FOUR - [ A ] BEAUTIFUL
Wu sampai dirumah dengan kepala yang tertunduk, wajahnya tidak menampilkan semangat sama sekali dan membuat satu isi rumah begitu khawatir dengan keadaan Wu, begitu pula Aiyo yang terlihat sangat khawatir sekaligus bingung mengapa anak angkatnya itu tetap seperti itu padahal dia sudah memiliki keluarga, lalu apa yang kurang? Begitu kira-kira pertanyaan yang ada di benak Aiyo saat ini.
"Nak.." panggil Aiyo saat berada di ambang pintu kamar Wu.
"Ya, Pa?" tanya Wu.
"Bagaimana dengan sekolahmu hari ini?"
Aiyo masuk kedalam kamar Wu dengan langkah kaki yang benar-benar membuat Wu terpukau, bagaimana tidak, orang yang Wu lihat adalah seorang pembisnis paling terkenal di Negara ini, hanya dia saja yang telat mengetahui hal itu. bahkan saat berjalan pun Aiyo terlihat sangat menarik, dan berwibawa, seolah memang sudah di takdirkan untuk menjadi orang kaya dan lahir di keluarga bahagia. Terdiam sebentar, Wu tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit.
"Baik! Semuanya berjalan baik Pa,"
"Apa itu benar?" tanya Aiyo dengan nada khawatir, telapak tangannya membenarkan letak poni yang jatuh di wajah Wu. "Tapi tadi kau terlihat tidak baik-baik saja Nak, apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Tidak ada, eum.." Wu memainkan jari-jarinya dengan kepala yang tertunduk, menggigit pipi bagian dalam, Wu mengambil tangan Aiyo dengan ragu-ragu. "Pa, apa aku boleh ikut latihan bela diri?"
"Tentu boleh Nak, apa disekolah mu sedang membuka pendaftaran untuk EKSKUL itu?"
"Bu-bukan disekolah Pa, tapi di tempat yang lain."
"Ah begitu, boleh! Tentu saja boleh, bahkan Kakekmu juga menyarankan hal yang sama pada Papa, tapi Papa masih memikirkan hal itu, tapi.. karena sekarang kamu yang memintanya, Papa akan mengizinkan asalkan kamu bisa latihan serius."
"Benar Pa?" tanya Wu dengan kedua mata yang berbinar.
"Tentu, apapun yang kau minta pasti akan Papa turuti."
Wu menerjang Aiyo untuk memeluk laki-laki yang berada di hadapannya. "Terima kasih Pa, terima kasih!" ucap Wu dengan begitu tulus.
"Sama-sama Nak."
"Pa?" panggil Wu setelah melepaskan pelukannya.
"Ya, kenapa?"
"Apa akhir-akhir ini ada orang asing yang masuk kedalam rumah dengan seizin Papa, Kakek, atau Nenek?" tanya penasaran.
"Orang asing? Apa ada seseorang yang masuk kedalam rumah ini selain para pekerja?" mengusap dagu, kepalanya mendongak seolah mengingat suatu hal. "Tidak ada, seingat Papa tidak ada yang datang kerumah ini, karena kau tahu sendiri Kakek dan Nenekmu itu tidak suka orang lain datang kerumah utama ini, kecuali keluarga."
Terdiam, kedua bahunya merosot saat mendengera penjelasan Aiyo. Melirik anakanya, Aiyo menyentuh kedua pundak Wu bersamaan membuat tubuh Wu terkelonjak kaget. "Apa Papa mengejutkanmu?"
"Ah tidak kok Pa, tadi aku hanya tiba-tiba bengong."
"Apa ada yang mengganggumu? Ah bukan, apa ada orang asing yang masuk kedalam rumah ini?"
"Tidak Pa, aku hanya bertanya saja.. karena temanku Arstian ingin datang kesini untuk mengerjakan tugas kelompok," kedua matanya bergulir kesamping. "Iya! Kerja kelompok, Senin depan harus dikumpulkan!"
"Ah begitu, 'tak apa Wu, ajak teman-teman mu datang, perlakukan mereka sebaik mungkin sampai mereka malu untuk mengejekmu lagi dan tidak memperlihatkan wajah mereka selamanya."
"Maksudnya Papa?"
Kedua alisnya terangkat, bola matanya sedikit melebar. "Maksud Papa, sampai mereka malu memeperlihatkan wajahnya di hadapanmu lagi, karena.. ya, kau tahu mereka malu karena mengejekmu tidak punya keluarga, dan sekolah karena beasiswa, tch! Papa bisa membeli sekolah jelek itu saat ini juga kalau kau mau, agar mereka berhenti menghinamu!"
"Itu ide yang bagus Pa, tapi tidak perlu, mereka tidak akan berhenti saat tahu kalau aku pemilik sekolah itu, mereka akan semakin menekanku agar mereka bersekolah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, lalu Papa akan merugi setelahnya."
"Tch! Bocah-bocah sialan seperti itu harus di pukul pantatnya sesekali agar jera! Tenang Wu, Papa akan mencarikan tempat bela diri terbaik di Kota ini, agar suatu saat kau bisa memukul pantat mereka kalau berani menghinamu!"
Wu tertawa saat mendengar Aiyo berbicara dengan kedua mata yang mengobarkan api. "Hahaha, Papa ini ada-ada saja! Memangnya Papa tidak bisa bela diri, jika bisa lebih baik aku di ajarkan oleh Papa saja!"
"Papa hanya bisa menandatangani tender milliaran, pertemuan antar kolega, membahas tender lagi, lalu pergi rapat, lalu bersantai dirumah, lalu memasak, lalu –" Wu membekap bibir Aiyo menggunakan sebelah tangannya saat mendengar penjelasan yang di berikan oleh Aiyo. Intinya, Papanya itu tidak bisa bela diri selain kemampuan otaknya yang di atas rata-rata untuk memenangkan tender bermilliar-milliaran itu.
"Enough, aku mual mendengarnya Pa."
Menjauhkan tangan Wu dari mulutnya, Aiyo menarik anaknya itu kedalam rangkulannya. "Suatu saat kau harus menggantikan ku Wu, jadi kau harus terbiasa mendengar dan melihat Papa, Kakek, Nenek, dan keluarga yang lain membahas masalah itu selamanya."
"Kenapa harus aku?"
"Lalu siapa lagi, anakku hanya kau Wu."
"Apa Papa tidak ada niatan untuk menikah lagi?"
"Tidak, Istri Papa hanya satu, dan anak Papa hanya kau."
"Maaf Pa kalau pertanyaanku membuatmu sedih."
Tersenyum hangat, Aiyo mengusap kepala Wu dengan ringan. "It's okay, you must to be know. Hmm. Kapan-kapan aku akan mengajakmu pergi ke makam Mamamu, istriku."
"Kenapa tidak besok saja?"
"Maaf Wu, jika aku jelaskan lagi kau akan mual."
"Ah..." mengalihkan wajah kedepan, "Kau benar Pa, sebaiknya kau tidak mengatakannya."
"Kau seperti diriku sewaktu di usiamu, Wu. Aku juga selalu mengatakan hal yang sama saat Kakek membicarakan tentang pekerjaan."
"Sebuah kebetulan,"
"Mereka juga mengatakan jika kita berdua mirip, aku juga merasakan hal yang sama sewaktu pertama kali menolongmu." Melepas rangkulan, Aiyo membenarkan posisi tubuhnya menghadap kedepan, kedua tangannya terlipat di depan dada dengan padangan yang fokus menatap kedepan. "Dulu, sebelum Mamamu pergi, dia mengatakan suatu saat aku akan menemukan penggantinya, bukan sebagai Istri, tetapi sebagai seseorang yang harus aku lindungi, lalu hari itu datang, aku menemukanmu tergeletak di jalanan dengan keadaan yang.." napasnya berubah memburu seolah kejadian itu benar-benar membuat hatinya sakit. "Yah.. kau tahu, itu sangat miris dan menyakitkan, orang-orang hanya melewatimu begitu saja bagaikan sampah, padahal kau sudah babak belur."
"Tidak apa Pa, sebelum bertemu denganmu aku menghadapi yang lebih parah."
"Apa..?" tanya Aiyo tidak percaya.
"Ya, begitulah.. aku baru pertama kali di bully. Tubuhku saja yang lemah, karena disekolah yang dulu aku tidak terlalu suka berolahraga hanya suka mengasah pikiran. Tapi, 'tak apa, aku sudah bersyukur memiliki keluarga sekarang. Papa 'tak perlu turun tangan, aku harus menyelesaikannya sendiri bukan?"
"Ya, kau benar Nak." Melirik Wu yang terlihat tenang, Aiyo tersenyum tipis. "Andai aku tahu siapa yang melakukan itu padamu Wu."
"Lalu kalau Papa tahu apa yang akan Papa lakukan?"
"Menampar pantatnya sampai tidak bisa duduk selama berbulan bulan!"
"Kejamnya Papa.."
"Itu belum seberapa!"
"Okay.. okay, kau menang Pa."
Mereka berdua saling beradu pandangan saat mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Menepuk dahi, Aiyo menarik tangan Wu agar bergegas turun untuk makan bersama dengan beberapa keluarga yang baru tiba di rumah utama.
[ .. ]
Wu masuk ke sekolah lebih semangat di bandingkan sebelumnya, pelajaran yang ia terima di latihan pertama benar-benar membuat tubuhnya sakit bukan main, tetapi ilmu yang ia terima juga tidak main-main seperti menangkis, memukul, menghindar, dan memberikan tendangan. Walaupun masih pemula, ia sudah cukup di bilang menguasai beberapa teknik yang di ajarkan oleh gurunya.
Kedua tangan Wu terangkat sedikit, dengan tangan kiri di depan wajah, sedangkan satu tangan lainnya berada di depan bagian dada untuk melindungi ulu hatinya dari sasaran pukulan. Tangan kirinya tergerak kedepan secepat kilat, walaupun memukul angin, tangan itu sudah terasa lebih lemas di bandingkan kemarin. Gerakan tangannya terasa ringan saat melayangkan pukulan bahkan sangat ringan.
Semenjak pertemuannya dengan Aski dan Baron, ia jadi memikirkan ucapan mereka berdua yang mengharuskan ia bisa melawan rasa takut yang ada pada dirinya sendiri, setidaknya ia harus bisa melidungi dirnya sendiri sebelum melindungi teman-temannya, termasuk keluarga barunya, dari orang itu.
"You shouldn't do that, they will hit you right now." Ujar orang itu dengan tangan yang menurunkan kedua tangannya lalu berganti dengan merangkul bahunya seraya berjalan bersama memasuki kawasan sekolah. "I saw you yesterday at the training ground, your movements are pretty for a beginner, have you ever fought before?"
Ya, kemarin sebuah kebetulan yang benar-benar membuat mental Wu down karena bertemu dengan Baron di tempat latihan yang di sarankan oleh Sepupunya yang datang kerumah, karena tempat itu juga menjadi tempat sepupunya itu berlatih hampir setengah hidupnya. Dan satu hal yang baru Wu tahu adalah, seluruh keluarga Shu memiliki kemampuan bela diri diatas rata-rata semua orang, dalam artian mereka semua harus menguasai setidaknya lima atau delapan bela diri di luar kepala untuk melindungi diri sendiri.
Kemarin Wu sempat bertanya apa Aiyo benar-benar tidak bisa bela diri, lalu mereka semua tertawa dengan menepuk punggungnya berulang kali sampai tubuhnya terhuyung kedepan akibat tepukkan yang 'tak seberapa itu. mereka hanya menertawai dirinya tanpa menjawab, dan hal itu membuat ia mengambil kesimpulan jika Aiyo memang tidak bisa bela diri sama seperti dirinya.
"Don't know, but as I recal yesterday I-" ucapan Wu terhenti saat sebuah pukulan hampir menghantam wajahnya kalau Baron tidak menangkap pukulan itu menggunakan tangan yang sejak tadi bertengger di bahunya.
"See, he really made you the target of his punchbag." Bisik Baron seraya menjauhkan kepalan tangan Kaltian yang berada di genggamanya. Menyuruh Wu berpindah tempat, Baron menatap sinis Kaltian yang saat ini seperti mengeluarkan asap karena rencananya untuk memukul Wu gagal. "It's still to early, try to distinguish which school is the place to fight."
"Berisik! Sebaiknya kau tidak ikut campur Ron!" bentak Kaltian yang masih mencari cara untuk menghajar Wu walaupun sejak tadi tubuh orang itu selalu berada di belakang Baron yang lebih tinggi dari Wu. "Menyingkir! Atau kau akan ku pukul!"
"Ka –" Baron menoleh kearah Wu dengan seringai tipis. "Tenang saja, dia tidak akan mampu melukai wajahku Dekas." Menoleh kearah Kaltian berada, Baron menantap teman sekelasnya itu tajam. "Benarkan?" tanya Baron.
Kaltian terdiam, "Apa seperti ini cara memukulnya?" ujar Baron dengan melayangkan pukulan yang mengarah ke ulu hati, namun di belokkan menjadi memukul rahang Kaltian saat anak itu membuat penjagaan di depan perutnya. "Wah, apa aku salah?" tanya Baron dengan setengah mengejek. Mendengus geli, Baron melambaikan tangan di depan wajah Kaltian. "Sudahlah.., kau itu lemah!"
Merangkul Wu, "Ayo Dekas, lebih baik aku antar kau ke kelas." Baron mengajak adik kelasnya itu masuk kedalam gedung sekolah dan mengabaikan Kaltian yang masih memandang punggung keduanya dengan tatapan tidak suka, tatapan yang tersirat akan kebencian yang mendalam benar-benar terlihat dari kedua mata itu, bahkan sampai saat Aski melewatinya dengan begitu saja seolah ia tidak ada perhitungannya sama sekali dimata keduanya.
"Kau dalam masalah besar Wu!" desis Kaltian.
Saat ingin menoleh ke belakang, kepalanya terlebih dahulu di tahan oleh Baron dan diarahkan kembali kearah depan. "Jangan melihat kebelakang, di belakang sana hanya ada seorang pecundang yang bersikap penguasa." Mendengus geli, Baron menoleh kearah belakang dengan seringai yang terlihat jelas. "Aku satu langkah lebih dulu dibandingkan Kaltian." Tangan kanan Baron terangkat tinggi dengan satu jari yang membuat tanda silang di udara, membuat Kaltian meninju aspal dengan raut wajah kesal, bahkan urat-urat dileher dan pelipisnya sampai terlihat jelas.
"Bro, what are you doing?" tanya Daffa yang baru masuk kedalam sekolah. mendongak, Daffa menemukan Wu dan Baron yang menjauh dari tempat ia berdiri saat ini. "Karena mereka?" tanyanya lagi dengan tangan yang terulur kedepan untuk membantu Kaltian bangun dari tempatnya.
"Iya!" desis Kaltian seraya bangun.
"Sudahlah, kau 'tidak akan bisa melakukan itu."
"Aku bisa! Bocah itu dalam masalah besar."
"Ya, kau benar, lalu apa? kau ingin menambah penderitaannya?"
Mengerjap beberapa kali, sebuah seringai terbit diwajahnya. "Idemu bagus juga, tidak sia-sia huh, aku berteman denganmu."
"Ide? Tunggu, jangan bilang?"
"Ya, aku akan melakukan itu. dimana Fathan?"
"Biasanya 'kan memang belum datang, tuan besar satu itu pasti masih sibuk konser di kamar mandi, kau seperti tidak tahu tabiatnya saja."
Berdecak pelan, Kaltian menarik Daffa kedalam rangkulan. "Kapan tabiat jeleknya itu berubah, tidak cocok sekali dengan sifat dinginnya."
"Entah, kita pergi ke kantin saja, aku lapar."
"Memangnya kau belum makan?"
"Sudah,"
"Lalu?"
"Yah, aku masih merasa lapar."
"Perutmu itu memiliki tempat cadangan makanan yang lain ya selain di usus?"
"Tidak tahu, aku hanya memakan dua nasi goreng pagi ini, lalu selama perjalanan tadi aku makan kripik singkong dua bungkus, susu dua kotak, setelah itu makan coklat tiga."
Kaltian melongo, benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini. menampar perut Daffa menggunakan punggung tangan, dahi Kaltian mengerut saat merasakan kerasnya perut sahabatnya itu.
"Yang keras seperti ini kau bilang masih lapar?"
"Iya, aku lapar!"
"Bocah ini..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top