PERBEDAAN
KOSA KATA
Jungjeon Mama = panggilan kepada Ratu, artinya Yang Mulia Ratu
Jusang Jeonha = panggilan kepada Raja, artinya Yang Mulia Raja-nya
Sanggung = dayang tingkat satu, tugasnya melayani Ratu, Ibu Suri dan Sejabin (putri mahkota)
Sangbok = dayang yang bertugas mengurus aksesoris Ratu
Sangsik = dayang yang bertugas di sojubang (dapur Istana)
Sanjeong = dayang Istana yang bertudas mengatur dan mengawasi pekerjaan Nain (dayang junior)
Daebi Mama = Yang Mulia Ibu Suri
Wang Daebi Mama = Yang Mulia Ibu Suri Agung
🌿🌿🌿
Yoon Bo-kyung memperhatikan para dayang yang sedang mencabut tanaman bunga di taman belakang Istana Gyeotejeon, tempatnya tinggal. Dia yang memerintahkan para dayang itu melakukannya. Semula tanaman yang berada disana adalah tanaman yang sama dengan yang ditanam di kediamannya dulu. Saat dia masih seorang Sejabin. Sekarang dia tidak mau tanaman itu ada di taman kediamannya setelah Lee Hwon berkata kalau bunga dari tanaman itu adalah bunga kesukaan Heo Yeon Woo.
Yoon Bo-kyung mengambil satu batang tanaman yang dicabut itu dan memperhatikannya. Akar-akarnya begitu halus dan dalam. Seakan mencengkram tanah tempatnya tumbuh. Para nain terlihat berusaha keras saat menarik tanaman tersebut. Membuat Yoon Bo-kyung mengingat kondisinya sendiri, berjuang keras menarik perhatian Lee Hwon. Namun, suaminya tidak peduli.
Saat sedang memperhatikan tanaman yang dicabut itu, seorang perempuan seusia Park Sanggung mendekati Yoon Bo-kyung. Perempuan yang juga merupakan dayang senior itu diikuti oleh dua orang dayang muda. Salah satu dayang muda itu membawa beberapa guci kecil putih dengan nampan. Saat dia berada di belakang Yoon Bo-kyung, perempuan itu pun mengucap salam hormat.
"Semoga Jungjeon Mama diberi umur panjang. Saya Yeo Sangbok menghadap Jungjeon Mama," ucap perempuan yang bermarga Yeo itu. Yoon Bo-kyung berbalik dan menatap pelayan yang mengurus aksesoris Ratu itu. Senyumnya sekilas terbit.
"Ada apa, Yeo Sangbok? Ada kabar baik untukku?" tanya Yoon Bo-kyung dan Yeo Sangbok menganggukkan kepalanya. Dia berbalik dan mengambil nampan yang berada di tangan salah satu dayang muda yang mengikutinya.
"Sesuai dengan perintah Anda, saya telah meramu wewangian yang baru untuk Anda. Silahkan Anda menghirupnya, Jungjeon Mama," ucap Yeo Sangbok sambil menyodorkan beberapa guci kecil diatas nampan. Yoon Bo-kyung mengambil satu demi satu guci yang disodorkan. Menghirup aroma yang berada didalamnya.
"Ketiganya masih dalam bentuk bibit wangi murni, Jungjeon Mama. Aroma melati, sakura dan anggrek,"
"Apakah kamu tidak bisa mencampur ketiga aroma tersebut, Yeo Sangbok? Atau membuat aroma baru dengan mencampurkannya dengan tanaman lain? Aku ingin aroma yang tidak bisa ditebak oleh orang lain. Aroma yang sangat khas," ucap Yoon Bo-kyung dan Yeo Sangbok menunduk sejenak. Matanya memperhatikan ketiga guci yang berada dalam nampan itu kemudian menganggukkan kepalanya.
"Saya baru mempelajari pencampuran bibit minyak wangi yang baru, Jungjeon Mama. Saya tidak akan mencampur tiga bibit minyak wangi beraoma bungan ini, Jungjeon Mama. Saya berencana mencampur kayu manis atau gaharu kedalam aroma melati. Saya juga masih mencari bahan pencamur lainnya. Untuk itu, saya butuh waktu yang lebih banyak karena harus mencari bahan-bahan tersebut dari pedagang impor," ucap Yeo Sangbok dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya karena memahami perkataan Yeon Sangbok.
"Aku akan menunggu dengan sabar, Yeo Sangbok. Carilah sebanyak mungkin aroma wewangian dan tunjukkan kepadaku hasilnya. Siapa tahu ada wewangian yang bisa kita hadiahkan kepada Wangdaebi Mama dan Daebi Mama. Sementara ini aku akan memakai aroma anggrek yang lembut ini," ucap Yoon Bo-kyung sambil menunjuk salah satu botol. Yeo Sangbok menganggukkan kepalanya. Wajahnya terlihat lebih tenang daripada sebelum berbicara dengan Ratu-nya itu. Seolah lega dengan perpanjangan waktu yang diberikan.
"Baik, Jungjeon Mama. Saya mohon diri untuk mengerjakannya secepat mungkin," ucap Yeo Sangbok dan mundur dengan membawa nampan tersebut. Dua orang nain yang berada dalam pengawasannya, mengikuti dari belakang. Setelah Yeo Sangbok pergi, giliran Park Sanggung yang mendekat. Kedatangan Park Sanggung dengan Yeo Sanbok hanya selisih beberapa menit saja.
"Jungjeon Mama, saya telah bertemu dengan Pedagang Choi. Cerita yang Anda minta sudah datang," bisik Park Sanggung kepada Yoon Bo-kyung.
"Baiklah, Park Sanggung. Han Sanjeong, kamu awasi pekerjaan para dayang. Aku berharap semua tanaman lama itu sudah dicabut seluruhnya. Bibit tanaman yang kuminta sudah datang, bukan?" tanya Yoon Bo-kyung kepada Han Sanjeong yang berdiri disebelah kanannya.
"Tanaman yang Anda minta sebagian telah datang, Jungjeon Mama. Hari ini, saya pastikan semua tanaman lama itu sudah dicabut sehingga besok kita bisa menanam tanaman yang baru," jawab Han Sanjeong dengan badan sedikit membungkuk.
"Setelah para nain selesai mencabuti tanaman-tanaman ini, berikanlah kepada mereka kue-kue yang lezat. Aku sudah menyuruh Han Sansik membuat kue-kue itu,"
"Terimakasih untuk perhatian Anda, Jungjeon Mama," ucap Han Sanjeong sambil menundukkan sedikit badannya. Setelah Yoon Bo-kyung mundur, suara keras Han Sanjeong terdengar nyaring dalam memberi arahan kepada para dayang yang bekerja.
Yoon Bo-kyung pun memasuki kediamannya. Hatinya berdebar-debar karena cemas. Setelah dua minggu menunggu, akhirnya dia menerima kabar dari Pedagang Choi Duk-gu. Saar Yoon Bo-kyung duduk di ruang tidurnya, Park Sanggung menyodorkan sebuah amplop tebal dari balik dangui yang dikenakannya.
"Terimakasih, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung sambil menarik amplop yang berada di atas lantai. Yoon Bo-kyung membuka amplop tersebut dan menarik lembaran surat yang berada di dalamnya. Perlahan dibacanya surat itu. Isi surat itu membuatnya gemetar.
"Mengapa tangan Anda gemetar, Jungjeon Mama?" tanya Park Sanggung dengan khawatir sambil mendekati Yoon Bo-kyung, tetapi berhenti karena isyarat tangan yang diberikan Yoon Bo-kyung. Isyarat yang menyuruhnya untuk tenang.
"Ini mengerikan, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung yang telah selesai membaca surat tersebut.
"Mengapa Jungjeon Mama berkata begitu?"
"Pedagang Choi mengatakan kalau keadaan yang dilihatnya lebih buruk dari pengaduan Hwan Nari," ucap Yoon Bo-kyung dan menyadari suaranya bergetar. Dadanya terasa sesak. Dia berusaha mengatur nafasnya sebelum melanjutkan perkataannya.
"Bencana kelaparan tidak hanya terjadi di Joseon Timur, Park Sanggung. Pedagang Choi mengatakan kalau kelaparan juga terjadi di perbatasan Hanyang. Selama ini Jusang Jeonha selalu mendapat laporan palsu. Aku tidak percaya ini. Mengapa ayahku bertindak sejauh ini? Membiarkan para bangsawan yang berada di pihaknya bertindak sesuka hati bahkan memeras rakyat," ucap Yoon Bo-kyung dan meremas surat yang berada dalam genggaman tangannya.
"Jungjeon Mama, saya rasa sebaiknya Anda tidak menarik kesimpulan dengan cepat. Mungkin saja Pedagang Choi salah mengambil kesimpulan dari keadaan yang dilihatnya,"
"Aku yakin Pedagang Choi tidak akan melakukan kesalahan seperti itu. Meskipun begitu, perkataanmu juga benar. Kita tidak bisa langsung mengambil kesimpulan. Aku harus memastikan kabar tersebut benar. Untuk itu, aku harus pergi ke perbatasan Hanyang karena disana ada desa yang mengalami kelaparan berat," ucap Yoon Bo-kyung sambil menatap Park Sanggung dengan tatapan memohon. Park Sanggung tahu kalau perkataan Yoon Bo-kyung menyiratkan suatu pelanggaran lagi terhadap aturan Istana.
"Tidak, Jungjeon Mama. Anda tidak boleh keluar Istana. Jika ada yang mengetahuinya maka hukuman berat akan Anda terima,"
"Aku tahu, Park Sanggung. Namun, aku yakin kalau kamu bisa menolongku untuk keluar dari Istana selama satu hari. Aku harus memastikan dengan kepalaku sendiri kalau kabar itu benar sehingga aku bisa mengambil langkah terbaik untuk membantu Hwan Nari," ucap Yoon Bo-kyung dengan sungguh-sungguh.
"Jungjeon Mama, ini berbahaya," elak Park Sanggung tetapi Yoon Bo-kyung telah mengeraskan hatinya. Dia merasa kalau dia harus keluar dari Istana dan melihat kondisi yang sebenarnya.
"Park Sanggung, aku harus melihatnya. Kita tidak saja berhutang kepada Hwan Nari, aku juga harus tahu siapa yang dipihak oleh Abeoji. Benarkah Abeoji senekat itu membohongi Jusang Jeonha?" ucap Yoon Bo-kyung dan suaranya menyiratkan rasa sedih dan marah yang bercampur membuat Park Sanggung menghela nafas. Dia menyerah.
"Baiklah, Jungjeon Mama. Saya akan memikirkan jalan keluar tersebut," ucap Park Sanggung. Ucapan tersebut membuat Yoon Bo-kyung merasa lega sesaat. Ditatapnya surat yang telah lusuh di tangannya. Meskipun bukti yang berada di tangannya itu sangat kuat, tetapi dia tidak ingin mempercayainya. Masih ada harapan di dalam hatinya kalau ayahnya tidak bertindak sejauh yang dibayangkannya.
***
Yoon Bo-kyung menutup mukanya dengan jang-ot. Malam sudah sangat larut sehingga keadaan Istana sangat sepi. Mereka sengaja memilih waktu ini agar tidak menarik perhatian orang banyak. Park Sanggung berjalan disebelah Yoon Bo-kyung. Mirae, dayang muda yang dalam pengawasan Yoon Bo-kyung juga mengikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan mendekati kepala penjaga gerbang yang berdiri di depan pintu gerbang depan Istana. Yoon Bo-kyung melihat Park Sanggung mendekati kepala pengawal tersebut dan berbicara beberapa saat.
"Jungjeon Mama, sekarang kita bisa lewat," ucap Park Sanggung kepada Yoon Bo-kyung setelah selesai berbicara dengan kepala penjaga pintu gerbang Istana tersebut.
"Mengapa dia begitu mudah membiarkan kami keluar?" tanya Yoon Bo-kyung dengan tatapan menyelidik.
"Dia keponakan saya, Jungjeon Mama,"
"Kepala Penjaga Kim adalah keponakanmu? Bagaimana bisa?"
"Saya adalah bibinya dari pihak ibu," ucap Park Sanggung dengan suara kecil. Yoon Bo-kyung menatap Kepala Pengawal Kim dan ingat kalau keluarga Kim masih merupakan keluarga bangsawan kuno.
"Aku tidak menyangka kalau Park Sanggung memiliki kaitan dengan keluarga Kim. Sampai sekarang keluarga Kim masih bersikap netral. Tidak melawan ayahku atau pun mendukungnya," ucap Yoon Bo-kyung.
"Benar, Jungjeon Mama. Sekarang klan Kim belum menentukan sikap. Namun, bagi saya sikap semacam itu lebih berbahaya. Saya menyarankan kepada Anda untuk menjauh dari Klan Kim," ucap Park Sanggung lalu menghela nafas.
"Ayo, kita tidak bisa menghabiskan banyak waktu di gerbang ini," ucap Yoon Bo-kyung dan terburu-buru melangkah. Saat ini bukan waktunya membicarakan politik. Langkahnya yang terburu-buru hampir saja membuat Jang-ot yang dipakai untuk menutup wajahnya jatuh. Mirae bertindak cepat dengan berdiri didepan Yoon Bo-kyung sehingga wajahnya tidak terlihat oleh para penjaga.Dia pun memperbaiki letak Jang-ot tersebut.
"Jungjeon Mama, aku berkata kepada Kepala Pengawal kalau Anda adalah nain yang berada dalam pengawasanku juga," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya. Mereka pun melewati pintu gerbang dengan mudah berkat bantuan kepala penjaga gerbang Kim. Mereka bertiga berjalan sampai di ujung jalan dan jauh dari pengawasan para penjaga. Dua orang laki-laki telah menunggu dengan lima ekor kuda.
"Kedua laki-laki ini adalah keponakan saya dari Klan Park. Mereka sedang meniti karir di bidang militer. Mereka akan mengawal kita," ucap Park Sanggung tanpa menyebut jati diri Yoon Bo-kyung. Namun, tanpa disebutkan pun, kedua laki-laki itu tampaknya tahu dan memberikan hormat dengan menundukkan kepala mereka kepada Yoon Bo-kyung. Mereka sedang menyamar, tidak mungkin memberikan salam formal yang bisa menarik perhatian. Sekalipun di tengah malam, orang-orang tidak berlalu lalang tetap saja bersikap waspada adalah keharusan.
Yoon Bo-kyung menganggukkan kepalanya sebagai tanda dia menerima penghormatan kedua keponakan Park Sanggung. Hatinya lebih tenang karena ada yang mengawal mereka bertiga. Dia juga merasa nyaman karena yang diajak adalah keponakan Park Sanggung sendiri yang berasal dari Klan Park. Sejauh yang diketahuinya, Klan Park tidak pernah terlibat dalam politik Kerajaan. Umumnya mereka berkarir di dunia militer.
"Apakah Anda bisa menunggangi kuda?" tanya Park Sanggung dengan wajah cemas.
"Bisa. Aku sering menungganginya saat masih di rumah orang tuaku. Lagipula sesekali aku menunggangi kuda di Istana. Kamu tahu itu, bukan?" ucap Yoon Bo-kyung dan tersenyum. Dia pun menaiki salah satu kudanya dengan berani. Park Sanggung menganggukkan kepalanya, dia pernah memperhatikan Ratu-nya yang menaiki kuda di area latihan militer Raja saat area itu tidak digunakan. Tentu saja diam-diam dan dilakukan di malam hari agar tidak ketahuan oleh Wang Daebi Mama dan Daebi Mama.
Park Sanggung pun menaiki kuda dan memacunya mengikuti langkah keponakannya yang menjadi penunjuk jalan. Mereka melewati jalan-jalan Hanyang yang jarang dilalui oleh orang-orang. Sekitar dua jam berkuda melewati jalan-jalan tersebut sampai mereka tiba di perbatasan Hanyang. Perasaan cemas pun meliputi hati Yoon Bo-kyung.
"Tidak lama lagi kita akan tiba, Bibi. Sesuai perintahmu, kami menyelidikinya terlebih dahulu tadi pagi. Desa yang dimaksud tidak hanya mengalami kelaparan, Bibi. Wabah penyakit pun sedang menyerang mereka. Orang-orang Perdana Menteri banyak yang berjaga-jaga disekitar tempat itu untuk mencegah penduduk desa itu keluar. Sebaiknya kita meninggalkan kuda disini. Kita harus mengendap-endap. Apa Anda yakin untuk meneruskan perjalanan berbahaya ini, Bibi?" tanya salah satu keponakan Park Sanggung kepada bibinya itu. Ucapan keponakannya itu membuat wajah Park Sanggung pucat. Dia pun menatap Yoon Bo-kyung dengan harapan Ratu-nya merubah keputusannya.
"Kita lanjutkan sseuai petunjuk keponakanmu, Park Sanggung," ucap Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung menghela nafas. Yoon Bo-kyung sudah melangkah sejauh ini, tidak ada lagi kata mundur. Yoon Bo-kyung pun turun dari kudanya dan mengikuti langkah kedua laki-laki yang mengawalnya. Mereka berjalan dalam kegelapan sampai tiba di tepi tebing.
"Desa tersebut berada di bawah sana," ucap keponakan Park Sanggung dan menunjuk desa yang berada di bawah tebing tempat mereka berada. Mereka berlindung dari balik batu besar yang berada pada tebing itu sehingga leluasa untuk memperhatikan keadaan tanpa diketahui.
Yoon Bo-kyung memperhatikan desa yang ditunjuk. Desa tersebut telah dikelilingi dengan balok-balok kayu. Banyak prajurit yang menjaga desa tersebut. Meskipun tidak terlalu jelas, dia bisa melihat beberapa penduduk desa memohon-mohon untuk keluar dari desa yang telah dikarantina itu.
Keadaan mereka membuat Yoon Bo-kyung iba. Hatinya merasa sedih melihat ketidak berdayaan para penduduk desa itu. Semakin lama, semakin banyak penduduk desa yang menangis dan berteriak meminta keluar dari desa mereka. Memukul-mukul gerbang kayu yang membatasi mereka dari dunia luar.
Yoon Bo-kyung tidak tahan melihatnya. Dia berdiri hendak mundur dari tebing itu. Namun perasaan tidak nyaman tiba-tiba menyergapnya. Dia berhenti untuk mundur dan berbalik untuk memperhatikan desa itu lagi. Seorang laki-laki datang denga beberapa prajurit menyertainya. Dari jauh pun, Yoon Bo-kyung dapat mengenali laki-laki itu. Dia yakin kalau laki-laki itu adalah ayahnya.
"Apa yang dilakukan abeoji?" tanya Yoon Bo-kyung dengan suara lirih. Tidak lama ayahnya berada di desa itu. Dia hanya berbicara kepada salah satu prajurit. Yoon Bo-kyung menduga kalau prajurit itu adalah Kepala Prajurit yang menjaga desa tersebut. Setelah berbincang dengan kepala prajurit itu, ayahnya langsung pergi. Lalu sesuatu yang mengerikan terjadi.
Para prajurit menyiramkan minyak ke balok-balok kayu dan orang-orang yang berkerumun di balik balok itu. Lalu seorang diantaranya menyulutkan api. Yoon Bo-kyung menutup mulutnya dengan kedua tangannya untuk mencegahnya berteriak. Dia sangat ingin berteriak setelah melihat kegialaan yang berada dihadapan matanya itu.
Tidak tahan lagi, dia berlari menuju tempat kuda mereka disembunyikan. Semua orang yang bersamanya mengikuti langkahnya. Situasi sudah terlalu berbahaya bagi mereka untuk tetap tinggal dan menyaksikan sebuah kebiadaban berlangsung.
Yoon Bo-kyung memacu kudanya secepat mungkin. Dia ingin secepatnya tiba di Istana. Air matanya mengalir deras. Kemarahan dan kesedihan bercampur didalam batin dan pikirannya.
🌿🌿🌿
"Jungjeon Mama, Anda harus makan. Sejak tadi pagi, Anda belum makan makanan apapun," ucap Park Sanggung sambil menyodorkan meja dengan banyak makanan ada diatasnya. Yoon Bo-kyung menatap makanan yang disodorkan itu sejenak tetapi tidak memakan satu pun. Sebaliknya, dia menarik guci dan memuntahkan air yang sempat diminumnya tadi.
"Apakah saya harus memanggil tabib, Jungjeon Mama?" tanya Park Sanggung. Yoon Bo-kyung menggelengkan kepalanya.
"Apakah kamu sudah mencari tahu? Apakah pristiwa pembakaran tadi malam tidak menjadi bahan perbincangan? Apakah Jusang Jeonha tahu?" tanya Yoon Bo-kyung dan Park Sanggung menghela nafas.
"Jusang Jeonha tidak tahu, Jungjeon Mama. Tidak ada perbincangan masalah desa yang dibakar dengan sengaja. Seakan pristiwa itu tidak ada,"
"Dugaanku, abeoji menutupi pristiwa tersebut. Sekalipun desa itu dilanda wabah, apakah wajar abeoji melakukan pembakaran? Aku rasa abeoji takut jika tabib-tabib dibawa untuk memeriksa mereka maka situasi kelaparan yang dialami para penduduk desa itu ketahuan. Apakah keponakanmu tidak mengatakan penyakit yang melanda penduduk desa yang malang itu?" tanya Yoon Bo-kyung balik.
"Wabah Flu, Jungjeon Mama,"
"Flu? Abeoji sudah gila. Memberikan pengobatan dan makanan bergizi saja sudah cukup mengobati mereka. Abeoji benar-benar ingin menutupi situasi kelaparan yang membuat para penduduk desa itu tidak tahan terhadap wabah flu itu," ucap Yoon Bo-kyung. Kedua tangannya meremas chimanya dengan erat.
"Saya berharap Anda tidak melibatkan diri, Jungjeon Mama. Situasi ini sangat berbahaya dan rumit. Tidak semudah yang terlihat," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menundukkan kepalanya sejenak.
"Aku tahu, Park Sanggung. Keadaan ini sangat berbahaya. Namun, haruskah aku diam? Haruskah aku pura-pura tidak tahu? Semalaman aku tidak tidur. Teriakan mereka yang terbakar menghantuiku," ucap Yoon Bo-kyung.
"Politik adalah hal yang paling kejam dan tidak saya sukai, Jungjeon Mama. Namun, satu hal saya tahu dalam berpolitik tidak bisa melihat satu sisi. Setiap hal dapat saja saling terkait. Kita harus memastikan kalau keputusan yang diambil tepat. Karena jika tidak, pasti akan berpengaruh kepada banyak hal. Anda bisa saja kehilangan posisi sebagai Ratu," ucap Park Sanggung dan Yoon Bo-kyung menggigit bibirnya sendiri. Sudah sejak lama kedudukan Ratu terasa menyakitkan baginya. Alasannya bertahan adalah ancaman ayahnya. Ayahnya mengancam akan menyakiti ibunya. Ayahnya juga mengancam akan membunuh Yoon Bo-kyung, jika ayahnya merasa dia tidak berguna apalagi mengkhianatinya.
Memikirkan itu, perutnya kembali terasa mual. Lagi-lagi dia ingin muntah. Tidak ada yang dikeluarkannya selain air saat muntah.
"Panggil Hwan Nari kesini!" ucap Yoon Bo-kyung.
"Apakah Anda ingin Hwan Nari memeriksa Anda?" tanya Park Sanggung.
"Kumohon, panggil dia," ucap Yoon Bo-kyung dengan suara lemah. Park Sanggung menurut dan pergi keluar. Yoon Bo-kyung pun mengeluarkan salah satu kotak perhiasan yang dimilikinya. Hwan Nari terlihat cemas saat dibawa Park Sanggung menghadapnya.
"Anda sangat pucat, Jungjeon. Izinkan saya untuk memeriksa keadaan Anda," ucap Hwan Nari tetapi dicegah Yoon Bo-kyung dengan isyarat tangan tanda menolak. Yoon Bo-kyung malah mendorong kotak perhiasannya kepada Hwan Nari.
"Aku percaya sekarang dengan perkataanmu. Aku tidak bisa membantu banyak. Ambillah perhiasan dalam kotak ini dan juallah. Gunakan hasilnya untuk membantu warga desa bahkan kota-mu. Lalu kuncilah mulutmu. Jangan berkata apapun tentang situasi kelaparan ini kepada siapapun. Kamu tidak tahu siapa lawan atau teman di Istana yang kejam ini, Hwan Nari," ucap Yoon Bo-kyung.
"Aku belum bisa berbuat banyak, Hwan Nari. Aku tahu kalau kamu ingin keadilan dan bukan bantuan dana semata. Namun, saat ini aku belum bisa berbuat banyak,"
"Saya mengerti Jungjeon Mama, kepercayaan Anda sendiri adalah anugerah buat saya. Saya percaya kalau keputusan yang bijak akan Anda ambil kelak. Saya tahu kalau politik Istana ini kejam. Namun sekalipun tidak ada untungnya buat Anda bahkan membahayakan diri Anda, Jungjoen Mama tetap memilih membantu Nain yang rendah ini," ucap Hwan Nari dengan air mata berlinang.
"Sampai kapan pun, saya akan mengabdikan diri kepada Anda, Jungjeon Mama," ucap Hwan Nari lagi dan Yoon Bo-kyung meneteskan air matanya. Hatinya terharu mendengar ucapan Hwan Nari.
🌿🍀🌺🍀🌿
Sumatera Utara, 10 Agustus 2017
Pembaca yang kusayang,
Maafkan untuk update yang sangat lama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top