SEBUAH KISAH
Lee Hwon menatap wajah Yoon Bo-kyung yang berbaring di sampingnya. Mereka tidur dalam posisi saling berhadapan. Lee Hwon merasa sedikit bingung. Tidak pernah dia berada dalam jarak yang sedekat ini dengan istrinya itu ketika tidur. Sekarang, mereka tidak hanya tidur bersebelahan saja. Lee Hwon bahkan memeluk istrinya itu.
Lee Hwon tidak mengerti mengapa dia bisa bersikap seperti saat ini. Melewati semua batasan dan jarak yang dia buat hanya untuk membuat istrinya tetap merasa hangat dalam pelukannya. Bahkan dia ikut tertidur lelap saat memeluknya.
Mengapa dia bisa mengabaikan kemarahannya setelah mendengar perkataan Yeon Woo tentang pristiwa boneka sihir? Bukankah Yoon Bo-kyung adalah orang yang paling dia curigai sebagai dalang pristiwa bineka sihir? Mengapa dia bisa mengkhawatirkan kondisi istrinya itu? Mengapa dia bisa sepeduli ini?
Saat dia sibuk berpikir, hal mengejutkan terjadi. Mata istrinya terbuka. Menatapnya. Jantung Lee Hwon seketika hendak melompat keluar.
"Jeonha ada disini?" ucap Yoon Bo-kyung kemudian. Istrinya itu bertanya dengan suara lirih. Namun, rasa terkejut membuat Lee Hwon diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Ini pasti mimpi, bukan?" tanya Yoon Bo-kyung lagi. Membuoat Lee Hwon sadarkalau istrinya mungkin hanya sedang mengigau. Perlahan Lee Hwon menganggukkan kepalanya.
"Benar. Ini pasti mimpi. Jeonha tidak mungkin mau menemani saya," ucap Yoon Bo-kyung. Matanya terlihat sendu. Membuat Lee Hwon merasa kalau sesuatu menggores dadanya.
"Iya. Ini mimpi. Tidurlah!" jawab Lee Hwon akhirnya. Dia tidak mau istrinya benar-benar sadar. Dengan tangannya, dia menutup kelopak mata istrinya itu.
"Ini mimpi yang sangat indah," ucap Yoon Bo-kyung. Lalu air mata mengalir dari kedua sudut mata istrinya itu. Lee Hwon terkejut melihat air mata itu. Mengapa dia merasa ada rasa iba di hatinya untuk Yoon Bo-kyung?
Lee Hwon todak berani bergerak cukup lama. Setelah yakin istrinya kembali lelap, dia menghela nafas lega. Dirabanya dahi istrinya. Tidak sepanas tadi. Membuat Lee Hwon merasa lega.
Perlahan, Lee Hwon keluar dari selimut yang menutupi tubuhnya dan istrinya. Kemudian dia merapikan selimut itu agar menutupi tubuh Yoon Bo-kyung dengan rapat. Dikenakannya lagi pakaian luarnya. Kemudian dengan langkah perlahan, dia berjalan menuju pintu. Digesernya pintu ruang tidur Yoon Bo-kyung itu sepelan mungkin.
"Jeonha," ucap Park Sanggung dan Kasim Go yang menunggu diluar. Suara mereka yang agak keras membuat Lee Hwon mengernyitkan keningnya.
"Kalian mau membangunkan Jungjeon dengan bersuara sekeras itu?" tegur Lee Hwon dan kedua abdi Istana itu menggelengkan kepalanya.
"Park Sanggung, aku akan kembali ke kediamanku," ucap Lee Hwon. Park Sanggung menatap Kasim Go. Salah satu alisnya naik, seakan memberi kode kepada Kasim Go untuk bicara.
"Jeonha, hari masih gelap. Udara di luar sangat dingin," ucap Kasim Go, tetapi Lee Hwon menatapnya dengan tajam. Membuat lelaki paruh baya itu menundukkan kepalanya lagi.
"Sanggung, bereskan futon yang aku pakai. Jangan beritahu Jungjeon kalau tadi aku tidur disini," ucap Lee Hwon dan Park Sanggung menatapnya dengan kening berkerut.
"Jangan tanya alasanku menyuruhmu begitu. Kerjakan saja apa yang aku suruh," ucap Lee Hwon dan Park Sanggung dengan enggan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Jeonha," ucap Park Sanggung lirih.
Lee Hwon pun melangkahkan kakinya lagi dan berjalan menuju pintu keluar Istana Gyeotaejeon. Kasim Go menyusul dari belakang dengan membawa lentera yang diberikan Park Sanggung. Hari masih gelap. Persis seperti yang dikatakan Kasim Go, udara masih dingin dan dinginnya itu menembus pakaian tebal yang dikenakan Lee Hwon. Membuatnya sedikit menggigil.
"Jeonha, apakah kita kembali ke Gangyeongjeon?" tanya Kasim Go dengan pelan.
"Iya," ucap Lee Hwon singkat.
"Hari masih gelap. Apakah Anda tidak ingin mengunjungi kediaman sanggung istimewa?" tanya Kasim Go.
Mendengar gelar Heo Yeon Woo saat ini disebut, muncul perasaan tidak nyaman di hati Lee Hwon. Lee Hwon pun membalikkan badannya dan menatap Kasim Go dengan kesal. Ucapan Kasim Go itu seketika membuatnya sakit kepala. Rasa bersalah muncul di hatinya.
Wajah Yeon Woo terngiang di benaknya. Perempuan yang dia rindukan sejak lama itu telah mengalami banyak penderitaan. Kehilangan orang tua dan kakak laki-lakinya dalam waktu yang bersamaan. Nyawanya sendiri hampir hilang pada pristiwa penyerangan yang mereka alami dalam perjalan menuju Pulau Tamra itu.
Lee Hwon merasa bersalah karena dia malah menghabiskan malamnya di kediaman Yoon Bo-kyung. Perempuan yang diduga kuat sebagai penyebab utama bencana yang dialami Klan Heo. Jika Yeon Woo tahu, dia pasti akan merasa sedih. Apakah perempuan itu akan percaya kalau dia menemani Yoon Bo-kyung supaya istrinya itu tidak memutuskan kerja sama dengannya?
'Aku tidak bisa bertemu Yeon Woo saat ini. Hatiku tidak akan merasa tenang karena rasa bersalahku kepadanya,' keluh Lee Hwon di dalam hati. Dengan pelan dia menghela nafas.
"Aku tidak akan kesana hari ini," ucap Lee Hwon kepada Kasim Go yang menunggu jawabannya. Kasim yang sebaya dengan Park Sanggung itu pun menganggukkan kepalanya. Lee Hwon pun dengan langkah cepat menuju kediamamnya sendiri.
***
Yoon Bo-kyung membuka matanya perlahan. Kepalanya masih pusing. Namun, dibandingkan dengan tadi, dia merasa tubuhnya lebih bertenaga. Perlahan Yoon Bo-kyung membuka selimut yang menutupinya. Tepat dengan itu, pintu ruang tidurnya bergeser. Park Sanggung masuk dan menatap Yoon Bo-kyung dengan mata berbinar.
"Jungjeon Mama, akhirnya Anda sadar," ucap Park Sanggung dan mendekati Ratu-nya dengan cepat. Meraba dahinya kemudian menghela nafas. Menunjukkan kelegaan.
"Akhirnya demam Anda benar-benar turun. Kemarin kami sangat panik melihat Anda tidak sadarkan diri," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Maafkan aku karena sudah membuat kalian semua khawatir," ucap Yoon Bo-kyung tulus. Dia terharu melihat ketulusan orang-orang yang melayaninya itu.
"Saya akan menyuruh Hwang Nari kesini untuk memeriksa Anda," ucap Park Sanggung dan langsung keluar ruang tidur Yoon Bo-kyung sebelum Ratu-nya itu memberi persetujuan. Beberapa pelayan masuk membawakan air untuk membasuh muka juga pakaian untuk dikenakan olehnya.
Setelah berganti pakaian dan merapikan rambutnya, Hwang Nari datang.
"Jungjeon Mama, saya meminta izin untuk memeriksa Anda," ucap Hwang Nari dan langsung mendekat setelah Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Keadaan Anda semakin baik," ucap Hwang Nari dengan senyum lebar. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Terimakasih karena mengobatiku dengan baik," ucap Yoon Bo-kyung, tetapi Hwang Nari menggelengkan kepalanya.
"Itu kewajiban saya, Jungjeon Mama. Saya senang Anda pulih. Saya khawatir karena demam Anda sulit untuk turun,"
"Benarkah? Aku sungguh tidak tahu karena aku merasa seperti tidur saja. Tidur yang nyenyak. Maaf membuat kalian semua khawatir," ucap Yoon Bo-kyung.
"Anda bisa tidur mungkin karena," ucap Hwan Nari tetapi ucapannya terpotong oleh Park Sanggung.
"Minum obat tidur," ucap Park Sanggung. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya, tetapi sedikit bingung melihat Hwan Nari dan Park Sanggung sejenak saling bertatapan. Seakan ada sesuatu yang tidak ingin mereka ceritakan. Namun, Yoon Bo-kyung tidak mau terlalu memikirkannya. Dia percaya kepada dua dayang yang melayaninya itu. Pasti ada alasan mereka menutupinya.
"Apakah aku bisa keluar? Aku harus memberi salam kepada Wang Daebi Mama dan Daebi Mama," tanya Yoon Bo-kyung. Sekalipun hatinya masih sakit dengan berita yang kedua tetua Istana itu sampaikan, dia tetap merasa wajib memberi salam. Selama dia sehat, dia harus melakukannya.
"Anda tidak perlu kesana, Jungjeon Mama. Saya mendapat pesan dari Istana Jagyeonjeon. Wang Daebi Mama dan Daebi Mama akan kesini untuk melihat kondisi Anda," ucap Park Sanggung dengan suara yang tenang. Yoon Bo-kyung menghela nafas.
"Aku bahkan merepotkan mereka berdua juga," ucap Yoon Bo-kyung dan hatinya merasa tidak nyaman. Dia yakin Daebi Mama akan memarahinya lagi.
"Sebaiknya Anda sarapan dan meminum obat," ucap Hwan Nari dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Baiklah," ucap Yoon Bo-kyung. Park Sanggung keluar dan tidak lama kemudia dia datang bersama Han Sansik. Dayang di dapur Ratu yang pendiam itu mendadak mendekati Yoon Bo-kyung.
"Jungjeon Mama, Anda sudah sadar. Pagi ini saya hanya menyajikan bubur seperti Dayang Hwan sarankan. Namun, setelah Anda benar-benar sehat, saya akan memasak semua makanan kesukaan Anda. Bahkan jajanan pasar pun akan saya buatkan untuk Anda. Supaya Anda senang," ucap Han Sansik yang biasanya hanya bicara sedikit saja, tetapi kali ini bicara panjang. Yoon Bo-kyung tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Han Sansik dengan telaten menyajikan sarapan untuk Yoon Bo-kyung.
Sesaat Yoon Bo-kyung memperhatikan sekelilingnya. Melihat para dayang yang melayani di Istana Gyeotaejeon menatapnya dengan kasih. Beberapa memperhatikannya dari depan pintu. Jelas mereka semua ingin memastikan kalau keadaannya baik-baik saja.
Melihat ketulusan mereka dan kasih sayang yang mereka berikan kepadanya, hati Yoon Bo-kyung terasa hangat. Begitu banyak hal telah membuatnya bersedih. Ayahnya. Mertuanya. Terlebih suaminya. Namun, ketulusan para dayang ini menyentuh hatinya. Dia merasa cukup dengan kasih yang mereka berikan.
Kebaikan mereka membuat Yoon Bo-kyung menegur dirinya sendiri dengan ragam pertanyaan. Mengapa dia membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa sakit hati? Mengapa dia malah bersikap seakan dia mengiba cinta suaminya? Bukankah sejak awal dia sudah tahu kalau Lee Hwon tidak akan pernah mencintainya? Cinta suaminya hanya akan terwujud dalam mimpi seperti yang dialaminya tadi malam.
"Kalian begitu memperhatikan kondisiku. Padahal aku tidak bisa membalas semua kebaikan kalian semua," ucap Yoon Bo-kyung membuat Han Sansik dan Park Sanggung berbicara bersahutan.
"Jangan berbicara seperti, Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung.
"Kami tidak mengharapkan balasan,"sambung Han Sansik.
"Kami senang jika Jungjeon Mama bahagia. Kami selalu ingin Jungjeon Mama tersenyum," ucap Hwan Nari dengan wajah yang tegas.
"Saat Anda tersenyum, kami merasa senang, Jungjeon Mama," ucap Mirae dan perkataannya itu membuat Yoon Bo-kyung tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Terimakasih," ucap Yoon Bo-kyung, tulus dari dalam hatinya.
***
Yoon Bo-kyung menatap Ibu dan Nenek dari suaminya dengan tenang seakan tidak ada masalah yang merudungnya. Seperti yang Park Sanggung katakan tadi, kedua tetua Istana yang datang mengunjunginya. Tidak lama setelah Yoon Bo-kyung menghabiskan sarapannya, mereka berdua datang.
"Nampaknya keadaanmu semakin baik saja, Jungjeon," ucap Ibu Suri So-hye dengan tidak menghilangkan nada sinis dari ucapannya. Yoon Bo-kyung tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Berkat doa Anda, kondisi saya semakin baik," ucap Yoon Bo-kyung berbasa basi. Didalam hatinya dia menebak kalau mertuanya itu mungkin kecewa melihatnya cepat pulih.
"Syukurlah, Jungjeon. Aku senang melihat keadaanmu. Kemarin pagi kamu pingsan saat memberi salam. Aku sungguh khawatir karenanya. Namun, kondisi tubuhku pun sedang tidak baik. Aku tidak bisa mengunjungimu kemarin malam," ucap Ibu Suri Istana Jung Hui.
"Tidak apa-apa, Wang Daebi Mama. Kondisiku juga sudah membaik. Anda jangan khawatir," ucap Yoon Bo-kyung dan Ibu Suri Istana Jung Hui mengangguk.
"Melihat kondisimu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri kemarin, aku khawatir kalau kamu terlalu lelah. Jika kamu dibantu oleh seorang Selir, kamu tidak akan selelah ini," ucap Ibu Suri So-hye. Ibu Suri Istana Jung Hui langsung menepuk punggung tangan menantunya yang duduk di sebelahnya itu.
"Daebi, tidak benar kamu berkata seperti itu. Jungjeon masih belum pulih," tegur Ibu Suri Jung Hui.
"Maafkan saya, Wang Daebi Mama. Saya tidak bermaksud menyinggung Jungjeon. Hal ini murni dari rasa khawatirku untuknya," ucap Ibu Suri So-hye.
"Wang Daebi Mama, saya tahu kalau Daebi Mama berkata begitu karena memikirkan kondisi saya," sambung Yoon Bo-kyung. Membuat Ibu Suri So-hye mengernyitkan dahinya dan menatap Yoon Bo-kyun dengan tatapan tidak suka.
"Baiklah, aku mengerti," ucap Ibu Suri Istana Jung Hui. Wajahnya terlihat tidak senang.
"Wang Daebi Mama, Daebi Mama saya ingin meminta izin dari kalian," ucap Yoon Bo-kyung.
"Katakan saja, Jungjeon," ucap Ibu Suri Istana Jung Hui.
"Saya sepertinya butuh waktu untuk memulihkan diri. Saya meminta izin kepada Wang Daebi Mama dan Daebi Mama untuk pergi ke Kuil," ucap Yoon Bo-kyung. Sebenarnya bukan tubuhnya yang paling membutuhkan penyembuhan. Pikirannya saat ini yang paling membutuhkan pemulihan. Keadaan Istana tidak akan bisa memulihkan perasaannya yang campur aduk saat ini. Justru akan membuatnya semakin stress.
"Kuil? Apa kamu harus kesana lagi?" tanya Ibu Suri So-hye, matanya sedikit terbelak.
"Tidak apa-apa. Aku mengizinkanmu, Jungjeon" ucap Ibu Suri Istana Jung Hui. Bertolak belakang dengan ucapan menantunya.
"Daebi, aku rasa kamu bisa mengawasi Istana Dalam selama Jungjeon pergi," ucap Ibu Suri Istana Jung Hui kepada menantunya dengan kata-kata yang menunjukkan keputusannya itu bulat.
"Aku tahu Jungjeon membutuhkan waktu untuk sendiri. Apa yang baru dia alami bukanlah hal yang mudah diterima oleh setiap perempuan. Kamu beruntung, Daebi karena putraku tidak berniat mengambil seorang Selir. Kamu tidak akan memahami perasaannya," ucap Ibu Suri Jung Hui tajam.
Yoon Bo-kyung menatap Nenek dari suaminya itu dengan lembut. Di dalam hati, dia sangat bersyukur dan berterimakasih karena pengertiannya. Namun, Yoon Bo-kyung tidak mengucapkan rasa terima kasihnya itu karena akan membuat Ibu Suri So-hye tersinggung.
***
Yoon Bo-kyung menghembuskan nafasnya perlahan. Hembusan nafasnya menjadi uap karena bersentuhan dengan udara dingin di Musim Dingin. Dia menatap sekitarnya yang telah ditutupi salju. Tanah, pepohonan dan rumput telah diselimuti butiran putih yang jatuh dari langit itu.
"Jungjeon Mama, Kepala Biara ingin berbicara dengan Anda," ucap Park Sanggung. Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya. Seminggu sudah dia berada di Kuil untuk menenangkan diri. Selama itu, dia belum bertemu dengan Kepala Biara yang pernah menghadiahinya lukisan Bunga Mugunghwa itu.
"Dimakah beliau?" tanya Yoon Bo-kyung.
"Dia berada di jembatan belakang Biara, Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya. Dia pun berjalan menuju jembatan yang dimaksud. Seperti Park Sanggung katakan, seorang perempuan sudah menunggu di tepi jembatan itu. Yoon Bo-kyung segera mendekat dan mereka pun berjalan dengan perlahan. Sedangkan Park Sanggung dan Mirae mengikuti dari kejauhan.
"Jungjeon Mama, bagaimana keadaan Anda saat ini? Apakah badan Anda menjadi lebih kuat saat ini? Apakah pikiran Anda lebih tenang?" tanya Kepala Biara itu dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya.
"Tempat ini membuatku cepat pulih. Kondisi tubuhku dan pikiranku menjadi lebih baik. Disini aku selalu mendapatkan ketenangan," ucap Yoon Bo-kyung, jujur dari hatinya.
"Jika Anda sudah tenang, apa yang Anda putuskan?" tanya Kepala Biara itu. Yoon Bo-kyung menatapnya sejenak kemudian mengadah ke langit. Yoon Bo-kyung sudah menceritakan kepada Kepala Biara itu tentang tekadnya untuk menolong Lee Hwon membangun negeri saat dia pergi ke Biara ini dulu. Kepala Biara juga sudah tahu kondisinya saat ini dari surat yang dia kirimkan untuk Kepala Biara itu.
"Aku tidak tahu. Aku merasa putus asa. Merasa kalau apa yang aku lakukan tidak memiliki arti apa-apa untuk Jusang Jeonha?" ucap Yoon Bo-kyung dengan jujur.
"Apakah maksudmu adalah tidak memberimu apa yang kamu harapkan?" tanya Kepala Biara yang membuat Yoon Bo-kyung terpaku. Mereka berhenti di tengah jembatan.
"Maksud Anda?"tanya Yoon Bo-kyung dengan bingung.
"Jungejon Mama, seseorang akan merasa kecewa karena tidak mendapat apa yang dia harapkan. Maafkan aku jika berkata sekeras ini kepada Anda. Bukankah Anda berharap kalau apa yang Anda lakukan memiliki arti bagi Jusang Jeonha? Bukankah itu artinya Anda berharap kalau Anda memiliki arti di hati Jusang Jeonha?" tanya Kepala Biara dengan tenang. Ucapan itu dengan keras memukul perasaan Yoon Bo-kyung.
"Apakah Anda mengatakan kalau aku tidak tulus?" tanya Yoon Bo-kyung, hatinya merasa sakit.
"Saya tidak bermaksud berkata seperti itu, Jungjeon Mama. Mengharapkan seseorang menghargai kita adalah hal yang sangat manusiawi. Terlebih setelah begitu banyak usaha yang kita berikan untuknya," ucap Kepala Biara itu dan menatap Yoon Bo-kyung lembut.
"Namun, disaat hal itu tidak terwujud, kekecewaan dan sakit hati pun muncul. Menggerogoti hati kita dan bisa membuat kita melupakan tujuan utama kita," ucap Kepala Biara yang membuat Yoon Bo-kyung ingat dengan ucapan anak kecil yang kerap muncul dalam mimpinya. Anak kecil itu pun pernah berkata hal yang sama kalau dia harus mengingat tujuan utamanya.
Tujuan utamanya bukan cinta yang terbalas. Tujuan utamanya adalah kebahagiaan bagi rakyat Joseon. Baginya, hanya Lee Hwon yang bisa mewujudkannya jika suaminya itu bisa menjadi Raja yang sebenar-benarnya. Karena itulah dia berusaha sekeras ini, bukan?
Yoon Bo-kyung menundukkan kepalanya sejenak. Air matanya menetes dan segera dihapusnya. Ada rasa bersalah menyusup di hatinya. Dia sudah sempat berpikir untuk menarik semua dukungannya dan membiarkan suaminya itu berjuang sendirian. Bagaimana jika hal itu sampai terjadi? Bukan mimpinya saja yang hancur, tetapi harapan rakyat Joseon ini pun akan hancur.
"Aku terlalu mencintainya sampai aku ingin menguasainya untukku seorang," ucap Yoon Bo-kyung lirih.
"Cinta memang seperti itu. Sebelum berada disini, saya juga memiliki perasaan semacam itu," ucap Kepala Biara itu, membuat Yoon Bo-kyung menatapnya.
"Namun, sekarang aku tahu kalau ada banyak jenis cinta. Terlebih setelah aku mendengar sebuah kisah yang sangat mengharukan dan berkaitan dengan jembatan ini," ucap Kepala Biara itu dan Yoon Bo-kyung menatapnya dengan penuh minat.
"Kisah apakah itu?" tanya Yoon Bo-kyung dan Kepala Biara tersenyum, menganggukkan kepalanya kemudian berkata.
"Sang Buddha memiliki seorang murid. Sebelum murid ini menjadi Biksu, dia bertemu seorang perempuan yang cantik. Dia pun jatuh cinta kepadanya dan menceritakan hal itu kepada gurunya. Sang Buddha pun bertanya kepada murid itu. Seberapa besar cintamu kepadanya?" ucap Kepala Biara dan menatap Yoon Bo-kyung.
"Apa yang dikatakan murid itu?" tanya Yoon Bo-kyung dengan antusias.
"Murid itu menjawab, 'Aku akan menjadi jembatan batu. Menahan hujan selama lima ratus tahun. Menahan panas selama lima ratus tahun. Menahan angin selama lima ratus tahun supaya gadis itu bisa berjalan di atasnya," ucap Kepala Biara dengan perlahan.
"Cinta adalah pengorbanan, Jungjeon Mama," ucap Kepala Biara itu dan perkataan itu dengan lembut menyusup kedalam hati Yoon Bo-kyung.
***
Pembaca yang kusayang,
Apa kabar? Maaf lama tidak menyapa. Seperti yang aku katakan, sulit bagiku untuk melanjutkan kisah ini selama masalahku belum selesai. Aku bersyukur karena masalahku banyak yang bisa diselesaikan. Terimakasih untuk dukungan kalian.
Part ini tidak memiliki maksud apapun atau menyinggung siapapun. Kisah murid Sang Buddha, aku dapatkan dari film yang sangat aku sukai yaitu Reign of Assasin yang diperankan oleh Michael Yeoh. Di film itu dikisahkan Michael Yeoh adalah pembunuh bayaran yang berubah karena kematian seorang yang dia cintai dan juga mencintainya dengan tulus.
Di kisah itu orang yang dia cintai itu. berkata "aku akan menjadi jembatan batu, menahan hujan selama lima ratus tahun, menahan panas selama lima ratus tahun dan menahan angin selama lima ratus tahun supaya kamu bisa berjalan diatasnya,"
Michael Yeoh pun menanyakan maksud ucapan itu kepada guru dari almarhum orang yang dicintainya itu. Kepala Biara itu menceritakan kisah murid Sang Buddha. Mengapa orang yang dicintainya menceritakan hal itu sebelum kematiannya? Karena dia ingin Michael Yeoh berhenti menjadi pembunuh bayaran sekalipun bayarannya adalah kematiannya sendiri.
Saya terharu dengan perkataan itu. Pengorbanan yang dia lakukan semata supaya orang yang dicintainya berubah ke arah yang benar. Saya menyertakan cuplikan you tube-nya. Silahkan dilihat sejenak.
Sumatera Utara, 4 Agustus 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top