PERSYARATAN

Gangnyeongjeo = Istana tempat Raja tinggal

Gyeotaejeon = Istana tempat Ratu tinggal

Jusang Jeonha = Yang Mulia Raja

Jungjeon Mama = Yang Mulia Ratu

Wang Daebi Mama = Ibu Suri Istana

Daebi Mama = Ibu Suri

Sanggung = Dayang Istana yang jabatannya paling tinggi

Janggi = permainan catur Korea

🌷🌷🌷

Malam telah larut, tetapi para dayang dan kasim yang bertugas di Istana Gangnyeongjeo belum beristirahat. Beberapa dayang dan kasim menunggu di luar Istana dengan takzim. Beberapa menunggu di depan ruang kerja Lee Hwon dengan sikap siaga. Kasim Go yang bertugas mendampingi Lee Hwon juga berada diantara mereka, menunggu dengan gelisah. Dia menatap Park Sanggung yang berdiri tepat di depan pintu ruang kerja sang Raja sehingga Kasim Go tidak bisa masuk untuk melihat keadaan.

"Park Sanggung, apakah ini tindakan yang benar? Tanpa membuat pemberitahuan, Jungjeon Mama berkunjung. Lalu sekarang, Jungjeon Mama memaksa Jusang Jeonha bermain Janggi. Tidak tahukah Jungjeon Mama, kalau Jusang Jeonha sangat sibuk belakangan ini," keluh Kasim Go tetapi Park Sanggung tetap diam. Tidak menjawab keluhan Kasim senior itu.

"Park Sanggung, jangan bersikap begini. Jika Wang Daebi Mama dan Daebi Mama tahu, mereka tentu akan marah kepada Jungjeon Mama. Mereka tidak hanya akan marah kepada Jungjeon Mama, tetapi juga akan menghukum saya  dan para petugas di Istana ini," keluh Kasim Go lagi. Park Sanggung yang semula diam akhirnya bergeming. Dengan tajam, ditatapnya Kasim Go yang beberapa tahun lebih tua darinya itu.

"Kasim Go, apakah Jungjeon Mama akan ke Istana ini tanpa memberitahu Wang Daebi Mama dan Daebi Mama lebih dulu? Sebagai pemimpin Istana Gyeotaejeon, dia tahu apa yang dia lakukan. Lagipula, mengapa Anda tidak meminta Jusang Jeonha untuk berhenti bekerja lalu beristirahat karena hari telah larut? Jungejon Mama mengajak Jusang Jeonha bermain Janggi hanya untuk menghentikannya bekerja dan menyegarkan diri dengan permainan Janggi yang menyenangkan," ucap Park Sanggung dengan suara pelan tetapi tajam. Wajah Kasim Go memerah setelah mendengar jawaban itu.

"Anda benar, Park Sanggung," ucap Kasim Go meski tidak rela. Dia tidak percaya kalau Ratu mereka datang hanya utuk mengajak Raja mereka bermain Janggi. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Park Sanggung. Kalau tidak, mengapa Dayang senior itu begitu patuh untuk berdiri di depan pintu sesuai perintah Yoon Bo-kyung? Jelas tujuannya berdiri disana adalah untuk mencegah siapa pun masuk, termasuk dirinya. Sekarang hanya ada Ratu dan Raja mereka di dalam ruang kerja itu.

🌷🌷🌷

"Aku tidak menyangka kalau Jungjeon bisa memainkan bidak-bidak Janggi ini," ucap Lee Hwon dengan suara yang terdengar santai di telinga Yoon Bo-kyung. Yoon Bo-kyung tersenyum lalu mengangkat tangannya ke atas papan Janggi. Dengan jarinya, dia menggerakkan bidak kuda. Sekalipun Lee Hwon menjalankan bidak lebih dulu, Yoon Bo-kyung tetap bisa mengendalikan permainan.

"Anda terlalu memuji, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung setelah meletakkan bidaknya di dekat posisi bidak Raja milik Lee Hwon.

"Skak Mat," ucap Yoon Bo-kyung lagi.

"Tampaknya kamu sering memainkan permainan ini. Dari caramu memilih langkah dan mengangkat biji bidak Janggi ini, jelas kamu tidak mempelajarinya dalam waktu singkat," ucap Lee Hwon sambil menggeser letakbidak  Raja miliknya sehingga bidak kuda tidak lagi mengancam.

"Sewaktu saya masih tinggal bersama orang tuaku, saya sesekali memainkannya dengan melawan Orabeoni," ucap Yoon Bo-kyung dan hatinya terasa sedikit perih menyebut kata "orabeoni" karena kata itu mengingatkannya kepada keputusan sang Kakak untuk tidak terlibat dengannya lagi.

"Yoon Seung Jae memang ahli strategi permainan Janggi. Dia pemikir yang handal. Baiklah, aku paham mengapa kamu bisa bermain Janggi sebaik ini. Kamu memiliki guru yang hebat. Kakakmu pasti banyak mengajarkan strategi permainan ini kepadamu," ucap Lee Hwon dengan ketus.

" Benar, Jeonha. Saya beruntung memiliki Orabeoni yang telaten mengajariku dengan banyak hal termasuk permainan Janggi ini," ucap Yoon Bo-kyung dan kembali membuat langkah tidak terduga. Kini bidak Ratu membuat gerakan tindakan terduga.

"Skak Mat, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung lagi dan Lee Hwon menggeser bidak Raja miliknya.

"Kamu sangat bernafsu mengalahkanku, Jungjeon. Hal apa yang begitu kamu inginkan sehingga kamu berniat sekali mengalahkanku?" tanya Lee Hwon dan Yoon Bo-kyung sejenak berhenti dari menatap papan Janggi. Lalu mengadah dan melihat wajah suaminya yang sedang melihatnya dengan salah satu alisnya naik keatas. Wajah sinis itu lagi-lagi diperlihatkan suaminya kepadanya. Yoon Bo-kyung merasakan ketidak nyamanan menyusup di hatinya. Namun, dia tidak bisa mundur. Dia harus menang kali ini.

"Maafkan saya, Jeonha. Saya hanya akan mengatakan keinginanku setelah permainan ini selesai dengan kemenangan di pihakku, Jeonha" ucap Yoon Bo-kyung dengan suara seyakin mungkin bahkan angkuh. Sikap seperti itu sengaja dia lakukan karena akan membuat lawan tertekan.

Permainan Janggi tidak hanya memerlukan strategi yang tepat di atas papan permainan. Sikap pemain pun menentukan kemenangan. Keyakinan seorang pemain akan memberi pengaruh kepada lawan. Jika lawan berhasil diintimidasi, lawan bisa salah melangkah karena panik. Kemenangan dalam peperangan dan politik pun demikian. Sikap masing-masing orang turut menentukan kemenangan.

Yoon Bo-kyung ingat istilah kalah sebelum berperang, yang menyiratkan orang yang peragu sebelum perang akan kalah karena ketakutannya itu.

"Silahkan Anda melangkah, Jeonha!" ucap Yoon Bo-kyung setelah menjalankan bidak gajah miliknya ke arah lain. Kali ini bidak gajah tidak mengancam posisi bidak Raja milik Lee Hwon.

"Keangkuhan bisa berbahaya, Jungjeon," ucap Lee Hwon setelah berpikir cukup lama. Dia mengangkat tangannya lalu memindahkan bidak Ratu miliknya tepat ke daerah yang mengancam bidak Raja milik Yoon Bo-kyung.

"Dia bisa tidak waspada. Skak Mat, Jungjeon," ucap Lee Hwon lagi lalu  tersenyum penuh kebanggaaan. Setelah bermain Janggi dua jam, beberapa kali sebenarnya Lee Hwon sudah membuat Skak Mat, tetapi berhasil dipatahkan Yoon Bo-kyung. Bahkan istrinya itu berhasil melakukan serangan balik. Yoon Bo-kyung menatap papan Janggi lama lalu menatap suaminya lagi. Yoon Bo-kyung tahu kalau Lee Hwon merasa kemenangan berada di pihaknya kini.

"Nampaknya Jungjeon tidak bisa memainkan bidak lagi. Posisi bidak Raja telah terancam. Aku tidak yakin Jungjeon bisa menang kali ini. Sesuai perjanjian, Jungjeon harus menceritakan kebenaran. Meskipun sebenarnya aku tidak yakin kalau Jungjeon akan jujur. Aku meladeni Jungjeon bermain Janggi untuk membunuh kebosananku saja," ucap Lee Hwon dengan ketus dan hendak berdiri karena menganggap permainan usai. Namun, Yoon Bo-kyung mencegahnya.

"Anda belum menang, Jeonha. Persis seperti yang Anda katakan, kesombongan dapat membuat seseorang tidak waspada. Anda melewatkan bidakku karena Anda terlalu berniat segera mengakhiri permainan," ucap Yoon Bo-kyung, membuat Lee Hwon kembali duduk dan menatap Papan Janggi lebih seksama. Keningnya berkerut dan seketika wajahnya memucat.

"Pertama singkirkan musuh yang paling dekat dengan Raja dan jika bisa sekaligus mengancam Raja milik lawan," ucap Yoon Bo-kyung sambil mengerakkan biji Bidak Ratu miliknya lalu memakan bidak Ratu milik Lee Hwon yang mengancam tadi. Gerakan ini sekaligus mengancam bidak Raja milik Lee Hwoon yang dibiarkan terbuka tanpa penjagaan.

"Skak Mat, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon menghela nafas.

"Bidak Raja Anda tidak bisa bergerak kemana-mana lagi, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung. Lee Hwon kemudian tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak. Yoon Bo-kyung tahu kalau tawa itu adalah tawa mengejek.

"Akhirnya ada yang mengalahkanku dalam permainan ini. Tidak kusangka anak dari musuhku sendiri yang melakukannya. Ayahnya selalu membuatku susah dan kini anaknya juga. Benar-benar nasib yang bagus," ucap Lee Hwon dan suaranya terdengar sangat kesal.

"Lalu apa keinginanmu, Jungjeon?" tanya Lee Hwon lagi dan Yoon Bo-kyung menatapnya tajam.

"Tangan kanan Anda, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dengan tegas.

🌷🌷🌷

"Tangan kanan Anda, Jeonha," jawaban Yoon Bo-kyung membuat kening Lee Hwon berkerut. Sebenarnya dia menyesali keputusannya menerima tantangan istrinya yang baru kembali ke Istana. Dia tidak menyangka kalaku istrinya itu bisa mengalahkannya bermain Janggi. Selama ini saat bermain Janggi dia sering memenangkan permainan Janggi bahkan saat dia bermain Janggi dengan Yoon Seung Jae atau Heo Yeom, kakak laki-laki Heo Yeon Woo. Namun, kali ini dia berhasil dikalahkan oleh istrinya sendiri.

"Ulangi permintaanmu!" pinta Lee Hwon. Dia merasa tidak yakin dengan pendengarannya. Saat istrinya mengajukkan taruhan, dia berpikir kalau permintaan yang dibuat Yoon Bo-kyung akan rumit baginya. Dia menduga Yoon Bo-kyung akan memintanya bermalam di Istana sang Ratu. Namun, dia meminta hal lain. Dia meminta tangan kanannya? Entah apa maksud Ratu-nya itu.

"Tangan kanan Anda, Jusang Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dengan air muka yang terlihat tenang. Lee Hwon mengangkat tangan kanannya sendiri dan merasa bingung.

"Apa maksudmu dengan tangan kananku? Kamu bermain teka-teki denganku?" tanya Lee Hwon dengan tidak menyembunyikan kegusaran dalam suaranya.

"Saya meminta kepercayaan Anda. Saya ingin membantu Anda menggulingkan kekuasaan Perdana Menteri," ucap Yoon Bo-kyung dengan bahasa yang sangat halus, membuat Lee Hwon terdiam sejenak. Wajahnya memucat karena kaget, tetapi akhirnya dia menguasai diri. Dikeluarkannya tawa yang keras meskipun dengan dipaksa sehingga dia terbatuk. Yoon Bo-kyung menyodorkan cawan teh yang segera diterima Lee Hwon. Setelah menghabiskan isi cawan, diputar-putarnya cawan kosong di tangannya.

"Apa kamu sedang berusaha mempermainkanku, Jungjeon?" tanya Lee Hwon dengan suara tajam. Kemudian ditatapnya Yoon Bo-kyung tajam. Perempuan itu tetap terlihat tenang meskipun Lee Hwon berusaha mengintimidasinya dengan suaranya yang tak ramah.

"Tidak, Jeonha. Saya tidak mempermainkan Anda. Saya mengatakan hal yang sebenarnya. Saya ingin kita bekerjasama menggulingkan Ayah saya," ucap Yoon Bo-kyung dan suaranya terdengar agak sedikit bergetar.

"Aku katakan kepadamu, Jungjeon. Aku tidak terima dipermainkan. Mengapa kamu masih menguji kesabaranku?" tanya Lee Hwon dengan suara yang tajam.  Namun, Yoon Bo-kyung menarik cawan yang digenggam Lee Hwon. Meletakkannya diatas meja lalu mengisinya kembali.

"Saya tidak mempermainkan Anda, Jeonha. Saya bersungguh-sungguh mengatakan keinginanku untuk menggulingkan kekuasaan Ayahku sendiri. Saya tahu untuk melakukannya, saya membutuhkan bantuan Anda,"

"Ini sangat lucu, Jungjeon. Aku sulit mempercayaimu," ucap Lee Hwon tajam.

"Bagaimana jika saya bisa memberikan bukti kalau ayahku melakukan penipuan pembukuan akan membuat Anda mempercayai saya?" tanya Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon menatapnya tajam.

"Saya tahu kalau Anda sedang memeriksa buku laporan keuangan," ucap Yoon Bo-kyung sambil berdiri dan mendekati meja disudut ruangan. Diatasnya ada tumpukan buku yang diperiksa Lee Hwon sebelum Yoon Bo-kyung datang.

"Saya juga awalnya kesulitan membuktikan adanya hal aneh. Isi catatan dengan laporan dari mata-mata yang Anda kirim mirip, bukan? Seakan-akan tidak ada kecurangan, bukan?" ucap Yoon Bo-kyung sambil menarik sebuah buku lalu medekati Lee Hwon.

"Lihat Jeonha, apakah Anda sekarang bisa melihat hal aneh?" tanya Yoon Bo-kyung setelah dia mendekatkan buku yang dipegangnya ke depan cahaya lilin. Jarak mereka begitu dekat sampai Lee Hwon bisa menghirup aroma wewangian yang dikenakan Yoon Bo-kyung. Hal itu membuatnya agak gugup.

"Apa maksudmu?" tanya Lee Hwon dengan suara keras untuk mengatasi kegugupannya, lalu melihat bagian dari buku yang ditunjuk Yoon Bo-kyung dengan jarinya sendiri. Sebuah bekas lem terlihat samar. Jika tidak didekatkan dengan cahaya lilin, bekas rekatan kertas itu tidak akan terlihat.

"Lihat warna kertas pertama dengan kedua agak berbeda jika di dekat api. Hal ini dikarenakan ketebalan kertasnya berbeda. Artinya kertas kedua ini direkatkan ke buku ini," ucap Yoon Bo-kyung dan Lee Hwon terkesima dengan penjelasan istrinya. Untuk meyakinkan dirinya sendiri, dia mengambil buku ketata negaraan yang dimilikinya. Dengan cara yang sama, dia mendekatkan bukunya ke. dekat lilin. Warnanya sama, membuktikan ketebalan yang sama. Dalam sebuah buku, sangat aneh jika ketebalan kertas antar halaman berbeda.

Lee Hwon mengambil semua buku laporan keuangan yang dimilikinya. Dia melakukan hal sama dan melihat di semua buku laporan keuangan itu ada kertas yang ketebalannya berbeda. Terlihat juga bekas rekatan kertas yang samar.

"Artinya ada sesuatu yang hendak ditutupi Perdana Menteri dariku," ucap Lee Hwon dengan mimik kesal.

"Benar, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung membenarkan.

"Itu artinya orang suruhanku pun telah mengkhianatiku? Mereka ada di pihak Perdana Menteri," ucap Lee Hwon sambil memukulkan buku yang digenggamannya ke atas lantai dengan keras.

"Saya tidak ingin menuduh, tetapi dengan kejadian ini jelas membuktikan kalau mereka telah menipu Anda, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dan dengan lembut digenggamnya tangan Lee Hwon.

"Saya punya segala yang Anda perlukan untuk menggulingkan Perdana Menteri, Jeonha. Asalkan Anda memberikan tangan kanan Anda kepada saya. Saya membutuhkan kepercayaan Anda untuk menarik dukungan ke kubu Anda," ucap Yoon Bo-kyung.

"Ini gila!" ucap Lee Hwon sambil menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Yoon Bo-kyung.

"Kamu bisa di tahta Ratu adalah berkat bantuan Ayahmu. Bagaimana bisa aku mempercayaimu?" ucap Lee Hwon tegas dan Yoon Bo-kyung terlihat sedih sesaat.

"Bagaimana jika saya mengatakan rasa cinta saya kepada Anda dan negeri ini sebagai alasan saya bertekad melawan Ayah saya? Apakah Jeonha akan mempercayainya?" tanya Yoon Bo-kyung membuat Lee Hwon tertawa.

"Cinta kepadaku? Cinta kepada negeri ini? Kalau kamu yang mengatakannya, itu terasa seperti lelucon buruk di telingaku," ucap Lee Hwon setelah tertawa.

"Iya. Saya juga merasa kalau ucapan saya akan terdengar seperti lelucon bagi Anda, Jeonha. Jadi bagaimana kalau saya mengatakan kalau saya melakukannya justru untuk terus mempertahankan posisi Ratu?" tanya Yoon Bo-kyung dan menundukkan kepalanya sejenak.

"Alasan yang terakhir ini terasa masuk akal bagiku, Jungjeon," ucap Lee Hwon kemudian menghela nafas.

"Aku tahu ayahmu nampaknya mulai mendekati Pamanku. Dia bahkan menikahkan salah satu anggota klan kalian dengan Pamanku itu. Apa kamu takut, Ayahmu akan menggulingkanku dan menunjuk Pamanku sebagai Raja selanjutnya? Jika aku digulingkan, kamu juga akan senasib denganku," lanjut Lee Hwon kemudian dia memandang ke lukisan harimau di ruangannya. Lee Hwon tersenyum miris menatap lukisan hewan yang menjadi lambang dari Perdana Menteri. Lee Hwon menghela nafas lalu menatap Yoon Bo-kyung yang terlihat terkejut.

"Anda menduga hal yang sama denganku, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung. Dia berdiri dan berjalan mendekati lukisan Harimau yang ditatap Lee Hwon tadi.

"Jadi sebelum Harimau itu menerkam kita, maka kita harus meringkusnya lebih dulu," ucap Yoon Bo-kyung sambil menurunkan lukisan Harimau itu dan menggulungnya perlahan.

"Hanya posisi Ratu yang ingin kamu pertahankan? Itu terdengar masuk akal. Namun, posisi itu pun tidak abadi. Aku tidak bisa menjamin kalau kamu akan tetap menjadi Ratu dalam masa pemerintahanku, Jungjeon. Bukankah sudah kukatakan kalau aku mengawasimu? Jika aku menemukan keterlibatanmu dalam kematian Heo Yeon Woo, aku akan mengusirmu dari Istana," ucap Lee Hwon tajam. Dia tidak mau berkompromi dengan orang yang menusuknya lebih dulu.

"Benar, Jeonha. Aku tahu posisi Ratu tidak abadi. Banyak Raja dalam sejarah Kerajaan kita telah menurunkan status Ratu. Namun, aku tidak terlibat dalam kasus Nona Heo Yeon Woo. Jadi mengapa aku harus takut?" tanya Yoon Bo-kyung balik. Lee Hwon menatapnya tajam.

"Benarkah?" tanya Lee Hwon lagi dan Yoon Bo-kyung tersenyum.

"Bukankah akan sangat konyol  jika saya terlibat dalam kasus Nona Heo, tetapi sekarang meminta Anda menjadi sekutu saya? Itu sama saja menjerat leher sendiri," ucap Yoon Bo-kyung.

"Namun, ucapan Anda membuat saya memikirkan sesuatu. Untuk mempertahankan posisi saya sebagai Ratu di masa depan, bagaimana jika saya juga meminta agar keturunan saya saja yang akan menjadi putra mahkota," ucap Yoon Bo-kyung membuat muka Lee Hwon memucat. Yoon Bo-kyung tertawa.

"Mengapa wajah Anda pucat, Jeonha? Anda tidak usah cemas seperti itu. Anda tidak harus menghabiskan malam Anda dengan saya, Jeonha. Jika Anda memiliki Selir nantinya lalu Selir itu melahirkan anak, saya bisa menjadikannya sebagai anak saya sendiri, bukan?" ucap Yoon Bo-kyung membuat Lee Hwon menatap ke arah lain. Dia merasa Yoon Bo-kyung begitu arogan malam ini. Membuatnya kesal.

"Saya tidak memaksa Anda memberikan kepercayaan Anda untuk saya, Jeonha. Namun, saya menunggu di Istana saya dengan sabar. Jika Jeonha pada akhirnya memutuskan bekerja sama dengan saya, maka Jeonha harus memenuhi persyaratan yang saya katakan. Saya akan tetap menjadi Ratu dan anak saya kelak akan menjadi Putra Mahkota," ucap Yoon Bo-kyung. Lee Hwon menatapnya tajam.

"Aku tidak bisa dipaksa, Jungjeon," ucap Lee Hwon.

"Saya tidak memaksa Anda, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dengan suara yang tenang.

"Jungjeon, apa kamu tidak takut kalau aku menceritakan tawaranmu ini kepada ayahmu sendiri? Aku sangat penasaran dan ingin melihat bagaiman reaksi mertuaku itu saat dia tahu kalau putrinya mencoba untuk mengkhianatinya," ucap Lee Hwon sambil memperhatikan ekspresi Yoon Bo-kyung. Semula ekspresinya terlihat kaget tetapi dengan cepat, dia tersenyum kembali.

"Saya rasa Anda tidak akan membuang kesempatan emas yang saya tawarkan, Jeonha. Lagipula jika Anda menceritakan tawaran yang saya berikan kepada Ayah saya, posisi Anda pun ikut terancam karena Ayahku tahu kalau Anda bisa mengumpulkan pendukung untuk membantu Anda melawan ayah saya," ucap Yoon Bo-kyung dengan tenang kemian berdiri.

"Saya memohon diri," ucap Yoon Bo-kyung  lalu memberi hormat kemudian keluar dari ruangan Lee Hwon. Lee Hwon yang ditinggal sendiri oleh Yoon Bo-kyung menatap papan janggi yang membuktikan kekalahannya. Dia mengehela nafas panjang.

"Jusang Jeonha, maafkan saya. Saya tidak bisa mencegah Jungjeon Mama menemui Anda. Saya pantas dihukum," ucap Kasim Go yang baru saja masuk ruangan langsung memberi hormat dengan posisi sujud.

"Sudahlah! Hari ini dia memang tidak akan bisa dicegah," ucap Lee Hwon.

"Selidiki kegiatan Jungjeon selama di Biara. Selidiki tanpa sepengetahuan siapa pun. Mengapa Jungjeon bisa berani mengajakku bekerja sama dengannya? Apakah dia punya kelompok rahasia?" lanjut Lee Hwon.

"Saya akan menyelidikinya secara pribadi, Jusang Jeonha," ucap Kasim Go dengan sungguh-sungguh.

🌷🌷🌷

Yoon Bo-kyung keluar dari Gangnyeongjeon dengan mata berkaca-kaca. Sejak tadi dia berusaha menahan perasaan dan air matanya yang hendak jatuh. Hatinya terasa sakit. Apa yang dikatakan Lee Hwon berulang kali menusuk hatinya.

"Mencintaiku dan mencintai negeri ini? Itu terdengar seperti lelucon," ucapan Lee Hwon menggema di pikiran Yoon Bo-kyung.

Yoon Bo-kyung menatap jembatan tempatnya biasa merenung. Dengan tangannya dia memberi tanda kepada para dayang yang mengikutinya agar mereka berhenti. Yoon Bo-kyung berjalan di atas jembatan dan menatap permukaan kolam di bawahnya. Melihat riak-riak air yang timbul karena gerakan ikan didalamnya.

"Jeonha, apakah cinta adalah kata yang tabu diucapkan olehku? Orang jahat sekalipun memiliki rasa cinta, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dengan air mata yang menetes dan mengalir di pipinya. Ditatapnya Bulan separuh di Langit, yang mengingatkannya kepada Heo Yeon Woo. Rasa sesak memenuhi dadanya.

"Maafkan aku Nona Heo. Maafkan aku, Jeonha. Aku terpaksa berbohong. Aku belum bisa jujur tentang keterlibatanku dalam kematian Nona Heo Yeon Woo. Aku berjanji akan menceritakannya kelak kepada Anda, Jeonha," ucap Yoon Bo-kyung dan dengan kasar disekanya air mata yang mengaliri pipinya.

"Aku terpaksa mengatakan kalau aku menginginkan jabatan Ratu agar Anda mempercayaiku, Jeonha. Karena hal itulah yang ingin Anda yakini kalau aku gila kekuasaan. Aku terpaksa menambahkan kata anak, meskipun aku tahu hal itu tampaknya mustahil bagiku," ucap Yoon Bo-kyung lagi. Seekor kupu-kupu putih melintas dan berhenti di tangannya yang berada di atas pegangan jembatan. Yoon Bo-kyung tersenyum melihat kupu-kupu itu.

"Namun, apapun yang terjadi tidak akan membuatku menyerah. Aku akan membuat tahta Anda kokoh, Jeonha. Kupu-kupu putih, aku akan melakukannya. Bukankah Yang Maha Kuasa ada di pihakku saat ini, bukan?" ucap Yoon Bo-kyung kepada kupu-kupu yang hinggap itu, seketika hatinya yang terasa sakit kembali tenang.

Kupu-kupu terbang meninggalkan Yoon Bo-kyung, kupu-kupu putih itu terbang ke atas seakan menuju langit dengan perlahan. Lalu kunang-kunang bermunculan. Jumlahnya sedikit karena Musim Gugur, tetapi berhasil menghibur Yoon Bo-kyung. Perempuan itu tersenyum sekalipun air mata tetap menetes mengaliri pipinya.

🌷🌷🌷

Pembaca yang saya sayangi,

Pertama-tama saya meminta maaf ubtuk update yang lama. Akhit tahun adalah masa sibuk bagi saya. Banyak hal harus saya kerjakan di akhir tahun.

Kedua, maafkan saya karena plot yang lamban. Saya mengutamakan detail sehingga kadang plot terasa lambat. Untuk saat ini, saya memang fokus mengembangkan karakter Yoon Bo-kyung.

Ketiga, saya sangat berterimakasih untuk apresiasi kalian untuk karya saya ini. Saya berterimakasih untuk vote, komentar bahkan sampai memasukkan karya saya kedalam reading list/perpustakaan kalian. Saya berterimakasih karena kalian ada yang menanyakan kelanjutan cerita ini. Saya berterimakasih untuk yang setia membaca part demi part, sekalipun tetap memilih sebagai silent rider. Karena indikasi diterimanya sebuha karya bagi saya, tidak mutlak ditentukan vote dan komentar. Ketika ada yang menyediakan waktu saja untuk membaca, itu hal yang patut disyukuri.

Sampai ketemu di part selanjutnya.

Sumatera Utara, 19 Desember 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top