TIDAK BOLEH MENYERAH
Malam sudah sangat larut ketika Lee Hwon berjalan melalui jalan yang sepi dari Gangyeonjeon menuju Gyeotaejeon. Hanya Kasim Go yang menemaninya. Jalan yang dilaluinya cukup gelap sehingga Lee Hwon berjalan dengan pelan.
Sebenarnya Ibu Suri Istana Jung Hui sudah memberi pesan kepadanya supaya tidak pergi ke Istana Gyeotaejeon. Neneknya itu takut kalau Lee Hwon pergi ke Istana Gyeotaejeon, orang-orang akan menjadi curiga. Mereka telah menyebarkan informasi kalau Yoon Bo-kyung sedang sakit flu berat. Jika Lee Hwon datang kesana, orang-orang akan curiga kalau penyakit Ratu mereka lebih parah dari itu.
Akan tetapi, Lee Hwon tidak merasa tenang. Sejak pagi, dia terus memikirkan keadaan istrinya. Lee Hwon tidak bisa berkonsentrasi di dalam pertemuan Dewan Istana. Beberapa kali dia menyebutkan nama menterinya dengan salah. Oleh karena itu, dia sengaja pergi saat larut malam seperti saat ini supaya tidak ada orang yang melihatnya.
"Jusang Jeonha, sebaiknya kita kembali ke Gangyeonjeon. Wang Daebi Mama pasti akan marah jika mengetahui Jusang Jeonha memaksakan diri pergi ke Istana Gyeotaejeon seperti saat ini," Kasim Go berkata dengan suara yang lirih. Mencoba mempengaruhi Lee Hwon. Namun, Lee Hwon tidak peduli.
"Kamu jangan khawatir seperti itu. Aku tahu jalan yang aman menuju Gyeotaejeon tanpa diketahui oleh orang-orang," Lee Hwon menjawab. Dia masih ingat jalan yang dilewatinya saat mengikuti kupu-kupu putih.
"Anda berani melalui jalan ini? Ini adalah jalan menuju kediaman mantan Selir. Banyak desas desus kalau kediaman Selir itu berhantu," Kasim Go berhenti sejenak ketika mereka akan melewati sebuah jalan. Lee Hwon berbalik dan melihat Kasim yang melayananinya sudah pucat.
"Aku tidak peduli dengan desas desus. Jika kamu takut maka kembalikah ke Gangyeonjeon. Aku akan tetap pergi ke Gyeotaejeon," Lee Hwon berkata dengan sungguh-sungguh lalu berbalik dan meneruskan perjalanannya. Kasim Go mengikuti dari belakang. Lee Hwon bisa mendengar Kasim Go berdoa dengan suara lirih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Lee Hwon menghabiskan waktu dua kali lebih lama dibandingkan kalau dia melalui jalan yang biasa menuju Gyeotaejeon. Di depan pintu Gyeotaejeon, seorang dayang langsung membukuk hormat. Dayang itu tidak berseru memberitahu kedatangan Lee Hwon. Seakan tahu kalau kedatangan Lee Hwon tidak boleh diketahui oleh orang lain.
"Jusang Jeonha," Park Sanggung yang baru keluar dari ruangan tempat Yoon Bo-kyung berbaring terkejut melihat kedatangan Lee Hwon. Sanggung itu langsung membungkukkan badannya untuk memberi hormat kepada Lee Hwon.
"Panggil Hwan Nari " Lee Hwon memberi perintah sambil memasuki kamar itu. Park Sanggung mengikuti perkataannya dengan menyuruh seorang dayang junior yang berada di dekat pintu.
"Suruh Hwan Nari kesini!" Park Sanggung memberi perintah lalu masuk kedalam ruangan itu juga.
Didalam ruangan, Lee Hwon melihat Mirae, dayang muda kepercayaan istrinya sedang mengganti pakaian Yoon Bo-kyung. Lee Hwon menghela nafas. Dia duduk dan membantu Mirae. Lee Hwon mengikat pita yang mengikat pakaian istrinya.
"Bagaimana keadaan Jungjeon?" Lee Hwon bertanya kepada Mirae. Mirae menundukkan kepalanya. Suaranya bergetar saat menjawabnya.
"Maafkan kami Jusang Jeonha. Belum ada perubahan. Kondisi Jungjeon Mama masih seperti tadi pagi," Mirae menjawabnya. Lee Hwon menghela nafas. Dia melihat wajah istrinya yang tenang seperti orang yang sedang tidur lelap.
"Biar aku yang memakaikan kaos kakinya. Kamu bisa keluar," Lee Hwon mengambil kaos kaki yang berada di tangan Mirae. Mirae tidak berkata apa-apa. Dayang muda itu membungkukkan badannya lalu keluar dari ruangan itu dengan cara berjalan mundur.
"Kami sengaja menyebarkan informasi kalau kamu terkena flu berat," Lee Hwon berkata sambil memakaikan kaos kaki putih ke kaki istrinya. Dia tidak yakin kalau Yoon Bo-kyung bisa mendengar perkataannya, tetapi dia tetap berbicara seolah istrinya itu bisa mendengarnya.
"Aku tidak bisa berkonsentrasi dalam pertemuan Dewan Istana pada hari ini. Seperti biasa, mereka meributkan hal-hal yang tidak penting," Lee Hwon meneruskan perkataannya.
"Kamu tahu hal apa yang paling membuatku kesal dalam pertemuan itu? Aku melihat ayahmu berbincang-bincang dengan sesama anggota Dewan dengan sangat santai bahkan tertawa," Lee Hwon berhenti sejenak lalu menutup kaki Yoon Bo-kyung dengan selimut.
"Aku ingin turun dari singgasanaku lalu mencekiknya. Dia yang telah membuatmu seperti ini. Orang kejam yang tega menyakiti putrinya sendiri," Lee Hwon memegang ujung selimut dengan erat. Tangannya gemetar.
"Semua kejadian ini membuatku bertanya-tanya di dalam hatiku. Kehidupan macam apa yang kamu jalani sebagai putri laki-laki kejam itu?" Lee Hwon mendekati wajah istrinya yang masih belum sadar.
"Kamu mau sampai kapan seperti ini? Apa kamu tahu kalau kamu tidak juga sadar, maka mereka akan segera tahu kejadian ini. Mereka akan menjadikanku bulan-bulanan mereka karena dengan sengaja menutupi keadaanmu saat ini. Mereka juga mungkin akan menuduhku sebagai orang yang membuatmu seperti saat ini lalu sengaja menutupinya," Lee Hwon berkata sambil menarik lalu memegang tangan Yoon Bo-kyung.
"Bo-kyung, apakah kamu tahu perasaanku saat ini? Perasaanku sangat kacau. Aku tidak menyangka kalau aku akan sekacau ini karena kondisimu saat ini. Saat berita penyerangan keluarga Heo sampai kepadaku. Saat Yeon Woo dinyatakan meninggal, hatiku juga sekacau saat ini," Lee Hwon meletakkan tangan Yoon Bo-kyung di dadanya.
"Apakah kamu senang karena aku menjadi kacau seperti saat ini? Apakah kamu puas? Sudah kukatakan kepadamu, bukan? Kalau kamu menyerah maka aku tidak akan percaya dengan pernyataan cintamu. Aku juga akan membencimu dan membuatmu tidak tenang di alam baka karena kebencianku," Lee Hwon berkata sambil menyentuh pipi istrinya itu lembut.
***
"Jadi kamu memutuskan untuk menyerah?" pertanyaan itu terdengar di telinga Yoon Bo-kyung. Perempuan muda itu sedang berjalan menuju ujung jembatan. Mendengar pertanyaan itu, Yoon Bo-kyung berhenti lalu berbalik. Dia melihat anak kecil yang selalu muncul di dalam mimpinya. Anak kecil itu menatapnya dengan ekspresi kecewa.
"Aku sudah melakukan semua hal yang aku bisa. Aku sudah menyelamatkan Selir itu. Aku juga sudah menuliskan surat yang berisi pengakuanku tentang kejadian yang menimpa keluarga Heo. Aku sudah menduga kalau suatu saat nanti, aku akan mengalami hal ini sehingga aku menulis surat pengakuan itu untuk berjaga-jaga," Yoon Bo-kyung memberi penjelasan dengan nada suara yang tinggi. Dadanya terasa sakit.
"Setelah ini, menurutmu apa yang akan terjadi?" anak kecil itu naik lalu duduk di atas pegangan jembatan. Yoon Bo-kyung terdiam mendengarnya.
"Investigasi ulang akan dilakukan. Abeoji akan diselidiki,"
"Hanya sebatas itu saja? Apa dengan suratmu, mereka akan menganggap ayahmu sebagai dalang kasus boneka sihir?" anak kecil itu bertanya dengan suara yang meremehkan. Yoon Bo-kyung menundukkan kepalanya.
"Pada awalnya mereka akan menganggap suratmu itu adalah fakta. Setelah itu, karena kurangnya bukti maka mereka akan menganggap kalau surat itu bukan suratmu. Mereka akan menuduh suamimu menulis surat palsu untuk menutupi alasan kematianmu yang sebenarnya," anak kecil itu berkata dengan santai. Mendengar perkatan itu, Yoon Bo-kyung menjadi panik. Dia memegang kedua bahu anak kecil itu dengan erat.
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Aku sudah dengan jelas menuliskan di dalam surat itu kalau Jusang Jeonha tidak terlibat,"
"Surat? Mereka akan semakin menuduh suamimu itu sebagai dalang kematianmu," anak kecil itu menyanggah.
"Kamu yang berkata akan menahan hujan, angin dan panas selama lima ratus tahun. Apakah kamu sudah melewati salah satunya? Apakah sekarang kamu juga sudah siap bertemu dengan keluarga Heo yang kamu lukai itu?" anak kecil itu bertanya. Tatapan matanya terlihat meremehkan. Yoon Bo-kyung gemetar. Air matanya menetes. Dia pun terisak.
"Aku tidak sanggup menanggung kepedihan ini sendirian. Aku berusaha untuk tulus dan melapangkan hatiku kalau dia tidak akan pernah mencintaiku. Namun, ternyata aku tidak bisa,"
"Menjadi tulus bukanlah hal yang mudah. Ketulusan membutuhkan proses. Namun, tidak ada pengorbanan yang sia-sia," anak kecil itu menjawab dengan suara yang lirih. Anak kecil itu pun mengangkat kedua tangannya lalu memegang kedua pipi Yoon Bo-kyung dengan lembut.
"Bukankah, aku juga berkata kepadamu kalau kamu tidak sendirian?" anak kecil itu menurunkan tangannya.
"Apakah kamu tidak mendengar perkataannya? Sekarang kamu masih mau menyerah?" anak kecil itu bertanya. Yoon Bo-kyung mengerutkan keningnya karena tidak mengerti maksud dari perkataan anak kecil itu. Lalu sayup dia mendengar suara Lee Hwon. Suaminya itu berkata dengan suara yang bergetar.
'...Sudah kukatakan kepadamu, bukan? Kalau kamu menyerah maka aku tidak akan percaya dengan pernyataan cintamu. Aku juga akan membencimu dan membuatmu tidak tenang di alam baka karena kebencianku..'
"Jusang Jeonha," Yoon Bo-kyung menolehkan kepalanya. Dia melihat sisi jembatan yang dia tinggalkan. Yoon Bo-kyung melihat anak kecil yang sedang bicara dengannya itu. Anak kecil itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Yoon Bo-kyung pun berlari menuju sisi jembatan yang dia tinggalkan itu.
***
"Bo-kyung, mengapa kamu menangis? Kamu mendengar perkataanku tadi?" Lee Hwon bertanya dengan panik karena istrinya yang belum sadarkan diri itu menangis. Setelah dia berkata kalau dia akan membenci Yoon Bo-kyung kalau istrinya itu menyerah, tubuh istrinya itu bergetar. Air mata pun mengalir.
"Aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya," Lee Hwon menjadi panik dan menyeka air mata yang mengalir itu. Saat dia menyeka air mata Yoon Bo-kyung, mata istrinya itu terbuka. Dia menatap Lee Hwon dengan tatapan yang menyiratkan rasa sedih dan takut.
"Bo-kyung, kamu sadar?" Lee Hwon yang terkesima sesaat akhirnya menyadari situasinya saat ini. Istrinya telah sadar. Lee Hwon tanpa sadar sudah menarik Yoon Bo-kyung ke dalam pelukannya.
"Jusang Jeonha?" Yoon Bo-kyung berkata dengan suara yang lemah.
"Anda disini?" intonasi suara Yoon Bo-kyung menunjukkan kekagetan dan ketidak percayaannya.
"Tentu saja aku disini. Saat rekanmu dalam masalah maka kamu harus menemaninya, bukan?" Lee Hwon menjawab setelah diam sejenak karena pertanyaan Yoon Bo-kyung. Lee Hwon tadinya ingin berkata kalau 'istriku dalam masalah maka aku harus mendampinginya'. Namun, perkataan itu tidak keluar dari bibir Lee Hwon. Entah mengapa, dia merasa kelu untuk mengatakannya.
"Anda bilang akan membenciku kalau aku menyerah," Yoon Bo-kyung bertanya dan Lee Hwon ingin memaki dirinya sendiri karena mengeluarkan perkataan itu kepada istrinya. Dia memang sengaja mengatakannya untuk memprovokasi istrinya itu sehingga dia sadar karena marah. Namun, setelah Yoon Bo-kyung sadar, Lee Hwon merasa menyesal.
"Anda memelukku?" Yoon Bo-kyung bertanya lagi. Lee Hwon tersentak, dia segera melepas pelukannya lalu membantu Yoon Bo-kyung duduk dengan bersandar di dinding.
"Anda juga menyebut namaku," Yoon Bo-kyung berkata dengan suara lirih. Intonasi suaranya menunjukkan kalau dia heran dan terkejut. Lee Hwon merasa mukanya panas. Untung saja ruangan itu agak gelap sehingga dia bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya saat ini.
"Jangan pernah melakukan hal nekat seperti ini lagi," Lee Hwon tidak membalas perkataan Yoon Bo-kyung. Dia ingat dengan kecemasan dan ketakutan yang melandanya saat mengetahui kondisi Yoon Bo-kyung yang kritis. Dia tidak mau hal itu terjadi lagi.
"Jeonha?"
"Kamu harus berjanji kepadaku. Sebelum melakukan hal nekat, kamu harus membicarakannya denganku terlebih dahulu," Lee Hwon menegaskan perkataannya.
"Apakah Anda sudah membaca suratku?"
"Surat? Sanggung kepercayaanmu berkata kalau kamu menitipkan surat untukku kalau kamu meninggal. Aku tidak mau menerimanya," Lee Hwon berkata dengan suara yang agak keras.
"Mengapa?"
"Mengapa? Jika aku menerimanya, artinya aku menganggap kamu mati, bukan? Aku tidak mau kamu mati," Lee Hwon memberi penjelasan tanpa memikirkannya lebih dulu. Yoon Bo-kyung terdiam lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya sendiri.
"Mengapa kamu menutup mukamu?"
"Tidak apa-apa,"
"Kamu menangis? Kamu baru sadar dan kamu malah menangis? Seharusnya kamu senang karena lepas dari maut,"
"Saya lebih senang karena saya tahu kalau Anda mengkhawatirkan saya,"
"Itu karena kita rekan," Lee Hwon memberi alasan yang sama. Namun, didalam hati Lee Hwon tahu kalau dia tidak menganggap Yoon Bo-kyung sebatas rekan saja. Perempuan itu sudah memiliki peran yang berbeda di hatinya.
"Jusang Jeonha, saya Hwan Nari," terdengar suara dari luar kamar. Lee Hwon menghela nafas.
"Masuklah!" Lee Hwon memberi perintah. Hwan Nari membuka pintu. Sebelum masuk, dia tercenung di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan keterkejutannya.
"Jungjeon Mama!" Hwan Nari berkata dengan suara yang keras. Park Sanggung yang berada di belakangnya segera menggeser tubuh Hwan Nari.
"Jungjeon Mama," Park Sanggung berseru lalu masuk ke dalam ruangan kemudian memegang tangan Yoon Bo-kyung.
"Akhirnya Anda sadar, Jungjeon Mama," Hwan Nari ikut masuk dan memegang tangan Yoon Bo-kyung juga. Lee Hwon menghela nafas. Dia tersenyum melihat reaksi dua orang kepercayaan istrinya itu. Rasa senang mereka membuat mereka mengabaikan keberadaannya di ruangan itu. Lee Hwon melihat wajah Yoon Bo-kyung yang tersenyum.
"Aku kembali. Maaf sudah membuat kalian cemas," Yoon Bo-kyung berkata dengan suara yang lirih.
"Naeui, bagaimana kondisi Jungjeon sekarang?" Lee Hwon langsung mengingatkan dayang yang bertugas untuk memeriksa kesehatan Yoon Bo-kyung itu. Kedua dayang itu terlalu fokus dengan kegembiraannya sehingga lupa hal yang paling penting yaitu kondisi Yoon Bo-kyung.
"Maafkan saya Jusang Jeonha. Saya akan segera memeriksa kondisi Jungjeon Mama," Hwan Nari segera menguasai dirinya. Lee Hwon menganggukkan kepalanya. Dia memperhatikan dayang muda itu memeriksa nadi istrinya. Hwan Nari memeriksa dengan teliti dan bertanya apa yang dirasakan oleh Yoon Bo-kyung saat ini.
Lee Hwon diam-diam mencubit tangannya sendiri. Dia merasa sakit di bekas cubitannya itu. Sekarang dia yakin kalau yang dia alami bukan mimpi. Sekarang dia bisa bernafas dengan lega. Istrinya tidak menyerah dan kembali kepadanya.
***
Dear pembaca yang aku sayangi,
Terimakasih untuk dukungannya. Aku mencoba mempercepat part baru. Namun, tidak bisa banyak. Cuman segini yang bisa aku pikirkan dan ketik untuk saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top