TIDAK LAGI MENGHARAPKAN

Yoon Bo-kyung membuka matanya perlahan. Menatap langit-langit kamarnya sejenak, dia bangun dari tidurnya dan duduk di atas futon sambil memandang gambar bunga Mugunghwa yang tertempel di dinding kamarnya. Pikirannya melayang. Mengingat percakapannya dengan Lee Hwon kemarin malam.

"Mengapa kamu menangis?" pertanyaan Lee Hwon terngiang. Entah mengapa pertanyaan suaminya itu justru membuat rasa sakit hatinya bertambah. Hatinya bertanya-tanya, apakah suaminya itu tidak tahu sebab kesedihannya? Ataukah suaminya sedang berpura-pura tidak tahu.

Yoon Bo-kyung meraba pipinya. Air mata telah mengaliri pipinya lagi.

"Jeonha, sekalipun aku telah memutuskan untuk mendukung Anda sampai akhir, saya tidak bisa membohongi perasaan saya. Hati saya sakit," ucap Yoon Bo-kung lirih sambil memukul dadanya perlahan berulang-ulang. Berkali-kali dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri. Namun, dia tidak berhasil.

"Mengapa perempuan yang muncul secara tiba-tiba itu bisa dengan mudahnya membuat Anda mencintainya? Mengapa aku tidak bisa memiliki sedikit tempat saja di hati Anda, Jeonha?" ucap Yoon Bo-kyung lagi.

Perlahan dia berdiri dan berjalan mendekati meja kayu di kamarnya yang terletak di bawah lukisan bunga Mugunghwa. Dia duduk di depan meja itu dan menarik salah satu lacinya. Ketika laci ditarik, di dalam laci itu terlihat ada sebuah kotak kayu kecil dan sebuah guci kecil sebesar kepalan tangan. Diambilnya kotak kayu itu dan membuka penutupnya. Sepasang Kaos Kaki putih yang dia jahit untuk Lee Hwon ada di dalamnya. Air mata Yoon Bo-kyung kembali menetes melihatnya dan tetesan air matanya itu menimpa kaus kaki yang dijahitnya.

"Sekalipun hatiku sakit. Aku akan menjadi jembatan bagi Anda, Jeonha. Sekalipun hujan, panas dan angin menghantamku, aku akan bertahan. Karena yang paling aku inginkan adalah melihat Anda dan rakyat Joseon ini bahagia," gumam Yoon Bo-kyung sambil menyeka air matanya yang menetes.

Yoon Bo-kyung pun melihat benda lain yang ada di dalam laci mejanya. Guci kecil yang besarnya sebesar kepalan tangannya. Disentuhnya penutup guci dan kilasan ingatan lain muncul di benaknya. Guci itu adalah tempat salep yang diberikan oleh Heo Yeon Woo untuknya. Saat itu, wajahnya terluka karena dilempar dengan cawan oleh ayahnya. Heo Yeon Woo langsung mengambil salep itu dari Balai Pengobatan Istana dan memoleskannya ke wajah Yoon Bo-kyung. Sejak saat itu, Yoon Bo-kyung menyimpan guci salep itu dan terus mengganti isinya dengan yang baru.

"Sejabin Mama, mungkin pengorbananku ini juga bisa menebus kesalahan yang telah kulakukan kepadamu dan keluargamu. Bukankah Anda memiliki cita-cita yang sama dengan Jusang Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung. Air matanya menetes lagi.

"Jungjeon Mama, apakah Anda sudah bangun? Apa saya bisa masuk?" suara Park Sanggung terdengar dari luar kamar. Yoon Bo-kyung segera memasukkan kotak kayu di tangannya, kembali ke dalam laci meja dan menutupnya. Lalu dengan terburu-buru menyeka air matanya lagi dengan punggung tangannya.

"Masuklah!" ucap Yoon Bo-kyung dan pintu kanarnya pun digeser oleh Park Sanggung. Pelayan yang paling setianya itu masuk. Melihat wajah Yoon Bo-kyung yang sembab, Park Sanggung terpaku sejenak.

"Apakah Anda baik-baik saja, Jungjeon Mama?" tanya Park Sanggung dengan nada suara yang menyiratkan kekhawatiran. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya dan memaksakan dirinya tersenyum.

"Jika Anda merasa tidak nyaman, saya bisa mengirim kabar ke Istana Jagyeonjeon kalau Anda sedang tidak enak badan. Wang Daebi dan Daebi Mama pasti mengerti," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Park Sanggung. Aku harus mengucap salam kepada para tetua Istana hari ini. Aku sidah meninggalkan Istana cukup lama. Sangat tidak baik jika aku tidak menunda bertemu dengan Wang Daebi Mama dan Daebi Mama," ucap Yoon Bo-kyung.

"Jika begitu, saya akan menyuruh para Nain mempersiapkan kebutuhan Anda secepatnya," ucap Park Sanggung dengan penuh semangat, tetapi Yoon Bo-kyung menghentikan Park Sanggung.

"Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung berbalik lalu menghadap Yoon Bo-kyung lagi.

"Apakah ada yang perlu saya persiapkan untuk Anda, Jungjeon Mama?" tanya Park Sanggung.

"Tidak usah terburu-buru. Pastikan kedatangan kita nanti lebih lambat dari Jusang Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dan ucapannya itu membuat Park Sanggung mengernyitkan keningnya.

"Lebih lambat dari Jusang Jeonha?" tanya Park Sanggung sambil menelengkan kepalanya ke kiri sedikit. Jelas terlihat bingung.

"Aku hanya sedang tidak ingin bertemu dengannya," ucap Yoon Bo-kyung dan jawabannya membuat wajah Park Sanggung berubah menjadi panik.

"Jungjeon Mama, jika Anda menghindari Jusang Jeonha, hubungan Anda dengannya akan semakin renggang. Apalagi ada Sanggung Istimewa itu. Hubungan kalian bisa," ucap Park Sanggung dengan panik, tetapi sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Yoon Bo-kyung langsung menyela.

"Tidak apa-apa, Park Sanggung,"

"Jungjeon Mama, saya rasa tidak baik jika Anda menghindari Jusang Jeonha sampai Jusang Jeonha menerima Anda sepenuhnya," ucap Park Sanggung, bersikeras dengan pendapatnya. Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya.

"Aku sudah paham posisiku di hati Jusang Jeonha. Sejak awal pernikahanku dengannya, aku berada di luar hatinya. Aku sudah berusaha masuk ke dalam hatinya. Namun, sampai saat ini, tetap berada di luar hatinya. Bahkan untuk selamanya, posisiku akan tetap di luar hatinya. Aku berkata begitu karena Jusang Jeonha sudah memagari hatinya dengan tembok yang tinggi khusus untukku, sehingga aku tidak masuk ke dalamnya," ucap Yoon Bo-kyung dan berusaha bicara tenang, sekalipun hatinya terasa sangat sakit.

"Jungjeon Mama, yakinlah! Jusang Jeonha kelak akan menerima perasaan Anda," sangkal Park Sanggung.

"Dia tidak akan menerima perasaanku selama dia salah memahami niatanku. Bahkan sekarang aku tidak yakin kalau Jusang Jeonha akan percaya kalau aku mengatakan perasaanku kepadanya," jawab Yoon Bo-kyung dan menundukkan kepalanya.

"Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung sambil mendekati Ratu-nya dan menyentuh pundaknya pelan.

"Jika aku menghindarinya maka semakin jarang aku akan merasakan rasa sakit yang kurasakan saat ini, Sanggung. Lagipula aku harus berlatih supaya aku terbiasa jika kelak aku terpaksa berpisah darinya," ucap Yoon Bo-kyung dan memaksakan diri menatap Park Sanggung dan tersenyum.

"Jungjeon Mama, mengapa Anda berkata begitu? Anda tidak akan pernah berpisah dari Jusang Jeonha. Anda adalah Bulan bagi Joseon yang tidak akan terpisah dari Mataharinya," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya pelan.

"Park Sanggung, kamu jelas mengerti mengapa aku mengatakannya. Kita tidak bisa menyangkal kebenaran. Aku bukanlah Bulan. Aku hanya cerminannya yang tidak akan berada di Langit Joseon untuk selamanya,"' ucap Yoon Bo-kyung lalu tersenyum tipis. Kemudian dia berbalik dan menatap bunga Mugunghwa yang tergangung di dinding.

"Jungjeon Mama, jangan berkata seperti itu. Saya percaya Langit melihat ketulusan Anda dan akan membalasnya. Anda telah berusaha menerangi Langit Joseon. Kegelapan yang menyelimuti Joseon perlahan menghilang dengan kehadiran Anda. Anda membuat Jusang Jeonha bisa kembali bersinar sebagai Matahari yang sesungguhnya. Anda jangan berputus asa," sangkal Park Sanggung dengan panik.

"Aku tidak sedang berputus asa, Park Sanggung. Aku juga tidak akan menyerah. Aku akan berusaha menerangi Langit Joseon di malam hari sampai Matahari menempati tahtanya dengan tenang. Aku hanya memilih untuk memberi tanpa meminta. Aku akan menyelesaikan kewajibanku dan memilih untuk tidak mengharapkan balasan apa pun," ucap Yoon Bo-kyung sambil menyentuh lukisan bunga Mugunghwa. Bunga yang melambangkan cinta, tekad, kesucian dan kesungguhan untuk negara.

"Dengan begitu, aku membuktikan kalau cintaku kepada Jusang Jeonha itu tulus dan kuat seperti bunga Mugunghwa. Aku akan menjadi jembatan baginya dan menahan apa pun untuknya dan kebahagiaan rakyat Joseon," ucap Yoon Bo-kyung lalu menundukkan kepalanya.

"Mungkin dengan begitu, aku juga bisa mengurangi rasa bersalahku kepada keluarga Bangsawan Heo," ucap Yoon Bo-kyung dan mereka berdua pun diam dalam kesunyian dan pikiran mereka masing-masing sejenak.

"Jika itu adalah keputusan Anda maka saya akan menemani dan mendukung Anda sampai akhir, Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung dan air mata mengalir dari sudut matanya.

"Terimakasih, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung, berusaha menguatkan hatinya. Dia pun menegakkan kepalanya dengan berani.

***

Lee Hwon menatap Neneknya dengan perasaan canggung. Sejak dia bermalam dengan Heo Yeon Woo, Nenek yang disayanginya ini bersikap agak dingin kepadanya. Hampir di setiap pertemuan di pagi hari, Neneknya ini nyaris diam dan tidak mengajaknya berbincang-bincang. Hanya Ibunya yang rutin bertanya beragam hal kepadanya dan berusaha membuat Neneknya berbicara kepadanya.

Kecanggungannya semakin terasa jika Yoon Bo-kyung tidak bersamanya saat mengucapkan salam pagi kepada kedua anggota keluarga yang disayanginya itu. Jika Yoon Bo-kyung ada, Neneknya akan banyak bicara. Walapun Neneknya hanya berbicara kepada istrinya, Lee Hwon bisa menerimanya. Setidaknya situasinya tidak akan sesenyap pagi ini.

"Jusang, apakah kamu tidak punya urusan pagi ini?" tanya Ibu Suri So-Hye kepada Lee Hwon yang menjawabnya dengan gelengan kepala sebelum berkata-kata.

"Tidak, Eomma Mama. Hari ini, aku tidak perlu buru-buru menemui Dewan Istana. Saat ini, Musim Dingin sedang berada di masa puncaknya. Saya tidak mau memaksa Dewan Istana terus berdiskusi dalam cuaca sedingin ini," ucap Lee Hwon sambil memperhatikan reaksi ibunya. Sesuai dengan harapannya, ibunya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

"Kesehatan harus menjadi hal pertama yang diperhatikan. Aku senang Jusang memperhatikan kesehatan para Menteri," ucap Ibu Suri So-hye.

"Sekalipun begitu, tidak baik jika kamu berlama-lama disini, Jusang. Kamu bisa belajar di ruang belajar menunggu pertemuan Dewan Istana," ucap Ibu Suri Istana Jung Hui yang terus diam sejak awal pertemuan. Mendengar perkataan Neneknya, hati Lee Hwon sedikit merasa lega. Sekalipun isinya adalah teguran, setidaknya Neneknya telah berbicara dengannya.

"Aku menunggu Jungjeon. Supaya kami bisa memberi salam kepada Anda bersama-sama," ucap Lee Hwon sambil memperhatikan ekspresi wajah Neneknya. Sayangnya, wajah sang Nenek tetap datar. Tidak terdengar antusias dengan perkataan Lee Hwon.

"Aku rasa dia tidak akan datang, Jusang. Jika dia datang, Jungjeon pasti terlambat. Oleh karena itu, tidak baik bagi Anda untuk terus menunggunya," ucap Ibu Suri Jung Hui. Lee Hwon memperhatikan ekspresi Neneknya yang menyiratkan rasa tidak senang. Lee Hwon menghela nafas untuk mengirangi rasa tertekannya.

"Jusang, apa yang dikatakan Wang Daebi Mama itu benar. Kamu harus mendengarkan nasihatnya," ucap Ibu Suri So-hye yang terlihat berusaha memecahkan ketegangan antara mertua dan anaknya sediri.

"Baiklah, Ibu," ucap Lee Hwon dengan perasaan enggan yang menumpuk dan mengendap di hatinya. Dia pun memberi hormat kepada Nenek dan Ibunya. Kemudian dia pun pergi keluar dari Istana Jagyeonjeon. Bertepatan dengan itu, rombongan Yoon Bo-kyung datang.

Melihat wajah istrinya itu, Lee Hwon tersenyum dan ingin menyapa. Namun, reaksi istrinya sangat berbeda dengan apa yang dia bayangkan. Yoon Bo-kyung tidak berkata-kata dan hanya membungkukkan badannya setengah, kemudian berjalan memasuki Istana Jagyeonjeon. Sikapnya yang dingin membuat Lee Hwon enggan berbasa basi dengan istrinya itu. Rasa kesal menyusup di hatinya.

Akan tetapi, saat dia sudah berada jauh dari Istana Jagyeonjeon, perasaan Lee Hwon mendadak tidak nyaman. Dia berbalik dan menatap ke arah Istana Jagyeonjeon. Entah mengapa dia merasa Yoon Bo-kyung bersikap aneh. Istrinya itu tidak mengeluarkan kata-kata saat menyapanya tadi. Biasanya, istrinya itu akan sedikit cerewet kepadanya. Bertanya apa yang akan dia kerjakan hari ini dan mengingatkannya untuk tidak terlambat makan. Yoon Bo-kyung juga akan memberi instruksi kepada Kasim Go untuk menyiapkan keburuhan Lee Hwon dengan baik.

Lee Hwon berbalik lagi dan melihat ke arah Kasim Go yang dengan patuh berhenti di belakang Lee Hwon. Dia ingin berdiskusi dengan Kasim Go mengenai sikap dingin istrinya itu. Namun, belum dia berkata, ucapan Kasim Go kemarin malam muncul lagi.

"Jungjeon Mama punya perasaan khusus untuk Anda," ucapan Kasim Go kembali terngiang. Lee Hwon menghela nafas dan menghentikan niatannya untuk berdiskusi dengan Kasim Go. Dia takut pelayan terdekatnya di Istana ini akan mengucapkan pernyataan yang sama dengan semalam.

"Jika dia memang punya perasaan yang khusus untukku, seharusnya dia tidak bersikap dingin seperti tadi, bukan?" keluh Lee Hwon di dalam hati. Hatinya makin merasa tidak nyaman.

"Kasim Go, kamu atur jadwalku hari ini. Nanti malam, aku akan pergi ke Istana Gyeotaejeon," ucap Lee Hwon. Dia menduga kalau persaan tidak tenang yang muncul di hatinya adalah rasa cemas terhadap keputusan Yoon Bo-kyung. Jika istrinya itu menarik dukungannya, posisi Lee Hwon akan berada dalam situasi yang sangat sukar.

"Aku harus memastikan kalau istriku itu tetap pada niat awalnya dan berjuang bersamaku untu mengembalikan semuanya kepada posisi yang seharusnya," ucap Lee Hwon di dalam hati. Tidak peduli dengan tatapan keheraan dan keterkejutan yang ditunjukkan oleh Kasim Go kepadanya.

Lee Hwon pun melangkahkan kakinya lagi menuju Istana Gangyeonjeon. Menunggu waktu pertemuan dengan Dewan Istana. Di ruang belajarnya, dia memperhatikan beberapa dokumen. Namun, beberapa saat kemudian, konsentrasinya buyar. Perkataan Yoon Bo-kyung tadi malam, air matanya dan sikap dinginnya hari ini membuat perasaan Kee Hwon terganggu.

"Tidak mungkin kamu mencintaiku, kan? Itu tidak cocok dengan citramu selama ini," keluh Lee Hwon dan melihat ke dokumennya kembali. Tulisannya tidak serapi biasanya, membuat Lee Hwon terpaksa mengulang sari awal lagi.

***

Lee Hwon melangkahkan kakinya berjalan menuju Istana Gyeotaejeon. Ditemani oleh Kasim Go yang berjalan di depannya sambil membawa lentera untuk menerangi jalan mereka. Salju turun cukup deras. Jalanan penuh dengan salju sehingga Lee Hwon harus berhati-hati setiap melangkahkan kakinya.

"Jusang Jeonha tiba," suara Kasim terdengar keras memberitahukan kedatangan Lee Hwon. Para Nain yang berada di Istana Gyeotaejeon pun membungkukan badannya separuh. Tidak ada Yoon Bo-kyung yang biasanya langsung menyambutnya di depan pintu Istana Gyeotaejeon. Lee Hwon menghela nafas menyadari perubahan sikap istrinya itu.

Lee Hwon melangkahkah kakinya dan Park Sanggung yang menyambutnya mengantarnya ke ruangan lain di Istana itu, bukan ke ruang tidur Yoon Bo-kyung. Sampai di ruangan, Yoon Bo-kyung sudah menunggu. Yoon Bo-kyung memberi salam dengan membungkukkan badan dan mereka berdua pun duduk dengan saling berhadapan. Beberapa Nain masuk membawa meja dengan ragam peganan di atasnya. Yoon Bo-kyung pun menuangkan teh untuk Lee Hwon. Lalu mereka keluar, membiarkan Raja dan Ratunya berdua saja di ruangan itu.

"Silahkan Jeonha meminum tehnya," ucap Yoon Bo-kyung datar. Lee Hwon menghela nafas dan mengambil cawan. Sambil minum, dia mengamati raut wajah istrinya itu. Raut wajahnya terlihat datar dan pandangan matanya tidak tertuju kepada Lee Hwon.

"Kemarin, aku mungkin salah berkata-kata. Oleh karena itu, kamu menangis dan meninggalkanku begitu saja. Aku minta maaf," ucap Lee Hwon, meskipun di dalam hati dia merasa tidak melakukan hal buruk kepada Yoon Bo-kyung, dia memaksakan diri meminta maaf. Berharap ucapan maaf akan membuat sikap dingin Yoon Bo-kyung akan mencair.

"Anda tidak melakukan kesalahan, Jusang Jeonha. Anda tidak perlu minta maaf," ucap Yoon Bo-kyung dan suaranya terdengar datar.

"Selama di Biara, saya sempat bertemu dengan Pedagang Choi. Dia mengsulkan untuk menyelidiki beberapa grup pedagang yang dekat dengan Abeoji. Ada rasa cemas kalau mereka digunakan Abeoji untuk membeli senjata dari Manchu. Ada kabar yang mengatakan kalau Kerajaan Qing sedang mengembangkan senjata api," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon menganggukkan kepalanya. Dia ingat senjata yang disebutkan istrinya itu. Senjata yang bisa dipakai membunuh orang dalam waktu cepat dan singkat.

"Iya. Aku akan memerintahkan penyelidikan secara diam-diam," ucap Lee Hwon. Hatinya lega karena Yoon Bo-kyung langsung membahas hal yang bersangkutan dengan pemerintahan dan keamanan Kerajaan.

"Hari ini dalam pertemuan Dewan Istana, Perdana amenteri Yoon tidak banyak bicara," ucap Lee Hwon lagi dan memaksakan diri menceritakan kejadian yang dia alami. Lee Hwon berharap jika membahasnya akan membuat mereka bedua bisa berbicara lebih banyak mengenai strategi mereka menghadapi Perdana Menteri Yoon. Sehingga topik pribadi seperti masalah Wol tidak muncul dan membuat mereka bertengkar lagi.

"Kalau begitu, Anda harus berhati-hati, Jusang Jeonha. Jika Abeoji diam, artinya ada sesuatu yang sedang dia rencanakan," ucap Yoon Bo-kyung dan mengambil cawannya lalu meminum isinya.

"Aku tidak bisa menebak pemikiran Perdana Menteri Yoon. Apa yang dia rancang kali ini? Aku lihat kubunya juga terlihat terlalu tenang. Tidak banyak membantah," ucap Lee Hwon lagi. Di benaknya terngiang kejadian di pertemuan Dewan Istana. Para menteri membicarakan persiapan ritual. Namun, tidak seperti biasanya, para menteri dari kubu Perdana Menteri Yoon terlihat tidak antusias mengkritiknya.

"Itu memang aneh," ucap Yoon Bo-kyung dan memegang dagunya sendiri. Lee Hwon yang terus mengamati wajah istrinya itu, merasa sedikit lega. Yoon Bo-kyung terlihat bersungguh-sungguh menganalisa apa yang dia ceritakan. Membuat Lee Hwon semakin yakin kalau istrinya masih memiliki tekad yang sama untuk mengalahkan Perdana Menteri Yoon.

"Saya tidak yakin, tetapi sepertinya Abeoji mengincar Sanggung Istimewa," ucap Yoon Bo-kyung dan perkataannya itu membuat Lee Hwon mengernyitkan dahinya. Tidak berharap istrinya akan membahas topik yang dia hindari. Bahkan dengan yakinnya, Yoon Bo-kyung berkata kalau Yeon Woo yang sedang menyamar sebagai Wol, dalam masalah sekarang.

"Kenapa dia mengincar Wol? Dia hanyalah seorang dayang biasa," tanya Lee Hwon dan Yoon Bo-kyung menegakkan badannya, kemudian menatap mata Lee Hwon tajam.

"Anda tidak pernah mengambil perempuan lain sejak pernikahan kita. Sedangkan hubungan kita terlihat akrab baru setahun ini saja. Lalu mendadak, Anda tertarik kepada seorang perempuan. Menurut Jusang Jeonha, apakah itu tidak membuat mereka penasaran?" tanya Yoon Bo-kyung balik. Lee Hwon terdiam. Perkataan istrinya itu terasa logis baginya.

"Jadi mereka mengincar Wol? Mereka terlalu berlebihan. Wol bahkan masih seorang Sanggung Istimewa. Tidak bisa dijadikan sebagai ancaman bagi mereka," ucap Lee Hwon.

"Anda tidak mengenali Abeoji saya, Jusang Jeonha. Dia akan menghilangkan semua yang dia duga sebagai ancaman baginya. Mungkin Abeoji merasa cemas kalau posisi Ratu akan berpindah padahal kita belum memiliki keturunan," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon menghela nafas mendengarnya.

"Pemikiran mereka sangat konyol. Apa saranmu Jungjeon?"

"Anda harus mengambil lebih banyak lagi perempuan Istana dan menjadikan mereka sebagai sanggung Istimewa dan Selir sehingga kubu Abeoji merasa kalau Anda hanya memiliki kertetarikan yang biasa kepada Wol," ucap Yoon Bo-kyung.

"Tidak! Aku tidak akan mengambil perempuan lagi. Abba Mama hanya memiliki ibuku seorang sampai akhir hidupnya. Memikirkan kalau aku punya banyak perempuan sebagai istri, itu menggelikan," ucap Lee Hwon langsung menyuarakan pemikirannya. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.

"Hal itulah yang membuat saya dan kubu Abeoji yakin kalau Anda sangat mencintai Sanggung Istimewa itu. Perasaan cinta Anda yang besar untuknya bisa berubah menjadi pisau pembunuh baginya," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon menatap raut wajah Yoon Bo-kyung. Mata Yoon Bo-kyung terlihat sendu. Ada kepedihan di mata istrinya itu.

"Apa yang sebaiknya aku lakukan untuk menyelamatkannya?" tanya Lee Hwon dan Yoon Bo-kyung menoleh ke arah lain sejenak, kemudian menatap Lee Hwon lagi.

"Haruskah saya memikirkan cara untuk menyelamatkan orang yang Anda cintai, Jusang Jeonha? Saya hanya berjanji kepada Anda untuk mengalahkan Abeoji saya. Ketika Anda memutuskan untuk mengambilnya sebagai perempuan Istimewa Anda, saat itu juga Anda bertanggung jawab untuk nyawanya," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon terkejut mendengar perkataan yang penuh sindiran itu.

"Jungjeon, perkataanmu pedas sekali," ucap Lee Hwon dan merasa sesak oleh amarah.

"Saya hanya mengatakan hal yang sebenarnya,"

"Apakah kamu menganggap Wol sebagai ancaman juga? Sehingga kamu mengatakan kalau Wol bukan urusanmu? Dia adalah anggota Istana Dalam. Tanggung jawabmu juga. Jika terjadi sesuatu padanya, kamu yang akan disalahkan!" ucap Lee Hwon dengan suara yang tegas. Yoon Bo-kyung menatap Lee Hwon dengan mata yang membelak. Kedua tangannya terlihat meremas ujung meja dengan erat.

"Iya. Saya tahu. Sekalipun saya tidak suka, aku harus melakukannya. " ucap Yoon Bo-kyung dan air mata kembali mengalir dari kedua bola matanya.

Lee Hwon langsung merasa bersalah melihatnya. Merasa kalau perkataannya tadi sudah keterlaluan karena memberi kesan mengancam Yoon Bo-kyung. Lee Hwon selalu bersikap agresif jika masalah Wol dibicarakan.

Lee Hwon ingat perkataan Yoon Bo-kyung sebulan yang lalu. Tindakannya mengambil Wol sebagai Sanggung Istimewa tanpa memberitahunya lebih dulu, membuat Yoon Bo-kyung merasa sangat tidak dihargai. Lee Hwon memarahi dirinya sendiri di dalam hati karena tidak bisa menilai situasi dengan cepat. Yoon Bo-kyung masih sakit hati dan asal berbicara saja mengenai keamanan Wol. Lee Hwon yakin kalau Yoon Bo-kyung tahu kalau semua hal yang terjadi di Istana Dalam adalah tanggung jawabnya.

"Aku hanya mengingatkanmu dengan tugasmu, Jungjeon. Jangan salah memahami," ucap Lee Hwon dan semakin merasa bersalah setelah mengucapkannya. Ditatapnya wajah Yoon Bo-kyung yang sembab oleh air mata.

"Maaf jika menyinggungmu," ucap Lee Hwon. Diambilnya sapu tangannya dan hendak menggunakannya untuk menghapus air mata Yoon Bo-kyung. Namun, istrinya itu langsung menepis tangannya.

"Salju sudah berhenti, tetapi malam semakin dingin," ucap Yoon Bo-kyung sambil menyeka air matanya sendiri. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu dan menggesernya.

"Saya sedang tidak enak badan, sebaiknya Anda menghangatkan diri di tempat Sanggung Istimewa," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon menatapnya dengan rasa tidak percaya. Istrinya itu secara halus mengusirnya. Menyadari kalau perkataannya tadi telah memicu kemarahan Yoon Bo-kyung. Dia menghela nafas dan menuruti ucapan Yoon Bo-kyung. Meninggalkan Istana Gyeotaejeon.

***

Pembaca yang kusayang,
Terimakasih untuk dukunganya. Maaf editannya berantakan.
Sumatera Utara, 25 Agusutus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top