SANG AHLI JANGGI)*
KOSAKATA
1. Jungjeon Mama = panggilan kepada Ratu
2. Jusang Jeonha = panggilan kepada Raja
3. Sanggung = dayang Istana ranking satu
4. Sangsik = dayang yang bertugas di dapur Istana (Sojubang)
5. Agasshi = panggilan kepada Nona
6. Janggi = catur Korea, serupa dengan shogi di Jepang (liat keterangan dibawah). Cara permainannya mirip catur yang biasa kita gunakan.
7. Baduk = catur Korea, serupa igo di Jepang (liat keterangan di bawah)
8. Nain = dayang Istana
9. Sejabin = putri mahkota
10. Seja = putra mahkota
🌿🌿🌿
"Maafkan aku, Jusang Jeonha. Ketidak hati-hatianku membuat Anda harus menggendong saya seperti ini," ucap Yoon Bo-kyung. Mukanya yang merah padam membuat Lee Hwon merasa kesal.
Sebenarnya Lee Hwon menggendong Yoon Bo-kyung dengan berat hati. Sekalipun tubuh Yoon Bo-kyung ringan, dia merasa kakinya terasa berat melangkah. Aroma wewangian yang dipakai Yoon Bo-kyung menyapa hidungnya. Wewangian yang sering dipakai oleh Heo Yeon Woo, perempuan yang selalu berada didalam hatinya hingga saat ini.
"Wewangian ini," ucap Lee Hwon lirih. Ditatapnya perempuan yang berada dalam gendongannya. Sesaat dia merasa kalau dia sedang menggendong Heo Yeon Woo. Namun, wajah itu segera berganti dengan wajah Yoon Bo-kyung.
"Saya ingat Jusang Jeonha pernah menyuruh Kasim Go menanam bunga-bunga di Kediaman kita dulu. Saat itu Jusang Jeonha masih seorang Seja. Saya meminta para nain mencari dan meracik bunga-bunga itu menjadi wewangian. Wangi ini sama dengan bunga-bunga itu, bukan?" ucap Yoon Bo-kyung dengan nada yang terdengar ceria.
(baca part terbenamnya matahari untuk memahami perkataan Yoon Bo-kyung)
"Aku masih ingat kalau Anda sangat menyukai bunga. Saat seleksi Sejabin dulu, Anda selalu mengajakku ke taman Istana. Melihat bunga-bunga sambil berbicang-bincang. Anda ingat, saya pernah mencoba membuat puisi dan gagal. Namun, Jusang Jeonha bisa membuat sebuah puisi penuh makna dalam waktu sekejap," ucap Yoon Bo-kyung membuat Lee Hwon mengingat masa itu. Masa dimana Heo Yeon Woo masih hidup. Perempuan yang dicintainya itu selalu tersenyum manis kepadanya. Mereka berdua diam-diam bergandengan tangan di belakang Yoon Bo-kyung yang berjalan di depan mereka berdua. Saat Yoon Bo-kyung berbalik, seketika mereka melepaskan tangan mereka.
"Puisi? Aku juga tahu puisi lainnya?" ucap Lee Hwon.
"Bolehkah aku mendengarnya, Jusang Jeonha?" tanya Yoon Bo-kyung yang berada dalam gendongan Lee Hwon dengan antusias.
"Bunga dahlia memang indah, tetapi menyakiti hati," ucap Lee Hwon dengan nada dingin yang membuat wajah Yoon Bo-kyung pucat pasi.
"Kamu tahu apa arti bunga dahlia?" tanya Lee Hwon balik kepada Yoon Bo-kyung.
"Pengkhianatan, Jusang Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dengan nada lirih.
"Istanamu sudah dekat, Jungjeon. Kamu jangan lupa. Sedetik pun jangan. Kalau aku masih menyelidiki kematian Heo Yeon Woo. Ingat jika kamu terlibat, aku tidak segan-segan memberikan hukuman yang berat untukmu," ucap Lee Hwon dingin dan tersenyum sinis.
"Mengapa kamu pucat, Jungjeon. Jika kamu tidak terlibat, seharusnya kamu tidak terlihat takut seperti itu," ucap Lee Hwon dengan senyum sinis. Yoon Bo-kyung menggigit bibirnya sendiri mendengar perkataan Lee Hwon itu.
Mereka pun memasuki pintu Istana Gyotaejeon. Park Sanggung menggeser pintu ruang tidur Ratu sehingga Lee Hwon dapat masuk dengan mudah sambil menggendong Yoon Bo-kyung kedalam. Lee Hwon meletakkan perempuan itu perlahan di atas futonnya. Didekatinya telinga Yoon Bo-kyung dan berbicara dengan suara lirih di telinganya.
"Sebuah rahasia akan aku katakan kepadamu. Aku menyuruh Kasim Go menanam bunga-bunga itu dulu karena Yeon Woo suka memakai wewangian dengan aroma bunga itu," ucap Lee Hwon dan meninggalkan Yoon Bo-kyung yang menatapnya dengan wajah pucat dan air mata yang jatuh di pipinya. Lee Hwon berjalan menuju pintu dan menggesernya.
"Selamanya hanya ada dia di hatiku, Jungjeon. Jangan berharap banyak," ucap Lee Hwon sebelum keluar dari ruang tidur Yoon Bo-kyung. Kemudian dia berbalik sejenak dan berkata lagi.
"Lagipula aku benci bunga dahlia," ucap Lee Hwon dingin.
🌿🌿🌿
"Jadi ini aroma Nona Heo?" gumam Yoon Bo-kyung sambil menyeka air matanya yang mengalir di pipinya. Dia merasa sangat bodoh. Selama ini dia terus mengenakan wewangian ini karena pikirnya, Lee Hwon menyukainya. Ternyata wewangian ini adalah wewangian yang mengingatkan Lee Hwon terus menerus kepada Heo Yeon Woo. Mengingatkan suaminya kepada kematian Heo Yeon Woo yang tragis. Mengingatkan suaminya kepada kebenciannya sendiri.
Yoon Bo-kyung merasa ngeri dengan aroma yang dikenakannya kini. Aroma wangi itu berubah menjadi amis. Ditatapnya sekeliling ruang tidur. Sesaat, lagi-lagi seisi ruang tidurnya dipenuhi bercak darah. Yoon Bo-kyung menutup matanya sesaat lalu menggigit bibirnya sendiri supaya tidak berteriak. Saat dia membuka mata, bercak darah itu sudah hilang. Yoon Bo-kyung mengatur nafasnya supaya detakan jantungnya yang memburu menjadi tenang.
"Bunga dahlia," ucap Yoon Bo-kyung teringat dengan perkataan Lee Hwon lagi. Dia pun menyentuh pipinya. Air mata yang mengaliri pipinya yang putih kini telah kering.
"Pengkhiatan?" ucap Yoon Bo-kyung lagi dan hatinya terasa sangat sakit.
Berapa juta jarum lagi harus dia rasakan menusuk perasaannya? Dia akui kalau dia bersalah. Secara tidak langsung, dia telah membuat Heo Yeon Woo meninggal. Namun haruskah dia menanggung hukuman sampai seperti saat ini? Lebih baik kematian daripada kebencian yang terus menerus diterimanya.
Kadang dia ingin mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi dia tidak memiliki keberaniaan untuk melakukannya. Hatinya cemas dan takut. Apakah dia bisa mempertanggung jawabkan apa yang dilakukannya dahulu kepada Nona Heo? Semua hal yang dilakukan di dunia akan ditanya dan harus dipertanggung jawabkan, bukan? Termasuk perbuatan jahat.
"Jungjeon Mama, Anda baru menangis?" tanya Park Sanggung yang baru saja masuk kedalam ruang tidur Yoon Bo-kyung bersama Hwan Nari.
"Tidak apa-apa. Kakiku terasa sakit makanya air mataku jatuh," ucap Yoon Bo-kyung. Park Sanggung segera mengambil kain basah dan memberikannya kepada Yoon Bo-kyung untuk melap mukanya. Bekas air mata yang menempel di wajah membuat rasa tidak nyaman.
"Jungjeon Mama, maafkan saya. Permintaan saya membuat Anda harus alami kecelakaan seperti ini. Saya pantas mati," ucap Hwan Nari dengan wajah murung, tetapi segera di jawab dengan gelengan kepala oleh Yoon Bo-kyung.
"Tidak. Ini bukan salahmu. Aku yang kurang hati-hati, Hwan Nari. Park Sanggung, kamu sudah mengumpulkan buku-buku yang berhasil dibawa para nain yang bersamaku?" tanya Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung segera menyodorkan tumpukan buku yang disembunyikan para nain di balik chima mereka.
"Hwan Nari, periksa lebih dahulu kakiku. Setelah itu, aku akan memeriksa semua catatan ini," ucap Yoon Bo-kyung. Dia harus memusatkan pikiran untuk menuntaskan janjinya. Meratapi keadaan saat ini tidak akan memberikan hasil apapun selain menambah rasa sakit hatinya saja.
"Siap, Jungjeon Mama," ucap Hwan Nari dan mendekati kaki Yoon Bo-kyung untuk memeriksanya.
"Park Sanggung, aku ingin mencari aroma lain untuk wewangianku. Bisakah kamu menyuruh Yeo Sangbok)* untuk mencari wewangian yang baru," ucap Yoon Bo-kyung dengan suara setenang mungkin. Namun, dalam hatinya hanya ada gemuruh.
Sangbok)* = dayang Istana yang bertugas mengurus pakaian dan aksesoris Ratu
"Siap, Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung dan perlahan mundur dari ruang tidur Yoon Bo-kyung.
"Jungjeon Mama, kaki Anda terkilir sedikit. Saya harus menariknya dan mengurutnya. Ini akan terasa sakit," ucap Hwan Nari dengan raut wajah sedih dan khawatir.
"Tidak apa-apa, Nain. Lakukan saja," ucap Yoon Bo-kyung dan Hwan Nari menarik pergelangan kaki Yoon Bo-kyung. Rasa sakit yang dirasanya membuatnya menjerit.
🌿🌿🌿
Park Sanggung menyalakan lilin di atas meja yang digunakan oleh Yoon Bo-kyung untuk memeriksa catatan yang berhasil diselundupkannya dari Perpustakaan Kerajaan. Yoon Bo-kyung tersenyum dan menarik lilin itu lebih dekat kepadanya.
"Jungjeon Mama, saya membawa camilan untuk Anda," ucap seorang dayang dari luar ruang tidur Yoon Bo-kyung membuatnya segera menutup buku yang dibacanya lalu menyembunyikannya di bawah bantal. Ditariknya buku Tiga Kerajaan yang dimilikinya dan meletakannya di atas meja. Yoon Bo-kyung memberi isyarat kepada Park Sanggung supaya orang yang berada di depan ruang tidur dipersilahkan untuk masuk.
"Han Sangsik masuklah," ucap Park Sanggung kepada dayang yang bertugas di dapur Istana. Seorang perempuan seusia dengan Park Sanggung masuk kedalam bersama dua orang dayang. Mereka membawa meja dengan makanan diatasnya. Buah-buahan dan kue.
"Hari sudah sangat larut. Saya mendengar Jungjeon Mama belum tidur. Saya pikir mungkin Anda merasa lapar," ucap Han Sangsik setelah menyajikan makanan yang dibawakannya.
"Terimakasih, Han Sangsik. Aku tidak bisa tidur sejak tadi. Maaf merepotkanmu," ucap Yoon Bo-kyung dan tersenyum.
"Melayani Jungjeon Mama adalah kehormatan bagi saya," ucap Han Sangsik. Yoon Bo-kyung mengambil buah jeruk yang disajikan dan memakannya perlahan. Han Sangsik masih di ruangan itu menunggu.
"Han Sangsik, kamu bisa kembali ke tempatmu. Ada Park Sanggung yang menemaniku. Kamu tidak usah khwatir," ucap Yoon Bo-kyung dan Han Sangsik terlihat enggan untuk pergi.
"Pergilah Han Sangsik. Aku akan menemani Jungjeon Mama. Kamu harus bangun pagi-pagi sekali, bukan? Pekerjaan di Sojubang sangat banyak. Jika kamu terlambat bangun, bisa terjadi kekacauan di Istana," ucap Park Sanggung.
"Baiklah. Saya mohon diri, Jungjeon Mama," ucap Han Sangsik dan perlahan mundur bersama dayang yang datang bersamanya. Kemudian keluar dari ruang tidur Yoon Bo-kyung.
"Anda tidak mempercayai Han Sangsik, Jungjeon Mama?" tanya Park Sangsik kepada Yoon Bo-kyung. Dia sedang menarik buku yang disembunyikan.
"Han Sangsik masih baru di Sojubang, sejak Dae Sangsik dimutasi. Aku tidak terlalu mengenalnya. Jadi belum bisa menentukan apakah dia bisa dipercayai atau tidak," ucap Yoon Bo-kyung dan mengambil kue yang disajikan.
"Hari sudah sangat larut. Apakah Jungjeon Mama tidak merasa lelah?"
"Tidak, aku merasa senang bisa melakukan ini. Dulu sebelum menikah, aku kerap memeriksa pembukuan di rumah ayahku. Aku cukup ahli dalam hal ini," ucap Yoon Bo-kyung dan tersenyum.
"Saya senang Anda senang," ucap Park Sanggung
"Kamu tahu, Park Sanggung. Semua catatan ini terlihat normal," ucap Yoon Bo-kyung.
"Jika demikian, maka perkataan Hwan Nari tidak terbukti, Jungjeon Mama," ucap Park Sanggung.
"Jika kita fokus kepada isi buku ini, kita akan menganggapnya biasa saja. Namun, aku memeriksa fisik buku ini juga. Aku menemukan warna halaman yang berbeda di beberapa tempat. Tidak terlalu kentara. Aku baru menyadarinya setelah cahaya lilin ini didekatkan dengan buku. Tampaknya ada orang yang mengganti beberapa lembar catatan ini," ucap Yoon Bo-kyung sambil menunjukkan lembar yang memiliki warna yang berbeda.
"Bisa jadi hanya kebetulan saja, Jungjeon Mama,"
"Jika itu terjadi di satu buku saja maka aku akan sependapat denganmu, Park Sanggung. Namun, beberapa buku memiliki kejadian yang sama. Cukup banyak. Tidak hanya selembar dua lembar saja," ucap Yoon Bo-kyung.
"Kita tidak bisa menuduh dengan alasan itu saja, Jungjeon Mama,"
"Aku juga tidak mau menuduh siapa pun saat ini. Aku butuh bantuanmu, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung sambil merenggangkan kedua tangannya yang letih.
"Apa yang dapat saya lakukan, Jungjeon Mama?"
"Aku tahu tidak mungkin membayar orang untuk memeriksa kondisi di daerah. Orang-orang ayahku pasti segera mengetahuinya. Apalagi jika ketahuan kalau aku terlibat dengan urusan pemerintahan, hukuman berat menantiku. Namun, aku mengenal seseorang yang dapat melakukan investigasi tanpa dicurigai. Aku ingin kamu menemuinya,"
"Siapa maksud Anda, Jungjeon Mama?"
"Pedagang. Marganya Choi. Aku mengenalnya sudah sangat lama," ucap Yoon Bo-kyung dan pikirannya melayang ke masa lalu. Mengingat Seu-ri yang meninggal karena membantunya melarikan diri dahulu. Saat itu Pedagang Choi juga dipukuli oleh orang-orang ayahnya.
***
Park Sanggung ditemani oleh Mirae, nain yang berada dalam pengawasannya berjalan melewati orang-orang yang berlalu-lalang di Pasar. Mereka berdua berjalan dengan jang-ot yang menutupi kepala mereka. Yoon Bo-kyung menyuruhnya untuk menemui seorang pedagang di Pasar Hanyang ini. Di balik jeogori yang dikenakannya, tersembunyi sebuah surat yang ditulis sendiri oleh Ratu-nya.
Tadi dia sempat panik ketika pengawal Kerajaan bertanya mengapa dia meminta izin ke luar Istana. Park Sanggung memberikan alasan kalau dia harus menemui kerabatnya yang sakit di Hanyang. Kebetulan, salah satu pengawal yang sedang berjaga dikenalnya dengan baik. Mereka tidak bertanya lebih detail lagi. Jika tidak, dia bisa membuat rencana Yoon Bo-kyung berantakan karena gugup.
"Tuan, maaf mengganggu. Dimana Toko Serba Ada Pedagang Choi?" tanya Mirae kepada seorang penjual aksesoris.
"Pedagang Choi? Anda berjalan lurus sampai ujung blok ini lalu belok ke kanan, Agasshi," jawab penjual aksesoris itu.
"Terimakasih, Tuan," ucap Mirae lalu berbalik menemui Park Sanggung yang menunggu agak jauh di belakangnya. Mereka berjalan sampai ke ujung blok kemudian berbelok ke kanan. Sebuah Toko yang cukup ramai dengan pengunjung terlihat. Ada papan nama yang menyatakan toko tersebut milik orang bermarga Choi.
"Maaf, apakah Tuan Choi ada? Tolong berikan surat ini kepada beliau," ucap Park Sanggung kepada seorang pelayan yang sedang tidak sibuk melayani pembeli. Orang tersebut memperhatikan Park Sanggung dengan tatapan curiga. Surat yang diberikan Park Sanggung bukan berisi surat yang harus diterima Pedagang Choi. Hanya sekedar surat yang memperkenalkan mereka berdua.
"Tunggu sebentar," ucap pelayan itu dan masuk ke ruang dalam toko. Park Sanggung menatap sekeliling Toko dengan rasa kagum. Toko yang dimasukinya termasuk toko besar. Park Sanggung pernah mendengar ada Toko yang memiliki banyak barang unik. Tampaknya toko ini lah yang dibicarakan para dayang Istana. Ada banyak benda yang tidak berasal dari Joseon yang dipajang.
"Nyonya, silahkan ikut saya," ucap pelayan tadi dan kali ini wajahnya terlihat takut. Park Sanggung dan Mirae mengikuti langkah pelayan sampai ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari depan toko.
"Selamat datang, Nyonya," ucap seorang laki-laki yang duduk di dalam ruangan itu. Penampilannya begitu mewah dan wajahnya terlihat karismatik.
"Anda Tuan Choi?" tanya Park Sanggung dengan tatapan penuh selidik.
"Benar, Nyonya. Surat yang Anda berikan tadi berasal dari orang yang sangat saya hormati. Sesuai petunjuk surat itu, saya harus menceritakan siapa saya kepada kalian sehingga kalian percaya kalau saya adalah orang yang harus Anda temui. Nama saya Duk-gu dari keluarga Choi. Dahulu saya adalah orang yang sangat miskin. Saya mendapat kesempatan bekerja di Kediaman Perdana Menteri Yoon Hyung Dae. Disana saya bertemu dengan Jungjeon Mama saat beliau masih berumur sepuluh tahun. Beliau memberikan tabungannya untuk saya sebagai modal awal usaha dengan janji kalau saya akan menghadiahinya ragam cerita di semua wilayah yang saya kunjungi saat berdagang," ucap Choi Duk-gu dengan mimik penuh haru. Ucapan Choi Duk-gu persis seperti yang diceritakan oleh Yoon Bo-kyung. Membuat Park Sanggung yakin kalau dia bertemu dengan orang yang tepat.
"Jungjeon Mama meminta hadiahnya lagi, Tuan Choi. Dia ingin Anda pergi ke beberapa wilayah dan menceritakan kisah baru dari sana," ucap Park Sanggung. Dia mengambil surat lain yang disembunyikan dibalik jeogorinya kemudian menyodorkannya kepada Choi Duk-gu. Choi Duk-gu menarik surat itu dan membukanya. Cukup lama dia membaca surat itu lalu tersenyum.
"Saya berjanji akan memberikan kisah yang lengkap dari semua tempat yang diminta oleh Jungjeon Mama, Nyonya. Sekarang biarkan para pelayan saya melayani Anda," ucap Choi Duk-gu dan sederet pelayan masuk dengan menyungguhkan aneka makanan.
"Rasa masakan ini mungkin tidak seenak yang berada di Istana, Nyonya. Namun, beberapa diantaranya adalah hal yang baru dan pantas Anda coba. Termasuk coklat manis ini. Makanan ini saya dapatkan dari daerah yang sangat jauh," ucap Choi Duk-gu sambil menyodorkan sebuah piring kecil dengan makanan berbentuk kepingan berwarna coklat tua diatasnya.
"Terimakasih, Tuan Choi," ucap Park Sanggung dan mengambil sebuah. Seperti yang dikatakan oleh Pedagang Choi, makanan manis yang dimakannya itu baru pertama kali dicobanya.
Saat mencicipi ragam makanan yang disajikan itu, Park Sanggung ingat ucapan Yoon Bo-kyung ketika dia bertanya mengapa Ratu-nya itu meminta tolong kepada seorang pedagang.
"Dalam budaya kita pedagang dianggap rendah oleh kaum yangban. Hal ini membuat mereka jarang berurusan dengan golongan Yangban kecuali dalam urusan jual-beli. Seorang pedagang tidak diperkenankan ikut ujian negara dan politik. Jika mereka nekat ikut dalam permainan politik Kerajaan lalu ketahuan, hukuman berat menanti. Ayahku yang sangat kolot tentu tidak menyangka kalau aku menyuruh seorang pedagang melakukan penyelidikan. Dia terlalu jijik bertemu dengan pedagang yang dianggapnya menyalahi aturan hidup," ucap Yoon Bo-kyung dan tersenyum. Wajahnya memancarkan optimisme yang tinggi.
Park Sanggung mengambil teh beraroma bunga yang disajikan Tuan Choi. Dalam hati dia memuji kecerdasan Ratu-nya. Hampir setiap waktu luangnya diisi dengan memainkan baduk dan janggi. Kini dia tahu kalau Ratu-nya tidak hanya pandai bermain janggi di atas papan. Dia pun pandai memainkan janggi di dalam kehidupan nyata. Sebuah bakat yang jika dimiliki laki-laki akan membawanya kepada kejayaan di masa ini. Namun, seorang perempuan di masa ini hanya bisa menyembunyikan keahlian itu.
🌺🌿🌹🌿🌺
Pembaca yang kusayang,
Sebenarnya saya masih mau lanjut ngetik. Tapi sekarang saja sudah 2400 kata. Akhirnya saya putuskan stop dulu. Lanjut bab baru aja. Biar detailnya dapat. Awalnya saya nggak mau detail bicarakan pertemuan Park Sanggung dengan Pedagang Choi, tetapi kalau tidak saya buat malah jadi janggal. Saya ingin pembaca mengerti kenapa Yoon Bo-kyung meminta bantuan pedagang.
Beberapa sumber saya baca, di era Joseon sekalipun pedagang itu kaya tetap dianggap rendah oleh kelas yangban (bangsawan). Joseon (Korea era Yoon Bo-kyung hidup) adalah Kerajaan yang menganut ajaran Neo Konfusius. Dalam Konfusius, kelas pedagang disebut dengan Shang. Dianggap parasit oleh semua kelas masyarakat. Pembaca bisa membaca sumber yang saya sajikan di bawah.
Jepang juga memandang hal yang sama kepada kelas pedagang. Saya sendiri merasa geli dengan pandangan masa lalu ini. Mengapa? Tanpa perdagangan, kemajuan sebuah negara bisa terhambat. Ekspor dan Impor sama pentingnya. Impor punya peran dalam meningkatkan kualitas barang yang beredar di dalam negeri. Tanpa impor, politik monopoli perdagangan bisa terjadi. Makanya saya heran jika ada yang super benci sama Impor. Itu aneh banget. Beneran.
Pedagang juga adalah agen perubahan yang sangat potensial.
Balik lagi ke topik. Dengan alasan anggapan remeh kepada pedagang inilah, Yoon Bo-kyung meminta bantuan Pedagang Choi. Sebagai seorang pedagang, dia bebas ke daerah mana pun untuk berjualan. Jualan sambil cari informasi. Mantap, kan?
Di Indonesia pada era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, pedagang punya peran penting. Pedagang dari etnis Tionghoa banyak yang berperan sebagai mata rantai distribusi logistik bagi para pejuang yang melakukan griliya. Mereka juga berperan menyampaikan pesan pejuang antar daerah. Saya tahunya dari almarhum Bulang (Kakek) saya. Juga beberapa novel bertema perjuangan yang saya baca belasan tahun lalu.
Pedagang itu keren menurut saya. Ha3x..
Terimakasih untuk vote dan komentarnya selama ini. Dukungan kalian membuat saya bersemangat mengetik bab baru.
Sumatera Utara, 24 Juli 2017
Keterangan dan sumber informasi
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Society_in_the_Joseon_Dynasty
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Four_occupations
https://www.google.co.id/amp/s/cepatbelajarkorea.wordpress.com/2014/08/22/permainan-tradisional-korea-selatan/amp/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top