Wu mundur ke belakang.
"Ma-maaf Kak,"
"Untuk apa meminta maaf padaku, kau itu selain bodoh juga tidak tau dimana tempatmu yang seharusnya ya?"
"Maaf Kak!"
Berdecak kesal, Keltian mengalihkan pandangan kearah lain lalu tanpa aba-aba kaki panjangnya menendang dada Wu sampai membuat Wu terjungkal kebelakang dengan dada yang terasa amat sakit, bahkan siku tangannya terseret pada aspal lapangan sampai mengeluarkan darah.
"Aku tidak menyuruhmu minta maaf, bodoh!" berjongkok di dedap tubuh Wu, Keltian menoleh kebelakang dan bertanya pada kedua temannya yang terus memperhatikan keduanya.
Salah satu temannya tersenyum mencemooh dengan ponsel yang berada di tangannya. Sedangkan yang satu lagi merogoh menyembunyikan tangan di belakang punggung dengan mendekat kearah Wu dan Kaltian dengan senyum yang benar-benar mengejek. Seolah mengerti, Keltian mengangkat kedua tangannya keatas, beranjak dan pergi menjauh meninggalkan temannya yang berdiri di depan Wu yang masih belum bergerak sedikitpun.
"Seharusnya, kau tetap diam agar kami punya tontonan yang menarik." Ujar orang itu dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya. "Karena kau kabur, kami tidak mempunyai tontonan yang menarik, dan menjadikan si bodoh nomor dua sebagai bidik sasaran telur, 'kan." Merendahkan tubuh, orang itu bergerak seolah-olah mengeluarkan telur dari dalam telinga Wu. "Ah lihat ini! aku bisa mengeluarkan telur dari telingamu!"
Kedua mata Wu membola saat mendengar telur, karena tidak percaya dengan ucapan Kakak kelasnya itu, Wu menoleh kesamping dan dahinya benar-benar bertabrakan dengan telur yang ada di tangan Kakak kelasnya itu. memejamkan mata, Wu menundukkan kepala saat mendengar suara tawa yang menggelegar dari ketiga Kakak kelasnya itu.
"Hahahaha, jangan menangis ya bodoh kau hanya bertemu satu telur diwajahmu, sedangkan Arstian menerima banyak telur diwajah dan tubuhnya." Mundur perlahan, orang itu berdiri di sebelah temannya yang memegang ponsel. "Apa kau merekam yang tadi?"
"Tentu saja, saat ada kesempatan menjatuhkan bocah seperti dia itu kenapa harus dilewati." Tersenyum penuh arti, kedua temannya menoleh kearah Keltian yang terus memperhatikan Wu yang masih diam di tempatnya. "Jadi, bagaimana dengan videonya? Apa perlu kita sebarkan?"
"Sebarkan saja, memangnya apa yang bisa di lakukan oleh anak bodoh itu?"
"Kenapa..," Keltian menajamkan pendengarannya saat mendengar suara lirih Wu. "Kenapa.., kenapa kalian melakukan hal jahat ini padaku?"
Mendengus. Keltian melangkah mendekat lalu menendang sepatu yang digunakan oleh Wu dengan pelan. "Kau mengatakan aku dan kedua temanku itu jahat? Lalu kau menyebut dirimu sendiri apa? sahabat yang seharusnya kau lindungi malah berubah menjadi korban hanya karena melindungi seorang sampah sepertimu. Yang benar saja, jangan bercanda padaku!" Wu mendongak saat menyadari ucapan Keltian ada benarnya juga, andai saja ia tidak menjadi seorang pengecut, andai saja ia mampu menghadapi semuanya, andai.. seolah di tarik pada kenyataan, Wu benar-benar terkejut saat perutnya di pukul oleh Keltian yang menyeringai saat menatapnya.
"Biar aku beritahu sesuatu yang lucu," ujar Keltian dengan berbisik tepat ditelinga Wu sebelum pergi bersama teman-temannya. "Itulah hal lucu yang akan aku katakan, jadi.. ku harap kau bisa menjaga rahasia ini, okay." Bangun dari posisinya, Keltian menepuk-tepuk seragamnya yang terkena debu lalu merangkul kedua temannya, mengabaikan Wu yang menatap kosong kedepan dengan dua mata yang melebar 'tak percaya.
".... jadi, Keltian itu Ti?" bisiknya pada angin yang berhembus. Menangkup wajahnya, Wu menunduk dengan bahu yang bergetar. "Bagiamana bisa.. bagaimana bisa ini semua terjadi padaku? Aarrgh! Sialaaan!!! Aku benci bersekolah disini!!!"
[ ... ]
Aiyo tersenyum lega saat menatap map yang ia bawa, semua persoalan tentang hak asuh Wu sudah selesai lebih cepat dari dugaannya. Walaupun tidak bertemu dengan Ibu pemilik Panti Asuhan, tetapi semuanya berjalan dengan lancar sesuai keinginannya.
Menepuk tepuk map menggunakan tangan kanan, Aiyo masuk ke dalam mobil yang sejak tadi menunggu tidak jauh dari Panti Asuhan. Mencari tempat yang nyaman, Aiyo meletakan map di jok yang kosong lalu menutup pintu mobil.
"Kita pergi ke rumah Ibu," ujarnya dengan siku yang menempel di kaca mobil dan kepalan tangan di depan bibirnya. "Semuanya akan kita mulai, benarkan Wu?" gumamnya dengan senyum yang terulas. "Aku akan melindungimu mulai dari sekarang Wu."
Mobil itu melaju meninggalkan rumah yang mengalirkan darah segar diatas lantai keramik putih yang kini berubah menjadi merah pekat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top