SIAPA AKU DIMATAMU?
KOSA KATA
1. Daebi Mama = panggilan kepada Ibu Suri
2. Jungjeon Mama = panggilan kepada Ratu, Ibu Suri dan Raja memanggilnya dengan singkatan Jungjeon
3. Sejabin Mama = Yang Mulia Putri Mahkota, bisa dipanggil dengan sebutan Bingoong Mama. Disini Ibu Suri memanggilnya dengan sebutan Bingoong saja.
4. Wang Daebi Mama = panggilan kepada Ibu Suri Istana.
5. Jusang Jeonha = panggilan kepada Raja. Anggota keluarganya yang lebih tua seperti Ibunya biasa memanggilnya dengan Jusang saja.
6. Sanggung = dayang utama
7. Nain = dayang
***
Yoon Bo-kyung memasuki Istana Jagyeonjeon dengan hati yang penuh tanda tanya. Sikap Lee Hwon yang tidak biasa tadi, membuatnya bingung. Biasanya, suaminya itu akan menunggunya di depan pintu Istana Jagyeongjeon supaya mereka bisa bersama-sama menemui Wang Daebi Mama dan Daebi Mama. Namun, hari ini Lee Hwon tidak menunggunya bahkan lebih dulu meninggalkan Istana Jagyeonjeon.
Hal lain yang dirasanya aneh adalah ekpresi para nain yang melayani di Istana Jagyeonjeon. Entah mengapa, Yoon Bo-kyung merasa sebagian nain itu menatapnya dengan mimik yang menunjukkan rasa iba. Sebagian lagi menatapnya dengan angkuh. Yang jelas, ekspresi mereka menyiratkan satu hal. Ada yang tidak beres baru saja terjadi dan hal itu menyangkut dirinya.
“Salam kepada Wang Daebi Mama dan Daebi Mama. Semoga panjang umur,” ucap Yoon Bo-kyung setelah dia bertemu dua tetua istana itu. Dia memberi hormat yang takzim. Setelah itu, dia pun duduk dengan tenang di hadapan mereka berdua.
“Bagaimana keadaanmu hari ini, Jungjeon? Sepertinya kamu tidak terlalu sehat. Wajahmu terlihat merah,” tanya Ibu Suri Istana Jung-hui. Yoon Bo-kyung memegang pipinya sebentar setelah mendengar pertanyaan itu. Dia berusaha tersenyum.
“Saya sedikit demam, Wang Daebi Mama,” ucap Yoon Bo-kyung dengan suara yang lirih. Ditatapnya mertua perempuannya, Ibu Suri So-hye. Biasanya mertuanya itu akan memberi kata-kata pedas kepadanya. Tidak peduli baik atu buruk keadaannya. Namun kali ini mertuanya tetap diam. Wajahnya datar, seakan hal yang diucapkan Yoon Bo-kyung adalah hal yang biasa.
“Jungjeon, jagalah kesehatanmu. Ingat kalau kamu bertanggung jawab dalam mengurus Istana Dalam. Jika kamu sakit, kamu akan kesulitan mengerjakan tugasmu dengan baik,” ucap Ibu Suri Istana Jung-hui dan Yoon Bo-kyung pun menganggukkan kepalanya.
“Saya mengerti, Wang Daebi Mama. Maafkan saya karena saya kurang menjaga diri,” ucap Yoon Bo-kyung dan Ibu Suri Istana Jung-hui menganggukkan kepalanya.
“Apakah kamu sudah meminta Tabib memeriksa kesehatanmu?” tanya Ibu Suri So-hye. Akhirnya mertuanya itu bicara. Yoon Bo-kyung sempat cemas tadi kalau mertuanya ini akan terus diam.
“Belum, Daebi Mama. Saya akan memanggilnya setelah memberi salam kepada Wang Daebi Mama dan Daebi Mama,” jawab Yoon Bo-kyung. Ibu Suri So-hye menganggukkan kepalanya.
“Aku rasa kamu memang terlalu capek belakangan ini, Jungjeon. Ada banyak hal yang harus kamu urus. Setelah musim dingin ini berlalu, akan ada banyak seremonial Istana juga yang harus kamu atur pelaksanaannya,” ucap Ibu Suri So-hye lagi membuat hati Yoon Bo-kyung menghangat. Pagi ini mertuanya bersikap peduli kepadanya.
“Terimakasih karena Daebi Mama memperhatikan kondisi saya. Memang ada banyak kegiatan yang harus saya kerjakan. Namun, berkat bimbingan Wang Daebi Mama dan Daebi Mama, saya bisa melaksanakannya dengan baik,” ucap Yoon Bo-kyung.
“Jungjeon, pernahkah kamu mendengar sebuah pepatah? Lebih baik berdua daripada sendiri. Aku khawatir kamu tidak bisa mengerjakan segalanya sendirian. Jika ada yang membantumu, kamu tidak akan terlalu lelah. Siapa tahu kelelahanmu adalah penyebab belum lahirnya seson,” ucap Ibu Suri So-hye. Yoon Bo-kyung mengerutkan keningnya. Tidak mengerti arah pembicaraan dari ibu mertuanya itu.
“Maafkan saya yang bodoh ini, Daebi Mama. Saya tidak mengerti maksud Daebi Mama,” ucap Yoon Bo-kyung, jujur mengutarakan isi hatinya. Ibu Suri So-hye menatap Ibu Suri Jung-hui sesaat. Seakan meminta persetujuan. Dengan ragu Ibu Suri Istana Jung-hui menganggukkan kepalanya. Yoon Bo-kyung semakin merasa kalau ada hal yang tidak beres.
“Jungjeon, kamu tentu tahu di dalam ajaran Konfusius, perempuan dituntut menjadi perempuan yang berbudi luhur. Seorang perempuan dikatakan sebagai perempuan yang berbudi luhur jika telah menjalankan ajaran Konfusius dan salah satu ajaran Konfisius itu adalah tidak bersikap cemburu,” ucap Ibu Suri So-hye dan perlahan Yoon Bo-kyung memahami arah pembicaraan.
Mertuanya ini sedang memintanya untuk mengambil Selir untuk suaminya. Menyadari maksud mertuanya, hatinya pedih. Sekalipun mertuanya memberi alasan kalau Yoon Bo-kyung membutuhkan bantuan Selir dalam mengatur Istana Dalam, tetap saja terasa menyakitkan. Perempuan mana pun tidak akan sanggup dimadu.
“Saya berterimakasih untuk perhatian Daebi Mama. Saya mengerti kalau Daebi Mama mengkhawatirkan saya. Namun, maafkan saya, Daebi Mama. Saya merasa kalau saya masih bisa mengurus Istana Dalam bersama Wang Daebi Mama dan Daebi Mama,” ucap Yoon Bo-kyung. Dia berusaha menolak perkataan mertuanya itu dengan halus. Sambil berharap kalau mertuanya itu tidak akan tersinggung.
“Jungjeon, sebenarnya,” ucap Ibu Suri Jung-hui, akhirnya ikut bicara. Namun, perkataannya terputus. Seakan ada yang membebani hatinya untuk bicara terus terang. Yoon Bo-kyung merasa jantungnya berdegup kencang dengan tiba-tiba. Dia punya firasat kalau kabar yang akan didengarnya bukanlah kabar baik.
“Ya, Wang Daebi Mama. Saya siap mendengar nasihat Wang Daebi Mama,” ucap Yoon Bo-kyung. Namun, ucapannya itu tidak menghilangkan keraguan Ibu Suri Istana Jung-hui untuk bicara.
“Jusang tadi datang dan berkata kalau dia tertarik dengan seorang Nain,” ucap Ibu Suri Istana Jung-hui membuat Yoon Bo-kyung menggenggam erat chimanya. Hatinya terasa sakit dan kepalanya seperti dipukul dengan sebuah palu yang besar.
“Jusang Jeonha tertarik dengan seorang Nain,” ulang Yoon Bo-kyung tanpa sadar. Apakah dia salah mendengar? Namun, melihat keseriusan dua perempuan di hadapannya, Yoon Bo-kyung sadar kalau dia tidak salah mendengar.
“Dia juga sudah menghabiskan malam bersama Nain itu,” ucap Ibu Suri So-hye. Tanpa menahan kata-katanya lagi.
Bagi Yoon Bo-kyung, ucapan mertuanya itu bagaikan petir yang membakar seluruh tubuhnya sampai ke tulang-tulangnya. Suaminya menyukai seorang Nain. Bahkan suaminya itu telah menghabiskan malamnya bersama Nain itu. Yang paling menyakitkan, Lee Hwon tidak menceritakan hal ini kepadanya lebih dulu.
“Jusang Jeonha menganggap aku ini apa?” ucap Yoon Bo-kyung di dalam hati. Dia merasa seluruh tubuhnya kehilangan tenaga. Apalagi dirinya menderita demam karena menunggu Lee Hwon di malam yang dingin.
“Jungjeon, aku rasa kita tidak bisa menyalahkan perasaan tertarik Jusang. Sebaiknya kamu mengatur seremonial pengangkatan Nain itu sebagai Selir resmi Jusang,” ucap Ibu Suri So-hye. Seakan tidak peduli dengan perasaan Yoon Bo-kyung.
Yoon Bo-kyung ingin membatah mertuanya itu. Sekalipun suaminya telah menghabiskan malam dengan Nain itu, tidak serta merta Nain itu bisa diangkat menjadi Selir. Namun, saat dia ingin mengutarakan keberatannya, kepalanya terasa sangat sakit. Dadanya pun terasa sesak. Semuanya menjadi gelap baginya seketika. Sayup dia mendengar suara-suara yang kepanikan disekitarnya.
***
“Semuanya akan menjadi lebih berat untukmu,” ucap anak kecil di hadapannya. Yoon Bo-kyung yang jongkok dihadapan anak itu, meneteskan air matanya. Mereka berdua berada di tengah sebuah padang rumput yang suram. Ilalang yang tinggi mengelilingi mereka berdua.
“Ini tidak adil bagiku, bukan? Aku telah berkorban banyak untuknya. Apakah aku sama sekali tidak berarti baginya?” tanya Yoon Bo-kyung dengan suara sesenggukan. Anak kecil itu mendekat dan memeluknya erat.
“Ada waktu menangis dan ada waktu untuk tertawa. Kehidupan ini bagaikan roda yang berputar. Ketulusan hati adalah kekuatan yang besar untuk menjalaninya,” ucap anak kecil itu lirih di telinga Yoon Bo-kyung.
Samar-samar, Yoon Bo-kyung menghirup aroma bunga. Dia pun kembali melihat sekelilingnya. Padang yang semula suram berganti dengan ribuan pohon persik dengan bunganya yang bermekaran. Yoon Bo-kyung menatap anak kecil yang sedang memeluknya itu. Yoon Bo-kyung tahu kalau anak kecil itu sedang menghibur hatinya yang remuk.
“Bertahanlah! Ingatlah dengan tekadmu yang semula,” ucap anak kecil itu lagi.
***
Yoon Bo-kyung membuka matanya perlahan. Ada sensasi dingin di dahinya. Yoon Bo-kyung memegang dahinya dan mengambil benda yang menutupi dahinya. Sebuah kain yang dilipat menjadi kompres untuknya. Kemudian ditatapnya sekitarnya. Dia berada di kamarnya sendiri.
“Jungjeon Mama, Anda sudah sadar?” sebuah suara terdengar dari ambang pintu. Yoon Bo-kyung menoleh ke ambang pintu. Park Sanggung berdiri di ambang pintu itu. Dengan terburu-buru dia mendekati Yoon Bo-kyung.
“Anda pingsan karena demam tinggi,” ucap Park Sanggung sambil mengambil kain yang dipegang Yoon Bo-kyung. Kemudian dia memasukkan kain itu ke dalam mangkuk putih berisi air. Memerasnya dan kembali meletakkannya di atas dahi Yoon Bo-kyung.
“Tabib sudah memeriksa Jungjeon Mama. Katanya, Anda sakit karena terlalu lama terkena udara dingin semalam. Dia bilang tidak usah khawatir karena Anda akan sembuh setelah minum ramuan secara teratur,” ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung tetap diam.
“Setelah Anda sehat, kita akan berjalan-jalan ke Ibu Kota secara diam-diam. Saya akan mengatur perjalanan kita nantinya,” oceh Park Sanggung lagi, tetapi Yoon Bo-kyung tetap enggan menanggapi. Dia tahu Park Sanggung sedang berusaha menghibur hatinya. Perempuan yang melayaninya itu pasti sudah mendengar kabar tentang Nain yang membuat suaminya jatuh cinta.
“Saya juga akan menyuruh Han Sansik untuk memasak semua makanan kesukaan Anda,” lanjut Park Sanggung lagi. Masih berusaha memancing Yoon Bo-kyung untuk bicara.
“Aku pikir dia hanya mencintai Bingong Mama saja,” ucap Yoon Bo-kyung lirih. Hatinya sendiri terasa disayat sembilu.
“Oleh karena itu, di dasar hatiku yang dalam, aku menaruh harapan kalau dia akan melihat diriku suatu saat nanti karena Bingong Mama sudah tiada. Sedangkan hanya ada aku disisinya,” ucap Yoon Bo-kyung dan air matanya perlahan mengalir.
“Jungjeon Mama jangan menangis! Kepala Anda akan terasa sakit jika Anda menangis,” ucap Park Sanggung, tetapi air matanya sendiri pun mengalir. Sanggung yang melayani Yoon Bo-kyung itu turut merasakan kepedihan Ratu-nya itu.
“Aku akhirnya sadar, Park Sanggung. Jusang Jeonha tidak akan pernah menyukaiku. Dia akan jatuh cinta lagi, tetapi bukan kepadaku,” ucap Yoon Bo-kyung. Dadanya terasa sesak dan dia kesulitan bernafas. Perlahan ditariknya nafasnya sedalam mungkin kemudian menghebuskannya perlahan. Namun, rasa sesaknya tidak hilang.
“Jungjeon Mama, bersabarlah! Butuh waktu lama bagi seseorang untuk menyelam dan menemukan mutiara. Kelak Jusang Jeonha akan melihat kilauan Anda, Jungjeon Mama,” ucap Park Sanggung. Namun, Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya. Tanda tidak setuju dengan perkataan Park Sanggung.
“Aku adalah pengecualian baginya, Park Sanggung. Dari dulu sampai sekarang dan bahkan sampai seterusnya pun akan begitu. Dia tidak akan pernah melihatku. Sekeras apa pun aku berusaha membuatnya berpaling kepadaku, dia tidak akan mencintaiku,” lanjut Yoon Bo-kyung lirih dan perlahan tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sakit.
“Jungjeon Mama,” ucap Park Sanggung lirih. Seakan kehilangan kata-kata untuk menghiburnya.
Yoon Bo-kyung juga tidak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan perasaan sedih dan kecewanya itu. Hatinya terlalu sakit. Ditariknya selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, sampai menutupi mukanya. Lalu menangis dengan terisak-isak dibalik selimut itu.
***
Hari menjelang sore di Istana Gangyeonjeon. Lee Hwon menghela nafas panjang. Kemudian berdiri dan berjalan bolak-balik di ruang kerjanya. Setelah itu dia kembali duduk. Tidak disentuhnya gulungan kertas diatas mejanya. Sebaliknya, dia hanya mengetuk-ngetuk mejanya.
“Jusang Jeonha, apakah Anda menginginkan camilan?” tanya Kasim Go tiba-tiba, tetapi Lee Hwon menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Apakah Daebi Mama sudah memberi kabar?” tanya Lee Hwon setelah diam beberapa saat. Tangannya yang mengetuk meja berhenti sejenak.
“Tidak ada, Jusang Jeonha. Daebi Mama belum memberi kabar apa pun,” jawab Kasim Go dan jawaban itu membuatnya kembali mengetuk-ngetuk meja.
“Apakah tidak ada kabar-kabar aneh yang kamu dengar?” tanya Lee Hwon lagi.
“Tidak ada, Jusang Jeonha. Semua berjalan dengan normal,” jawab Kasim Go, tetapi jawaban itu tidak membuat Lee Hwon tenang juga. Dia kembali berdiri dan berjalan bolak-balik di ruangannya.
“Maafkan saya, Jeonha. Adakah yang membuat Anda cemas? Anda terlihat sangat gelisah,” tanya Kasim Go dan Lee Hwon menggelengkan kepalanya. Namun, Lee Hwon tetap bolak-balik di ruangannya. Sikapnya bertolak belakang dengan jawabannya. Sebenarnya, hatinya sedang cemas.
“Apakah Anda memikirkan Nain yang menemani Anda semalam, Jeonha?” tanya Kasim Go, membuat Lee Hwon berhenti dari kegiatannya berjalan bolak-balik.
Lee Hwon menghela nafas. Awalnya dia kaget karena Kasim Go mengetahui kalau dia mengahabiskan malamnya dengan perempuan lain. Namun, dia sadar kalau urusan semacam ini tidak bisa disembunyikan. Dengan cepat semua orang akan tahu kalau dia memiliki wanita lain di Istana ini.
“Masalah nain itu, Anda tidak usah khawatir. Tempat tinggalnya dan semua kebutuhannya telah disediakan dengan baik,” lanjut Kasim Go. Tidak menunggu Raja-nya menjawab pertanyaannya tadi.
“Nampaknya semua orang di Istana ini sudah tahu kalau aku tertarik dengan seorang dayang,” ucap Lee Hwon setelah Kasim Go bicara.
“Hal semacam itu adalah hal yang wajar saja, Jusang Jeonha. Anda tidak perlu mencemaskan pendapat orang lain. Apalagi Jusang Jeonha juga belum memiliki pewaris. Wajar Anda mengambil Selir,” ucap Kasim Go dan memberi penjelasan yang membuat Lee Hwon sedikit tenang.
“Benar. Wajar saja bagi seorang Raja mengambil Selir. Nampaknya, tidak ada yang mencurigai hal ini. Berarti Yeon Woo tidak berada dalam bahaya,” ucap Lee Hwon di dalam hati.
Salah satu yang Lee Hwon cemaskan adalah orang-orang akan menganggap aneh kalau dia dengan tiba-tiba mengambil Selir. Jika mereka curiga, mereka akan menyelidiki latar Yeon Woo. Ibunya memang telah mengatur segala sesuatunya agar terlihat wajar. Namun, Lee Hwon tetap merasa cemas juga.
Hal lain yang dia cemaskan adalah reaksi Yoon Bo-kyung. Apakah perempuan itu marah? Apakah istrinya itu akan bertindak sesuka hati kepada Yeon Woo? Dia khawatir kalau Yoon Bo-kyung akan berbuat nekat karena merasa posisinya sebagai Ratu terancam dengan kehadiran Selir.
Bagaimana jika kelak Yoon Bo-kyung tahu kalau perempuan yang bersamanya semalam adalah Heo Yeon Woo? Apakah masalah yang lebih besar akan muncul? Apakah Yoon Bo-kyung akan berbalik mengkhianatinya? Istrinya itu punya kekuatan yang cukup besar dan jika dia sampai berbalik mengkhianatinya, Lee Hwon pasti kalah.
“Saya meminta posisi Ratu,” samar Lee Hwon ingat perjanjian mereka dulu.
Lee Hwon pun menarik kesimpulan di dalam hati. Selama Yoon Bo-kyung berada di tahta bulan, seharusnya perempuan itu tidak mengkhianatinya. Saat ini Lee Hwon akan membiarkan perempuan itu menikmati tahta bulan sampai dia memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menjungkalkannya. Lalu mengembalikan tempat itu kepada pemiliknya yang sebenarnya.
“Apakah tidak ada kabar dari Istana Gyeotaejeon?” tanya Lee Hwon, menyebut Istana yang menjadi kediaman Yoon Bo-kyung.
“Saya tidak mendengar apa pun,” ucap Kasim Go, tetapi pandangan matanya beralih. Tidak menatap wajah Lee Hwon yang menghadapnya. Sikap Kasim itu membuatnya curiga. Lee Hwon mengernyitkan dahinya.
“Kasim Go. Aku harap kamu tidak menyembunyikan apa pun dariku,” ucap Lee Hwon tajam dan Kasim Go menghela nafas panjang.
“Maafkan kelancangan saya, Jusang Jeonha. Saya sungguh tidak mendapat kabar apapun. Namun, saya mendengar kabar yang belum pasti kebenarannya,” ucap Kasim Go dengan takut-takut.
“Apa?” tanya Lee Hwon tajam. Kasim Go menundukkan kepalanya.
“Menurut kabar yang saya dengar, Jungjeon Mama jatuh tidak sadarkan diri di Istana Jagyeonjeon saat mengucap salam pagi,” ucap Kasim Go. Lee Hwon merasa sesuatu yang tidak nyaman muncul di hatinya.
“Seharusnya kamu bilang dari tadi,” keluh Lee Hwon dan keluar dari ruangannya.
“Anda mau kemana, Jusang Jeonha?” tanya Kasim Go sambil menyusul langkahnya.
“Kemana lagi? Aku harus melihat kondisi Jungjeon,” ucap Lee Hwon tegas dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju Istana Gyeotaejeon.
“Anda mencemaskan Jungjeon Mama?” tanya Kasim Go yang berusaha untuk mengejar langkah Lee Hwon. Pertanyaan Kasim Go membuat Lee Hwon menghentikan langkahnya.
“Apa dia cemas? Jika iya, mengapa dia cemas?” tanya Lee Hwon di dalam hatinya. Lee Hwon berbalik dan menatap Kasim Go.
“Dia adalah istriku. Akan aneh jika aku tidak menjenguknya, bukan?” tanya Lee Hwon balik.
“Namun, tidak ada kabar resmi dari Gyeotaejeon. Bisa jadi Jungjeon Mama tidak ingin orang lain tahu kalau dia sakit,” ucap Kasim Go. Lee Hwon diam sejenak. Menimbang kalau ucapan Kasim Go memiliki kebenaran. Namun, dia merasa tidak tenang.
“Apa aku butuh alasan untuk pergi ke Gyeotaejeon?” tanya Lee Hwon dengan nada tinggi. Kasim Go sesaat tertegun melihat reaksi Raja-nya.
“Tidak, Jusang Jeonha,” jawab Kasim Go dengan suara lirih. Lee Hwon menghela nafas. Dia pun kembali meneruskan langkahnya ke Istana Gyeotaejeon.
***
Lee Hwon menatap Yoon Bo-kyung dengan pandangan menyelidik. Wajah perempuan yang sedang duduk dihadapannya itu terlihat pucat. Namun, istrinya itu terlihat sedang memaksakan dirinya sendiri untuk duduk dengan tegak. Hanya mereka berdua di ruangan belajar milik Yoon Bo-kyung itu. Para dayang dan kasim menunggu di luar.
“Ingin terlihat kuat di hadapanku?” tanya Lee Hwon di dalam hati melihat istrinya itu tetap mempertahankan sikapnya yang cendrung angkuh menurutnya.
“Mengapa Jusang Jeonha datang ke Istana Gyeotaejeon?” tanya Yoon Bo-kyung dengan sinis. Lee Hwon mengernyitkan dahinya.
“Apa aku perlu alasan untuk datang ke sini, Jungjeon?” jawab Lee Hwon. Lee Hwon enggan berkata kalau dia datang karena mendengar istrinya itu sakit. Yoon Bo-kyung menundukkan kepalanya sejenak setelah mendengar jawabannya.
“Kalau Anda ingin menanyakan bagaimana kondisi nain yang Anda sukai itu, saya pastikan dia akan dipelihara dengan baik. Namun, saya belum bisa mengangkatnya sebagai Selir Anda. Saya harus melihat status keluarganya lebih dulu,” ucap Yoon Bo-kyung dengan suara yang datar. Lee Hwon mengernyitkan dahinya lagi. Menyesal dia pergi ke Gyeotaejeon karena Yoon Bo-kyung langsung melempar perkataan yang membuatnya kesal.
“Nain itu...sungguh hebat. Bisa membuat Anda lupa kepada almarhum Binggong Mama. Saya penasaran bagaimana caranya menarik perhatian Anda,” ucap Yoon Bo-kyung dengan kata-kata yang menyindir.
“Mungkin dia menyihir Anda. Dia mungkin memang penyihir,” ucap Yoon Bo-kyung lagi dan kalimatnya menyinggung hal yang tabu. Sihir adalah kata tabu. Jika ada yang dituduh menjadi penyihir, akan dihukum mati. Ucapan itu membuat Lee Hwon marah.
“Nama nain itu Wol, Jungjeon. Sebaiknya kamu ingat namanya baik-baik. Apa kamu sadar tuduhan penyihir adalah tuduhan serius? Perkataanmu membuatku curiga kalau kamu yang menaruh boneka sihir di kediaman Binggong Mama,” ucap Lee Hwon, tetapi Yoon Bo-kyung malah tersenyum sinis.
“Namanya Wol? Nama yang bagus. Saya akan mengingatnya,” ucap Yoon Bo-kyung dengan suara yang terdengar menyindir.
“Jungjeon, kamu harus ingat dengan perjanjian di antara kita. Aku bisa mengambil Selir dan kamu tetap memiliki tahta,” ucap Lee Hwon tajam.
“Tahta?” ulang Yoon Bo-kyung dan tersenyum sinis lagi.
“Benar. Kita berjanji tentang hal itu, bukan? Sebelum kita memutuskan bekerja sama menjatuhkan Perdana Menteri Yoon,” ucap Lee Hwon tegas.
“Kerja sama hanya akan terjadi untuk orang-orang yang memutuskan menjadi rekan. Perjanjian hanya dilakukan atas dasar kepercayaan di kedua belah pihak. Namun, sikap Anda apakah menunjukkan kita rekan? Adakah dasar saling mempercayai diantara kita berdua? Anda tidak percaya kepada saya sehingga tanpa berkata apa pun kepada saya, Anda menghabiskan malam Anda dengan perempuan itu,” ucap Yoon Bo-kyung.
“Jungjeon, jaga kata-katamu!” tegur Lee Hwon.
“Anda tahu, Jusang Jeonha? Seisi Istana ini akan mentertawakan saya karena Anda mengambil Selir tanpa memberi tahu saya. Seisi Istana ini akan berkata kalau saya hanya Ratu dengan nama saja, tanpa kekuasaan sebagai Ratu,” ucap Yoon Bo-kyung dengan mata membelak.
“Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Jungjeon. Lagipula kamu berpikir berlebihan. Mereka tidak akan berani berpikir kalau kamu hanya Ratu dengan nama saja,” balas Lee Hwon.
“Tidak, Jeonha. Mereka akan berpikir begitu karena Anda memperlakukan saya seperti itu. Semua akan memandang rendah saya karena mereka tahu sekarang kalau saya bukan apa-apa untuk Anda,” ucap Yoon Bo-kyung tegas. Ucapan Yoon Bo-kyung itu membuat Lee Hwon berpaling ke arah lain. Perkataan Yoon Bo-kyung mengandung kebenaran. Lee Hwon tidak berpikir sejauh itu tadi malam. Seharusnya dia cukup menemui Yeon Woo saja dan tidak menghabiskan malamnya dengan orang yang dicintainya itu.
“Terimakasih, Jusang Jeonha. Anda membuat saya sadar terhadap posisi saya yang sebenarnya bagi Anda. Anda tidak pernah menganggap saya sebagai istri Anda. Anda juga tidak menganggap saya sebagai Ratu negeri ini. Bahkan Anda sama sekali tidak menganggap saya sebagai rekan Anda,” ucap Yoon Bo-kyung dengan cepat membuat Lee Hwon terkejut.
“Kamu salah paham,” dusta Lee Hwon. Dalam hatinya dia merasa kacau. Perkataan Yoon Bo-kyung jika dipikirkan memang benar. Tadi saja dia sudah berpikir untuk menggantikan posisi Yoon Bo-kyung jika dia sudah punya kekuatan untuk melakukannya. Sebenarnya, bagi dirinya, Yoon Bo-kyung memiliki posisi apa?
“Ternyata selama ini di mata Anda saya adalah putri musuh Anda, bukan? Putri musuh Anda adalah musuh Anda juga, bukan?” sindir Yoon Bo-kyung.
“Aku tidak menganggapmu musuhku,” bantah Lee Hwon, tetapi sesaat saja matanya sanggup menatap mata Yoon Bo-kyung yang seakan sedang menelanjangi hati Lee Hwon. Yoon Bo-kyung tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar menyakitkan. Lee Hwon kembali menatap istrinya itu lagi dan melihat hal yang mengejutkan. Istrinya meneteskan air mata, sekalipun mulutnya tersenyum.
“Sekarang Anda membuat Abeoji saya tahu kalau saya tidak berguna baginya lagi. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan saya. Untuk itu saya sangat berterimakasih kepada Anda, Jusang Jeonha,” ucap Yoon Bo-kyung sambil menundukan kepalanya seperti orang yang berterimakasih.
“Apa maksudmu, Jungjeon?” tanya Lee Hwon. Tidak bisa mengerti arah pembicaraan Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung adalah salah satu pion bagi ayahnya. Pion yang membuat Perdana Menteri itu punya posisi yang kuat di pemerintahannya. Lagipula Yoon Bo-kyung adalah anaknya. Mana mungkin seorang ayah menyingkirkan anaknya sendiri.
“Saya rasa pembicaraan ini diakhiri saja. Anda pasti sudah lelah, Jusang Jeonha. Anda bisa beristirahat di tempat perempuan itu. Wol namanya, bukan?” ucap Yoon Bo-kyung dan berdiri. Namun, beberapa langkah saja dia berjalan, tubuh istrinya itu langsung terduduk di atas lantai. Seakan kehilangan tenaganya.
Panik, Lee Hwon mendekatinya.
“Kamu sakit, bukan? Makanya ucapanmu kacau semua,” ucap Lee Hwon sambil memegang dahi istrinya. Dahi istrinya itu sangat panas. Namun, Yoon Bo-kyung langsung menepis tangan suaminya itu.
“Saya tidak sakit,” ucap Yoon Bo-kyung.
“Jungjeon, biarkan aku membantumu ke ruang tidurmu,”
“Saya bisa sendiri,” ucap Yoon Bo-kyung dan berusaha berdiri sendiri. Namun, baru saja dia berdiri, tubuhnya langsung jatuh. Lee Hwon segera menangkap tubuh Yoon Bo-kyung. Istrinya itu sudah tidak sadarkan diri. Dengan panik, dia mengangkat tubuh istrinya itu dengan kedua tangannya. Menggendongnya.
“Sanggung!” teriak Lee Hwon, membuat Park Sanggung yang menunggu di luar segera menggeser pintu ruangan.
“Ada apa, Jusang Jeonha? Astaga! Jungjeon Mama,” ucap Park Sanggung yang langsung panik mendekati Lee Hwon.
“Aku akan membawanya ke ruang tidurnya. Panggil Tabib segera!” perintah Lee Hwon sambil menggendong tubuh Yoon Bo-kyung menuju ruang tidurnya.
“Astaga, tubuhnya panas sekali!” keluh Lee Hwon di dalam hati. Dia tidak mengerti mengapa muncul rasa cemas di hatinya. Dia bukan cemas lagi, tetapi takut.
Sumatera Utara, 26 Juni 2018
Pembaca yang kusayang,
Maaf karena lama update. Menulis kisah ini memang sulit. Selain inginku cerita ini bisa terasa wajar, pemilihan kata dan pendalaman perasaan masing2x tokoh tidaklah mudah dilakukan.
Oleh karena itu, dukungan kalian sangat berarti.
Ngomong-ngomong, aku ada pertanyaan. Menurut kalian sikap Lee Hwon itu bagaimana di part ini? Bebas, jawab apa saja.
Terimakasih untuk dukungannya selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top